Pilihan Redaksi Teori Fukuyama itu Omong Kosong

Teori Fukuyama itu Omong Kosong

-

Saya telah membaca seluruh tulisan dari Jonny R Kocu dan Guno Tri Tjahjoko tentang Politik Identitas dalam Birokrasi di Kabupaten Maybrat.[1] Saya membacanya pertama kali di hari pertama tulisan ini diterbitkan, dan saya telah membuat catatan-catatan khusus terhadapnya. Niatnya adalah tanggapan saya bisa dirampungkan secepat mungkin, namun karena keterbatasan pustaka dan beberapa tugas mendesak lain, maka niat ini diundurkan dan baru dikerjakan sekarang.

Tanggapan ini ditujukan khususnya kepada dasar teori yang digunakan oleh kedua penulis untuk menganalisis situasi pertarungan politik kontemporer yang terjadi di Abad ke-21 secara umum, dan Maybrat secara khusus. Bagi kedua penulis, mengikuti garis Francis Fukuyama bahwa pertarungan politik yang terjadi di abad sekarang adalah pertarungan yang didasarkan pada identitas, dan bukan pertarungan kelas sebagaimana dipikirkan oleh kaum Marxis.

Dengan kata lain, mereka mencoba meneriakan sekali lagi omong kosong Fukuyama bahwa kontradiksi kelas antara penghisap dan yang terhisap, kaum buruh dan majikan, petani dan penguasa tanah sudah tidak ada lagi di abad sekarang. Mereka sudah terdamaikan! Dan sekarang yang terjadi adalah pertarungan antara identitas-identitas sosial seperti agama, ras, suku, dan sebagainya.

Apakah ini benar? Apakah sudah tidak ada lagi pertarungan kelas? Apakah Marxisme sudah tidak relevan?  Ini adalah pokok inti dari uraian kita di bawah ini.

Runtuhnya Rezim Stalin dan Kesalahan Fukuyama

Runtuhnya rezim birokratis Stalinis di Rusia disambut dengan genggap-gempita oleh seluruh teoritikus borjuis. Dimana-mana, di seluruh belahan dunia, termasuk Indonesia para ideolog borjuis merayakan keruntuhan ini dengan meluncurkan berbagai buku dan tulisan yang jumlahnya jutaan lembar halaman untuk mengkampanyekan bahwa ini adalah akhir dari tahapan perkembangan sejarah masyarakat.

Tujuan pokok dari perayaan mereka adalah berusaha untuk membantah argumentasi kaum Marxis yang menyimpulkan bahwa kapitalisme bukanlah tahapan tertinggi, dan oleh karenanya sosialisme yakni masyarakat tanpa kelas itu, akibat hasil kerja kapitalisme, tak terelakan akan menggantikan kapitalisme.

Fukuyama bahkan tanpa ragu-ragu memproklamirkan bahwa ini adalah akhir dari sejarah umat manusia. Dalam bukunya The End OF History and the Last Man, Fukuyama bergurau bahwa “bukan hanya … berlalunya periode tertentu dari sejarah pasca perang, tetapi akhir dari sejarah seperti: yaitu, titik terakhir dari evolusi ideologis umat manusia dan universalisasi liberal barat demokrasi sebagai bentuk akhir dari pemerintah manusia”. Dengan ini Fukuyama bermaksud bahwa demokrasi liberal barat adalah yang tertinggi dari evolusi perkembangan masyarakat manusia, dan oleh karenanya perjuangan kelas dan revolusi sudah tidak ada lagi dalam agenda sejarah.

Kesimpulan memalukan ini dibuat oleh Fukuyama atas dasar penilaian keliru terhadap kebangkrutan rezim Stalinis. Bagi Fukuyama, Stalinis adalah perwakilan sosialisme, sehingga yang bangkrut di Rusia adalah sosialisme itu sendiri. Akan tetapi sejarah punya sederet bukti, bahkan miliaran bukti, bahwa yang runtuh di Rusia bukanlah sosialisme sebagaimana dirumuskan oleh Marx, Engels, dan Lenin melainkan sebuah karikatur buruk dari birokrasi Stalinis atau lawan dari sosialisme itu sendiri.

Marx dan Engels sejak awal menjelaskan bahwa syarat dan untuk menjamin hidupnya masyarakat tanpa kelas atau sosialisme adalah basis industri, pertanian, sains, dan teknologi yang sangat maju. Tanpa ini mustahil sosialisme bisa terlaksana. Sehingga Marx dan Engels memprediksikan bahwa revolusi sosialis akan dimulai dari pusat kapitalisme lalu menyebar ke pinggirannya. Maksud mereka ialah revolusi akan dimulai dari Amerika atau Jerman, lalu menyebar ke pinggirannya seperti Rusia, Asia, dan Afrika.

Tetapi jalannya sejarah justru terjadi sebaliknya, revolusi sosialis lebih dulu pecah di Rusia, sebuah negeri yang secara ekonomi terbelakang dan merupakan mata rantai terlemah dalam kapitalisme. Alan Woods menggambarkan keterbelakangan ekonomi Rusia pada awal ke-20 adalah sama seperti ekonomi Pakistan hari ini. Sehingga bukan hanya tidak cocok, tetapi akan menjadi racun pembunuh bagi revolusi sosialis apabila tidak disiasati dengan baik. Sebagai bukti, tulis Alan Woods, dalam satu tahun, yakni tahun 1920 enam juta rakyat di Uni Soviet mati kelaparan.

Menyadari ketidakcocokan itu, kaum Bolshevik segera merumuskan tugas-tugas utama dari Revolusi Oktober, yaitu menyelesaikan masalah-masalah teknis dan produktivitas sehingga minimal sama seperti Amerika atau Jerman. Langkah pertama adalah mengkonsetrasikan alat-alat produksi ke tangan negara, dikontrol secara demokratis oleh soviet-soviet, dan terencana. Tetapi juga langkah lain yang diambil adalah, membantu mendorong revolusi sosialis di negara kapitalis maju yang akan memberikan bantuan teknik dan sumber daya yang dibutuhkan untuk mengatasi keterbelakangan di Rusia.

Namun segera setelah revolusi pecah di Rusia, kaum imperialis yang terkutuk tidak memberikan ruang bagi Revolusi Oktober untuk mempraktekkan program-program mereka. Uni Soviet dikepung tanpa ampun dari segala penjuru, pasukan imperialis dari 18 negeri dikerahkan untuk menyokong kekuatan kontra revolusioner di dalam Rusia. Perang sipil berkecamuk dari 1918 hingga 1921 dan mengakibatkan kekacauan ekonomi yang luar biasa. Segala sumber daya negara Rusia difokuskan bukan hanya untuk mengejar ketertinggalan ekonomi, namun juga dikerahkan untuk perang mempertahankan revolusi dari serangan musuh. Akibatnya 15 juta rakyat mati, 1 juta di antaranya adalah Tentara Merah. Produksi juga menurun drastis, besi, kapas, gula, dan sebagainya, di bawah 5%.

Kondisi ini diperparah dengan gagalnya revolusi-revolusi di negara-negara kapitalis maju, terutama seperti Jerman yang diharapkan akan sangat membantu Rusia juga menemui kegagalan. Sebagai akibatnya Revolusi Oktober terisolasi. Barang-barang kebutuhan pokok menjadi langka, rakyat pekerja melarat, letih, dan terdemoralisasi, dan akhirnya mereka lebih sibuk mencari sesuap nasi ketimbang mengurus politik. Di momen inilah para birokrat—yang memang adalah mantan pegawai rezim Tsar yang direkrut sebelumnya dan dikontrol di bawah kendali kediktatoran proletariat merangkak kembali.

Ini bukanlah suatu kebetulan. Marxisme sejak awal menekankan bahwa apabila kemiskinan menjadi umum, maka perjuangan untuk kebutuhan hidup akan dimulai kembali, dan semua sampah lama itu akan bangkit kembali. Dalam bukunya Revolusi yang Dikhianati Trotsky menulis, “Basis bagi kekuasan birokratik adalah kemiskinan masyarakat dalam hal obyek konsumsi, yang hasilnya adalah pertarungan satu dengan yang lainnya. Ketika terdapat cukup barang di toko, para pembeli dapat datang kapan pun mereka inginkan. Ketika barang sedikit, para pembeli terpaksa mengantri. Ketika antrian terlalu panjang, perlulah ditunjuk seorang polisi untuk menjaga ketertiban. Demikianlah awal munculnya kekuasaan birokrasi Soviet. Mereka “tahu” siapa yang harus mendapat jatah terlebih dahulu dan siapa yang harus menunggu”.

Inilah persisnya yang terjadi di Rusia. Kelangkaan yang diciptakan oleh perang dan keterisolasian Uni Soviet membuat kaum birokrat memperkuat posisinya. Setelah Lenin wafat dan birokratisme Stalin naik ke tampuk kekuasaan, dan didukung oleh kondisi-kondisi eksternal yang bergerak ke arah berlainan, membuat sampah lama birokratisme—yang merupakan musuh dari demokrasi buruh—kembali menguat.

Pada tahun 1930an untuk memperkuat posisinya Stalin menghapus semua aturan yang menjamin demokrasi/kediktatoran buruh seperti: (1) pemilihan umum dan kemungkinan recall setiap saat, (2) gaji yang tidak lebih tinggi dari gaji buruh biasa, (3) tentara regular digantikan dengan tentara rakyat (milisi), dan sebagainya. Kemudian sebagai gantinya, birokrasi diperkuat; posisi manager yang dulunya hanya bertugas untuk mencatat sekarang menjadi jabatan yang istimewa; jenderal militer mendapat tunjangan istimewa dengan rumah mewah, sementara prajurit rendahan yang di parit perang tidur di gubuk-gubuk; anak buruh kelaparan sementara anak birokrat mendapat pendidikan khusus, dan sebagainya.

Sementara itu, di sisi lain, kaum birokrat Stalinis alih-alih mengobarkan revolusi sosialis dunia yang menjadi tugas utama Revolusi Oktober guna membantu keterbelakangan mereka, rezim Stalinis justru bergerak sebaliknya. Pada tahun 1924 Stalin mengembangkan sebuah perspektif konservatif dengan mempopulerkan teori sosialisme satu negeri. Bagi Stalinis sosialisme cukup hanya di Rusia, tidak perlu revolusi dunia. Padahal nasib sosialisme Rusia, seperti yang sudah kita uraikan di atas, sepenuhnya ditentukan oleh revolusi dunia. Lenin mengatakan ini dengan jelas bahwa revolusi Rusia dimulai dalam arena nasional, dan diselesaikan di arena global. Jika gagal, maka habislah Rusia.[2]

Apa yang terjadi di tahun-tahun setelahnya, terutama gagalnya revolusi Jerman, mengkonfirmasi ramalan Lenin di atas bahwa Uni Soviet terisolasi dan akhirnya bertekuk lutut di hadapan kapitalisme dunia.

Revolusi Sosialis Rusia 1917 telah mendemonstrasikan secara sempurna kebenaran Marxisme, bahwa untuk pertama kalinya kelas buruh berhasil menumbangkan penindasnya dan setidaknya memulai tugas merubah masyarakat ke arah sosialisme. Trotsky memuji Revolusi Oktober dalam buku Revolusi yang Dikhianati bahwa “sosialisme telah mendemonstrasikan haknya untuk merengkuh kemenangan, bukan dalam halaman-halaman Das Kapital, melainkan di tengah gelanggang industri, yang mencakup seperenam dari daratan bumi—bukan dalam bahasa dialektik, namun dalam bahasa baja, semen, dan listrik.”

Ini bukanlah pujian kosong, berdiri di atas dasar ekonomi ternasionalisasi yang terencana, ekonomi Rusia meroket tajam, bahkan pada tahun 1925, Uni Soviet menempati posisi 11 dunia dalam produksi energi listrik, produksi batu bara menempati posisi 4 dunia, baja dari posisi 6 menjadi posisi 3 dunia, dan bahkan dalam produksi traktor menempati posisi nomor urut 1 di dunia.

Di bidang emansipasi perempuan, antara 1917-1927 pemerintah Soviet mengesahkan serangkaian aturan yang memberikan perempuan keadilan legal dengan laki-laki untuk pertama kalinya. Pernikahan menjadi proses registrasi yang sederhana yang harus didasarkan atas kesepakatan bersama. Pada tahun 1927, pernikahan tidak harus terdaftar dan perceraian dapat dilakukan atas permintaan salah satu pasangan. Konsep tidak sah dihilangkan. Aborsi yang legal dan gratis, dibuat menjadi hak setiap perempuan. UU anti homoseksual dihapuskan pada tahun 1918.

Anak-anak hingga usia 16 tahun baik laki-laki maupun perempuan menjalankan wajib belajar gratis. Perundang-undangan memberikan perempuan tunjangan khusus untuk melahirkan.

Tetapi semua capaian ini kemudian dirusak oleh birokratisme Stalinis. Seperti halnya manusia tanpa oksigen akan mati, demikianlah ekonomi ternasionalisasi yang terencana tanpa kontrol demokratis buruh akan mati pula. Bangkitnya birokratisme Stalinis, berarti matinya kontrol buruh di sisi lain. Sehingga alih-alih ekonominya meningkat, justru sebaliknya memburuk dan hancur. Inilah yang terjadi di Rusia.

Sehingga kita dapat mengatakan sekali lagi dengan penuh keyakinan bahwa yang runtuh di Rusia bukanlah sosialisme, melainkan sebuah karikatur buruk dari rezim Stalinis. Walaupun Fukuyama berusaha menghabiskan ribuan lembar halaman untuk menipu kelas buruh, tetapi sejarah telah menampilkan dirinya ke permukaan, bahwa dunia belum berakhir, kecuali jika pertentangan kelas telah lenyap.

Kelas-Kelas dan Perjuangan Kelas Masa Kini

Marx dan Engles membuka Manifesto Komunis dengan kalimat “sejarah dari semua masyarakat yang ada hingga saat ini adalah sejarah perjuangan kelas.” Kesimpulan paling penting ini, yang ditarik berdasarkan bukti-bukti sejarah, segera menjadi “batu dasar” bagi semua perjuangan kelas di muka bumi hingga saat ini. Tetapi, tulis Trotsky, “Orang-orang munafik yang reaksioner, para doktriner liberal, dan para demokrat liberalis segera melemparkan serangan-serangan yang penuh racun ke teori ini, yakni teori yang membantah pemahaman lama yang mengatakan bahwa kekuatan pendorong sejarah adalah perjuangan kepentingan-kepentingan material untuk “kesejahteraan bersama”, “persatuan nasional”, dan “kebenaran moral yang abadi”.[3]

Argumen Fukuyama bahwa perjuangan kelas sudah tidak ada lagi di Abad ke-21 adalah bagian integral dari apa yang diuraikan Trotsky di atas. Ini adalah serangan penuh racun, penipuan paling menjijikan dari manusia penipu paling terkenal di dunia. Fukuyama sudah bukan rahasia lagi adalah penyembah kapitalisme paling setia di dunia. Sebenarnya jalannya sejarah, sudah banyak membantah argumen-argumen Fukuyama, tetapi karena masih saja ada yang mengutipnya, seperti kedua penulis di atas maka perlu untuk kita meluruskannya.

Kelas-kelas sosial dalam masyarakat adalah pengelompokan yang ditentukan berdasarkan posisi mereka dalam sistem produksi. Marx menulis dalam Brumaire of Louis Bonaparte bahwa, “Sepanjang jutaan keluarga hidup di bawah eksistensi kondisi-kondisi ekonomi yang membedakan cara hidupnya, kepentingan-kepentingannya, dan kebudayaannya dari kelas-kelas lainnya, sehingga mereka bermusuhan dengan kelas-kelas lainnya tersebut, maka mereka bisa disebut telah memiliki kelas sendiri.”

Lenin kemudian mengembangkan tesis ini dan menjelaskan definisi kelas sebagai “segolongan besar yang dibedakan dengan segolongan masyarakat lainnya berdasarkan posisi mereka secara historis dalam sistem produksi sosial, oleh relasi/hubungan mereka (yang dalam banyak kasus dilegitimasikan/disahkan oleh hukum) dengan alat-alat produksi, oleh peran mereka dalam organisasi kerja secara sosial dan, sebagai konsekuensinya, adalah hilangnya kemampuan untuk mendapatkan jatah kekayaan sosial dan cara memperolehnya.”[4]

Ini artinya Kaum Marxis melihat kelas adalah suatu kelompok sosial yang secara fundamental dibedakan satu dengan lainnya berdasarkan posisi/relasi mereka dalam suatu corak produksi tertentu. Artinya, keberadaan tiap kelas harus dikaitkan dengan corak produksi yang melahirkannya, karena bagaimana pun juga tiap-tiap corak produksi yang antagonistik akan melahirkan masyarakat dengan garis pembagian kelasnya yang saling bertentangan. Misalnya, budak dan pemilik budak dalam masyarakat perbudakan; raja-raja dan petani hamba dalam masyarakat feodal; serta borjuasi dan proletar di masyarakat kapitalisme.

Secara keseluruhan kemunculan kelas-kelas terjadi dalam dua cara. Pertama, melalui pembagian kerja dengan proyek-proyek irigasi raksasa di Sungai Eufrat dan Tigris di Selatan Iraq dan Sungai Nil di Mezir. Proyek irigasi raksasa tersebut membutuhkan mobilisasi banyak tenaga kerja dari sekitar wilayah irigasi dan juga spesialisasi pengetahuan serta pengorganisiran tanggung jawab. Mereka yang berwenang terhadap pengetahuan serta keterampilan dan tanggung jawab menjadi kelompok solid yang tinggal di perkotaan dan kemudian menarik upeti dari penduduk sekitar. Di sinilah masyarakat terbelah, ada yang terlibat langsung dalam proses produksi sementara ada yang tidak. Pembelahan ini pada perkembangan selanjutnya menjadi kelas-kelas sosial yang tidak terdamaikan dan saling bertentangan satu dengan yang lainnya.

Kedua, kelas terbentuk dari pembudakan satu kelompok terhadap kelompok lainnya. Ini terjadi melalui penaklukkan lewat perang. Kelompok yang kalah perang atau terlilit utang akan menjadi budak sementara yang lainnya menjadi pemilik budak. Ini merupakan pola umum yang terjadi pada masa kepemilikan budak di Yunani maupun Romawi Kuno pada seribu tahun sebelum masehi. Lenin menjelaskan bahwa:

“Kaum pemilik budak dan budak adalah pembagian kelas paling pertama yang penting. Golongan-golongan yang pertama tidak saja memiliki segala alat produksi—tanah dan alat-alat, bagaimana pun primitifnya mereka pada waktu itu—tetapi juga memiliki manusia. Golongan ini terkenal sebagai pemilik budak, sedangkan mereka yang bekerja yang menyediakan tenaga kerja bagi orang lain terkenal sebagai kaum budak.

Di masyarakat feodal, pembagian masyarakat yang fundamental adalah kaum tuan tanah dan petani hamba. Bentuk hubungan-hubungan disini telah mengalami perubahan. Jika dulunya kaum pemilik budak memperlakukan budak sebagai barang milik pribadi, dan didukung oleh hukum, maka di masa feodalisme, kaum tuan tanah tidak memperlakukan petani hamba sebagai barang milik pribadi, dan hukum menjaminnya. Tetapi walaupun begitu, hubungan penghisapannya tetap berlangsung: tuan tanah tetap menarik upeti dari hasil kerja petani hamba.

Selanjutnya, dengan berkembangnya perdagangan, timbulnya pasar dunia, dan berkembangnya peredaran uang, satu kelas baru lahir dalam masyarakat feodal—kelas kapitalis. Selama periode Abad ke-18 hingga Abad ke-19 terjadi gelombang revolusi yang utamanya terjadi di seluruh Eropa Barat untuk memusnahkan feodalisme dan mendirikan kapitalisme. Disini perhambaan tetap berlaku, tetapi dimana pembagian kelas-kelas secara fundamental telah memperoleh bentuk baru, yakni kelas borjuasi dan kelas proletariat.

Inilah keseluruhan tahapan perkembangan manusia dari masa ke masa. Satu hal umum, kesesuaian atau persamaan yang dapat ditarik adalah posisi sosial yang berlawanan dan pertentangan kepentingan antara kedua kubu. Dan kepentingan kelas ini terjadi bukan karena persoalan kesadaran kelas, tetapi dari posisi dan perannya dalam dalam proses produksi sosial. Misalnya, dalam masyarakat kita hari ini, kepentingan kelas mendasar bagi kelas proletariat adalah penghapusan kepemilikan pribadi karena merupakan sumber dari segala masalah. Sementara sebaliknya, kelas borjuasi mempertahankan hubungan ini. Maka menjadi jelas bahwa borjuasi dan proletariat berada dalam posisi yang berlawanan dan tidak terdamaikan. (Dalam Negara, 2018).

Fukuyama dalam The End of History, sebagaimana juga pendapat kaum Marxis, percaya bahwa akhir dari sejarah hanya bisa terjadi apabila sudah tidak ada lagi kontradiksi-kontradiksi di dalam masyarakat manusia. Deklarasi Fukuyama di musim panas 1989, bahwa sejarah telah berakhir adalah berangkat dari kepercayaannya bahwa di dalam demokrasi liberal kontradiksi-kontradiksi internal telah melenyap dan semua persoalan dapat diselesaikan dalam kerangka kapitalisme.

Tetapi sejarah justru bergerak sebaliknya. Tidak lebih dari 20 tahun deklarasi ini dibuat, peristiwa-peristiwa besar yang bukan hanya mengekspos kebangkrutan dari deklarasi ini, tetapi lebih jauh telah menghantam keseluruhan sistem kapitalisme dari atas sampai bawah. Krisis 1998 yang menghantam seluruh Asia dan krisis 2008 yang menghantam Amerika—pusat kapitalisme dunia—adalah bukti dari semua itu. Bahwa corak produksi kapitalisme yang berbasiskan persaingan pasti berujung pada over produksi: penawaran lebih tinggi daripada permintaan dan akhirnya berujung pada krisis.

Tidak seperti Fukuyama, Marxime telah jauh menganalisis kontradiksi-kontradiksi pokok ini. Engels menulis pada 1847 bahwa, “Dengan produksi yang difasilitasi sedemikian, persaingan bebas, yang niscaya berkait-kelindan dengan industri besar, mengambil bentuk-bentuk yang paling ekstrim, sekian banyak kapitalis menginvasi industri, dan, dalam waktu singkat, lebih banyak yang diproduksi ketimbang dibutuhkan.

Sebagai salah satu konsekuensinya, komoditas-komoditas yang sudah jadi ini tidak bisa dijual, dan pecahlah apa yang dinamakan krisis perdagangan. Pabrik-pabrik harus ditutup, para pemilik pabrik-pabrik itu bangkrut, dan para buruh tidak memiliki roti. Kesengsaraan yang terdalam merebak dimana-mana.”[5]

Inilah yang kita alami sekarang. Apa yang terjadi baru-baru ini di Sri Langka, Myanmar, India, Pakistan, Somalia, Zimbabwe, Ukraina, dan seluruh dunia adalah ekspresi sempurna dari kebangkrutan kapitalisme dunia. Pengangguran yang katanya adalah barang antik, sekarang menjadi momok menakutkan di seluruh dunia. Badan Pengungsi PBB, UNHCR pada 2015 melaporkan bahwa setidaknya 3000 orang menyeberang setiap hari ke Makedonia (Eropa) untuk mencari penghidupan yang lebih baik akibat ketidakpastian hidup di negeri mereka.

Pada tahun kemarin (2022), akibat perang dan pandemi yang diciptakan oleh kapitalisme, IMF terpaksa memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia yang sebelumnya dari 3,6% menjadi hanya 2,7%. Ekonomi negara-negara terbelakang menjadi sulit, bahkan 60 persen negara berpenghasilan rendah akan mengalami tekanan yang besar.[6] Inflasi kian tidak terkendali, daya beli buruh semakin rendah, subsidi-subsidi kepada rakyat miskin dipangkas, sementara kekayaan kelas borjuasi semakin berlipat ganda. Hanya satu kenyataan yang terbuka di sini: kapitalisme telah merobek jurang antara si miskin dan si kaya semakin luas dan tajam.

Dan oleh karena itu, perjuangan kelas, yakni perjuangan antara yang tertindas dan yang menindas atau proletar dan borjuasi semakin tajam. Seperti yang dikatakan Fukuyama pada 2017 lalu untuk membatalkan deklarasinya sendiri, bahwa “kondisi saat ini, menunjukan tanda-tanda adanya potensi perubahan sistem ekonomi politik dunia menuju ke masa lalu [sosialisme].” (Tharoor, 2017).

Tetapi sosialisme bukanlah masa lalu, ia adalah masa depan umat manusia. Sehingga sejarah belum berakhir, perjuangan kelas masih ada di abad ke-21, dan revolusi menjadi satu-satunya solusi terakhir. Jika tidak, dunia akan menuju barbarisme!

Sosialisme dan “Demokrasi” Proletar.

Dalam kapitalisme, pertarungan kelas antara yang menghisap dan yang terhisap yakni kelas borjuis dan proletar adalah kebenaran yang tidak bisa dibantah. Oleh karena itu, pertarungan kelas masih ada dan berlanjut.

Dalam bentrokan kedua kelas ini, kaum borjuis akan berusaha keras untuk mempertahankan kapitalisme—sistem yang menguntungkan golongan mereka, sementara proletariat berjuang untuk menghancurkan kapitalisme—sistem yang merugikan mereka, dan mendirikan kekuasaan mereka, yakni kediktatoran proletariat, yakni sosialisme.

“Apakah dalam sosialisme pertarungan kelas telah terdamaikan?” Ini adalah pertanyaan yang sering kita jumpai. Kaum liberal dan orang-orang yang tidak mengerti jalannya sejarah akan menjawab bahwa sosialisme berarti ada kesetaraan, dan “demokrasi murni” akan terlaksana 100%.

Kasus ini kita jumpai, misalnya dalam diri Karl Kautsky yang menangis merengek dan menghabiskan ribuan lembar halaman untuk mengkritik Revolusi Oktober yang katanya tidak demokratis.

Sosialisme yang dirumuskan oleh Marx, Engels dan dipraktekan oleh Lenin, dkk., memang tidak demokratis. Apabila dalam kapitalisme demokrasi (yang sebenarnya munafik dan penuh kebohongan) digunakan oleh kelas borjuasi untuk mengeksploitasi buruh dan tani miskin, maka di dalam sosialisme posisinya dirubah, demokrasi akan digunakan oleh buruh dan tani miskin untuk menekan kaum borjuasi.

Lenin menulis ini secara jelas dalam polemiknya melawan Kautsky,[7] bahwa, “Sebuah negara kaum tereksploitasi secara fundamental harus berbeda dari negara kaum pengeksploitasi; ia haruslah berupa demokrasi untuk yang tereksploitasi, dan alat untuk menindas yang mengeksploitasi; dan penindasan terhadap sebuah kelas berarti ketidaksetaraan untuk kelas tersebut, ini berarti kelas tersebut disisihkan dari demokrasi”. (tulisan miring tambahan dari Muler]

Argumen Lenin di atas secara jelas menunjukan bahwa, di dalam sosialisme, sama halnya seperti kapitalisme, tidak ada kesetaraan. Masih ada pertarungan kelas. Tetapi yang membedakan ialah kekuasaan sekarang di tangan buruh dan bukan lagi di tangan borjuasi. Kelas buruh menggunakan kekuasaan ini (negara) untuk menekan kaum borjuasi.

Tetapi mengapa demikian? Mengapa buruh dan tani miskin harus menekan borjuasi?

“Transisi dari kapitalisme ke komunisme” tulis Lenin “membutuhkan waktu satu epos sejarah. Sampai epos ini selesai, kaum pengeksploitasi niscaya akan selalu mengharapkan restorasi, dan harapan ini berubah menjadi usaha-usaha untuk restorasi. Setelah kekalahan serius mereka yang pertama, kaum pengeksploitasi yang tertumbangkan—yang tidak menyangka mereka dapat ditumbangkan, tidak percaya kalau ini mungkin, dan tidak mengakui penumbangan mereka—akan melempar mereka ke kekuatan yang berlipat sepuluh kali, dengan gairah yang penuh kegeraman dan kebencian yang tumbuh seratus kali lipat, ke dalam pertempuran untuk mengembalikan “surga” mereka, yang telah direbut dari mereka.”[8]

Revolusi Oktober merebut “surga” pengeksploitasi, kaum pengeksploitasi marah. Pasukan dari 18 negara imperialis dikerahkan untuk mengepung Uni Soviet, tujuannya untuk mengembalikan “surga” pengeksploitasi. Invasi AS di Teluk Babi, Kuba tahun 1961 adalah usaha pengeksploitasi untuk mengembalikan “surga” mereka yang direbut oleh kaum buruh dan tani di bawah pimpinan Fidel Castro. Penggulingan Soekarno pada 1965 oleh CIA, adalah upaya pengeksploitasi untuk mengembalikan “surga” mereka. Dan 1001 contoh lainnya, menguraikan satu-satu di sini akan sangat panjang sekali.

Intinya adalah kaum pengeksploitasi tidak akan memberikan “surga” mereka secara cuma-cuma. Segala daya upaya akan dilakukan untuk mempertahankan “surga” mereka. Untuk itu, kaum buruh harus menggunakan senjata “demokrasi hanya untuk buruh” atau negara diktator proletariat untuk melawan segala upaya perlawanan balik dari pihak pengeksploitasi.

Transisi Menuju Masyarakat Tanpa Kelas dan “Akhir dari Sejarah”

Sosialisme sebagaimana sudah kita singgung di atas, menurut Marx hanyalah sebuah tahapan terendah dari komunisme atau dalam makna lain merupakan fase transisi (jembatan penghubung) dari masyarakat berkelas menuju masyarakat tanpa kelas, yakni kapitalisme ke komunisme. Layaknya seorang anak manusia yang baru dilahirkan, ia tidak akan mungkin langsung berjalan, ia harus melewati proses merangkak (transisi), lalu ketika struktur tubuhnya siap, ia akan berjalan di atas dua kaki.

Marx menjelaskan ini secara rinci dan brilian pada tahun 1875 bahwa komunisme yang dilahirkan dari rahim kapitalisme tidak serta-merta atau dalam satu malam dapat menyapu semua sampah lama itu pergi berlalu bersama badai revolusi. Sebagian sampah-sampah itu tentu masih tetap ada, bahkan untuk beberapa alasan, ia sengaja dipertahankan, tetapi ini dalam bentuk dan fungsi yang sama sekali berlainan dari yang sebelumnya.

Dan di atas itu, semuanya difokuskan untuk periode transisi atau peralihan dari kapitalisme ke komunisme. Marx menulisnya begini, “Di antara masyarakat kapitalis dan masyarakat komunis terdapat perubahan revolusioner dari yang satu menjadi yang lain. Sesuai dengan ini terdapat pula periode peralihan politik dimana negara tidak dapat lain kecuali diktator revolusioner proletariat.”[9]

Negara diktator revolusioner proletariat yang diuraikan oleh Marx jelas merujuk pada sebuah masa transisi yang fungsinya sebagai jembatan untuk menghubungkan satu periode ke periode yang lain, atau dalam hal ini kapitalisme ke komunisme. Dan oleh karena itu, pada hakikatnya yang terdalam, periode ini (kediktatoran proletariat), sifatnya adalah sementara. Tidak abadi!

Segera setelah negara kediktatoran proletariat itu menunaikan segala tugasnya, yakni meluluhlantahkan perlawanan dari pihak pengeksploitasi dan membangun segala sumber daya ekonomi, politik, dan budaya yang dibutuhkan untuk menjalankan masyarakat yang baru, pada analisanya yang terakhir, ia akan melenyap.

Ini bukanlah dongeng sebelum tidur yang dikarang oleh Marx. Kemajuan tenaga produktif di dalam kerangka kapitalisme telah menghasilkan semua barang kebutuhan hidup yang berlimpah ruah, bahkan melebihi kebutuhan manusia. Tetapi metode kepemilikan pribadi yang dipertahankan dalam kapitalisme, telah menjadi borok yang menghambat pertumbuhan masyarakat manusia ke arah yang lebih baik.

Kemiskinan, krisis iklim, pengangguran, kegoblokan, wabah penyakit, dan segala kejahatan kemanusiaan yang hari ini kita saksikan adalah konsekuensi dari hubungan produksi yang tersebutkan terakhir.

Dengan menghancurkan basis tersebut, yakni kepemilikan pribadi, dan diganti dengan kontrol demokratis yang terencana, niscaya semua hasil produksi manusia akan diarahkan untuk tujuan kegunaan (bukan lagi untuk keuntungan), dan dengan begitu aktivitas produksi manusia akan lebih sadar, ramah lingkungan, dan untuk memenuhi semua kebutuhan umat manusia tanpa pandang bulu.

Segera setelah semua kebutuhan manusia terpenuhi, tidak ada lagi yang miskin dan tidak yang kaya atau pendeknya tidak ada lagi pertarungan kelas sebagaimana dalam kapitalisme, barulah kita dapat mengatakan dengan seyakin-yakinnya bahwa akhir dari sejarah manusia sedang kita jalani dengan penuh sukacita tanpa satu pun manusia ditindas.

Kesimpulan

Trotsky menulis bahwa, “teori adalah realitas yang digeneralisasi”. Apa maksudnya? Teori bukanlah sekumpulan dongeng, kiasan kata-kata indah, atau uraian kalimat-kalimat panjang dari seorang jago menulis. Tetapi ia merupakan sekumpulan realitas atau fakta-fakta histrois dari suatu peristiwa nyata yang diramu menjadi suatu kesimpulan umum untuk dipelajari dan diterapkan dalam kehidupan manusia.

Apa yang diuraikan Fukuyama, sebagaimana sudah kita uraikan di atas, jelas bertolak belakang dengan kenyataan hari ini. Argumen bahwa pertarungan kelas telah lenyap dan digantikan dengan perang antara identitas-identitas sosial seperti ras, suku, dan sebagainya, adalah sesuatu yang dikarang semau-semaunya tanpa memiliki basis material yang jelas. Fukuyama hanya melihat “asap” tanpa melihat “api”, lalu membuat kesimpulan yang seolah-olah telah mewakili kenyataan sebenarnya.

Kaum Marxis tidak menolak fakta bahwa memang terjadi pertarungan identitas-identitas sosial seperti ras, suku, dan sebagainya. Tetapi itu hanya merupakan “asap” atau konsekuensi tertentu dari epos tertentu sejarah perkembangan umat manusia. Misalnya ras, adalah jelas merupakan produk khusus dari perkembangan sejarah ketika manusia dirobek menjadi kelas-kelas. Jauh sebelum itu, tidak ada sama sekali pertarungan semacam itu.

Adalah jelas bahwa kemunculan rasisme terkait erat dengan kepentingan kelas berkuasa untuk meraup keuntungan. Rasisme digunakan untuk membenarkan praktek penundukan, penjajahan, eksploitasi, dan perampasan. Apa yang terjadi di Afrika, Asia, Amerika, dan seluruh dunia telah mengkonfirmasi kesimpulan tersebut. Bahwa rasisme digunakan bukan hanya untuk membenarkan politik upah murah, perbudakan, dan sebagainya, tetapi juga menjadi senjata pemecah untuk menghancurkan persatuan kelas pekerja agar eksploitasi demi keuntungan kelas berkuasa tetap berlanjut.

Rasisme, Agama, jenis kelamin, dan sebagainya adalah ‘asap’. ‘Apinya’ adalah corak produksi atau sistem ekonomi politik yang menindas jutaan umat manusia demi kepentingan segelintir lintah darat yaitu kaum penindas. Walaupun pertentangan semacam itu ada, tetapi bukan berarti bentrokan antara kelas-kelas telah melenyap, tetapi justru sebaliknya ia tampil sebagai faktor tunggal yang menentukan segala problem yang terjadi hari ini.

Sehingga pengutipan seperti yang dilakukan oleh kedua penulis di atas bukan hanya salah, tetapi justru membantu kerja-kerja kaum penindas untuk memperkuat posisi mereka. Mereka membantu menghegemoni rakyat pekerja yang ditindas untuk tunduk kepada penindasan tanpa memeriksa sistem sosial yang menindas mereka. Untuk itu, bagi kita, penjelasan semacam itu harus dicampakan ke tempat sampah.

Hanya dengan perjuangan kelas, yakni kelas tertindas melawan kelas penindas, yang dituntun oleh teori marxis, kelas pekerja dapat menghancurkan belenggu yang merantai mereka. Dan di atas basis tersebut umat manusia akan menyongsong masa depan yang gilang-gemilang, bebas penindasan, dan tentunya tidak ada konflik antara ras, agama, dan suku, sebab tidak ada lagi basis material apa pun untuk menopang penghidupan mereka. Sebagaimana argumen kaum Marxis bahwa ketika negara melenyap, maka dapat kita pastikan bahwa umat manusia telah sepenuhnya terdamaikan.

Ini adalah masa depan kita semua!

***

Referensi:

[1] Jonny R Kocu dan Guno Tri Tjahjoko, “Politik Identitas dalam Birokrasi di Kabupaten Maybrat” 2022. Diakses dari https://jurnal.apmd.ac.id/index.php/JIRReG/article/view/176/113, pada 1 September 2021.

[2] V. I. Lenin, “Political Report of the Central Comitee,” Extraordinary Seventh Congress of the Russian Comunist Party (Bolshvik), Marc 6-8,1910. Marxisist Internet Archive. http://www.marxit.org./archive/lenin/works/1918/7thcong/01.htm, pada 10 September 2022.

[3] Leon Trotsky, “90 Tahun Manifesto Komunis” 1937. Diakses dari https://www.marxists.org/indonesia/archive/trotsky/1937-90TahunManifestoKomunis.htm, pada 12 September 2022.

[4] V. I. Lenin, “Collected Works” Jilid 29, hal 421, Progres Publishers, Moskow 1964-1970. Diakses dari Pokok-Pokok Materialisme Historis, Doug Loraimer, Bintang Nusantara 2013 hal 235.

[5] Frederic Engels “Prinsip-Prinsip Komunisme”1847. Diakses dari https://www.marxists.org/indonesia/archive/marx-engels/1847/1847-PrinsipKomunisme.htm#:~:text=Pada%20tahun%201847%20Engels%20menulis%20dua%20draf%20program,%28Prinsip-prinsip%20Komunisme%29%20terbit%20pertama%20kali%20pada%20tahun%201914., pada 17 September 2022.

[6] Baca: https://bisnis.tempo.co/read/1612851/kondisi-global-dibayangi-risiko-imf-akan-pangkas-proyeksi-pertumbuhan-ekonomi diakses pada 17 September 2022

[7] V. I. Lenin “Revolusi Proletariat dan Kautsky si Penghianat” hal 42. PRIBUMI Publihing Yogyakarta 2019.

[8] Op. cit

[9] K. Marx dan F. Engels “Kritik terhadap Program Gotha” edisi Bahasa Inggris, Moskow, 1951. Vol 11, halaman 50. Diakses dari Negara dan Revolusi, V. Lenin, Antitesis 2016.

 

Pustaka:

Trotsky, Leon. Revolui yang Dikhianati. 1936. Bisa diakses di: https://www.marxists.org/indonesia/archive/trotsky/khianat/Pengantar2.htm

Loraimer, Goug. Pokok-Pokok Materialisme Historis. 2013. Bintang Nusantara: Yogyakarta.

V. I. Lenin. Negara. Red Book. 2018.

Partai Sosialis Demokratik. Feminisme dan Sosialisme. 2015. Bintang Nusantara: Yogyakarta.

Tharoor, Ishaan. The man who declared the ‘end of history’ fears for democracy’s future”. The Washington Post. 2017. Bisa diakses di: https://www.washingtonpost.com/news/worldviews/wp/2017/02/09/the-man-who-declared-the-end-of-history-fears-for-democracys-future/?noredirect=on&utm_term=.d501864d9492

V. I. Lenin. Negara dan Revolusi. Antitesis. 2016

Sharon Muller
Penulis adalah mahasiswa Papua yang sedang kuliah di Yogyakarta dan anggota Lingkar Studi Sosialis (LSI).

1 KOMENTAR

  1. Hore hormat! Orang perlu mengungkapkan bahwa teori paling populer adalah omong kosong; Jangan percaya teori karena beberapa orang lain atau negara lain percaya. Apa yang orang sebut komunisme, kapitalisme, globalisme, semuanya adalah omong kosong, semua ini dan lebih banyak lagi digunakan oleh para penjahat untuk menyamarkan pencurian dan penipuan oleh seorang elit yang bersembunyi di balik kata-kata sementara mereka bertindak untuk memberi manfaat bagi diri mereka sendiri dengan biaya publik. Kolonialisme dan pencurian memiliki banyak penyamaran, dan mereka tidak peduli dengan nilai-nilai manusia.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Kirim Donasi

Terbaru

Kapitalisme di Era Digital: Manusia, Ruang, dan Alat

Ide menulis tulisan ini, dimulai ketika beberapa waktu lalu...

Belajar Gerakan Kedaulatan Diri Owadaa dari Meeuwodide (Bagian 2)

Pada bagian pertama catatan ini sebelumya, saya mencoba untuk belajar pandangan konseptual tentang Owadaa. Selain itu, sisi teologis yang...

Belajar pada Njoto, Menuju Jurnalisme yang Mendidik Massa

Dalam deretan tokoh-tokoh jurnalistik di Indonesia, nama Njoto jarang terdengar. Kerap ketika berbicara mengenai sejarah jurnalisme di Indonesia, nama...

Empat Babak Sekuritisasi di Papua

Sejak dimulainya Operasi Tri Komando Rakyat (Trikora) oleh Presiden Soekarno pada 19 Desember 1961 banyak terjadi pelanggaran hak asasi...

Mambesak dan Gerakan Kebudayaan Papua Pascakolonial

Mambesak tidak sekadar grup musik Papua biasa. Selain sebagai pioner dengan mempopulerkan lagu-lagu daerah Papua yang kaya dan beragam,...

Rubrikasi

Konten TerkaitRELATED
Rekomendasi Bacaan