Melanesian Spearhead Group (MSG) masih dianggap sebagai panggung bagi perjuangan kemerdekaan Papua. Para faksi Papua merdeka berlomba-lomba memasukan proposal keanggotaan ke sana. Terutama sejak organisasi yang berdiri pada 1988 ini disepakati menjadi organisasi sub regional pada 23 Maret 2007. Dengan anggotanya adalah Papua Nugini (PNG), Fiji, Kepulauan Solomon, Front de Liberational the Nationale Kanak et Solcialiste (FLNKS) atau organisasi pembebasan Kanakin, dan Vanuatu.
Sebagai salah satu organisasi sub regional di Pasifik, MSG tidak hanya bertujuan untuk memajukan kerja sama ekonomi, sosial, dan budaya tetapi juga politik. Sejauh ini MSG telah membuktikan itu dengan membuka jalan bagi FLNKS untuk masuk kepada dewan perwalihan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk kemudian dilakukan jajak pendapat atau referendum kemerdekaan dari kolonial Perancis.
Pada tahun 2007, untuk menyikapi dinamika Pasifik dan MSG, para pejuang kemerdekaan Papua bertemu di Vanuatu dan menyepakati satu perahu politik yakni West Papua National Coalition Liberation (WPNCL). WPNCL bergerak dan mengikuti angin politik di Pasifik terutama MSG dan Pacific Island Forum (PIF). Untuk sesaat, sebelum akhirnya koalisi Papua kembali cair di dalam negeri (West Papua) dengan meninggalkan beberapa individu dan organisasi yang berkomitmen pada WPNCL.
Dinamika pergerakan Papua terus terjadi, terutama menjelang menguatnya pertemuan MSG pada tahun 2013. Gerakan Papua merdeka mengejutkan sekretariat MSG dengan mendaftarkan tiga aplikasi keanggotaan dengan tujuan politik yang sama. Tiga aplikasi itu kemudian ditolak sekretariat MSG. Vanuatu sebagai negara utama pendukung Papua merdeka bersama organisasi sipil internasional kemudian mendorong rekonsiliasi ketiga faksi ini.
Puncak rekonsiliasi adalah persatuan ketiga faksi di Saralana, Port Villa, Vanuatu, pada Desember 2014. Setelah bebera hari pertemuan dan pembahasan ketat, akhirnya pada 6 Desember secara simbolis pemerintah dan warga sipil Vanuatu menyaksiakan kesepakatan damai berlandaskan adat dan agama. Tiga ekor babi dibunuh sebagai simbolis untuk menegaskan komitmen damai ketiga faksi itu.
ULMWP yang dilahirkan pada peristiwa sakral ini kemudian mendapatkan dukungan luas di awal kemunculannya itu. Terutama dukungan luas akar rumput dan berbagai organisasi sosial di hampir seluruh negara-negara Melanesia. Namun pada tahun 2016, bersama Timor Leste, ULMWP gagal merubah status menjadi anggota penuh (full member) dan hanya mendapatkan status sebagai anggota peninjau (observer) di MSG.
Status keanggotaan di MSG yang kian tidak jelas ikut menggoyangkan komitmen persatuan dalam tubuh ULMWP. Persatuan yang sejak awal terbaca sebagai kondisi “keterpaksaan” itu kemudian kembali memanas. Setelah beberapa keputusan dan kesepakatan tidak didapati. Ada beberapa ide dan rancangan tentang masa depan ULMWP yang terpaksa dilakukan.
Sejak awal terbaca, perebutan posisi Sekretaris Jenderal (Sekjen), sistem pemilihan bergilir yang dinilai tidak efektif, sebagian menganggap badan koordinatif dengan kepemimpinan Sekjen, Juru Bicara, dan anggota-anggota yang diwakilkan lima orang diplomat tidak tepat, sehingga tahun 2020 beberapa pemimpin ULMWP “mengakali” menjadi sistem yang lebih rumit, yaitu, pemerintahan sementara. Beny Wenda didaulat sebagai Presiden Sementara, diikuti Edison Waromi sebagai Perdana Mentri, dan Buctar Tabuni sebagai Ketua Dewan West Papua. Kemudian strukturnya diisi oleh para pendukung gagasan ini. Bentuk ini dinilai mencederai semangat awal persatuan tiga faksi itu.
Pemerintahan sementara ULMWP oleh sebagian orang adalah sebuah ironi dari “keegoisan”. Terutama karena sejak awal NRFPB-lah yang dideklarasikan secara berani di dalam negeri (West Papua) dengan menghadiri 20.000 orang dan dipertanggungjawabkan oleh para deklaratornya di penjara. Bentuk Pemerintahan Sementara telah mengurangi semangat juang banyak pejuang lainnya yang lebih mempercayai wadah koordinatif yang demokratis.
Sehingga tidak sedikit pejuang dan organisasi yang jauh lebih kecil, namun mayoritas di Papua memilih terus mengkritik perubahan-perubahan status ULMWP. Puncaknya pada aksi rasisme 2019, hingga pembentukan Petisi Rakyat Papua (PRP) 2021 oleh sekitar 122 organisasi. PRP di gagas oleh para pejuang yang berada dalam tubuh ULMWP sendiri seperti, Victor Yeimo, Samuel Awom, Markus Haluk, dan organisasi-organisasi sektoral lainnya dengan mendapat dukungan luas pemuda dan mahasiswa Papua. PRP dibentuk sebagai organisasi taktis karena ULMWP gagal merespon rencana pengesahan Otonomi Khusus Jilid (Otsus) II dan Pembentukan Daerah Otonomi Baru (DOB) oleh Indonesia.
Dalam perjalanannya, dengan momentum politik tepat PRP mendapatkan dukungan luas dan mengambil sikap oposisi pada tiap keputusan dan perubahan ULMWP. Sikap bertolak belakang kedua kelompok ini kemudian berdampak negatif pada basis massa rakyat Papua hari ini. Dan yang terbaru adalah seruan Juru Bicara Nasional PRP, Jefry Wenda yang mengklaim PRP dapat mengambil alih perlawanan di dalam negeri jika ULMWP menolak beberapa tuntutan.
Pertarungan Terakhir ULMWP
Awal Maret 2023, menjelang pelaksanaan Melanesian Spearhead Group (MSG), nama ULMWP kembali dibincangkan di berbagai surat kabar lokal dan nasional. Media menyorot beberapa kunjungan informal Beny Wenda dengan beberapa petinggi negara anggota MSG yang di fasilitasi oleh Pemerintah Vanuatu dan NGO Internasional di sana.
Paling mengejutkan adalah perjumpaan Beny Wenda dengan Sitiveni Rabuka, Perdana Mentri Fiji pada 2 Maret 2023. Pertemuan tersebut ramai dibicarakan terutama karena Fiji dinilai selama ini sebagai negara pro Indonesia di MSG. Melalui nota diplomatiknya Indonesia mengkritik sikap negara itu. Terutama cuitan Perdana Menteri Fiji tersebut di akun media sosial miliknya yang mengatakan “Ya, kami akan mendukung mereka (ULMWP) karena mereka adalah orang-orang Melanesia. Saya lebih berharap bahwa (ULMWP menjadi anggota penuh MSG). Saya tidak memanfaatkan ini. Dinamika mungkin berubah sedikit tetapi prinsip tetap sama.”
Pernyataan politik yang keluar tersebut tentu saja tidak mengikat dan ambigu. Terutama karena pertemuan tersebut terjadi berdasarkan upaya yang dilakukan pemerintah Vanuatu dan berbagai organisasi sipil di sana tidak benar-benar karena keinginan Fiji sebagaimana semangatnya sebagai saudara Melanesia (Melanesian brotherhood). Fiji, Papua Nugini, dan Kepulauan Solomon adalah tiga negara MSG yang masih sangat diragukan komitmen politiknya soal Papua, terutama dalam pengambilan keputusan keanggotaan penuh ULMWP sejak 2016 silam.
Sehingga banyak yang masih percaya bahwa ULMWP akan mungkin kembali “gigit jari” di MSG tahun 2023. Terutama dengan melihat keunggulan diplomasi Indonesia yang selangkah lebih maju. Di mana sejak 2011 Indonesia telah mendapatkan status peninjau (observer). Kemudian setelah kehadiran ULMWP sejak 2014 sebagai representatif dari perjuangan kemerdekaan Papua dengan mendapatkan dukungan luas di awalnya. Indonesia kembali melakukan manuver dengan mendesain Melanesia Indonesia (Melindo) yang meliputi Provinsi Papua, Maluku, dan Nusa Tenggara Timur (NTT). Dengan klaim sebagai komunitas Melanesia terbesar di Pasifik bahkan lebih besar dari negara anggota MSG itu sendiri.
Diplomasi Indonesia dilakukan dengan berbagai cara terutama untuk mendekatkan negara-negara Melanesia dengan Indonesia secara politik, ekonomi, dan budaya. Sejak 2016 juga berbagai pelatihan bersama antara Indonesia dan MSG terus ditingkatkan, mulai dari kegiatan, penanggulangan bencana, bahkan Indonesia adalah negara utama dalam berbagai bantuan kemanusian di negara pendukung Papua merdeka seperti Vanuatu sekalipun.
Selain karena kepentingan ekspansi kapitalisme Indonesia, juga Indonesia bertekat menguburkan mimpi Papua melalui ULMWP di MSG dan PIF. Terutama ketika melihat peluang Papua sebagaimana FLNKS yang diakui internasional dan di bawah Dewan Perwalian PBB dan siap dimerdekakan dari kolonial Perancis.
Di sini dapat kita baca berbagai dimensi politik di Pasifik dan MSG secara khusus. Faktor-faktor yang mesti dipahami dari keragu-raguan saudara Melanesia kita adalah, intervensi kapitalisme yang besar ke Pasifik termasuk MSG secara khusus. Terutama terdapat beberapa negara adikuasa yang juga secara diplomatik dekat dengan Indonesia seperti Cina, Amerika, Inggris, Jepang, hingga Australia. Selain karena tekanan dan ancaman yang mungkin saja terjadi, isu Papua menjadi keuntungan bagi negara-negara Melanesia ini. Sehingga persaudaraan budaya kita tersendat pada kekuasaan ekonomi dan politik untuk saat ini.
Juga, tidak sulit bagi Indonesia melihat kondisi pergerakan Papua hari ini. Karena sudah bukan rahasia bahwa ULMWP sudah tercerai-berai. Perpecahan dalam tubuh ULMWP bahkan dirasakan beberapa bulan setelah deklarasi di Saralana, Port Villa, Vanuatu pada 2014 silam. Sehingga perang diplomasi ULMWP di MSG tahun 2023 ini diharapkan menjadi “perang politik” terakhir. Dan tidak membuang-buang energi dan waktu secara percuma, karena terbaca memelihara perpecahan, ULMWP sebaik-baiknya diharapkan kembali jadi rumah bersama yang demokratis, untuk menggalang persatuan rakyat Papua di dalam dan luar negeri.
Salam. Papua Pasti Merdeka!
***