Analisa Harian Sekali Lagi, Tentang Kolonialisme Indonesia di Papua

Sekali Lagi, Tentang Kolonialisme Indonesia di Papua

-

Dalam dua tahun belakangan, dunia olahraga dan politik di Amerika Serikat (AS) dihebohkan dengan aksi protes yang dilakukan oleh para atlet yang dilakukan di sejumlah cabang olahraga, terutama American football. Salah satu pencetusnya adalah Colin Kaepernick, pemain quarterback keturunan Afrika-Amerika di National Football League – pada saat itu masih tergabung di dalam tim San Francisco 49ers. Di sekitaran Agustus 2016, ketika lagu kebangsaan AS, The Star-Spangled Banner, berkumandang, Kaepernick memilih untuk duduk alih-alih berdiri dengan sikap sempurna. Di sesi-sesi pertandingan berikutnya, Kaepernick memilih untuk berlutut. Alasannya, “saya tidak akan berdiri untuk menunjukkan kebanggaan saya kepada bendera dari sebuah negara yang menindas orang-orang kulit hitam dan berwarna.” Aksi protes Kaepernick mendapat kecaman dan kritikan keras, namun, tidak sedikit yang mendukungnya, termasuk para atlet di cabang olahraga lain. Selanjutnya, sudah bisa diduga: Kaepernick ‘tereksilkan’ dari liga NFL, terlepas dari performanya yang fantastis. Di tengah iklim politik AS yang semakin sektarian belakangan ini, tak heran apabila aksi serupa – berlutut ketika lagu kebangsaan dinyanyikan sebagai aksi protes terhadap kesenjangan ekonomi dan diskriminasi rasial – masih berlangsung hingga detik ini. Apa yang dilakukan oleh Kaepernick juga tidak benar-benar baru – sebelumnya, ada sejumlah atlet yang melakukan aksi protes ketika The Star-Spangled Banner dinyanyikan.

Spesifisitas dari persoalan tersebut boleh jadi hanya relevan di konteks AS, tetapi pokok permasalahannya – soal diskriminasi identitas dan persoalan pembebasan nasional – beresonansi di berbagai belahan dunia lain, termasuk Indonesia. Membahas dua permasalahan tersebut bisa jadi terdengar seperti mendengar topik-topik sisa-sisa atau leftover dari trauma kolonialisme dan dekolonisasi beberapa dekade yang lampau, tetapi melihat perkembangan dunia dan Indonesia akhir-akhir ini, boleh jadi persoalan diskriminasi dan pembebasan nasional tidak pernah benar-benar meninggalkan kita. Rentetan aksi diskriminasi dan main hakim sendiri kepada kawan-kawan mahasiswa Papua yang dilakukan di Surabaya dan Malang adalah sebagian gejala dari persoalan besar yang belum benar-benar terselesaikan tersebut. Dan kita tahu apa yang terjadi ketika sentimen ultranasionalis bersenyawa dengan kekuasaan negara.

Pengetahuan publik – terutama kita yang tinggal di Jawa – memang sangat minim tentang Papua. Ditambah indoktrinasi berpuluh-puluh tahun yang menggarisbawahi bahwa ‘Papua itu (punya) kita.’ Tetapi fakta adalah fakta. Faktanya, bukan kali ini saja represi atas hak untuk membicarakan masa depan Papua oleh kawan-kawan muda Papua secara damai terjadi – sebelumnya ini juga pernah terjadi. Baik secara pelan-pelan dan vulgar, perampasan tanah dan ruang hidup di Papua juga dilakukan oleh kapital dan negara, bahkan dengan dalih menyediakan lumbung pertanian buat warga negara – tentunya, sembari membiarkan orang Papua pelan-pelan tewas terampas hak dan penghidupannya di tanahnya sendiri. Ini belum membahas ekses-ekses dari kapitalisme ekstraktif di tengah-tengah kondisi kolonialisme baru yang terjadi di tanah Papua yang hanya menguntungkan segelintir elit. Akarnya tentu saja adalah kondisi poskolonial dan struktural yang tidak memungkinkan adanya perbincangan yang bebas mengenai masa depan Papua. Imbasnya, Papua menjadi koloni Indonesia, di mana rakyat Papua sehari-harinya mengalami diskriminasi secara massif di tanah airnya sendiri dan para pejuang hak-hanya dikriminalisasi. ‘Seakan kitorang setengah binatang,’ kata Filep Karma.

Dalam hal ini, ada paralel antara apa yang dilakukan oleh Kaepernick dan sejumlah atlet lain dengan upaya-upaya yang dilakukan oleh kawan-kawan muda Papua, pegiat perjuangan Papua, dan rakyat Papua pada umumnya: dengan ‘membongkar’ dan menantang tatanan keseharian – entah melalui aksi protes maupun sesi diskusi dan nonton bareng – dua-duanya merupakan cara untuk mendobrak batas-batas percakapan yang selama ini ada dan membuka diskusi tentang kemungkinan-kemungkinan baru – termasuk pembebasan nasional – bagi subjek-subjek politis yang selama ini terpinggirkan dan tertindas – orang-orang kulit berwarna di AS dan Indonesia. Ada paralel pula antara kondisi AS – dimana diskriminasi, kekerasan, dan kesenjangan yang dialami oleh warga Afrika-Amerika berlanjut dan sektarianisme semakin mengemuka di bawah rezim Trump – dengan kondisi Indonesia, sebuah bangsa berkulit coklat yang dengan bangganya di kemudian hari menindas bangsa berkulit coklat lain di Aceh, Timor Leste, dan Papua.

Abad dan dekade boleh saja berganti – terakhir saya mengecek kalender, kita telah berada di paruh kedua tahun 2018 – tetapi persoalan-persoalan lama termasuk bentuk-bentuk rasisme, persekusi, dan kolonialisme baru rupanya tetap terulang kembali – genosida terhadap orang-orang Rohingya di Myanmarkebijakan apartheid pemerintah Israel atas orang-orang Palestinapersekusi atas orang-orang Uyghur dengan dalih konter-terorisme oleh pemerintah Tiongkok, hingga kolonialisme Indonesia di Papua. Dengan begitu, maka tidak ada bedanya kita dengan kolonialisme dan imperialisme yang sering kita salahkan itu (yang hanya akan mungkin terjadi karena kolaborasi dengan elit-elit dan komprador-komprador lokal). Tak usahlah kita berbicara tentang Freeport, kalau ujung-ujungnya sebagian besar keuntungan dan nilai lebihnya lari untuk menguntungkan para elit borjuasi nasional (yang mengatasnamakan ‘kepentingan nasional’), mengokohkan kapitalisme negara, dan ujungnya-ujungnya membuat rakyat Papua merenggang nyawa. ‘NKRI harga mati’? Saya takut, jangan-jangan lebih tepatnya ‘NKRI bikin mati’?

Persis di titik ini ada dua pilihan: antara kita tetap diam dan dengan demikian melanggengkan persoalan kronis yang ada, atau kita memilih untuk bersolidaritas, bahkan di tengah segala keterbatasan kita. Saya pikir pilihannya jelas. Bahkan untuk seorang nasionalis sekalipun, adalah hal yang sangat masuk akal untuk bersolidaritas dengan upaya-upaya perjuangan kesetaraan hak dan pembebasan nasional di abad ke-21 ini. Dalam tulisannya tentang aksi ‘protes berlutut’ Kaepernick yang berani dan kontroversial itu, sosiolog Michael Eric Dyson dari Georgetown University menulis, ‘apa yang luput dari pengamatan para pengkritik adalah Kaepernick adalah contoh warga Amerika terbaik: ia yang berani mengkritik negaranya karena ia begitu mencintainya. Kaepernick bukanlah seorang pengkhianat; sebaliknya, ia patriot sejati.’ Dengan kata lain, seorang patriot sejati adalah mereka yang berani mengkritik masyarakatnya ketika masyarakatnya melakukan kesalahan. Dalam konteks Indonesia, seorang patriot sejati adalah mereka yang berani berbicara mengenai imbas dari kapitalisme, fasisme, dan militerisme. Yang berani mengatakan bahwa Sang Kaisar yang telanjang bulat memang betul-betul telanjang, bukannya berpura-pura memujinya. Yang berani mengakui bahwa ada aspirasi pembebasan nasional yang nyata alih-alih ‘ancaman separatisme’. Yang berani mengakui bahwa kita telah menjajah.

Bagaikan Daud melawan Goliat, bersolidaritas melawan kekuatan yang begitu besar memang tidak mudah, namun bukan berarti tidak ada contoh-contoh yang bisa kita tiru. Brigade Internasional yang berisi milisi-milisi asing yang pro kepada pihak Republik dalam perang melawan ofensif fasis Francois di Spanyol di masa Perang Sipil adalah salah satu contohnya. Di zaman now, ada gerakan Boycott, Divestment, and Sanction (BDS) yang menggalang upaya boikot, divestasi, dan sanksi terhadap rezim apartheid Israel. Bahkan, protes ‘kecil-kecilan’ Kaepernick berhasil menggalang dukungan, donasi, dan solidaritas yang lebih luas, menginspirasi atlet-atlet lainnya untuk melakukan aksi serupa, dan membuka kembali percakapan tentang hubungan rasial di AS. Dengan demikian, tugas bagi kita yang ingin bersolidaritas selanjutnya adalah berjuang bersama untuk mendorong ruang-ruang perdebatan dan diskusi yang lebih luas mengenai masa depan Papua – masa depan yang bebas dari segala bentuk penjajahan.

Diskusi tersebut juga penting untuk dilakukan untuk melampaui keterbatasan-keterbatasan proyek pembebasan nasional yang telah ada selama ini. Pengalaman perjuangan pembebasan nasional Indonesia sendiri telah menunjukkan bagaimana ekses di masa Revolusi Fisik justru memakan korban warga sipil Belanda dan Eurasia karena kekerasan yang dilakukan oleh para ‘pejuang kemerdekaan’ Republik di waktu itu. Di belahan dunia lain, jauh di Afrika, eksperimen sosialis Ujamaa di Tanzania yang dipimpin oleh Julius Nyerere, sang negarawan jujur itu, berakhir awur-awuran, menambah daftar panjang apa yang disebut oleh kawan saya, Gus Azka, sebagai ‘sosialisme rombengan.’ Tantangan bagi gerakan pembebasan nasional Papua dan siapa saja yang mendambakan masa depan yang lebih baik di tanah Papua adalah bagaimana untuk tidak mengulangi kesalahan-kesalahan tersebut. Untuk segera mencapai dan mewujudkan ‘Jalan Kurdi’ yang meradikalkan visi pembebasan nasional menjadi visi konstruksi tatanan sosialis libertarian yang feminis bagi semua warga mungkin memang terlalu berat, tetapi gerakan pembebasan nasional Papua tidak perlu lagi mengulangi kesalahan-kesalahan yang dilakukan para pejuang republik di masa perjuangan kemerdekaan Indonesia.

Untuk memulai diskusi-diskusi tersebut dan memantik perdebatan yang lebih jauh, izinkan saya menutup artikel ini dengan sebuah pertanyaan: apakah kita, Indonesia, telah menjadi penjajah baru di Papua? Kita perlu berkaca dan menanyakan pertanyaan itu secara sungguh-sungguh – sebuah pertanyaan yang tidak kalah penting dibandingkan gegap gempita Asian Games dan perdebatan soal pemilu 2019.

***

Catatan: tulisan ini awalnya diterbitkan di indoprogress.com pada 4 September 2018. Diterbitkan kembali disini untuk tujuan pendidikan dan propaganda di Papua.

Iqra Anugrah
Penulis adalah editor indoprogress.com dan peneliti International Institute for Asian Studies (IIAS) di Universitas Leinden, Belanda.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Kirim Donasi

Terbaru

Rosa Moiwend dan Kesalahan Teori Patriarki

Rosa Moiwend, salah satu kamerad kita di Papua menulis...

Ekofeminisme dan Hubungan Antara Perempuan dengan Hutan Sagu

Sebuah pandangan mengenai hubungan antara perempuan dengan hutan sagu di Kampung Yoboi, Sentani dan bagaimana mengujinya dengan perspektif ekofeminisme. Sagu...

Ancaman Pembangunan Terhadap Lahan Berkebun Mama Mee di Kota Jayapura

"Ini kodo tai koo teakeitipeko iniyaka yokaido nota tenaipigai, tekoda maiya beu, nota tinimaipigai kodokoyoka, tai kodo to nekeitai...

Memahami Perempuan (Papua) dari Tiga Buku Nawal El Saadawi

Sebuah ringkasan secara umum Pengantar Isu feminisme di Papua pada umumnya masih banyak menuai pro dan kontra. Itu bisa kita temukan...

Apabila Prabowo jadi Presiden

Selalu ada jejak yang ditinggalkan saat diskusi walau diskusinya bebas, pasti ada dialektikanya. Walau seminggu lebih sudah berlalu, namun ada...

Rubrikasi

Konten TerkaitRELATED
Rekomendasi Bacaan