Analisa Harian Kebingungan Sem Karoba

Kebingungan Sem Karoba

-

Sudah jadi rahasia umum bahwa otak dibalik perubahan United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) menjadi status trias politica yaitu Pemerintahan Sementara adalah Sem Karoba dan Benny Wenda. Perubahan ini mereka paksankan agar dengan muda menerapkan sistem Demokrasi Kesuskuan (Demsuk) yang digagasnya dalam Pemerintahan Sementara ULMWP. Kemudian, yang tampil di depan layar seperti Buctar Tabuni, Erik Walewa, Bazoka Logo, Oridek Ap, Simeon Sorabut, Alen Halitopo dan Ice Murib hanya pelaksana ide yang bergerak tanpa menggunakan nalar kritis, seperti mesin waktu.

Dalam merespon tulisan saya tentang Menolak Sosialis Tetapi Andalkan Jejaring Sosialis, Sem Karoba bersembunyi di belakang Erik Walela sebagai pionnya. Dan dalam ruang ini juga saya akan kuliti satu persatu kebingungan Sem Karoba yang dinampakan.

Kebingungan pikiran melahirkan kekacauan tindakan. Kebingungan pikiran tersebut tampil dalam sebuah tulisan Sem Karoba yang muncul dengan mengatasnamakan Erik Walela dalam akun facebook-nya. Tulisannya berjudul Ideologi Politik Sosialis ala Marxisme Berbeda dari Partai Buruh dan Sosialisme Melanesia. Tulisan yang tampak dengan pemaparan yang tidak utuh bak plastik robek yang tergeletak di tempat sampah. Tidak menjelaskan apa-apa. Kebingungan itulah yang barangkali bikin ULMWP tak karuan beberapa tahun terakhir.

Tulisan tersebut ditujukan untuk menanggapi postingan saya berjudul Membongkar Aib Kehancuran ULMWP yang membongkar watak sesungguhnya kaum oportunis seperti Sem Karoba dan Benny Wenda yang tidak punya gairah terhadap gagasan sosialisme. Sikap tersebut punya ujung, anti terhadap organisasi pergerakan yang sedikit banyak terinspirasi oleh gagasan-gagasan sosialisme seperti AMP, KNPB, Garda-P, GempaR-PB, GPRP, dan gerakan-gerakan lain di Papua. Sem Karoba dan Benny Wenda anti terhadap pergerakan dalam negeri tetapi berlindung di bawah bendera negara-negara sosialisme di luar negeri.

Alih-alih menjawab kritik terhadap sikap politik tutup telinga ke dalam dan buka tangan keluar Benny Wenda dan kroninya melalui akun facebook Erik Walela justru hanya membeda-bedakan pemahaman tentang Sosialisme-Marxisme, Partai Buruh Inggris, dan Sosialisme Melanesia. Tulisan gagap yang ditulis dari hasil pencarian definisi-definisi di Wikipedia atau Google. Catatan-catatan sudah pasti akan memberikan jawaban yang berbeda-beda.

Marxisme merupakan sebuah filsafat yang pokok-pokok pikirannya mampu mengguncang dunia. Dengan pisau analisisnya yang mempu membedah dan memberikan alasan ilmiah di balik penindasan dalam tatanan masyarakat tertentu, serta memberikan alternatif terhadapnya. Marxisme mampu menjawab alasan logis dibalik penindasan di West Papua, kebudayaan masyarakat komunal seperti yang masih terlihat di masyarakat melanesia, hingga persoalan imperialisme, dan penjajahan negeri-negeri terbelakang, beserta jalan keluar di belakangnya.

Dengan kemampuan marxisme yang kupas realita masyarakat hingga kontradiksi pokok dalam masyarakat membuat kaum penguasa putar otak untuk menghentikan perkembangannya. Baik dengan kekerasan maupun non kekerasan. Di Indonesia ada peristiwa pembantaian 1965 yang membantai jutaan anggota Partai Komunis Indonesia (PKI). Peristiwa pemusnahan terhadap sebuah ideologi politik dan kebudayaan secara legal oleh rezim otoriter Soeharto, digantikan dengan watak penguasa yang anti demokrasi, rakyat dipaksa harus ikut saja, dan anti mobilisasi. Penguasa menyebar berbagai pemahaman yang kontra terhadapnya ke berbagai ruang.

Di Papua perdebatan ideologis belum tumbuh tajam. Walaupun beberapa di antaranya mencoba menyudutkan marxisme ataupun sosialisme. Misalnya kegagapan yang muncul dalam paragraf-paragraf Sem Karoba yang gagap.

Pertama, mulai dari kalimat pertama dalam paragraf tersebut “teori marxisme sosialisme” sudah seperti benang jahit yang talingkar. Sulit dipahami teori Marxisme-Sosialisme itu apa? Sosialisme merupakan antitesis yang muncul dari analisa menggunakan Marxisme terhadap tatanan masyarakat kapitalisme. Sosialisme merupakan sebuah tahapan dalam rangka menyiapkan syarat-syarat untuk mendorong lahirnya masyarakat komunal modern atau masyarakat tanpa kelas, seperti pada tahap awal masyarakat komunal klasik.

Kedua, kita bisa lihat kalimat ini “ada perbedaan mendasar, di sini Lenin menolak ide tantang agama, karena agama dianggap sebagai alat kapitalisme”. Ini memisahkan Marxisme dan Leninisme dari analisa masyarakat secara keseluruhan di Rusia dan menstigmanya secara brutal sebagai paham anti agama. Marxisme Leninisme merupakan perspektif politik yang lahir dari analisa perkembangan masyarakat, analisa dalam basis struktur (kontradiksi dalam masyarakat) dan suprastruktur (kebudayaan—moralitas, nilai-nilai, dan agama) sebagai stratak dalam menumbangkan tatanan masyarakat kapitalisme.

Marxime dan Leninisme di berbagai tempat selalu tampil dengan bentuk yang berbeda-beda dengan berbagai macam taktik. Di daratan Tiongkok, Marxisme dan Leninisme lahir dalam model Maoisme, di Timor Leste berkembang dan muncul ideologi politik Maubereisme, atau Fokoisme di Kuba. Perbedaan tersebut muncul berdasarkan analisa terhadap masyarakat kelas dan kebudayaan yang lahir di suatu negeri sebagai suprastruktur.

Ketiga, kegagapan berikutnya adalah membicarakan pemusnahan agama dan masyarakat tanpa kelas. Faktanya, Lenin justru memberikan kebebasan bagi berbasgai macam keyakinan, tanpa campur tangan politik negara pasca Revolusi Oktober 1917 di Rusia. Dalam hal ini Lenin menegaskan bahwa “agama harus dinyatakan sebagai urusan pribadi”. Bagi Lenin agama akan hilang dengan sendirinya ketika syarat-syarat yang melahirkannya hilang. Sungguh pembodohan yang memalukan jika menuduh Vladimir Lenin menolak agama.

Keempat, membicarakan program-program politik yang didorong oleh Partai Buruh di Inggris. Sem Karoba ini seperti anak bayi yang tidak punya nalar bahwa, jika seseorang ingin pergi dari Inggris menuju Vanuatu, dia harus naik pesawat. Pesawat itulah program-program taktis (demokrasi, upah layak, dan hak-hak sosial), seperti yang didorong Partai Buruh menuju suatu tatanan yang lebih jauh.

Kelima, Sem Karoba juga tidak paham bahwa suprastruktur adalah bangunan atas atau kesadaran/kebudayaan yang lahir dalam suatu tatanan masyarakat. Masyarakat komunal melanesia miliki kebudayaannya sendiri, begitu pun dalam tatanan masyarakat kapitalisme. Sosialisme memiliki kebudayaan dan nilai-nilainya sendiri sebagai anti kapitalisme.

Nilai-nilai Sosialisme itulah yang disesuaikan oleh Walter Lini dalam rangka membangun Sosialisme Melanesia, dikarenakan sesuai dengan budaya orang melanesia seperti Gustavo Guiterez yang membangun Teologi Pembebasan di Amerika Latin, karena agama dan marxisme sangat relevan untuk disatukan. Begitu juga budaya dan adat istiadat orang melanesia yang sesuai dengan kebudayaan masyarakat sosialis yang sedang dikembangkan di Vanuatu dan Kanaky.

Sampai di sini kita bisa melihat kebingungan pikiran Sem Karoba yang di posting facebook Erik Walela, yang ingin membenarkan politik telinga tuli mereka ke dalam dan buka tangan ke luar. Postingan gagap yang justru terlihat seperti seorang balita yang sedang membeda-bedakan warna-warni daun kangkung, padahal dipetik dari pohon yang sama.

Berbagai macam pergerakan tentu saja memiliki berbagai macam model, sesuai dengan hasil analisa terhadap kondisi suatu negeri. Marxisme tentu saja dibutuhkan sebagai pisau analisa dalam mengupas kondisi subjektif dan objektif rakyat Papua yang dililit oleh penindasan kolonialisme Indonesia maupun tatanan kapitalisme. Menganalisa apakah Demokrasi Kesukuan relevan atau tidak dalam mendorong proses pembangunan Papua sebagai bangsa. Apakah Demokrasi Kesukuan telah lurus memajukan pergerakan nasional dalam menuntut kemerdekaan? Apa tawaran dari Demokrasi Kesukuan terhadap realita hari ini? Apakah mengurung diri dan menutup pintu persatuan? Apakah mengemis perhatian dari negara barat lewat Green State Vision yang isinya kosong? Apakah menghayal jabatan dalam kabinet negara mimpi? Inilah perlu diluruskan, dalam rangka membangun sebuah alternatif perlawanan terhadap kekuasaan kolonialisme dan kapitalisme. Bukan menganalisa kulit luar dari nama-nama berbagai paham tanpa mengetahui isi dari paham tersebut.

Kekeliruan besar muncul ketika Demokrasi Kesukuan diklaim sebagai turunan dari Sosialisme Melanesia sebab Sosialisme selalu membutuhkan demokrasi agar tetap hidup. Jika demokrasi kesukuan adalah turunan dari Sosialisme Melanesia, maka para tokoh yang membicarakan Demokrasi Kesukuan dalam ULMWP adalah penyakit yang merusak ideologi yang mereka perjuangkan.

Holandia, 7 Maret 2023

***

Jefry Wenda
Penulis adalah Juru Bicara Nasional Petisi Rakyat Papua (PRP).

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Kirim Donasi

Terbaru

LBH Papua: Pemerintah dan Komnas HAM Melanggar Hak Buruh Moker PT. Freeport

Siaran Pers Pemerintah dan Komnas HAM Republik Indonesia Turut Melanggar...

May Day 2024: Mari Bikin Barisan Revolusioner di Papua!

Nampaknya 1 Mei yang diperingati di seluruh dunia sebagai Hari Buruh Internasional tidak begitu popular di Papua. Kebangkitan perlawanan...

Rekonstruksi Identitas Orang Papua Melalui Perubahan Nama Tempat

Irian berubah menjadi Irian. Masyarakat Papua atau orang-orang yang memiliki perhatian terhadap perkembangan Papua pasti bisa membedakan kedua Irian...

Rosa Moiwend dan Kesalahan Teori Patriarki

Rosa Moiwend, salah satu kamerad kita di Papua menulis di media Lao-Lao Papua pada 9 Juni 2023, bahwa gerakan...

Ekofeminisme dan Hubungan Antara Perempuan dengan Hutan Sagu

Sebuah pandangan mengenai hubungan antara perempuan dengan hutan sagu di Kampung Yoboi, Sentani dan bagaimana mengujinya dengan perspektif ekofeminisme. Sagu...

Rubrikasi

Konten TerkaitRELATED
Rekomendasi Bacaan