Analisa Harian Ini Kata Ahli Pidana Amira Paripurna, S.H. LLM, PhD...

Ini Kata Ahli Pidana Amira Paripurna, S.H. LLM, PhD Tentang Makar

-

Ahli Pidana Amira Paripurna, S.H, LLM, PhD 

Keterangan ahli diberikan untuk pembelaan kepada Viktor Yeimo, 28 Maret 2023

 

  1. Ahli mengajar dimana dan menjabat sebagai apa?

Mengajar di Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Bagian Pidana; Ketua Program Studi S1  Fakultas Hukum; Peneliti Pusat Studi HAM Fakultas Hukum

  1. Kompetensi ahli dibidang hukum apa?

Ahli mengajar mata kuliah Hukum Pidana, Hukum Pidana Politik, Kriminologi dan Viktimologi; Riset yang didalami Terorisme dan Kejahatan Keamanan Negara, Policing Counterterrorism, Hukum Pidana dan HAM Internasional

  1. Apakah ahli pernah mempunyai tulisan tentang makar, secara spesifik tentang Papua?

Riset dan tulisan ahli yang telah dipublikasikan baik nasional dan internasional berkaitan dengan terorisme, sistem peradilan pidana dan hak asasi manusia

  1. Apakah ahli pernah dimintai sebagai ahli di Peradilan?

Pernah, misalnya keterangan ahli di PN Banyuwangi dalam kasus “kriminalisasi aktivis” Budi Pego; Keterangan ahli di kepolisian resort Samarinda untuk kasus kekerasan seksual dosen-mahasiswa

  1. Apakah ahli pernah memberi keterangan di pengadilan berkaitan dengan kasus makar di Papua?

Belum pernah

  1. Bagaimana sebuah Tindakan dapat dikategorikan sebagai tindak pidana? Sebelum menjawabnya perlu dijelaskan apa itu tindak pidana dalam ranah hukum pidana? Tindak pidana dalam Bahasa Latin Delict yaitu delictum (delik) atau dalam bahasa Belanda disebut strafbaar, atau dalam Bahasa Inggris adalah offences.Ada beberapa pengertian tindak pidana menurut Ahli Hukum, misalnya:
  • Van Hammel strafbaar feit adalah kelakuan orang (menselijke gedraging) yang dirumuskan dalam wet, yang bersifat melawan hukum, yang patut di pidana (straaf waardig) dan dilakukan dengan kesalahan
  • Simons mengartikan delict sebagai suatu tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak sengaja oleh seseorang yang tindakannya tersebut dapat dipertanggungjawabkan dan oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum
  • Moeljatno mengartikan perbuatan pidana yaitu sebagai perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum disertai ancaman (sanksi) berupa pidana tertentu, bagi barangsiapa yang melanggar larangan tersebut.

Suatu tindakan yang dapat dikatakan sebagai tindak pidana apabila unsur unsur yang mendukung dan syarat syarat tindak pidana tersebut terpenuhi. Unsur tindak pidana sendiri terdiri dari unsur objektif dan unsur subjektif. Unsur subjektif adalah unsur-unsur yang melekat pada diri si pelaku, dan termasuk kedalamnya yaitu segala sesuatu yang terkandung didalam hatinya. Sedangkan unsur objektif adalah unsur-unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan yaitu didalam keadaan-keadaan mana tindakan-tindakan dari si pelaku itu harus dilakukan.

  • Untuk dapat dikatakan sebagai tindak pidana, maka harus memenuhi unsur-unsur sebagai berikut: a. Perbuatan manusia (baik dalam arti perbuatan positif (berbuat) maupun perbuatan negatif (tidak berbuat); b. Diancam dengan pidana; c. Melawan hukum; d. Dilakukan dengan kesalahan; dan e. Oleh orang yang mampu bertanggungjawab.[1]
  • Tindak pidana menunjuk kepada dilarang dan diancamnya perbuatan itu dengan suatu pidana, kemudian apakah orang yang melakukan perbuatan itu juga dijatuhi pidana sebagaimana telah diancamkan akan sangat tergantung pada soal apakah dalam melakukan perbuatannya itu si pelaku juga mempunyai kesalahan. Seseorang tidak mungkin dimintai pertanggungjawaban atas perbuatannya apabila ia tidak melakukan suatu perbuatan pidana, tetapi, walaupun ia melakukan perbuatan pidana, ia tidak selalu dapat dimintai pertanggungjawaban pidana.
  • Tindak pidana hanyalah merupakan unsur yang menunjukkan bahwa pelaku telah melanggar suatu delik pidana. Akan tetapi, untuk menghukum seseorang atas perbuatan pidananya, hal tersebut tergantung dari apakah dalam perbuatan tersebut terkandung kesalahan di dalamnya. Teori ini sesuai dengan asas hukum pidana yaitu Geen straf zonder schuld yang menjelaskan bahwa tiada pidana tanpa kesalahan. Untuk memidana seorang pembuat perbuatan pidana, selain bahwa perbuatan yang dilakukan pelaku harus memiliki unsur melawan hukum, terhadap pelaku juga harus terdapat unsur kesalahan.
  • Tindak pidana merupakan suatu hal yang terpisah dengan pertanggungjawaban pidana. Ketika membicarakan mengenai perbuatan pidana, dasar yang kita gunakan adalah asas legalitas. Sementara ketika kita membicarakan mengenai pertanggungjawaban pidana, dasar keberadaannya adalah asas kesalahan.
  1. Apakah ahli tahu sejarah perumusan KUHP? 
  2. KUHP lahir dengan nama Wetboek van Strafrecht voor Nederlands Indie 1918 (WvSNI) dan diberlakukan di Hindia Belanda dengan Koninklijk Besluit (Titah Raja) Nomor 33 tertanggal 15 Oktober 1915 atau Staatsblaad No. 732 dan mulai diberlakukan sejak tanggal 1 Januari 1918. Menurut sejarahnya, secara singkat dapat dikatakan bahwa KUHP yang berlaku hingga saat ini adalah berasal dari Wetboek van Strafrecht Belanda Tahun 1886 yang kemudian berdasarkan asas konkordansi diberlakukan di Hindia Belanda dengan nama Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie. Setelah Indonesia diduduki Jepang pada tahun 1942, Pemerintah Jepang mengeluarkan Peraturan yang menetapkan bahwa 1915 Nomor 732 tetap berlaku.
  3. Demikian pula setelah Indonesia merdeka, Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie tersebut diberlakukan berdasarkan ketentuan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 (sebelum dilakukannya perubahan) yang berbunyi, “Segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku selama belum diadakan yang baru menurut UndangUndang Dasar ini”. Kemudian, dengan penyesuaian di sana-sini, Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie tersebut diberlakukan dengan UndangUndang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana sesuai dengan sistem hukum dan sistem ketatanegaraan Indonesia merdeka.
  4. Selanjutnya, sesudah perubahan UUD 1945, keberlakukan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 didasarkan pada Pasal I Aturan Peralihan UUD 1945 yang berbunyi, ”Segala peraturan perundang-undangan yang ada masih tetap berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini”.
  5. Dalam UndangUndang Nomor 1 Tahun 1946 tersebut, terdapat beberapa hal penting sebagai berikut: (1) ”Pasal V yang menentukan bahwa peraturan hukum pidana yang seluruhny atau sebagian sekarang tidak dapat dijalankan atau bertentangan dengan kedudukan Indonesia sebagai negara merdeka atau tidak mempunyai arti lagi harus dianggap tidak berlaku; (2) Pasal VI mengubah dengan resmi nama Wetboek van Strafrecht saja, yang biasa diterjemahkan dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana disingkat KUHP; (3) Pasal VIII memuat perubahan kata-kata dan penghapusan beberapa pasal KUHP; (4) Adanya penciptaan delik baru yang dimuat dalam Pasal IX sampai dengan Pasal XVI”. Tatkala Indonesia menjadi negara federal, yakni dengan dibentuknya Republik Indonesia Serikat (RIS) berdasarkan Konstitusi Republik Indonesia Serikat (Konstitusi RIS 1949), dan kemudian kembali menjadi negara kesatuan dengandasar Undang-Undang Dasar Sementara 1950 (UUDS 1950), di mana berdasarkan ketentuan Pasal 142 UUDS 1950, ”Semua peraturan-peraturan, undang-undang, dan ketentuan-ketentuan tata usaha yang sudah ada sejak 17 Agustus 1950 tetap berlaku dengan tidak berubah sebagai peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan Republik Indonesia sendiri, selama dan sekadar peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan itu tidak dicabut, ditambah, atau diubah oleh undang-undang dan ketentuan-ketentuan tata usaha atas kuasa UUDS 1950”.
  6. Selanjutnya, sebagai akibat adanya ketentuan dalam UUDS 1950 tersebut, maka di Indonesia berlaku dua undang-undang hukum pidana, yaitu: (1) Undang-Undang Hukum Pidana yang ada pada tanggal 8 Maret 1942 yang disahkan dan mulai berlaku tanggal 26 Februari 1946 serta diubah menurut suasana Indonesia merdeka dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 yang berlaku di bekas daerah Negara Republik Indonesia berbentuk lama; (2) Undang-Undang Hukum Pidana yang ada pada tanggal 17 Agustus 1950, yaitu kitab undang-undang dari zaman pemerintahan Hindia Belanda yang telah diubah dan ditambah dengan ketentuan-ketentuan dalam Lembaran Negara Tahun 1945 Nomor 135, Tahun 1946 Nomor 76, Tahun 1947 Nomor 180, Tahun 1948 Nomor 169, Tahun 1949 Nomor 1 dan Nomor 258, yang berlaku untuk Daerah Jakarta Raya, wilayah bekas Negara Bagian Sumatera Timur, bekas Negara Bagian Indonesia Timur dan Kalimantan Barat. Kedua undang-undang hukum pidana tersebut sesungguhnya berasal dari sumber yang sama yakni Wetboek van Strafrecht Belanda yang kemudian, berdasarkan asas konkordansi, diberlakukan di Hindia Belanda sejak 1918 dengan nama Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie terhadap seluruh golongan penduduk, yakni baik terhadap golongan Bumiputra, golongan Timur Asing, maupun golongan Eropa, di mana sebelumnya terhadap masingmasing golongan penduduk tersebut berlaku Kitab Undang-Undang Hukum Pidana sendiri-sendiri.
  7. Selanjutnya melalui UU Nomor 73 Tahun 1958 (Lembaran Negara Tahun 1958 Nomor 127) menyatakan bahwa Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana berlaku untuk seluruh wilayah Republik Indonesia dengan beberapa perubahan sesuai dengan kondisi negara Republik Indonesia sebagaimana yang diatur Pasal III Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958.
  8. Kendati telah berlakunya WvSNI di Indonesia sebagai Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, tidak terdapat terjemahan yang dianggap sebagai terjemahan resmi oleh hukum nasional Indonesia. KUHP memberikan beberapa petunjuk mengenai bagaimana menyesuaikan sejumlah istilah yang terdapat dalam WvSNI sesuai dengan konteks sosial, politik, dan hukum yang berlaku di Indonesia. Akan tetapi, tidak ada satu peraturan perundang-undangan pun yang secara resmi mengakui keberlakuan terjemahan WvSNI. Perlu diperhatikan bahwa dalam pengajaran Hukum Pidana di Indonesia tidak atau belum ditemukan adanya terjemahan resmi dari WvSNI (KUHP Belanda untuk Indonesia 1818). KUHP yang berlaku sekarang (dengan segala penambahan dan perubahnnya sampai dengan saat ini) diberlakukan di Indonesia melalui UU No. 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana (UU 1/1946).
  9. Selama bertahun-tahun sejak berlakunya KUHP di Indonesia, penegak hukum menjadikan berbagai terjemahan tidak resmi yang dibuat oleh pakar hukum pidana (seperti Moeljatno dan R. Soesilo) sebagai pedoman dalam menegakkan hukum. Undang-Undang No. 1 Tahun 1946 hanya memberikan perubahan yang bersifat terbatas, yaitu hanya kata-kata yang bersifat kolonial menjadi kata-kata yang lebih bersifat alam kemerdekaan, seperti kata ‘Koning’ menjadi kata ‘President’ atau kata ‘Nederladsch-onderdaan’ menjadi ‘Warga Negara Indonesia’. Keragaman ini pula yang menjadi penyebab banyaknya permasalahan berkaitan dengan bagaimana suatu istilah hukum diterjemahkan. Hal ini sangat berkaitan dengan kepastian hukum yang berlaku di Indonesia.
  10. Di dalam UU 1/1946 dapat ditemukan sejumlah petunjuk bagaimana menyesuaikan pengertian dan mengubah sejumlah istilah dalam konteks pemberlakuan KUHP dalam situasi sosial-politik dan hukum. Dalam konteks pemberlakuan KUHP dalam situasi sosial politik dan hukum negara yang berbeda dari negara colonial menjadi NRI. Di luar itu, keseluruhan naskah dibiarkan berlaku dalam Bahasa aslinya (Belanda). Terlepas dari kewajiban hukum untuk menuliskan peraturan per UUan dalam Bahasa resmi (Bahasa Indonesia), WvSNI tidak pernah diterjemahkan secara resmi ke dalam Bahasa Indonesia. Namun demikian terdapat sejumlah terjemahan (tidak resmi) yang dibuat oleh beberapa pakar hukum pidana yang masih menguasai Bahasa Belanda dan mampu menerjemahkan ketentuan-ketentuan tersebut ke dalam Bahasa Indonesia.
  11. Ragam versi terjemahan inilah yang menjadi acuan bagi buku ajar dan buku lain berbahasa Indonesia tentang hukum pidana materiil di Indonesia. Demikian pula dalam praktik hukum, yang dipergunakan sebagai acuan adalah ragam terjemahan KUHP yang tidak resmi di atas. Dapat diduga bahwa ragam terjemahan tidak resmi KUHP Indonesia dalam pengajaran maupun praktiik hukum menimbulkan banyak persoalan berkaitan dengan bagaimana seharusnya dan sebaiknya istilah-istilah hukum pidana diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia. Ini juga terkait dengan pentingnya menjaga oenataan asa legalitas demi kepastian hukum dan keadilan.
  12. Berapa Pasal dalam KUHP yang mengatur TP. Makar? Jelaskan unsur-unsur dalam Pasal tersebut
  13. Kejahatan terhadap Keamanan Negara secara sempit diatur dalam Bab I Buku Kedua KUHP yang berjudul Kejahatan Terhadap Keamanan Negara, sedangkan dalam arti luas dapat dimaknai sebagai keseluruhan tindak pidana terkait negara dan pemerintah sebagai objek, yang dalam kepustakaan disebut sebagai delik politik. Kejahatan terhadap Keamanan Negara dalam arti sempit dalam KUHP diatur mulai dari Pasal 104 sampai Pasal 127. Dari 23 Pasal yang masuk dalam Bab I berjudul Tindak Pidana Terhadap Keamanan Negara terdapat sejumlah pasal yang masuk dalam delik Makar yaitu Pasal 104, Pasal 106, Pasal 107, Pasal 139a, Pasal 139b dan Pasal 140 KUHP. Seluruh pasal tersebut mengatur tentang perbuatan “makar”.. [2] Makar yang dimuat dalam Pasal 139a, 139b, dan 140 tidak masuk dalam bab mengenai kejahatan terhadap keamanan negara, melainkan masuk dalam kejahatan terhadap negara sahabat dan terhadap kepala negara sahabat dan wakilnya.
  14. Pengaturan-pengaturan Kejahatan terhadap Keamanan Negara dimaksudkan untuk melindungi serangan dari individu maupun kelompok yang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksakan kehendak mereka terhadap negara atau kelompok warga. Menurut Adami Chazawi, termasuk dalam kejahatan terhadap keamanan negara adalah kejahatan mengenai larangan Ajaran Komunis yang ditambahkan dalam KUHP berdasarkan UU No. 27 Tahun 1999 sebagai Undang-Undang yang menambahkan KUHP dikelompokkan menjadi tiga macam yakni : 1. Kejahatan-kejahatan mengenai dan dalam hal larangan ajaran atau faham Komunisme/Marxisme-Leninisme (107a, 107c, 107d dan 107e); 2. Kejahatan mengenai menyatakan keinginan untuk meniadakan atau mengganti dasar negara Pancasila (107b); 3. Kejahatan Sabotase (107f). (Adam Chazawi, 2007: 173).
  15. Sedangkan apa saja gangguan keamanan terhadap negara menurut Edward Luttwak, disebut secara umum dengan istilah kudeta yaitu pergantian kekuasaan secara ilegal. Kudeta merupakan infiltrasi ke dalam suatu segmen aparatus negara yang kecil tetapi menentukan, yang kemudian digunakan untuk mengambil alih pemerintah dari kendali unsur-unsur lainnya. (Edward Luttwak, 2009: 32). Dalam arti luas, beberapa varian kudeta yang berasal dari kata coup d’etat menurut Edward Luttwak (Edward Luttwak, 2009: 32).
  16. Jika kudeta adalah istilah politik, maka makar adalah istilah yuridis. Makar dapat dikatakan lebih sempit daripada kudeta karena selain makar masih ada bentuk lain kudeta secara hukum yaitu pemberontakan. Menurut bentuknya seperti disebutkan diatas, makar terdiri dari 3 bentuk yaitu makar terhadap Presiden dan atau Wakil Presiden, makar terhadap pemerintahan yang sah dan makar terhadap wilayah. Makar terhadap wilayah dalam istilah politik disebut dengan separatisme. Separatisme menurut Kamus Politik berarti usaha untuk memisahkan diri dari suatu negara atau negara bagian. Usaha separatisme bermaksud untuk mencapai otonomi atau pemisahan untuk berdiri sendiri atau menggabungkan diri dengan negara lain. (BN Marbun, 2002).
  17. Dalam perspektif hukum pidana, Lembaga makar sendiri diperkenalkan oleh Belanda dalam Undang-Undang Tahun 1920 yang disebut anti revolutie wet. Hal ini merupakan reaksi atas revolusi Bolsyewik di Rusia. Di Eropa, perangkat anti revolusi ini sudah lama digunakan. Di Nederland (Belanda), pada 1920, diperkenalkan undang-undang bernama Anti Revolutie Wet (Undang-Undang Anti Revolusi). Isi dari undang-undang ini kemudian dimasukkan ke dalam Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch (KUHP Belanda).”
  18. Unsur Makar menurut Simons menyatakan bahwa Aanslag  ialah setiap tindakan yang dilakukan dengan maksud seperti yang dimaksudkan dalam pasal 104 KUHP, jika tindakan-tindakan  yang terlarang menurut pasal 104 KUHP, jika tindakan-tindakan tersebut  telah melampaui atas dari suatu tindakan persiapan dan telah dapat dianggap sebagai permulaan dari suatu tindakan pelaksanaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 87 KUHP.
  19. Soesilo menjelaskan makna aanslag sama dengan penyerangan yang hendak membunuh, merampas kemerdekaan atau menjadikan presiden tidak cakap memerintah. Aanslag dilakukan dengan perbuatan kekerasan dan dimulai dengan perbuatan pelaksanaan (uitvoeringshandelingen). Sementara itu, yang dimaksud dengan perbuatan kekerasan dimaknainya sebagai mempergunakan tenaga atau kekuatan jasmani tidak kecil secara dan secara tidak sah, misalnya memukul dengan tangan atau dengan segala macam senjata, menyepak atau menendang dan sebagainya. Kekerasan juga dimaknai dengan membuat orang pingsan atau tidak berdaya. Pingsan sendiri diartikannya “tidak ingat atau tidak sadar akan dirinya”. Tidak berdaya artinya tidak mempunyai kekuatan atau tenaga sama sekali sehingga tidak dapat mengadakan perlawanan sedikitpun, misalnya mengikat dengan tali kaki atau tangannya, mengurung dalam kamar, memberikan suntikan sehingga itu lumpuh.
  20. Sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa KUHP dan undang-undang pidana lainnya tidak memberikan makna terhadap aanslag atau makar. P.A.F. Lamintang menafsirkan bahwa kata aanslag berasal dari aanval (serangan) atau dengan tafsir keduanya yaitu misdadige aanrading (penyerangan dengan maksud tidak baik). P.A.F Lamintang sebenarnya masih ragu juga apakah benar aanslag berasal dari kata aanval atau misdadige aanrading, dan apakah keduanya memang memiliki keterkaitan atau sama sekali dua kata yang berbeda.
  21. Tafsir dari Prof. Noyon dan Prof. Langemeijer, mengartikan makar sebagai tindak kekerasan atau setidak-tidaknya merupakan percobaan-percobaan  untuk melakukan tindak kekerasan. Namun demikian menurut keduanya, tidak setiap aanslag selalu harus diartikan sebagai tindak kekerasan karena dalam praktik dapat dijumpai  beberapa aanslag yang dilakukan tanpa didahulahui dengan kekerasan.  Alasan Noyon dan Langemeijer ini diperkuat dengan contoh perbuatan yang ingin mengganti haluan negara tanpa didahului dengan kekerasan.
  22. Jadi dapat disimpulkan mengenai pasal Makar ini, ada dua kelompok yang memberikan tafsir atas pasal-pasal makar yang ada di dalam KUHP, yaitu: kelompok ilmuwan yang menafsirkannya sebagai delik serangan, tindak kekerasan, dan kelompok yang menafsirkannya sebagai delik percobaan yang tidak lengkap.

 

  1. Bagaimana ahli memberikan penilaian terhadap banyak tafsir yang berkembang di Indonesia bahwa definisi makar adalah niat yang telah disertai oleh permulaan pelaksaanaan seperti yang telah dicantumkan dalam Pasal 87 KUHP?

Ketentuan makar yang ada pada pasal 87 berada di dalam buku I KUHP, Buku Satu merupakan penjelasan umum atau memberikan makna atas beberapa istilah yang ada di Buku Kedua dan Buku Ketiga. Namun penjelasan yang terdapat dapatl Pasal 87 ini masih kurang memuaskan.Dalam KUHP tidak sebutkan definisi dari Makar kecuali disebutkan dalam KUHP bahwa perbuatan tertentu dapat dikatakan tindak pidana Makar harus dilakukannya suatu permulaan pelaksanaan oleh pelaku untuk menyelesaikan tindak pidana yang ditimbulkannya. Seperti yang disebutkan dalam Pasal 87 KUHP.

  • Mengacu pada Pasal 87, unsur utama dalam makar adalah (1) niat dan (2) permulaan pelaksanaan. Kedua unsur itu sudah banyak ditafsirkan dalam doktrin. Oleh sebab itu, dapat merujuk pada doktrin-doktrin yang ada.
  • Niat ditafsirkannya berbeda dengan kesengajaan, namun niat berpotensi berubah menjadi kesengajaan jika sudah ditunaikan menjadi perbuatan  yang dituju. Tetapi jika belum semua ditunaikan  menjadi perbuatan pidana, maka niat masih ada dan merupakan sifat batin yang memberi arah kepada perbuatan. Oleh karena itu, niat tidak sama dan tidak bisa disamakan dengan kesengajaan.
  • Tafsir Permulaan pelaksanaan adalah: Menurut Prof. Moeljatno, Permulaan pelaksaan sendiri memiliki tiga syarat :
  • Secara objektif apa yang dilakukan terdakwa harus mendekati kepada delik yang dituju, atau dengan kata lain, harus mengandung potensi untuk mewujudkan delik tersebut.
  • Secara subjektif, dipandang dari sudut niat, harus tidak ada keraguan lagi, bahwa yang telah dilakukan oleh terdakwa ditujukan atau diarahka pada delik yang tertentu tadi.
  • Bahwa apa yang dilakukan oleh terdakwa merupakan yang bersifat melawan hukum. (Moeljatno, 1985)

Secara objektif apa yang dilakukan terdakwa harus mendekati kepada delik yang dituju, atau dengan kata lain, harus mengandung potensi untuk mewujudkan delik tersebut. Secara subjektif, dipandang dari sudut niat, harus tidak ada keraguan lagi, bahwa yang telah dilakukan oleh terdakwa ditujukan atau diarahka pada delik yang tertentu tadi. Bahwa apa yang dilakukan oleh terdakwa merupakan yang bersifat melawan hukum. (Moeljatno, 1985) Permulaan pelaksanaan dalam pasal di atas ditafsirkan sebagai permulaan melakukan kejahatan dan tidak selesai.

Perbuatan permulaan pelaksanaan menurut Memorie van Toelichting harus dibedakan dengan perbuatan persiapan dan perbuatan pelaksanaan.  Meski demikian, tidak mudah membedakan antara keduanya dan oleh karena itu diserahkan pada pertimbangan hakim. Dalam konteks ini, Moeljatno menyatakan bahwa perbuatan persiapan  merupakan  mengumpulkan kekuatan, sedangkan perbuatan pelaksanaan melepaskan kekuatan yang telah dikumpulkan.

Dari ketentuan pasal di atas, ada dua kelompok yang memberikan tafsir atas pasal-pasal makar yang ada di dalam KUHP, yaitu: kelompok ilmuwan yang menafsirkannya sebagai delik serangan, tindak kekerasan, dan kelompok yang menafsirkannya sebagai delik percobaan yang tidak lengkap. jika tindakan-tindakan tersebut telah melampaui atas dari suatu arti persiapan dan telah dapat dianggap sebagai permulaan dari suatu tindakan pelaksanaan. Yang disebutkan terakhir ini adalah sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal 87 KUHP.” (PAF Lamintang dan Theo L, 2010: 9-10). Berdasarkan pengartian-pengartian secara gramatikal di atas, maka dapat diketahui bahwa terdapat ketidaktegasan meliputi : Kapan suatu perbuatan permulaan dianggap telah dilakukan ?; Apakah perbuatan permulaan itu harus berbentuk serangan?; Dan apakah yang dimaksud dengan serangan itu sendiri, apakah harus bersifat fisik atau cukup dengan serangan psikis?

Namun dalam perkembangan doktrin hukum pidana tafsir atas makar harus dimaknai sebagai serangan, tindak kekerasan , kita bisa melihat dalam Putusan MK 7 tahun 2017 sebagaimana bisa kita lihat dalam Ratio decidendi putusan Mahkamah Konstitusi tersebut. Pertama, pemaknaan atau penafsiran frasa “makar” haruslah dimaknai “serangan” dengan maksud supaya seluruh atau sebagian wilayah negara jatuh ke tangan musuh atau memisahkan sebagian dan wilayah negara, diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara. Ini artinya, tindak pidana makar adalah ‘delik selesai’ dan bukan merupakan tindak pidana percobaan.

putusan Mahkamah Konstitusi mengoreksi kesalahan penerapan dalam penegakan hukum, khususnya penegakan hukum yang menimbulkan ketidakpastian hukum karena penegak hukum baru dapat melakukan tindakan hukum terhadap seseorang yang diduga melakukan tindak pidana makar apabila orang yang bersangkutan telah melakukan tindakan “serangan” dan telah nyata timbul korban. Ini artinya, tidak cukup pembuktian sekadar unsur “niat”, sementara unsur “perbuatan” pula harus dibuktikan.

Apabilan dikaitkan dengan makar, maka seseorang dapat dikatakan telah melakukan permulaan pelaksanaan apabila pelaku telah melakukan serangan kepada negara yang tujuaannya untuk merusak persatuan Indonesia.

Pendapat itu diikuti pula oleh Simon dan Lamintang yang menyatakan bahwa makar atau aanslag hendaknya jangan selalu harus diartikan sebagai suatu tindakan kekerasan, karena yang dimaksudkan dengan kata makar dalam rumusan tindak pidana yang diatur dalam pasal 106 KUHP sebenarnya ialah setiap tindakan yang dilakukan orang untuk merugikan kepentingan hukum negara berupa utuhnya wilayah negara. (PAF Lamintang dan Theo L, 2010: 42).

Pernyataan Simon dan Lamintang ini menolak penyataan Menteri Kehakiman Belanda menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan aanslag adalah elke daad van geweld tegen de persoon atau setiap tindak kekerasan terhadap seseorang. (PAF Lamintang dan Theo L, 2010 :10). Pendapat Menteri Kehakiman Belanda sejalan dengan pemikiran KontraS dan Indriyanto Seno Adji bahwa untuk dapat dikatakan adanya makar harus ada unsur “serangan’ dan ancaman kekerasan. Indriyanto Seno Adji memandang bahwa dicantumkannya unsur “kekerasan” dan “ancaman kekerasan” ini dimaksudkan agar penguasa tidak bertindak secara ekstensif dan eksesif dalam menentukan keterlibatan seseorang atau kelompok yang melakukan tindakan “makar” dan tidak terlalu mudah diimplementasikan terhadap gerakan atau kelompok demokratis yang bersifat oposisi terhadap penguasa, sekaligus menghindari kesan bahwa penguasa berusaha melakukan eliminasi terhadap kebebasan bereskpresi dan berpendapat dalam alam demokratis ini. Suatu konsep, ekspresi, opini, seseorang yang dituangkan dalam suatu format komunike ataupun deklarasi tidak dapat dikatakan memenuhi unsur perbuatan “permulaan pelaksanaan” dari suatu “makar” apalagi doktrin (ilmu hukum) menghendaki adanya bentuk “kekerasan” dan “ancaman kekerasan” dari “permulaan pelaksanaan” tersebut. Dengan kata lain, menurut Indriyanto untuk dapat disebut makar harus terlebih dahulu ada perbuatan fisik berupa serangan atau kekerasan. (Indriyanto S Aji, 2009: 208-209).

  1. Menurut Ahli bagaimana seharusnya Pasal 106 KUHP dan Pasal 110 KUHP dimaknai oleh kerangka teori hukum pidana?

Pengaturan Tindak Pidana Makar di Indonesia sampai saat ini belum ada peraturan yang dapat mendefiniskan Makar melainkan hanya menguraikan syarat terjadi dan jenis jenisnya. Suatu perbuatan dapat dikatakan makar cukup dengan syarat yang telah diatur dalam Pasal 87 KUHP yang berkaitan dengan Pasal 53 yaitu adanya niat dan perbuatan permulaan pelaksanaan, sehingga pelaku dapat ditindaki oleh penegak hukum.

Pasal 110 KUHP yaitu Permufakatan jahat dalam tindak pidana makar, dalam Pasal 88 KUHP permufakatan jahat terjadi apabila dua orang atau lebih telah melakukan kesepakatan untuk melakukan perbuatan jahat.

Ketentuan yang terdapat dalam Pasal 104 sampai dengan Pasal 129 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berdasarkan uraian dalam pasal-pasal tersebut apabila duhubungkan dengan teori objektif atau teori absolut tentang delik politik sebagaimana yang disampaikan oleh Hazewinkel suringga, yang menyatakan bahwa kejahatan politik atau delik politik adalah semua kejahatan yang ditujukan kepada negara dan berfungsinya lembaga-lembaga negara maka dapat diketahui bahwa ruang Iingkup tindak pidana politik atau delik politik identik dengan tindak pidana terhadap keamanan negara. Presiden/Wakil Presiden dengan ruang lingkup yakni: a. keutuhan integritas wilayah Negara; b. pemerintahan; c. rahasia Negara/militer;; d. kenetralan Negara; dan; e. keamanan nasional;33 serta; f. ideologi negara.34

Delik politik masih dalam rangka pendefinisianya juga dikemukakan oleh Hazewinkel Suringa yang menyatakan penjahat politik tergolong pelaku yang mendasarkan pada keyakinan. Pada kejahatan politik, pelaku mempunyai keyakinan (overtuigings daders) bahwa pandanganya tentang hukum dan kenegaran lebih tepat dari pandangan negara atau yang sedang berlaku. Oleh karena itu, ia tidak mengakui sahnya tertib hukum yang berlaku, sehingga harus diubah atau diganti sama sekali sesuai dengan idealnya. Hal ini berbeda dengan penjahat umum. Meskipun penjahat umum melakukan perbuatan pidana, tetapi seorang penjahat umum tidak menyangsikan sahnya tertib hukum yang berlaku dinegara tersebut.

Hal yang sama juga dikemukakan oleh Jan Remmelink yang menyatakant bahwa perbedaan antara penjahat politik dengan penjahat umum dapat dilihat dari motif yang dikendalikan oleh motif altruistik atau mementingkan orang lain. Motif tersebut digerakan oleh keyakinanya bahwa tertib masyarakat atau negara atau pimpinanya harus diubah sesuai dengan idealnya. Sedangkan penjahat biasa dikendalikan oleh motif egoistik.

Remmelink juga membedakan antara kejahatan politik dan perbuatan politik.Penjahat politik menghendaki pengakuan noma-norma yang diperjuangkan agar dapat diterima oleh tertib hukum yang berlaku. Sementara perbuatan politik dilakukan bukan semata-mata karena keberatan terhadap norma-norma lain yang menjadi bagian dari tertib hukum atau keberatan terhadap situasi-situasi hukum yang tidak adil.

Pembedaan ini penting untuk kualifikasi kejahatan politik dengan perbuatan politik yang melakukan kritik terhadap pemerintah. Perbuatan politik tidak dimaksudkan untuk menimbulkan kekacauan dimasyarakat, tetapi semata-mata untuk memperbaiki keadaan masyarakat dengan perbuatan antara lain demonstrasi, petisi, aksi protes dan lain sebagainya. Sorang pelaku perbuatan politik menolak melakukan sesuatu yang bertentangan dengan hati nuraninya.

Definisi lain terhadap delik politik juga dikemukakan oleh beberapa pakar diantaranya Sumaryo Suryo Kusumo yang menyatakan delik politik merupakan kejahatan yang dilakukan untuk tujuan-tujuan politik. Sedangkan Abdul Hakim Garuda Nusantara menyatakan bahwa “pendefinisian perbuatan pidana yang dikualifikasikan sebagai pidana politik senantiasa dipengaruhi oleh tantangan yang dihadapi oleh negara dalam kurun waktu tertentu dan presepsi elit”.

Pelaku makar dapat dipidana hanya dengan ditemukannya niat dari pelaku untuk melakukan perbuatan makar dan juga adanya permulaan perbuatan oleh pelaku.

Makar berbentuk sebuah serangan yang ditujukan untuk mengambil alih kekuasaan dari pemerintah yang sah dan merusak kesatuan negara. Akan tetapi, makar tidak dapat ditegakkan untuk melanggar hak asasi manusia dalam berpendapat atau melontarkan kritik terhadap pemerintah. Hal ini dikarenakan tidak adanya intensi dari para pelontar kritik tersebut untuk memecah belah persatuan negara. Hal itulah yang menjadi pembeda yang tegas antara makar dengan penyampaian kritik terhadap pemerintah melalui demonstrasi, yaitu tujuan dari dilakukannya perbuatan. Pada makar, tujuan perbuatan adalah untuk merendahkan kewibawaan pemerintah dan menggulingkan pemerintah. Sementara pada penyampaian kritik kepada pemerintah, tujuannya adalah untuk membangun negara menjadi lebih baik. Makar sebagai kejahatan terhadap keamanan negara dipandang sebagai suatu kejahatan yang sangat serius, oleh karena itu, para pelaku kejahatan makar selalu dijatuhi hukuman yang berat. Selain itu, kejahatan makar tidak mensyaratkan harus diselesaikannya delik makar tersebut agar pelaku dapat dipidana.

Fungsi hukum pidana adalah sebagai sarana dalam menanggulangi kejahatan atau sebagai sarana sosial kontrol sosial. Dalam hal ini maka hukum pidana merupakan bagian dari politik kriminal, yaitu usaha yang rasional dari masyarakat untuk menanggulangi kejahatan. Fungsi yang pertama ini disebut dengan fungsi yang primer. (Sudarto, 2007: 150). Sedangkan fungsi yang kedua atau yang disebut juga sebagai fungsi sekunder adalah ialah sebagai sarana pengaturan tentang kontrol sosial sebagaimana dilaksanakan secara spontan atau secara dibuat oleh negara dengan alat perlengkapannya. Dalam fungsi yang kedua ini tugas hukum pidana adalah policing the police, yakni melindungi warga masyarakat dari campur tangan penguasa yang mungkin menggunakan pidana sebagai sarana secara tidak benar. (Sudarto, 2007: 150).

Menurut Adami Chazawi, hukum pidana berfungsi mengatur dan menyelenggarakan kehidupan bermasyarakat agar dapat tercipta dan terpeliharanya ketertiban umum. (Adam Chazawi, 2007: 15-16). Fungsi yang kedua perlu mendapatkan perhatian yang lebih serius karena menyangkut adanya kemungkinan pelanggaran Hak Asasi Manusia jika digunakan secara tidak benar, karena sebagaimana dikemukakan Abdul Hakim Garuda Nusantara fungsi penting hukum pidana adalah memberikan dasar legitimasi bagi tindakan represif negara terhadap kelompok orang yang melakukan perbuatan yang mengancam dan membahayakan serta merugikan kepentingan umum.(Ignatius Haryanto, 1999: 33).

  • Hiariej juga menambahkan, “bahwa untuk menetapkan suatu perbuatan merupakan kejahatan politik harus tetap berhati-hati, karena demokratisasi politik dan pengakuan hak asasi manusia telah menjadi isu global .” Perjuangan berbagai bangsa untuk melepaskan diri dari kolonialisme telah menjadikan kejahatan politik menjadi semakin nisbi. Kejahatan politik adakalanya juga berkaitan dengan dimensi tempat dan waktu. Hal ini dikarenakan apa yang dianggap sebagai kejahatan di suatu negara belum tentu dianggap sebagai kejahatan di negara lain.
  • Typology delik politik yang disampaikan oleh Piers Beirne dan James Messerschmidt yang secara kriminologis membedakan typology delik politik tersebut dalam tiga bentuk, diantaranya: Pertama adalah kejahatan politik yang ditujukan kepada negara atau political crimes against the state. Kedua adalah kejahatan politik oleh Negara atau domestic political crimes by the state. Ketiga, adalah kejahatan politik internasional oleh Negara atau international political crimes by the state. Tegasnya, dalam Kejahatan yang termasuk pada delik politik pelaku perbuatan tidak saja dilakukan oleh naturlijke persoon sebagai subjek hukum. Namun, negara terhadap masyarakat dan negara atau organisasi intersaional terhadap negara lain dapat pula melakukan kejahatan tersebut.
  1. Apabila berbicara dalam konteks praktik peradilan, bagaimana pasal-pasal makar khususnya Pasal 106 dan 110 KUHP dimaknai oleh apparat penegak hukum?

Loebby Loqman (1993) dalam Delik Politik di Indonesia mencatat bahwa delik terhadap kemanan negara kerap dilatarbelakangi dengan tujuan politik dan setiap pemerintahan memiliki pengertian tersendiri tentang tafsiran dan pengertian politik itu sendiri. Oleh karenanya, penggunaan pasal-pasal makar mudah sekali digunakan oleh rezim yang berkuasa untuk membungkam lawan-lawan politik pemerintah yang berkuasa. Bukan saja digunakan pada rezim orde lama, orde baru, pasal mengenai makar juga telah digunakan belakangan ini oleh pemerintah untuk menangkap sejumlah aktivis. Sebagaimana telah pula dinyatakan dalam Putusan MK menegaskan bahwa penegak hukum harus berhati-hati dalam menerapkan pasal-pasal yang berkenaan dengan makar sehingga tidak menjadi alat untuk membungkam kebebasan menyampaikan pendapat dalam negara demokratis yang menjadi salah satu semangat UUD 1945.

Dalam praktik penegakan hukum, tindak pidana makar dimaknai sebagai perbuatan tindak pidana percobaan. Ratio decidendi putusan Mahkamah Konstitusi tersebut. Pertama, pemaknaan atau penafsiran frasa “makar” haruslah dimaknai “serangan” dengan maksud supaya seluruh atau sebagian wilayah negara jatuh ke tangan musuh atau memisahkan sebagian dan wilayah negara, diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara. Ini artinya, tindak pidana makar adalah ‘delik selesai’ dan bukan merupakan tindak pidana percobaan.

putusan Mahkamah Konstitusi mengoreksi kesalahan penerapan dalam penegakan hukum, khususnya penegakan hukum yang menimbulkan ketidakpastian hukum karena penegak hukum baru dapat melakukan tindakan hukum terhadap seseorang yang diduga melakukan tindak pidana makar apabila orang yang bersangkutan telah melakukan tindakan “serangan” dan telah nyata timbul korban. Ini artinya, tidak cukup pembuktian sekadar unsur “niat”, sementara unsur “perbuatan” pula harus dibuktikan.

Frasa dalam ratio decidendi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 7/PUU-XV/2017 soal makar, yakni “Aparat penegak hukum harus berhati-hati dalam menerapkan pasal-pasal makar sehingga tidak jadi alat membungkam kebebasan menyampaikan pendapat dalam negara demokratis yang menjadi semangat UUD 1945”, merupakan frasa yang harus diupayakan koherensi argumenargumen hukum di lapangan, baik aparat penegak hukum di kepolisian, kejaksaan, maupun di lingkungan kekuasaan kehakiman. Sekaligus tantangannya, diperlukan keberanian dan integritas dalam menegakkan hukum tanpa sikap diskriminatif rasial terhadap warga Papua. Tidak digunakannya argumen Mahkamah Konstitusi dalam ratio decidendinya, mengakibatkan putusan-putusan majelis hakim di level pengadilan negeri terkesan tidak peduli perkembangan hukum itu.

putusan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat maupun Pengadilan Negeri Balikpapan, sama sekali tidak mempertimbangan perkembangan Putusan Mahkamah Konstitusi maupun doktrin hukum kebebasan ekspresi dan hak asasi manusia, termasuk Prinsip Johannesburg ini. Secara terbatas, berbeda dengan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan Pengadilan Negeri Balikpapan, putusan Majelis Hakim di Pengadilan Negeri Jayapura tidak menggunakan pasal makar untuk memidana Assa Asso. Putusan Pengadilan Negeri Jayapura menyatakan Assa Asso tidak terbukti melakukan makar, dengan mempertimbangkan ratio decidendi Putusan Mahkamah Konstitusi. Majelis hakim menyatakan Assa Asso hanya dinyatakan bersalah melakukan penghasutan sebagaimana diatur Pasal 160 KUHP, dan menjatuhkan hukuman 10 bulan penjara dipotong masa penahanan. Putusan Assa Asso, sekalipun telah dibebaskan dari tuduhan makar, namun tetap saja ia dihukum pidana karena tuduhan penghasutan karena mengunggah foto di media sosial. Dalam konteks ini, bila proses peradilan terus menerus melakukan represi atau penghukuman atas dasar stigma makar, maka proses hukum yang berjalan sangat dipengaruhi oleh cara pandang rasisme dan diskriminasi, dan tentunya menghilangkan hak atau kebebasannya mengekspresikan sikap untuk menyampaikan pesan terkait hak asasi manusia

Pada masa Orde Lama dan Orde Baru, pelaku makar didakwa selain dengan menggunakan KUHP, juga dengan undang-undang di luar KUHP. Bahkan ada pula dihukum tanpa proses peradilan. Salah satu undang-undang di luar KUHP yang pernah berlaku adalah undang-undang Subversif melalui Penetapan Presiden Nomor 11 tahun 1963 yang kemudian ditetapkan menjadi Undangundang Nomor 11/PNPS/1963 juncto UU No. 5 tahun 1969. Dalam kesimpulan disertasinya yang berjudul Analisis Hukum dan Perundangundangan Kejahatan Terhadap Keamanan Negara, Loebby Loqman berpandangan bahwa pengaturan tindak pidana terhadap keamanan negara cukup diatur dalam KUHP saja tanpa perlu diatur lagi dalam undang-undang hukum pidana di luar KUHP. (Lobby Loeqman, 1993: 46).

Jika dilakukan penafsiran secara historis dan merujuk pada yurisprudensi, dapat dilihat bahwa penegakan hukum dengan menggunakan pasal-pasal makar dapat dibagi dalam tiga periode yaitu periode Orde Lama, Orde Baru dan Orde Reformasi. Dalam masa Orde Lama penggunaan Pasal makar meliputi makar terhadap Presiden (Pasal 104) terjadi dalam Peristiwa Cikini, sedangkan terhadap DI/TII dan RMS digunakan Pasal 106 (makar terhadap wilayah). Sedangkan dalam kasus G30S digunakan Pasal 107 (makar terhadap pemerintah). Penerapan pasal makar di era Orde Baru justru tidak banyak dilakukan karena dalam masa Orde Baru justru lebih sering digunakan UU Subversi ( UU No. 11/PNPS/1963) yang disahkan pada masa Orde Lama.

  1. Aksi damai menuntut kemerdekaan daerah tertentu, dengan cara menyampaikan orasi, menyanyi, mengibarkan bendera, apakah hal tersebut bisa didakra/dituntut dengan menggunakan pasal 106 KUHP dan Pasal 110 KUHP?

Jika mengikuti konstruksi berpikir Indriyanto Seno Adji yang menghendaki adanya bentuk “kekerasan” dan “ancaman kekerasan” dari “permulaan pelaksanaan” tersebut, maka apa yang dilakukan dengan cara menyanyi, orasi, belum dapat dikualifikasi sebagai tindak pidana makar melainkan semata-mata murni sebagai penyampaian ekspresi.

penggunaan hukum pidana dalam kasus-kasus aktual sebaiknya tidak dikedepankan dan dilakukan dengan hati-hati serta terlebih dahulu dilakukan penilaian apakah perbuatan-perbuatan tersebut bersifat melawan hukum konstitusi. Penggunaan pasal-pasal makar harus mempertimbangkan keseimbangan antara keamanan negara dengan hak asasi manusia. Menghadapi dua sisi yang saling bertolak belakang antara perspektif HAM dengan perspektif keamanan negara, diperlukan pendekatan lainnya yaitu pendekatan berdasarkan teori hukum Integratif yang digagas Romli Atmasasmita. Dalam pandangan teori hukum integratif, negara hukum demokratis dapat terbentuk jika dipenuhi secara konsisten tiga pilar yaitu penegakan hukum berdasarkan hukum (rule by law), perlindungan HAM (enforcement of human rights). Dan akses masyarakat memperoleh keadilan (acces to justice).

Dalam konteks Indonesia, ketiga pilar tersebut harus diikat oleh Pancasila sebagai ideologi bangsa. Ikatan Pancasila tersebut merupakan sistem nilai tertinggi dalam perubahan Muladi pun mengatakan bahwa penggunaan hukum pidana harus senantiasa menjunjung tingggi prinsip HAM, dan karenanya perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut yaitu : “ Pertama, jangan menegakkan hukum pidana untuk pembalasan sematamata. Dalam hal ini ada kepentingan lain yakni kepentingan pribadi si pelaku juga harus dijamin agar tidak muncul istilah crime by the government dan the victim of abuse of power; Kedua, jangan menggunakan hukum pidana apabila korbannya tidak jelas….; Ketiga, jangan menggunakan hukum pidana untuk mencapai tujuan tertentu, selagi masih dapat dicapai dengan cara lain yang sama efektifnya, dan dengan kerugian yang lebih kecil (asas subsidaritas)…,; Keempat, jangan menggunakan hukum pidana bilamana kerugian akibat pemidanaan lebih besar daripada kerugian akibat tindak pidana itu sendiri; Kelima, jangan menggunakan hukum pidana bilamana hasil sampingan yang ditimbulkan lebih merugikan dibanding dengan perbuatan yang dikriminalisasikan; Keenam, jangan menggunakan hukum pidana apabila tidak mendapatkan dukungan masyarakat; Ketujuh, jangan menggunakan hukum pidana apabila diperkirakan tidak efektif; Kedelapan, hukum pidana harus dapat menjaga keselarasan, keserasian, dan keseimbangan antara kepentingan negara, kepentingan masyarakat, dan kepentingan individu; Kesembilan, penggunaan hukum pidana harus selaras dengan tindakan pencegahan lain yang bersifat non penal; Kesepuluh, penggunaan hukum pidana harus dapat meredam faktor utama yang bersifat kriminogen; Kesebelas, perumusan tindak pidana harus tepat dan teliti dala menggambarkan perbuatan yang dilarang; Keduabelas, perbuatan yang dikriminalisasi harus digambar secara jelas, dan ; Ketigabelas, prinsip diferensiasi kepentingan yang dirusak, perbuatan yang dilakukan, status pelaku dalam kerangka asas kulpabilitas.” (Muladi, 1997: 95-96). Secara hukum, mereka yang semula dalam perspektif hukum pidana dianggap sebagai pelaku makar diberikan amnesti. Kebijakan pemberian amnesti sesungguhnya juga pernah diterapkan dalam penyelesaian kasus PRRI.

Dalam kasus Surya Anta, dkk. di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat maupun Fery Kombo, dkk. di Pengadilan Negeri Balikpapan, pemidanaannya hanya didasari pada soal kepemilikan, penyebaran, pengibaran, atau pembentangan bendera atau simbol terlarang (Bendera Bintang Kejora untuk Papua), yang diasosiasikan penegak hukum sebagai simbol separatis atau pro-kemerdekaan, adalah tidak tepat penerapannya dalam doktrin Prinsip Johannesburg tersebut. Bendera atau simbol-simbol yang ‘terlarang’ tersebut jelas tidak melambangkan atau bisa diinterpretasikan sebagai bentuk ‘ajakan melakukan kekerasan’.

Ekspresi pengibaran bendera bintang kejora merupakan ekspresi sosial budaya, maupun pula ekspresi politik. Dalam peristiwa kasus a quo, ekspresi dengan symbol dan bendera dikaitkan dengan aksi menolak rasisme yang telah diuraikan sebelumnya dijamin sebagai hak-hak konstitusional (fundamental rights) dalam UUDNRI 1945 dalam 5 pasal yang berkaitan dengan kebebasan ekspresi, yakni (a) Pasal 28: “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan Undang-undang; (b) Pasal 28C ayat (2): “Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya; (c) Pasal 28E ayat (3): “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat; (d) Pasal 28F: “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia; (e) Pasal 28G ayat (1): “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang dibawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.”

Ini artinya secara konstitusi maupun bila ekspresi tersebut mengikuti ketentuan UU Nomor 9 Tahun 1998, kegiatan aksi demonstrasi sebagai ekspresi tersebut tidak dilarang pelaksanaannya dan sebaliknya justru wajib untuk dihormati oleh Pemerintah, tak terkecuali oleh aparat penegak hukum yang seharusnya bahkan bertanggung jawab untuk menghormati dan melindunginya.

Pengibaran bendera bintang kejora merupakan ekspresi politik merupakan pula kebebasan yang dijamin dalam sistem hukum hak asasi manusia, apalagi ekspresi tersebut dilakukan tanpa menggunakan upaya kekerasan, menghasut untuk melakukan kekerasan, sehingga sama sekali tidak dilarang dalam sistem hukum nasional maupun sistem hukum HAM. Sebaliknya, kebebasan ekspresi politik yang demikian seharusnya mendapat jaminan perlindungan dalam pelaksanaannya.

Kriminalisasi atau pemidanaan terhadap ekspresi politik dan protes atas peristiwa rasisme justru bertentangan dengan prinsip-prinsip pembatasan yang diatur dalam Pasal 19 ICCPR. Ada tiga alasan berbasis doktrin prinsip Siracusa, (1) Ekspresi yang dilakukan terkait hak asasi manusia yang sesungguhnya dijamin dalam ICCPR, terhadap ekspresi atau keyakinan politik, dan bahkan protes atas perlakuan diskriminasi yang menjadi kewajiban setiap warga negara untuk menyuarakan atau melawannya. (2) Tidak terpenuhi elemen ‘Legitimated Aim’ (alasan yang terlegitimasi dalam pasal 19 ayat 3 ICCPR), bahwa pembatasan (dalam bentuk pemidanaan, kasus a quo) harus memenuhi salah satu tujuan yang ditentukan yang tercantum dalam teks instrumen hukum hak asasi manusia.; (3) Bahwa pemidanaan yang ditujukan atas ekspresi politik dan protes atas peristiwa rasisme, bertentangan dengan prinsip pembatasan ‘Necessary’. Pemidanaan yang secara langsung membatasi kebebasan ekspresi politik menjadi tidak proporsional dengan tujuannya, dan bahkan sudah menjadi kewajiban negara untuk menjamin ekspresi politik maupun kewajiban negara untuk tidak diam atau membiarkan adanya peristiwa diskriminasi atau rasisme. Pemidanaan yang terjadi, justru menghilangkan hak-hak asasi manusia yang seharusnya tetap dijamin, baik dalam sistem hukum HAM ICCPR maupun secara konstitusi sebagai fundamental rights.

Prinsip Johannesburg menyatakan ekspresi yang bukan merupakan ancaman terhadap keamanan nasional adalah ekspresi untuk mengadvokasi perubahan kebijakan negara atau bentuk negara itu sendiri yang dilakukan tanpa kekerasan; ekspresi yang merupakan suatu kritik, hinaan, atau ejekan kepada suatu bangsa, negara atau simbol-simbol negara, pemerintah (dan organ-organnya), pejabat publik, bangsa asing, negara atau simbol-simbol negara asing, pemerintah asing, atau pejabat publik negara asing; dan atau, mengkomunikasikan atau menyebarkan informasi-informasi tentang dugaan pelanggaran HAM. Ekspresi demikian disebut sebagai “manifestasi suatu pendapat yang dilindungi (protected expression)” dan melarang keras negara untuk memenjarakan bagi mereka yang melakukannya. Bila dibandingkan dengan konstruksi KUHP di Indonesia, Prinsip Johannesburg pula menegaskan prasyarat dan pembuktian apa yang dimaknai dengan ‘mengancam keamanan nasional’, yakni ekspresi yang diniatkan sengaja untuk menghasut kekerasan yang dalam waktu dekat akan terjadi; ekspresi yang kemungkinan besar akan memicu kekerasan; dan ada hubungan langsung dan segera antara suatu ekspresi dan kemungkinan atau terjadinya kekerasan.

  1. Apakah ekspresi seperti ini dapat dipidanakan apalagi dikenakan pasal makar 106 KUHP dan 110 KUHP? Dalam sistem hukum Indonesia, ekspresi budaya, atau ekspresi sosial, dengan simbol bintang kejora, diatur secara khusus melalui Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2007 tentang Lambang Daerah. Pasal 6 ayat menyatakan Desain logo dan bendera daerah tidak boleh mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan desain logo dan bendera organisasi terlarang atau organisasi/ perkumpulan/ lembaga/gerakan separatis dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. dan penjelasannya menyatakan, Yang dimaksud dengan desain logo dan bendera organisasi terlarang atau organisasi/ perkumpulan/lembaga/gerakan separatis dalam ketentuan ini misalnya logo dan bendera bulan sabit yang digunakan oleh gerakan separatis di Provinsi Aceh, logo burung mambruk dan bintang kejora yang digunakan oleh gerakan separatis di Provinsi Papua, serta bendera benang raja yang digunakan oleh gerakan separatis di Provinsi Maluku.
  2. Ketentuan dalam Peraturan Pemerintah tersebut, dari sudut pandang teori perundang-undangan, adalah tidak tepat pengaturannya. Alasannya, (1) kerangka pelarangan norma tidak boleh diatur dalam bagian penjelasan, karena penjelasan bukan norma baru atau perintah; (2) Penjelasan hanya untuk menjelaskan original intend (niat pembentuk hukum), dan hanya digunakan untuk membaca ketentuan tersebut, karena dimungkinkan bahwa lingkup penjelasan frasa ketentuan satu dengan ketentuan lainnya berbeda sesuai kebutuhan dari aturan tersebut; (3) Penjelasan suatu ketentuan hukum karena bukan norma, tidak juga digunakan untuk mendikte hakim atau lembaga peradilan dalam memaknai pasal, karena pada dasarnya hakim memiliki kebebasan menggunakan interpretasi atau penafsiran apapun. (4) Dalam tradisi hukum negara lain, baik dalam sistem civil law maupun common law, undang-undangnya maupun peraturan pemerintahnya jarang disertai penjelasan (explanatory memoranda / elucidation), karena mereka merasa atau menganggap menganggap penjelasan itu ‘breach to judicial power’ (bertentangan dengan kekuasaaan kehakiman yang memiliki kebebasan menafsirkan).

 

  1. Apakah demo-demo damai, orasi, yel-yel Papua merdeka dan teriakan referendum dapat dikenakan pasal 106 KUHP, 110 (1) dan (2)?

Unjuk rasa atau demonstrasi merupakan salah satu bentuk penyampaian pendapat di muka umum yang dijamin oleh undang-undang. Salah satu ketentuan yang mengatur demonstrasi adalah UU Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. Dalam undang-undang ini, demonstrasi adalah kegiatan yang dilakukan oleh seorang atau lebih untuk mengeluarkan pikiran dengan lisan, tulisan, dan sebagainya secara demonstratif di muka umum.

  1. Sebagai bentuk dari penyampaian pendapat di muka umum, unjuk rasa atau demonstrasi merupakan hak legal warga negara yang dijamin negara. Demonstrasi menjadi perwujudan demokrasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Pasal 28 UUD 1945 berbunyi, “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.” Selain itu, ada juga Pasal 28E Ayat 3 yang berbunyi, “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.” Tak hanya itu, sebagai hak asasi manusia, kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum tentu juga tercantum dalam UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
  2. Ekspresi untuk menentukan nasib sendiri, atau self determination, merupakan hak asasi manusia. Ia pula bagian dari ekspresi atau keyakinan politik, yang dilindungi dalam sistem hukum nasional maupun internasional (political expression is protected expression). Hal ini ditegaskan dalam UN Charter (1948) maupun secara khusus dalam Pasal 1 ICCPR (Pemerintah Indonesia mereservasi pasal 1, sehingga tidak dibahas khusus). Dalam pasal 1 ayat 2 UN Charter, dinyatakan, “Untuk membangun hubungan baik antar bangsa-bangsa berbasis pada penghormatan prinsip hak-hak kesetaraan dan menentukan nasib sendiri dari rakyat, dan mengambil langkah-langkah layak untuk memperkuat perdamaian universal/dunia.”
  3. Sekalipun UN Charter bersifat soft law dan reservasi atas pasal 1 ICCPR, secara konstitusi, Pembukaan UUDNRI 1945 justru telah menegaskan perlindungan dan jaminannya, “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.”
  4. Secara ketatanegaraan, konstitusionalitas kebebasan ekspresi dan penyampaian pendapat di muka umum, dalam kerangka hukum demikian, termasuk pertanggungjawaban menghormati dan melindungi ekspresi, tak terkecuali sebagaimana dalam kasus a quo tuntutan menentukan nasib sendiri, atau referendum. Mengajukan tuntutan supaya Pemerintah Indonesia melakukan referendum di Papua dan Papua Barat, justru menunjukkan adanya penghormatan peserta aksi demonstrasi terhadap pemerintah, khususnya Presiden sebagai Kepala Pemerintahan yang sah, dengan cara yang diperbolehkan dalam kerangka hukum untuk mengambil keputusan referendum.
  5. Apalagi, bahwa ekspresi melalui tuntutan referendum merupakan salah satu bentuk perubahan ketatanegaraan yang dikenal dan diakui dalam praktik penyelenggaraan ketatanegaraan di Indonesia, sekaligus menjadi sumber hukum ketatanegaraan. Sebagaimana referendum yang pernah dilakukan di Timor Timur pada 30 Agustus 1999 sebagai langkah yang diambil Presiden RI B.J. Habibie, yang memberikan pilihan kepada Timor Timur, untuk apakah menerima otonomi khusus dalam NKRI atau menolak otonomi khusus yang menyebabkan pemisahan dari Indonesia.
  6. Terlebih lagi, ditegaskan dalam Pasal 110 ayat (4) KUHP yang menyatakan, “Tidak dipidana barang siapa yang ternyata bermaksud hanya mempersiapkan atau memperlancar perubahan ketatanegaraan dalam artian umum.”
  7. Ekspresi, menyuarakan pendapat, dan keyakinan politik, jelas bukanlah merupakan suatu perbuatan makar, dikarenakan demonstrasi yang dilakukan merupakan suatu bentuk pelaksanaan dari hak atas kebebasan berekspresi dan berpendapat dan ekspresi yang dijamin dalam UUDNRI, UU HAM dan UU Nomor 12 Tahun 2005.
  8. Berkaitan dengan dakwaan Pasal 160 KUHP tentang penghasutan, ahli bisa menjelaskan pengertian dari Penghasutan sebagaimana dimaksud dalam pasal 160 KUHP tersebut dan perbuatan apa yang dapat dikategorikan sebagai TP penghasutan?

Meskipun tidak ada penjelasan resmi terhadap makna kata “menghasut”, namun menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Departemen Pendidikan Nasional, 2003:392), tindakan penghasutan adalah suatu perwujudan untuk “membangkitkan hati orang supaya marah (untuk melawan atau memberontak)”, atau menurut Black’s Law Dictionary edisi ke-8 halaman 1.262 dengan menggunakan padanan kata menghasut dengan “provocation” diartikan sebagai, “something (such as word or action) that affects a person’s reason and self-control, esp. causing the person to commit a crime impulsively”;

Perbuatan penghasutan yang dilarang dalam Pasal 160 KUHP adalah menghasut orang lain dengan lisan atau tulisan supaya: a. melakukan tindak pidana; b. melakukan suatu kekerasan kepada penguasa umum, c. tidak mematuhi peraturan perundang-undangan, atau d. tidak mematuhi suatu perintah jabatan yang diberikan berdasarkan peraturan perundang-undangan

Dengan demikian maka perbuatan penghasutan yang dimuat dalam Pasal 160 KUHP bersifat limitatif yaitu harus memuat keempat materi perbuatan di atas. Hal ini berarti bahwa perbuatan penghasutan tidak boleh ditafsirkan secara meluas atau tidak terbatas atau serba meliputi, melainkan hanya yang terkait dengan keempat perbuatan tersebut.

  1. Substansi norma hukum pidana yang dimuat dalam Pasal 160 KUHP terdiri atas unsur: Pertama, dimuka umum dengan lisan atau tulisan menghasut supaya melakukan perbuatan pidana, kedua, melakukan kekerasan terhadap penguasa umum, dan ketiga, tidak menuruti perintah jabatan yang diberikan berdasarkan ketentuan undang-undang;
  2. Esensi dari perbuatan menghasut adalah usaha untuk menggerakkan orang lain supaya melakukan perbuatan tertentu yang dikehendaki oleh penghasut, maka dalam perbuatan penghasutan ada dua kelompok yakni orang yang melakukan penghasutan dan orang yang dihasut. Oleh karena itu sumber niat untuk melakukan perbuatan tertentu yang dilarang dalam hukum pidana bersumber dari orang yang melakukan penghasutan;
  3. Pasal 160 KUHP pada awalnya merupakan delika formil, yaitu delik yang menekankan pada dilarangnya suatu perbuatan. Delik yang cukup mensyaratkan terpenuhinya unsur dengan adanya perbuatan yang dilarang tanpa mengaitkannya dengan akibat dari suatu perbuatan.
  4. Setelah adanya Putusan MK No. 7/PUU-VII/2009 unsur pasal 160 KUHP mengalami perubahan menjadi delik materiil, sehingga tidak cukup dengan hanya perbuatan seorang saja dapat dihukum melainkan harus ada juga akibat yang ditimbulkan dari perbuatan tersebut atau antara perbuatan penghasutan yang dilakukan dengan adanya suatu akibat yang dilarang memiliki hubungan kausalitas. Pasal 160 KUHP diajukan ke MK karena dianggap tidak sesuai dengan dengan amanat Konsitutusi dimana pasal ini dianggap sangat lentur dan diterapkan sesuai dengan kepentingan penguasa atau rezim.
  5. Dalam pertimbangannya MK berpendapat walaupun Pasal 160 KUHP lahir pada masa colonial Belanda, tetapi substansi norma dari Pasal tersebut masih sejalan dengan prinsip negara yang berdasarkan hukum karena norma yang terkandung dalam Pasal 160 KUHP bersifat universal dan tidak mungkin ditiadakan oleh suatu negara beradab yang menjunjung tinggi hukum. Nilai hukum yang hendak dilindungi negara adalah pelindungan terhadap masyarakat dari perbuatan menghasut orang lain agar melakukan suatu perbuatan pidana, menghasut agar orang melakukan kekerasan terhadap penguasa umum atau tidak menuruti perintah jabatan. Pasal ini oleh MK dianggap masih relevan dan dibutuhkan oleh NKRI. Meskipun demikan dalam penerapannya pasal 160 KUHP harus ditafsirkan sebagai delik materiil bukan sebagai delik formil.
  6. Putusan MK Putusan MK No. 7/PUU-VII/2009 (https://www.mkri.id/public/content/persidangan/putusan/putusan_sidang_PUTUSAN%207-KUHP-2009.pdf) telah menyatakan bahwa Pasal 160 KUHP adalah conditionally constitutional dalam arti konstitusional sepanjang ditafsirkan sebagai delik materiil. Artinya dengan ditafsirkan sebagai delik materiil maka pasal ini secara materiil sehingga mengharuskan prinsip kausalitas yang di dalamnya terkandung makna bahwa orang dapat dimintai pertanggungjawaban pidana tidak sematamata atas apa yang diucapkannya melainkan harus dibuktikan terlebih dahulu akibat dari apa yang telah dilakukannya.

Implikasi dari diubahnya unsur pasal 160 KUHP yaitu pasal ini tidak dapat dimaknai lagi sebagai delik formil, melainkan harus dipahami sebagai delik materiil, jadi perkara yang menyangkut dengan pasal 160 KUHP harus dimaknai sebagai delik materiil sehingga harus ada akibat dari perbuatan yang dilakukan, dan antara perbuatan yang dilakukan dengan akibat yang ada harus memiliki hubungan kausalitas. Tidak dapat dikatakan sebagai delik materiil apabila tidak ada akibat timbul dari suatu perbuatan atau antara perbuatan dengan akibat yang ada tidak memiliki hubungan kausalitas.

15. Apakah demo tentang rasisme dan mendorong penindakan yang jelas-jelas merupakan implementasi dari UU No. 40 Tahun 2008 Tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dapat dikategorikan sebagai Penghasutan sebagaimana diatur dalam Pasal 160 KUHP?

Seperti yang saya jelaskan sebelumnya demonstrasi bukanlah masuk kategori delik politik juga yang saya sebutkan sebelumnya mengenai unsur penghasutan dalam Pasal 160 KUHP Tindakan demo tentang rasisme bukan bentuk penghasutan. Perbuatan penghasutan yang dilarang dalam Pasal 160 KUHP adalah menghasut orang lain dengan lisan atau tulisan supaya: melakukan tindak pidana; b. melakukan suatu kekerasan kepada penguasa umum, c. tidak mematuhi peraturan perundang-undangan, atau d. tidak mematuhi suatu perintah jabatan yang diberikan berdasarkan peraturan perundang-undangan.

  1. Dengan demikian maka perbuatan penghasutan yang dimuat dalam Pasal 160 KUHP bersifat limitatif yaitu harus memuat keempat materi perbuatan di atas. Hal ini berarti bahwa perbuatan penghasutan tidak boleh ditafsirkan secara meluas atau tidak terbatas atau serba meliputi, melainkan hanya yang terkait dengan keempat perbuatan tersebut.
  2. Substansi norma hukum pidana yang dimuat dalam Pasal 160 KUHP terdiri atas unsur: Pertama, dimuka umum dengan lisan atau tulisan menghasut supaya melakukan perbuatan pidana, kedua, melakukan kekerasan terhadap penguasa umum, dan ketiga, tidak menuruti perintah jabatan yang diberikan berdasarkan ketentuan undang-undang;
  3. Esensi dari perbuatan menghasut adalah usaha untuk menggerakkan orang lain supaya melakukan perbuatan tertentu yang dikehendaki oleh penghasut, maka dalam perbuatan penghasutan ada dua kelompok yakni orang yang melakukan penghasutan dan orang yang dihasut. Oleh karena itu sumber niat untuk melakukan perbuatan tertentu yang dilarang dalam hukum pidana bersumber dari orang yang melakukan penghasutan;
  4. Perbuatan yang dilarang dalam delik penghasutan adalah menghasut orang lain supaya melakukan tidak pidana, melakukan sesuatu kekerasan terhadap penguasa umum, tidak memenuhi peraturan perundang-undangan, atau tidak mematuhi suatu perintah jabatan yang dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan;

[1] Menurut Prof. Simons,

[2] Istilah Makar sendiri dalam bahasa Belanda (aanslag) yang menurut arti harfiah adalah penyerangan atau serangan, terdapat dalam KUHP yakni Pasal-Pasal 87,

**

Catatan: Postingan berdasarkan izin Koalisi Penegakan Hukum dan HAM Papua

Redaksi Lao-Lao
Teori pilihan dan editorial redaksi Lao-Lao

1 KOMENTAR

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Kirim Donasi

Terbaru

Rekonstruksi Identitas Orang Papua Melalui Perubahan Nama Tempat

Irian berubah menjadi Irian. Masyarakat Papua atau orang-orang yang...

Rosa Moiwend dan Kesalahan Teori Patriarki

Rosa Moiwend, salah satu kamerad kita di Papua menulis di media Lao-Lao Papua pada 9 Juni 2023, bahwa gerakan...

Ekofeminisme dan Hubungan Antara Perempuan dengan Hutan Sagu

Sebuah pandangan mengenai hubungan antara perempuan dengan hutan sagu di Kampung Yoboi, Sentani dan bagaimana mengujinya dengan perspektif ekofeminisme. Sagu...

Ancaman Pembangunan Terhadap Lahan Berkebun Mama Mee di Kota Jayapura

"Ini kodo tai koo teakeitipeko iniyaka yokaido nota tenaipigai, tekoda maiya beu, nota tinimaipigai kodokoyoka, tai kodo to nekeitai...

Memahami Perempuan (Papua) dari Tiga Buku Nawal El Saadawi

Sebuah ringkasan secara umum Pengantar Isu feminisme di Papua pada umumnya masih banyak menuai pro dan kontra. Itu bisa kita temukan...

Rubrikasi

Konten TerkaitRELATED
Rekomendasi Bacaan