Press Release Perempuan Ha Anim: Kasus Kekerasan Seksual Anak di Nabire...

Perempuan Ha Anim: Kasus Kekerasan Seksual Anak di Nabire Perlu Diseriusi

-

Siaran Pers

Nomor: 01/PPHA/V/2023

“Papua Darurat Kekerasan Seksual: Kasus Rudapaksa Anak Berusia Tiga Tahun di Nabire Harus Menjadi Perhatian Bersama Masyarakat Papua Dalam Melawan Segala Bentuk Tindak  Kekerasan Seksual”

Kasus rudapaksa di tanah Papua khususnya terhadap perempuan dan anak terus terjadi bahkan semakin kejam, tidak tanggung-tanggung para pelaku bisa sampai menghabisi nyawa korban. Dalam bulan Mei 2023 ini, hati kita benar-benar dibuat marah, sedih bahkan shock dengan kasus anak berumur 3 tahun yang di rudapaksa oleh tetangganya di Nabire, Provinsi Papua Tengah, di mana kejadian itu terjadi pada hari Rabu, 3 Mei 2023. Dalam kejadian itu  korban ditemukan oleh pihak keluarganya dalam keadaan tak bernyawa, kalau kita lihat ke belakang pada peristiwa pada tanggal 7 Desember 2019, tindak kejahatan rudapaksa juga dialami oleh seorang anak berusia 6 tahun di Nabire yang mana perbuatan keji dan biadab itu menghilangkan nyawa anak. Kita juga tidak bisa melupakan kasus rudapaksa terhadap 4 siswi SMA oleh oknum salah satu Kepala Dinas Provinsi Papua dan oknum politisi. Selanjutnya apabila kita mengulik kembali kasus rudapaksa yang terjadi di Nabire tentang kasus pemerkosaan seorang ayah terhadap anak kandungnya pada tanggal 8 Mei tahun 2022 yang lalu.

Kejahatan rudapaksa terhadap perempuan dan anak tidak hanya terjadi di Nabire, kasus kekerasan terjadi juga di Kabupaten Merauke. Febi Koten yang merupakan Ketua Eksternal Persatuan Perempuan Ha-Anim menyatakan bahwa pihaknya mencatat setidaknya ada 11 kasus kekerasan seksual yang terjadi khusus di Merauke selama rentan waktu 2021 sampai tahun 2023. Menurut Febi, kasus yang mereka catat itu merupakan hasil pencarian berdasarkan data di media dan itu belum termasuk dalam kasus yang tidak diliput oleh media, apalagi yang terjadi tetapi tidak dilaporkan atau diungkap ke publik. Febi menjelaskan lebih lanjut bahwa pihaknya mengidentifikasi bahwa kekerasan seksual khususnya jenis rudapaksa terjadi pada anak umur 3-16 tahun dan rata-rata pelakunya adalah orang terdekat. “Yang kami sampaikan ini khusus kasus kekerasan seksual  berbentuk rudapaksa, itu belum termasuk 14 jenis kekerasan seksual lainya menurut  kategori dari Komnas Perempuan dan Anak Republik Indonesia.” jelas Febi.

Melihat kasus-kasus ini, Magda Lomanop yang merupakan anggota Eksternal Persatuan Perempuan Ha–Anim turut prihatin dan sedih atas semua tindak yang jelas-jelas sudah masuk tindakan pidana kejahatan seksual yang menimpa para perempuan dan anak selaku korban kekerasan seksual. Magda juga menambahkan bahwa penting untuk semua saling melindungi satu sama lain dan bersatu melawan setiap tindak kekerasan seksual terhadap perempuan agar para pelaku dapat menerima sanksi yang sepadan agar mendapat efek jera, sehingga dapat meminimalisir sebuah ruang yang terdapat kesempatan timbulnya tindak kekerasan seksual. “Kasus-kasus ini menyadarkan kita bahwa kekerasan seksual gencar membuntuti setiap perempuan terlebih khusus anak di bawah umur, bahkan pelaku tidak hanya dari orang asing, melainkan orang terdekat kita sendiri.” ungkap Magda.

Maria Goreti selaku Juru Bicara Persatuan Perempuan Ha-Anim menyimpulkan bahwa dengan melihat fakta-fakta yang berkaitan dengan kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak, maka pihaknya dari Persatuan Perempuan Ha-Anim menilai perlu adanya upaya pencegahan kekerasan seksual, yakni dengan memberikan pendidikan hukum kritis serta pendidikan proteksi terhadap anak dari ancaman kekerasan seksual. Oleh sebab itu, Maria menyerukan dan mendesak semua pihak agar:

Pertama: Semua stacholders yang berkaitan isu perempuan dan anak wajib memberikan edukasi tentang bentuk-bentuk terhadap perempuan dan anak terlebih khusus berkaitan dengan kekerasan seksual.

Kedua: Meminta semua elemen-elemen masyarakat harus bersatu dan menyatakan perlawanan terhadap segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan anak khususnya kekerasan seksual.

Ketiga: Semua masyarakat harus sadar dan aktif turut serta melakukan kampanye anti kekerasan seksual menggunakan semua media yang ada.

Keempat: Meminta Kepolisian untuk memproses semua para pelaku kejahatan seksual sesuai dengan proses hukum yang berlaku.

***

Redaksi Lao-Lao
Teori pilihan dan editorial redaksi Lao-Lao

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Kirim Donasi

Terbaru

Kapitalisme di Era Digital: Manusia, Ruang, dan Alat

Ide menulis tulisan ini, dimulai ketika beberapa waktu lalu...

Belajar Gerakan Kedaulatan Diri Owadaa dari Meeuwodide (Bagian 2)

Pada bagian pertama catatan ini sebelumya, saya mencoba untuk belajar pandangan konseptual tentang Owadaa. Selain itu, sisi teologis yang...

Belajar pada Njoto, Menuju Jurnalisme yang Mendidik Massa

Dalam deretan tokoh-tokoh jurnalistik di Indonesia, nama Njoto jarang terdengar. Kerap ketika berbicara mengenai sejarah jurnalisme di Indonesia, nama...

Empat Babak Sekuritisasi di Papua

Sejak dimulainya Operasi Tri Komando Rakyat (Trikora) oleh Presiden Soekarno pada 19 Desember 1961 banyak terjadi pelanggaran hak asasi...

Mambesak dan Gerakan Kebudayaan Papua Pascakolonial

Mambesak tidak sekadar grup musik Papua biasa. Selain sebagai pioner dengan mempopulerkan lagu-lagu daerah Papua yang kaya dan beragam,...

Rubrikasi

Konten TerkaitRELATED
Rekomendasi Bacaan