Analisa Harian Keadilan Gender dan Hubungan Antar Budaya dan Agama di...

Keadilan Gender dan Hubungan Antar Budaya dan Agama di Papua

-

Sepanjang sejarah peradaban manusia, persoalan keadilan sosial umumnya dominan menimpa perempuan. Peran serta perempuan dalam ruang sosial diasosiasikan pada peran domestik dan reproduksi. Hal ini menghambat kemajuan perempuan dalam menggeluti dunia publik dan produksi. Hal semacam ini dapat dikatakan sebagai rekayasa kultural dan tradisi yang memproduksi stereotipe atau label tertentu pada perempuan dan mengakar kuat dalam masyarakat. Secara terminologis, gender dapat dipahami sebagai imajinasi budaya laki-laki dan perempuan. Gender dipandang sebagai suatu konsep kultural yang diaplikasikan untuk memposisikan peran, prilaku, mentalitas, dan karakteristik emosi antara laki-laki dan perempuan.

Dalam konteks Papua, perempuan memiliki nilai yang tinggi secara budaya dan pada saat yang sama terdapat keterbatasan gerak yang secara langsung membatasi ruang gerak yang sama-sama diproduksi oleh budaya lokal. Terjadi subordinasi perempuan dari ruang-ruang publik. Dalam wilayah sosiokultural, perempuan dan laki-laki memiliki peran berbeda dan disusun dalam norma-norma budaya yang diaplikasikan pada aras budaya lokal. Perempuan dilabelkan sebagai warga kelas dua dengan sedikit otoritas publik. Pada wilayah yang berbeda, agama memainkan peran yang nampaknya sama, teks suci dijadikan semacam alat guna mendikte ruang gerak perempuan pada aras agama dan disejajarkan pada warna budaya yang ada.

Dalam wilayah-wilayah praktik keagamaan, perempuan dibatasi pada wilayah tertentu, misalnya di Paniai perempuan tidak boleh memimpin ceramah di hadapan laki-laki. Hal ini dikarenakan pemahaman akan gender yang terbatas dan interpretasi teks suci yang tidak memahami konteks dan cenderung terpenjara dalam “imperialisme” tinta “teks”. Berangkat dari latar persoalan semacam ini, artikel ini hendak melakukan dekonstruksi atas paradigma gender dan sex, ditindaklanjuti dengan usaha konstruktif menala persoalan yang ada dengan melakukan pendekatan-pendekatan guna mereduksi narasi kekerasan terhadap perempuan yang terkadang itu diproduksi tanpa tidak disadari oleh budaya dan agama.

Keadilan Gender

Dalam usaha memproteksi ruang sipil, segenap warga negara juga di dalamnya perempuan, keadilan gender terakomodir dalam Lampiran Intruksi Presiden (Inpres) No. 9 Tahun 2000 yang di dalamnya dinyatakan bahwa keadilan gender adalah suatu proses untuk menjadi adil terhadap laki-laki dan perempuan. Keadilan gender ini dimaksudkan untuk mengatasi ketidakadilan gender itu sendiri, yang meliputi marginalisasi, subordinasi, stereotipe, kekerasan, dan beban kerja. Secara dialektis masing-masing ketidakadilan yang ada berpengaruh dan ke semuanya ini memproduksi ketidakadilan sosial.

Dalam usaha menghapus ketidakadilan gender, studi feminis, dan gender digagas untuk memangkas ketidakadilan gender, keadilan sosial adalah bola yang tidak pernah sampai pada mulut gawang jika keadilan gender belum terwujud. Keadilan gender bukan berusaha membuat sama antara laki-laki dan perempuan tetapi yang definisikan pada wacana ini adalah sama dalam mengakses ruang publik. Laki-laki dan perempuan sama-sama memiliki ruang yang sama untuk mengaktualisasikan diri sesuai dengan kemampuan masing-masing tanpa melakukan satu tindak kekerasan.

Perspektif: Gender, Sex, dan Peran

Pemahaman akan gender perlu dibedakan dari seks. Seks memiliki orientasi pada perbedaan mendasar jenis kelamin laki-laki dan perempuan. Laki-laki dan perempuan memiliki kodrati yang berbeda, perempuan memiliki alat reproduksi rahim dan saluran-saluran untuk melahirkan, memproduksi telur, alat vagina, mempunyai alat menyusui yang terangkum sebagai alat biologis. Sedangkan laki-laki memiliki jakun, bersuara berat, mempunyai penis, testis, alat reproduksi sperma. Perbedaan gender sesungguhnya bukanlah masalah serius sepanjang tidak memproduksi ketidakadilan gender (gender ineguratics). Dalam memahami dan mendefinisikan kerangka gender, kita harus terlebih dahulu membedakan antara gender dan seks (jenis kelamin). Gender adalah sebuah sifat yang terbenam dan melekat pada baik laki-laki dan perempuan, yang pada prinsip sederhananya di konstruksi secara kultural dan sosial melalui dinamika panjang.

Sosiokultural pada dasarnya memproduksi gender pada poros interpretasi budaya. Sebagai contoh masyarakat di pedalaman Papua memahami perempuan sebagai pribadi yang lemah dan laki-laki sebagai pribadi yang kuat yang ini membuat laki-laki dan perempuan melakukan pekerjaan berbeda dalam rentan waktu yang sama di ruang sosial dan memahami pengalaman yang berbeda. Perspektif semacam ini memainkan peran kedudukan yang penting dalam ruang sosial budaya masyarakat lokal. Membuat pengalaman hidup laki-laki dan perempuan cenderung berbeda di saat yang sama, pengalaman hidup, akses terhadap pendidikan, dunia kerja, dan sektor-sektor publik lainnya cenderung didominasi oleh kaum laki-laki.

Tabel perbedaan Gender dan Sex

Sumber: Ikhlasiah Dalimoenthe (2021)
Sumber: Ikhlasiah Dalimoenthe (2021)

Dari tabel di atas kita dapat setidaknya memahami domain dari apa itu gender dan sex, perempuan dan laki-laki memainkan peran yang berbeda dan itu bisa dilihat dalam ruang sosiokultural. Menurut Scanzoni dan Szinovac, preferensi untuk istri terdiri dari: 1). Seorang istri bertugas untuk memperhatikan dan memelihara suaminya, 2). Jika istri bekerja, ia tidak melakukan atau tidak mencoba melakukan suatu pekerjaan yang sama dengan suaminya, 3). Istri yang berkerja mesti mestinya menyerahkan pekerjaannya ketika hal itu tidak membuat suaminya senang, 4).  Pekerjaan istri justru yang penting adalah menyenangkan suaminya ketiak bekerja, 5). Seharusnya istri melakukan rancangan yang panjang dalam cara yang sama dengan apa yang dilakukan suaminya. Berbeda dengan itu preferensi peran laki-laki adalah: 1). Jika pekerjaan yang dilakukan istri membutuhkan waktu sampai malam, maka semestinya tidak mengganggu suaminya, 2). Jika istri memperoleh lebih banyak uang dari apa yang dikerjakan suaminya semestinya seorang istri tidak mengganggu sang suami, 3). Jika istri bekerja, ia harus dapat membagi secara merata pekerjaan antara apa yang ia kerjakan dan pekerjaan di rumah., 4). Laki-laki yang berstatus berkeluarga mempunyai tugas dan tanggung jawab terhadap apa yang ia kerjakan, 5). Suami adalah kepala keluarga dan harus bertanggung jawab atas porsi itu.

Secara sosiologis, laki-laki dan perempuan miliki 4 (empat) antara lain: peran gender, peran produktif, peran reproduktif, dan peran sosial kemasyarakatan. Peran gender adalah peran antara laki-laki dan perempuan adalah diproduksi sesuai dengan latar sosial, budaya, dan struktur sosial komunitas masyarakat. Peran itu direkam oleh memori anggota masyarakat dan diaplikasikan di ruang publik. Peran produktif, peran ini mengacu pada kegiatan yang menghasilkan barang dan pelayanan untuk konsumsi dan perdagangan. Peran reproduktif, peran ini adalah peran yang dibagi lagi atas dua jenis, yakini, biologis dan sosial. Biologis berpusat pada peran laki-laki dan perempuan dalam reproduksi, misalnya perempuan melahirkan. Peran sosial merujuk pada aktivitas merawat dan mengasuh. Peran sosial masyarakat, adalah peran pada semua aktivitas yang diperlakukan untuk menjalankan dan mengordinasikan kehidupan masyarakat.

Abstraksi dan indikasi merealisasikan keadilan gender adalah sebagai berikut:

  1. Menerima dan memandang secara wajar perbedaan pada laki-laki dan perempuan, karena adanya penghormatan pada perbedaan termasuk wujud dari ketidakadilan gender.
  2. Mendiskusikan bagaimana merombak struktur masyarakat yang membedakan peran dan relasi antara laki-laki dan perempuan, serta berupaya menyeimbangkannya.
  3. Meneliti kemampuan dan bakat masing-masing warga negara, baik laki-laki dan perempuan untuk terlibat dalam pembangunan masyarakat, memecahkan berbagai permasalahan, serta mempersiapkan masa depan yang lebih adil.
  4. Memperjuangkan secara terus menerus hak asasi manusia, dimana isu gender juga mendapat ruang disana dan tak dapat dipisahkan dari persoalan-persoalan lain.
  5. Mengusahakan perkembangan dan penegakan demokrasi dan pemerintahan yang baik dalam semua institusi masyarakat, dengan melibatkan perempuan dalam semua level.
  6. Pendidikan merupakan kunci bagi keadilan gender, karena pendidikan merupakan tempat masyarakat mentransfer norma-norma, pengetahuan, dan kemampuan mereka.

Dalam usaha memotong rantai kekerasan terhadap perempuan di Papua, narasi-narasi perdamaian dan keadilan harus segera di konstruksi dari ruang masalah dimana persoalan-persoalan yang ada dibedah melalui pendekatan-pendekatan, baik, teologis, filosofis, dan sosiologis.

Peran Publik dan Domestik Pada Aras Budaya Lokal

Terlihat bawa nampaknya konstruksi sifat feminin dan maskulin melahirkan dampak pada dikotomi peran berbeda baik laki-laki dan perempuan. Berangkat dari latar pengalaman budaya pegunungan tengah Papua bahwa perempuan dan sifat femininnya dilabelkan untuk berperan dalam wilayah domestik seperti mengurus anak-anak, memasak, membereskan rumah, mengurus ternak peliharaan merawat kebun, jualan di pasar, dan lain sebagainya. Pekerjaan-pekerjaan domestik ini nampaknya terlihat harus dikerjakan perempuan yang lembut, sabar, dan selusin alasan lain. Di lain wilayah, laki-laki pada sifat maskulin bekerja pada wilayah mencari nafkah, melindungi keluarga, membuka kebun, berburu, dan lain-lain.

Hal-hal yang terlihat baik dari sudut pandang maskulin dan feminin nampaknya memperlihatkan padang bahwa sebenarnya ini adalah sebuah produk yang di konstruksi oleh budaya. Abdullah (2001) mengatakan bahwa keterlibatan perempuan dalam pekerjaan kasar sesungguhnya memperlihatkan ketimpangan gender. Pembagian kerja secara seksual tidak hanya terjadi pada bidang domestik dan publik, namun pada bidang publik pun terjadi segmentasi yang menempatkan perempuan dan laki-laki pada poros wilayah yang berbeda. Terdapat narasi bahwa “perempuan sekolah tinggi tetap kembali ke dapur” ini adalah bentuk argumentasi yang diskriminatif yang adalah produksi pikiran budaya yang dielaborasi pada konteks masyarakat moderen. Stigmatisasi semacam ini adalah bentuk ketimpangan keadilan gender pada aras budaya lokal yang diproduksi oleh pengalaman sosial di ruang publik.

Dekonstruksi Teks: Pendekatan Teologis, Sosiologis, dan Filosofis

Dekonstruksi teks adalah jalan tengah menjembatani arus pemikiran yang barangkali terkontaminasi oleh teks secara radikal dan penafsiran yang kaku terhadap teks dengan pendekatan teologis, sosiologis, dan filosofis. Teologi pada prakteknya haruslah dilahirkan dari persoalan fundamental umat, pendekatan teologis menggunakan metode hermeneutis berusaha melakukan penafsiran ulang terhadap teks-teks tertentu dengan melihat latar sosial di belakang teks dan mengambil latar itu guna memproduksi pemahaman baru yang diharapkan akan menghapus ketidakadilan gender dari sudut padang teologis pada latar sosial dan budaya lain, dalam hal ini adalah masyarakat Papua. Narasi-narasi teologis yang kaku tanpa melihat latar sosial teks perlu didudukkan pada semacam “klarifikasi kebenaran” guna menemukan kebenaran hakiki.

Pendekatan sosiologis sangat diperlukan dalam upaya menemukan norma-norma budaya dan agama yang kaku dalam implementasi di ruang praktik budaya dan agama yang cenderung dapat terus melegalkan ketidakadilan gender. Pendekatan sosiologis pada termin lain berguna melacak dan melahirkan ide-ide konstruktif guna kesadaran keagamaan dan budaya pada sintetis baru di Papua. Pendekatan sosiologi berusaha melakukan penetralan akan fenomena gender di ruang masyarakat yang berkenan dengan bidang-bidang ekonomi, hukum, pemerintahan, kesehatan, politik, agama, kesenian, teknologi, pendidikan, kepemimpinan, tenaga kerja, kekerasan, kekerasan seksual, perdagangan manusia, dan lain-lain.

Pendekatan filosofis, adalah usaha memahami dan menjelaskan apa yang terproyeksi dari proyektor budaya dan agama. Atau sekurang-kurangnya memahami dan menjelaskan apa yang melahirkan ketidakadilan dari suatu latar sosial tertentu. Kemudian latar itu digunakan menjadi alat guna memproduksi situasi yang netral di ruang sosial tanpa memproduksi kekerasan dan ketidakadilan. Artinya, pendekatan ini dipakai dengan usaha menetralkan suatu keadaan yang tidak netral dengan membedah faktor-faktor pendukung munculnya masalah keadilan sosial. Pendekatan-pendekatan yang dimaksudkan adalah usaha dan loyalitas terhadap komitmen bersama segenap warga dalam memproteksi ruang sipil, yang olehnya dapat melahirkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat di ruang publik.

Gender dan Teori Nature

Hubungan antara gender dan teori nature, nampaknya perlu untuk dibedah disini, selain tori nature terdapat juga teori konflik sosial namun dalam sub bagian ini tidak akan di bahas disini. Gender dan teori nature mendapat ruang besar dalam ruang-ruang akademik karena teori ini dinilai mengkerdilkan isu gender itu sendiri. Teori nature jika dikritisi, terlihat bahwa, teori ini nampaknya tidak dapat menciptakan keharmonisan di ruang publik terlebih dalam hubungannya dengan keadilan gender.

Teori nature berdalih bahwa konstruksi sosial yang menjadikan perempuan dan laki-laki untuk masuk pada perbedaan kelas. Mosse (1996) berpendapat bahwa teori nature menyatakan bahwa pembedaan yang ada pada laki-laki dan perempuan adalah suatu kodrat, oleh karenanya hal ini harus diterima oleh segenap masyarakat. Hal ini harus diterima dikarenakan memang terdapat perbedaan biologis, baik laki-laki dan perempuan. Secara struktur fungsional, teori nature menempatkan laki-laki dan perempuan pada peran yang dimainkan oleh laki-laki dan perempuan. Peran biologis ini melahirkan, baik indikasi dan implikasi bahwa memang dikarenakan terdapat perbedaan antara laki-laki dan perempuan secara biologis, maka ini harus diterima sebagai kodrati manusia, masing-masing individu memainkan peran secara fungsional.

Menurut teori nature, perbedaan di antara laki-laki dan perempuan merupakan produk sosial budaya suatu masyarakat. Teori nature melahirkan aliran paham sosial konflik yang umumnya dianut oleh masyarakat sosial komunis, sehingga dapat menghilangkan strata penduduk (egalitarian). Teori nature, menekankan bahwa laki-laki dan perempuan masuk pada perbedaan kelas yang mana perbedaan ini adalah sebuah konstruksi sosial budaya. Meskipun dalam aplikasinya teori ini mendapat hantaman kritikan terutama dari kaum feminis, namun teori ini masih mendapat ruang pada ruang diskusi, terkhusus pada masyarakat industrial yang cenderung tetap mempertahankan prinsip-prinsip ekonomi yang didasari pada aspek produktivitas.

Kesimpulan

Akhirnya serpihan pikiran ini sampai pada tahap akhir di mana artikel ini hendak menyimpulkan pembahasan di atas dengan mengatakan bahwa. Dalam realitas sosial budaya dan agama di Papua, narasi gender dan keadilan setidaknya juga harus diangkat sebagai isu sosial yang penting, pemahaman ini akan melahirkan setidaknya “kemungkinan” menciptakan Papua sebagai tanah yang damai dalam harmoni bersama. Paradigma yang kaku atas teks, atau konsep-konsep budaya yang radikal dalam menyuplai narasi kekerasan terhadap perempuan harus mulai menjadi perhatian dalam usaha memproteksi ruang sipil perempuan Papua. Dalam semangat seperti itu, tulisan ini ingin mengambil bagian dalam proyek itu.

***

Referensi

Dalimeonthe, I. (2021). Sosiologi Gender. Jakarta: Bumi Aksara.

Rokhmansyah, A. (2016). Pengantar Gender & Feminis: Pemahaman Awal Kritik Sastra Feminisme. Yogyakarta: Garudhawaca.

Mosse, J. C. (1996). Gender dan Pembangunan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Frestone, S. (2015). The Dialectic of Sex: The Case For Feminist Revolution. New York: Verso Books

Abed Nego Tabuni
Penulis adalah mahasiswa Program Magister Sosiologi Agama di Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW), Salatiga, Jawa Tengah.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Kirim Donasi

Terbaru

Rekonstruksi Identitas Orang Papua Melalui Perubahan Nama Tempat

Irian berubah menjadi Irian. Masyarakat Papua atau orang-orang yang...

Rosa Moiwend dan Kesalahan Teori Patriarki

Rosa Moiwend, salah satu kamerad kita di Papua menulis di media Lao-Lao Papua pada 9 Juni 2023, bahwa gerakan...

Ekofeminisme dan Hubungan Antara Perempuan dengan Hutan Sagu

Sebuah pandangan mengenai hubungan antara perempuan dengan hutan sagu di Kampung Yoboi, Sentani dan bagaimana mengujinya dengan perspektif ekofeminisme. Sagu...

Ancaman Pembangunan Terhadap Lahan Berkebun Mama Mee di Kota Jayapura

"Ini kodo tai koo teakeitipeko iniyaka yokaido nota tenaipigai, tekoda maiya beu, nota tinimaipigai kodokoyoka, tai kodo to nekeitai...

Memahami Perempuan (Papua) dari Tiga Buku Nawal El Saadawi

Sebuah ringkasan secara umum Pengantar Isu feminisme di Papua pada umumnya masih banyak menuai pro dan kontra. Itu bisa kita temukan...

Rubrikasi

Konten TerkaitRELATED
Rekomendasi Bacaan