Catatan dari Kampung Cerita Tentang Thomantin dan Kerajinan Tradisional dari Kota Pala,...

Cerita Tentang Thomantin dan Kerajinan Tradisional dari Kota Pala, Fakfak

-

Pada Rabu, 19 April 2023 pukul 5 sore, saya dan kawan-kawan berkunjung ke Kampung Tetar, Distrik Teluk Patipi, Kabupaten Fakfak, Papua Barat. Kampung itu adalah salah satu kampung asli masyarakat adat dari 10 kampung di Distrik Teluk Patipi dengan ibu kota distrik adalah Kampung Patipi Pesisir.

Untuk sampai di sana kami menempuh perjalanan selama dua jam dengan kondisi jalan berlika-liku juga berbukit-bukit, dengan banyak tanjakan yang sangat terjal. Sebelum tiba di Tetar, kami berhenti di sebuah bukit yang memperlihatkan keindahan alam kampung dari kejauhan. Dari bukit itu kami menikmati sejenak suasana senja sebelum malam menjemput di Teluk Patipi.

Dari bukit itu, kami meluncurkan motor perlahan menuju kampung yang berjarak sekitar 1 kilo meter. Setibanya di Kampung, kami mengunjungi beberapa tempat untuk berkegiatan. Saat itulah tanpa sengaja kami melewati sebuah tugu. Nampak patung seorang  laki-laki Papua dengan pakaian tradisional berhadapan pada sebuah tugu buah pala. Tugu ini dikelilingi pagar setengah meter dengan beberapa huruf yang terbaca “Henggi Thomantin”.

Tugu Henggi Thomantin. Foto Yason Ngelia/laolao-papua.com

Saya bertanya kepada kawan-kawan yang menemani kami. Menurut mereka, Tugu Thomantin ini memiliki sejarah bagi masyarakat karena di tempat berdirinya tugu itu, persis nenek moyang mereka berjumpa bangsa asing (Portugis dan Spanyol) sekitar tahun 1500an. Dan untuk pertama kalinya mereka mengetahui nilai ekonomis dari buah pala atau dalam bahasa asli mereka ini adalah Thomantin.

Sebelum masuknya bangsa asing, Thomantin hanya tumbuh secara liar di dusun-dusun mereka. Tetapi sesudah itu, sekarang masyarakat adat Fakfak atau yang kita kenal dengan sebutan masyarakat adat Mbaham Matta[1] mulai menanam dan mengelola pala sebagai sumber pendapatan mereka.

Hari ini pohon pala yang mereka tanami memiliki dua jenis, yaitu pala negri (Thomantin) atau dikenal juga pala Papua (myristica argentea warb) dan pala banda (myristica fragrans houtt) yang berasal dari Pulau Banda, Maluku. Menurut mereka. Thomatin jauh lebih unggul secara kualitas dari pala Banda. Seperti ukuran biji maupun dagingnya yang jauh lebih besar dibandingkan pala Banda yang lebih kecil dan bundar.

Bagian pohon pala yang bernilai ekonomis adalah biji dan fulinya (arilus) yang dapat diolah menjadi minyak pala. Sedangkan daging buah akan diolah berbagai makanan khas seperti manisan, sirup, selai, dan juga sabun mandi. Di bagian bijinya juga dapat diolah menjadi bumbu-bumbu dapur, obat-obatan, dan juga balsem. Dengan sejarah pala yang sudah ratusan tahun di sana dan manfaat serta pengelolaan seperti itu, maka tidak perlu kita perdebatkan kalau Fakfak memang layak dengan predikat sebagai Kota Pala.

Pala telah membantu masyarakat adat untuk memenuhi ekonomi keluarga, sekolah anak, dan bagian dari rutinitas bersama orang kampung setiap musim pala tiba. Sayangnya, menurut masyarakat harga pala Fakfak hanya dinilai 500 ribu rupiah per 1000 biji. Harga yang jauh berkali lipat ketika sudah keluar dari Fakfak. Beberapa petani pala Fakfak pernah berinisiatif untuk membawa pala mereka untuk dijual langsung ke Sulawesi dan Surabaya dengan harapan harganya jauh lebih baik, sebaliknya perjalanan kapal yang cukup jauh tidak membuahkan hasil.

Sebagai petani masyarakat adat merasa kurang puas atas kondisi itu terutama karena merasa ada para tengkulak yang bermain dengan harga pala di Fakfak. Sehingga tidak jarang mereka mengupayakan berbagai cara untuk menyampaikan aspirasi, dengan membentuk serikat petani pala, audiensi, bahkan demonstrasi-demonstrasi, namun sampai dengan sekarang Pemerintah Fakfak hanya mengeluarkan Perda pengawasan terhadap pohon pala yang tidak berguna sama sekali.

Perasaan atas kondisi mereka ini bukan hal yang berlebihan, terutama karena Indonesia adalah negara utama produksi dan pengekspor pala di dunia, terutama biji dan fuli. Diketahui  Indonesia dan Granada dengan bagian pasar masing-masing negara sebesar 75% dan 20%. Sisanya dipenuhi oleh Malaysia, Sri Lanka, Papua Nugini, India, dan beberapa pulau di Karibia[2]. Dengan prestasi sebagai pengekspor itu justru petani pala Fakfak jauh dari kata sejahtera.

Pala Negri atau Thomantin. Foto: Samuel Moifilit.

Akhirnya, cerita yang kami dengar panjang lebar, pada akhirnya harus dibatasi oleh waktu. Motor yang kami sewa beberapa hari ini harus ditarik kembali ke pangkalan ojek. Pukul 11 malam kami gas balik ke Kota Fakfak.

***

Seminggu lebih di sana, saya mendengar dan mengamati banyak hal, di antaranya cara mama Monika Wagab dan mama Martha Tigtigweria membuat kopi (mehak), membuat tas (tomang), dompet (lopa-lopa), tikar (kalipan), tempat korek, dan banyak hal. Setiap kali menyajikan mehak, mama Monika mengambil kopi yang telah lebih dahulu di jemur di matahari, di sangrai di kuali, kemudian giling di wadah tradisional sebelum akhirnya dimasak dan disajikan di mangkuk kopi berukuran kecil.

Mama Monika dan Mama Martha sedang membuat kopi. Foto Yason Ngelia/laolao-papua.com.

Proses ini unik dan mungkin melelahkan bagi kalian yang menyukai proses yang instan, tetapi bagi mama dan kebanyakan masyarakat Fakfak, yang instan tidak senikmat mehak mereka. Selain itu penyajian seperti ini sarat makna yang filosofis dan nilai estetis. Sebuah ritual yang cocok bagi para penikmat kopi di Fakfak.

Cara penyajian ini umum bagi orang Fakfak, bukan hanya di Kampung Raduria, Distrik Fakfak Tengah ini, tetapi biasa dilihat di kalangan pelajar dan mahasiswa Fakfak di berbagai kota studi yang juga sering membuat ritual penyajian unik ini. Sehingga saya punya kesimpulan kalo soal menikmati kopi orang Fakfak, tidak pernah main-main.

Siang hari tanggal 21 April 2023, saya mengikuti kawan-kawan yang mengambil film dari mama Monika dan mama Martha ke dusun pala yang hanya berjarak sekitar 1 kilo meter dari rumah. Lokasi relatif dekat namun tidak muda karena sedikit berbukit. Di sana mama Monika dan mama Martha tunjukan dua jenis pohon pala, yaitu pohon pala banda dan pala negri, juga pohon jerten (daun untuk tikar), sirom ten (daun untuk tomang), nduber ten untuk lopa-lopa yang akan dipakai sebagai bahan pembuat tikar tradisional, tomang, dan lopa-lopa. Saya menyaksikan dari jarak beberapa meter sambil mendengarkan penjelasan mereka untuk film yang sedang diproduksi oleh tim Papuan Voices.

Mama Monika dan Mama Marta sedang mengumpulkan bahan untuk kerajinan mereka. Foto Yason Ngelia/laolao-papua.com.

Pengelolaan dan produksi berbagai kerajinan tradisional ini sudah diwariskan turun temurun. Sehingga kebanyakan perempuan di kampung mengenal bahan dan cara merajutnya. Beberapa laki-laki dikatakan mampu merajut tomang dan lopa-lopa khusus. Tetapi kini laki-laki dengan kemampuan merajut sudah jarang ditemukan di tiap kampung. Proses pembuatan tiap kerajinan itu butuhkan waktu bervariasi. Tikar yang paling lama karena ukuran jauh lebih besar sehingga waktu yang dibutuhkan bisa hingga sebulan.

Sedangkan untuk pemasaran kerajinan-kerajinan ini tidak begitu menjanjikan seperti buah pala. Sehingga di buat terbatas untuk kebutuhan rumah tangga, sedang untuk pasaran dibuat hanya berdasarkan pesanan saja.

Mama Monika sedang membuat berbagai Kerajinan. Foto Yason Ngelia/laolao-papua.com.

Umumnya kerajinan-kerajinan tradisional ini adalah identitas bagi masyarakat adat. Begitu juga masyarakat adat Papua. Dengan menggunakan salah satu kerajinan kita dapat mengetahui berasal dari daerah mana mereka, atau asal kerajinan itu. Namun pada sebuah film dokumenter yang di produksi Yayasan Belantara Sorong beberapa bulan sebelumnya, diungkapkan oleh Dinas Kebudayaan Kabupaten Fakfak, bahwa selain kerajinan, ternyata pakaian adat Fakfak yang berasal dari kulit kayu (hawah) juga terancam punah karena sudah jarang digunakan sehingga jarang di produksi.

Fakta-fakta ini menjadi cerita miris yang selalu ditemukan di seluruh tanah Papua. Ancaman serius bagi masyarakat adat. Terutama identitas adatnya itu berasal dari hubungan mereka dengan alam (tanah dan hutan), bahasa, kerajinan tradisional yang hari ini ternyata mengalami perubahan, degradasi perlahan-lahan. Atau bahkan terancam punah.

***

Referensi:

[1] “Mbaham Matta” yang saya sebutkan adalah istilah masyarakat untuk diri mereka di sana. Ini merujuk pada orang asli yang memiliki wilayah adat tersebut.

[2] Jurnal berjudul “Strategi Pemberdayaan Petani Pala Dalam Meningkatkan Kualitas Tanaman Pala oleh Dinas Perkebunan Kabupaten Fakfak” ditulis oleh Misrull Ashary Naisin dan Muhammad Fandy Asyik diterbitkan di Jurnal Terapan Pemerintahan Minangkabau Vol. 2, No. 1, Edisi Januari – Juni 2022.

***

Foto-foto:

Tas tradisional Tomang untuk mengisi berbagai kebutuhan kebun. Foto Yason Ngelia/laolao-papua.com.

Lopa-lopa atau dompet tradisional untuk mengisi tembakau, uang, dan benda berukuran kecil lainnya. Foto Yason Ngelia/laolao-papua.com.

Noken Fakfak. Foto Yason Ngelia/laolao-papua.com.
Noken Fakfak. Foto Yason Ngelia/laolao-papua.com.

Pala Banda. Foto Samuel Moifilit.

***

Yason Ngelia
Penulis adalah aktivis Gerakan Perjuangan Rakyat Papua (GPRP) dan Pengasuh Rubrik Analisa Harian.

1 KOMENTAR

  1. Sungguh luar biasa betul kaka
    Dan menarik ketika membaca dan menyimak isi dari pada cerita di atas 💝🌹

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Kirim Donasi

Terbaru

Rekonstruksi Identitas Orang Papua Melalui Perubahan Nama Tempat

Irian berubah menjadi Irian. Masyarakat Papua atau orang-orang yang...

Rosa Moiwend dan Kesalahan Teori Patriarki

Rosa Moiwend, salah satu kamerad kita di Papua menulis di media Lao-Lao Papua pada 9 Juni 2023, bahwa gerakan...

Ekofeminisme dan Hubungan Antara Perempuan dengan Hutan Sagu

Sebuah pandangan mengenai hubungan antara perempuan dengan hutan sagu di Kampung Yoboi, Sentani dan bagaimana mengujinya dengan perspektif ekofeminisme. Sagu...

Ancaman Pembangunan Terhadap Lahan Berkebun Mama Mee di Kota Jayapura

"Ini kodo tai koo teakeitipeko iniyaka yokaido nota tenaipigai, tekoda maiya beu, nota tinimaipigai kodokoyoka, tai kodo to nekeitai...

Memahami Perempuan (Papua) dari Tiga Buku Nawal El Saadawi

Sebuah ringkasan secara umum Pengantar Isu feminisme di Papua pada umumnya masih banyak menuai pro dan kontra. Itu bisa kita temukan...

Rubrikasi

Konten TerkaitRELATED
Rekomendasi Bacaan