Pernyataan Sikap
Gerakan Rakyat Demokratik Papua (Garda-P), Komite Nasional Papua Barat (KNPB), dan Gerakan Mahasiswa Pemuda & Rakyat Papua (GempaR-Papua)
Dalam Rangka Hari Pengungsi Sedunia 20 Juni 2023
Sejak Trikora dikumandangkan di alun-alun Yogyakarta oleh Soekarno pada 19 Desember 1961, sejak saat itu operasi besar-besaran terjadi di Papua. Data ELSAM Jakarta menyebutkan sebanyak 33 operasi intelijen dan operasi teritorial dilakukan untuk menghadapi Belanda dan 11 Operasi yang dilakukan sejak tahun 1966-1991 untuk menghadapi OPM. Sementara itu 4 operasi lainnya dilakukan juga oleh militer Indonesia di daerah perbatasan dengan dipimpin oleh Iman Munandar. Peristiwa ini menyebabkan puluhan ribu masyarakat sipil melakukan pengungsian ke wilayah PNG.
Frengky Samperante menuliskan bahwa, “Latar belakang kehadiran kolonialisme, operasi militer, dan teritorialisasi negara yang menyingkirkan orang asli Papua dari tanahnya dan pembuka jalan masuknya serbuan kapitalisme di tanah Papua. Masyarakat adat setempat kehilangan kontrol dan kuasa atas tanahnya. Situasi latar ini dalam konsep Karl Marx disebut sebagai akumulasi primitif, prakondisi untuk akumulasi modal, yakni, proses pemisahan para produsen independen dari alat produksi mereka, penciptaan hak milik pribadi yang kapitalistis dan pembentukan kelas buruh upahan bebas.”
Pendropan TNI dan Polri, serta berbagai operasi baik militer organik maupun non organik, telah membawa rakyat Papua untuk berlari demi menyelamatkan hidup. Dalam kondisi ini ada hukum internasional yang digunakan untuk melindungi pengungsi, yaitu, Konvensi 1951 dan Protokol 1967. Di samping itu, Konvensi Geneva 1949 tentang dan Protokol Tambahan 1-1977, yang mengatur khusus Humanitarian Refugees. Namun faktanya puluhan ribu pengungsi di Papua yang telah memenuhi dua faktor untuk diakui statusnya sebagai pengungsi, yaitu, faktor subjektif dan faktor objektif masih tetap tidak mendapatkan haknya, yaitu hak untuk hidup dan hak untuk mendapatkan rumah.
Hari ini, tepat 20 Juni 2023 diperingati sebagai Hari Pengungsi Sedunia atau World Refugee Day, dimana Hari Pengungsi Sedunia untuk pertama kali diselenggarakan pada 20 Juni 2001 untuk memperingati 50 tahun Konvensi 1951 tentang status pengungsi.
Pada peringatan Hari Pengungsi Sedunia tahun ini diusung tema Hope away from home. A world where refugees are always Included. Arti dari tema tersebut adalah “Harapan jauh dari rumah. Sebuah dunia di mana para pengungsi selalu disertakan”.
Maka, dalam rangka memperingati Hari Pengungsi Sedunia, kami tuliskan kondisi pengungsi di 6 wilayah konflik di tanah Papua, di antaranya Maybrat, Nduga, Intan Jaya, Yahukimo, Puncak Papua, dan Pegunungan Bintang:
Maybrat
Pasca konflik penyerangan Posramil Kisor pada 2 September 2021 lalu, menyebabkan warga sipil di wilayah Aifat Timur Raya dan Aifat Selatan dipaksa keluar dan mengungsi ke kampung-kampung sekitar dan kabupaten terdekat. Konflik ini menyebabkan warga sipil kehilangan hak atas hidupnya.
Hingga saat ini kondisi pengungsi sangat memprihatinkan. Terlebih khusus perempuan dan anak. Di tempat-tempat pengungsian, banyak mengalami masalah dasar seperti kesehatan anak dan perempuan memburuk, pendidikan anak yang terabaikan, dan kehilangan mata pencarian.
Sementara itu, penambahan dan pendropan militer terus dilakukan di kampung-kampung yang dipetakan sebagai zona merah. Saat ini TNI membangun pos-pos militer di semua kampung di Maybrat, secara khusus di wilayah Aifat Timur Raya, Aifat Utara, dan Aifat Selatan. Kondisi pengungsi saat ini yang mayoritas adalah perempuan dan anak sangat memprihatinkan, antara lain: kekurangan makanan, anak yang kurang gizi, Pendidikan dan layanan kesehatan yang tidak memadai, hingga menyebabkan banyak anak dan perempuan yang meninggal.
Pemerintah Kabupaten Maybrat terkesan abai dalam penanganan dan pemenuhan hak-hak dasar pengungsi.
Pemerintah sendiri memaksa pengungsi pulang dengan ancaman menghentikan pencairan dana kampung serta mengganti kepala kampung jika kepala kampung gagal membawa masyarakat pulang.
“Kami berharap semua pihak bisa membantu. Terlebih gereja dan pemerintah harus lebih serius menangani masalah pengungsi dan kepada pemerintah untuk tidak menutup masalah pengungsian dengan memaksa pengungsi pulang dengan kondisi militer yang masih menempati kampung-kampung masyarakat.” ujar pengungsi dari Maybrat.
Nduga
Konflik berkepanjangan di Nduga juga menyebabkan masyarakat sipil harus pergi dan mengungsi. Lani Jaya, Timika, Yahukimo, dan Wamena adalah daerah tempat mengungsi. Pengungsi telah hidup di pengungsian dari tahun 2018-2023, namun tidak diurus oleh pemerintah provinsi maupun pusat.
Dari tahun 2018 sampai awal Januari 2023, ada 11 distrik di Kabupaten Nduga kosong karena masyarakat sipil mengungsi. Dan sejak penyanderaan pilot sejak Februari sudah 4 distrik yang kosong. Saat ini total 15 distrik yang telah mengungsi. Berikut adalah nama korban ibu dan anak:
- Kamalet Gwijangge 27 tahun (Distrik Mugi, 2019) Anaknya Raina Nirigi, 1.6 bulan di nyatakan hilang.
- Yulitina Nimiangge 28 tahun hamil 6 bulan ( Distrik yigi 2020) anak-anak laki-laki 2 orang di tembak mati.
- Nandena Kurungga 23 tahun hamil 7 bulan (Distrik Mam) 23 Maret 2023.
Masalah utama bagi pengungsi adalah layanan pendidikan dan kesehatan di Nduga tidak berjalan. Pemerintah sudah kerja sama dengan pemerintah Lani Jaya untuk layanan RS gratis, tetapi pengungsi yang mengungsi di daerah Wamena banyak yang meninggal. Banyak perempuan yang harus kehilangan suaminya. “Saya sering membantu mereka yang suaminya meninggal dengan membantu kerja di kebun dengan garap kebun. Kebanyakan anak yatim dan janda.” ujar Raga Kogoya.
Saat ini yang dibutuhkan pengungsi Nduga di Wamena dan Timika adalah rumah.
“Kami berharap pemerintah harus membantu untuk pengungsi bisa punya rumah khususnya di daerah-daerah pengungsian di Wamena dan Timika. Kalau pengungsi memiliki rumah, makan atau tidak makan, mereka tetap bisa hidup di rumah mereka sendiri.” ujar korban dari Nduga.
Intan Jaya
Sejak mulainya konflik bersenjata antara TNI/POLRI dan TPNPB sejak 2019 hingga 2023 telah menyebabkan masyarakat sipil di Intan Jaya dari Distrik Sugapa dan Distrik Hitadipa mengalami ketakutan kemudian mengungsi ke gereja untuk mendapatkan perlindungan.
Jumlah pengungsi yang keluar dari Intan Jaya mencapai 30.000 jiwa yang mengungsi ke kabupaten terdekat, seperti Paniai, Timika, dan Nabire. Kondisi pengungsi saat ini membutuhkan bahan makanan, obat-obatan, tenaga medis, dan pakaian layak pakai. “Harapan kami, kami ingin hidup bebas dari konflik dan hidup damai seperti dulu sebelum terjadi konflik”. ujar Sellly Selegani.
Yahukimo
Perang TPNPB dan TNI/Polri yang terjadi sejak tahun 2022 sampai 1 Maret 2023 telah menyebabkan masyarakat sipil di Yahukimo melakukan pengungsian. Jumlah masyarakat yang melakukan pengungsian mencapai 4.569 jiwa baik ke hutan-hutan dan ke kampung-kampung dan kota-kota yang terdekat dengan Asmat. Perempuan dan anak menjadi kelompok rentan yang tewas dalam sebagai akibat dari konflik ini.
Namun sampai hari ini pemerintah sendiri belum begitu memperhatikan kondisi masyarakat yang mengungsi. Ini juga diperparah dengan adanya pendropan militer dalam jumlah yang sangat besar. Selain itu banyak terjadi penangkapan-penangkapan dan penyisiran oleh pihak keamanan tanpa mementingkan keamanan masyarakat sipil. Sempat terjadi pemadaman jaringan internet selama hampir satu bulan. Patroli juga terus dilakukan selama 24 Jam.
Dengan kondisi seperti ini, banyak anak-anak dan ibu-ibu serta orang tua yang meninggal entah karena flu, demam, gizi buruk, dan penyakit lainnya sampai dengan hari ini tidak ada transparansi dari pihak pemerintah Yahukimo terkait kematian masyarakat sipil. Bahkan pemerintah ikut meminta dan menekan masyarakat untuk menutupi kasus kematian misterius masyarakat sipil di Yahukimo.
“Harapan kami pemerintah Indonesia seharusnya memprioritaskan kemanusiaan di Papua terutama pengungsian rakyat sipil. Dan hak-hak perlindungan anak dan perempuan dijamin oleh hukum dan undang-undang Indonesia. Begitu juga dengan hak pendidikan dan hak kesehatan termasuk bantuan medis pada ibu-ibu yang melahirkan di hutan. Indonesia sudah meratifikasi Konvenan Internasional tentang Perlidungan Anak dan Perempuan namun pelaksanaannya nihil. Kami ingin meminta Palang Merah Internasional (PMI) datang ke Papua melihat kondisi rill di Papua. Meminta Komnas HAM RI khusus membindangi perlindungan anak dan perempuan turun ke daerah yang terjadi pengungsian untuk melihat kondisi masyarakat sipil yang mengungsi”. Ujar Yetty Soll.
Puncak Papua
Perang antara TNI/Polri dan TPNPB di Kabupaten Pucak Papua menyebabkan rakyat sipil menjadi korban dan ribuan orang mengungsi ke Timika dan Puncak Jaya. Sejak awal tahun ini hingga November tahun 2021-2022 tercatat 3000 orang dari 23 kampung di Kabupaten Puncak Papua memilih mengungsi meninggalkan tempat tinggal mereka. Mereka yang mengungsi kebanyakan perempuan dan anak yang keluar dari Ilaga, Kabupaten Puncak Papua. Mereka bertahan hidup dengan memakan pisang dan dedaunan di hutan.
Akibat perang tersebut korban yang meninggal berjumlah 16 orang akibat penembakan. Dengan kondisi penembakan yang dilakukan TPNPB kepada Kepala Badan Intelijen (BIN) Papua, Brigadir Jenderal TNI, I Gusti Putu Danny Nugraha Karya, jumlah kehadiran pasukan TNI/Polri diperbanyak di Kabupaten Puncak Papua. Militer menempati beberapa kantor pemerintahan dan gereja. Aparat gabungan TNI/Polri mengambil barang-barang apa saja dari rumah warga yang telah mengungsi dan menjualnya di kota Ilaga.
Saat ini jumlah militer di Ilaga, Puncak Papua diperkirakan berjumlah 4.000 militer.
Pegunungan Bintang
Pasca perang pada 13 September 2021 antara TPNPB Kodap XV Ngalum Kupel dengan TNI-Polri di Kiwiro, Pegunungan Bintang, tercatat sekitar 5.000 orang telah mengungsi.
Akibat perang TPNPB dan TNI/Polri di Pegunugan Bintang, ribuan orang mengungsi, di antaranya 188 orang mengungsi di Tabubil PNG. Sementara itu sekitar 2.000 orang mengungsi ke ibu kota Kabupaten Pegunungan Bintang. 3.000 orang lainnya mengungsi ke hutan dan kabupaten terdekat.
Dalam perang TPNPB dan TNI/Polri di Distrik Kwirok, TNI memoranda BOM di 4 kampung Distrik Kiwirok dan Distrik Okbibab.
Sejak tanggal 2 Maret 2022 sampai dengan 28 April 2022 terhitung 14 rakyat sipil yang meninggal. Berikut adalah nama pengungsi yang meninggal dalam pengungsian di Kiwirok, Kabupaten Pegunungan Bintang:
- Palius Uropmabin
- Sikindus Taplo
- Hubertina Uropmabin
- Yuniardo Uropmabin
- Ari Mimin
- Lusiana Uropka
- Sanius Uropka
- Ingku Uropmabin
- Ester Uropmabin
- Albertina Uropmabin
- Silpiana Uropdana
- Taklipki Uropdana
- Demi Wasini
- Deini Alwolka
Kondisi kesehatan anak-anak, ibu-ibu, dan orang-orang tua usia lansia memburuk. Rakyat sipil yang mengungsi sampai saat ini belum bisa kembali karena perang tentara TPNPB dan TNI/Polri masih terus berlanjut. Saat ini pengungsi yang tersebar di Kiwirok di PNG membutuhkan obat-obatan dan kebutuhan lainnya.
Dengan melihat kondisi ini, maka kami Gerakan Rakyat Demokratik Papua (Garda-Papua), Komite Nasional Papua Barat (KNPB) dan Gerakan Mahasiswa, Pemuda, dan Rakyat Papua (GempaR Papua) menyatakan sikap:
Pertama: Kami meminta Pemerintah Kabupaten Maybrat segera hentikan ancaman terhadap masyarakat sipil yang melakukan pengungsian di Kabupaten Sorong dan sekitarnya.
Kedua: Kami meminta negara untuk segera penuhi dan lindungi hak-hak pengungsi dari wilayah-wilayah konflik di Papua, serta mengakui status pengungsi di Papua Barat.
Ketiga: Kami mendesak Komnas Perempuan dan anak Indonesia, segera turun melihat kondisi perempuan dan anak di wilayah konflik, serta berikan perlindungan terhadap perempuan dan anak sebagai korban kekerasan negara.
Keempat: Kami meminta Presiden Indonesia segera hentikan pendekatan militeristik di Papua dan tarik militer dari wilayah konflik di Papua. Gereja, sekolah, dan kampung bukan Pos Tentara.
Kelima: Kami meminta dengan tegas kepada Pemerintah Indonesia segera lakukan dialog antara TPNPB dan Pemerintah Indonesia.
Keenam: Hentikan perampasan lahan milik masyarakat adat dan hentikan operasi Blok Wabu di Intan Jaya. Papua Bukan Tanah Kosong!
Demikian pernyataan sikap ini dibuat.
Bhuyaka, West Papua, 20 Juni 2023
Garda Papua, KNPB, dan GempaR Papua