Budaya dan Sastra Torang Masih Ada kah? Masyarakat Adat dan Koneksi Antar...

Torang Masih Ada kah? Masyarakat Adat dan Koneksi Antar Generasi

-

Tema penting peringatan Hari Indigenous People (masyarakat adat) Internasional pada 9 Agustus 2023 oleh Dewan Adat Papua (DAP) adalah “pemuda adat sebagai agen perubahan untuk penentuan nasib sendiri”. Tema ini dirangkaikan dengan sub-tema marilah rebut kembali masa depan kita: bangun hari esok. Salah satu pesan kuncinya adalah terjadinya koneksi dan dialog antar generasi yang melibatkan pemuda adat dengan masyarakat adat secara luas, juga dialog antara masyarakat adat dengan non masyarakat adat sehingga hubungan masa depan akan menjadi positif bagi lebih banyak generasi di masa depan.

Alasan mengedepankan pemuda adat sebagai fokus peringatan hari masyarakat adat internasional berkaitan dengan masa depan masyarakat adat yang sangat ditentukan oleh dinamika generasi pemuda adat ini. Pernyataan sambutan DAP dalam hari masyarakat adat sedunia lebih tepat dijadikan sebagai pertanyaan sekaligus pergumulan yaitu: apakah pemuda adat menemukan tempat mereka dalam masyarakat? Apakah pemuda adat menemukan identitasnya di tengah masyarakat adat yang semakin kompleks dan dinamis? Pertanyaan ini penting diajukan di tengah perdebatan gerakan masyarakat adat yang berbasis identitas, tanah (ulayat), dan relasi-relasi dengan lingkungan sekitar masyarakat adat yang mencipta pengetahuan indigeneous itu sendiri.

Pertanyaannya adalah bagaimana situasi pemuda adat dan masyarakat adat Papua hari ini di tengah berbagai kontestasi politik praktis yang “menjual” adat, mengkapitalisasi adat untuk menghamba kepada kepentingan investasi (baca: berbagai perusahaan yang mengeruk alam Papua), dan situasi generasi muda adat yang meninggalkan adat dan hutan untuk mengakses modernitas? Pertanyaan besarnya adalah apakah masih ada itu yang disebut identitas individu dan kolektif pemuda dan masyarakat adat yang melekat pada tanah, bahasa, mata pencaharian tradisional, upacara, kesenian, kerajinan, dan anggota keluarga dan masyarakat sebagai suatu totalitas masyarakat adat yang dibayangkan itu? Apakah torang (pemuda dan masyarakat adat) masih ada? Atau justru torang sedikit demi sedikit mulai goyah menuju kehancuran?

Koneksi yang Putus?

Pernyataan DAP patut disimak bahwa identitas masyarakat adat ditransfer melalui ikatan keluarga: transmisi sejarah tanah dan transfer pengetahuan. Tetua adat berperan sebagai penjaga pengetahuan tradisional dan ilmiah, tetua adat memegang kunci budaya, nilai, dan visi kosmos masyarakat adat. Tetua adat mengajarkan pemuda dan anak-anak adat pentingnya keluarga, komunitas, alam dan tanggung jawab mereka dalam struktur ini. Koneksi antar generasi dari tetua adat ke pemuda adat bertujuan untuk memfasilitasi transfer pengetahuan Adat dan menumbuhkan ikatan yang kuat antar generasi. Namun, justru pada poin inilah jantung permasalahannya.

Permasalahanya adalah banyak pemuda adat tidak berada di kampungnya sendiri, namun justru berbicara tentang adat dan tanah adat di kota. Jika kita mencermati salah satu kajian yang dilakukan oleh Naafs dan White (2012), anak muda yang berada di wilayah perdesaan, salah satu strategi mereka sebagai generasi transisi yang berkeinginan untuk maju adalah dengan melakukan mobilitas sosial ke wilayah-wilayah sumber ekonomi, perubahan, dan “kemajuan”. Situasi ini menyebabkan sumber daya untuk pembentukan pertanian skala kecil di wilayah perdesaan atau kampung-kampung Papua menjadi pupus. Akses terhadap sumber daya, dalam hal ini hutan dan lahan-lahan perkebunan, menjadi semakin sempit sekaligus juga jarang dimanfaatkan oleh generasi muda untuk penghidupan mereka. Jadi kita sebenarnya patut mempertanyakan apakah ada koneksi yang terputus kah?

Kajian-kajian sebelumnya tentang adat dan masyarakat adat menggambarkan bahwa penguatan atau pemberdayaan adat yang “asli” mengacu kepada pendefinisian masyarakat adat yang ekslusif dengan acuan memiliki tanah (wilayah) adat dan juga sejarah asal-usul. Pertanyaan mendasarnya adalah bagaimana dengan komunitas yang nir-tanah (tanpa tanah) dan nir-sejarah (yang “kehilangan” sejarah asal-usul mereka) karena misalnya disingkirkan oleh investasi dan berbagai perusahaan yang masuk ke kampung mereka? Kerangka masyarakat adat pada satu sisi sangat berpotensi mengeksklusi (baca: menyingkirkan) orang dan komunitas yang tidak termasuk dalam kategori masyarakat adat yang sudah diciptakan.

Resistensi masyarakat adat terhadap negara sebelumnya berbalik menjadi negosiasi dan kooptasi yang menjadikan masyarakat adat menjadi bagian dalam percepatan pembangunan Papua, atau entitas yang selalu diminta pendapatnya saat berbagai program pembagunan hadir. Kerangka dari resistensi ke negosiasi yang mengarah ke kooptasi ini alpa untuk mempelajari karakteristik rezim kekuasaan yang hampir bisa dipastikan melihat adat, budaya, dan masyarakat adat itu dalam konteks yang seragam dan alergi dengan keberagaman. Satu hal lainnya yang tidak kalah pentingnya adalah sedikitnya perhatian terhadap relasi kekuasaan yang terbentuk antara elit adat dengan masyarakatnya, yang justru terbentuk dari serangkaian program-program pembangunan yang diintroduksi pemerintah.

Pernyataan tentang koneksi antar generasi dari DAP betul-betul mengganggu saya, sekaligus sebagai pemantik untuk memikirkan dinamika dan transmisi antar generasi masyarakat adat yang tampaknya tidak berlangsung baik-baik saja. Tentu ini tidak saja terjadi di tanah Papua, tapi dimana-mana. Jantung dinamika antar generasi masyarakat adat inilah yang menjadi sasaran penghancuran tiada henti oleh negara dengan berbagai apratusnya dan rezim kapital yang hadir mengkapling tanah seantero Papua dengan investasi berwajah berbagai jenis perusahaan.

***

Daftar Pustaka

Li, Tania Murray. 2016. “Ketergusuran Antargenerasi di Zona Perkebunan Kelapa Sawit di Indonesia” Jurnal Analisis Sosial, Volume 20, No. 1 & 2, Edisi Khusus 2016.

Li, Tania Murray. 2014. Land’s End: Capitalist Relations in an Indigenous Frontier: Duke University Press.

White, Benjamin dan Naafs, Suzanne. 2012. Generasi antara: refleksi tentang studi pemuda Indonesia. Jurnal Studi Pemuda1 (2), 89-106.

I Ngurah Suryawan
Penulis adalah antropolog dan dosen di Universitas Papua (Unipa), Manokwari, Papua Barat.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Kirim Donasi

Terbaru

Rekonstruksi Identitas Orang Papua Melalui Perubahan Nama Tempat

Irian berubah menjadi Irian. Masyarakat Papua atau orang-orang yang...

Rosa Moiwend dan Kesalahan Teori Patriarki

Rosa Moiwend, salah satu kamerad kita di Papua menulis di media Lao-Lao Papua pada 9 Juni 2023, bahwa gerakan...

Ekofeminisme dan Hubungan Antara Perempuan dengan Hutan Sagu

Sebuah pandangan mengenai hubungan antara perempuan dengan hutan sagu di Kampung Yoboi, Sentani dan bagaimana mengujinya dengan perspektif ekofeminisme. Sagu...

Ancaman Pembangunan Terhadap Lahan Berkebun Mama Mee di Kota Jayapura

"Ini kodo tai koo teakeitipeko iniyaka yokaido nota tenaipigai, tekoda maiya beu, nota tinimaipigai kodokoyoka, tai kodo to nekeitai...

Memahami Perempuan (Papua) dari Tiga Buku Nawal El Saadawi

Sebuah ringkasan secara umum Pengantar Isu feminisme di Papua pada umumnya masih banyak menuai pro dan kontra. Itu bisa kita temukan...

Rubrikasi

Konten TerkaitRELATED
Rekomendasi Bacaan