Press Release Gempar-Papua: Hutan Papua Bukan Utang Negara

Gempar-Papua: Hutan Papua Bukan Utang Negara

-

Pernyataan Sikap

Gerakan Mahasiswa Pemuda dan Rakyat Papua (GempaR-Papua) 

Peringatan Hari Internasional Rakyat Pribumi 9 Agustus 2023

“Hutan Papua Bukan Utang Negara”

Hari Internasional Rakyat Pribumi yang diperingati setiap tanggal 9 Agustus, sejak tahun 2007 hingga tahun 2023 merupakan momentum masyarakat adat di seluruh dunia, untuk meningkatkan kesadaran akan kebutuhan serta perlindungan hak-hak dasar masyarakat adat, warisan kebudayaan tanpa diskriminasi, sebagaimana yang termaktub dalam hukum Internasional.

Dalam sejarahnya, Hari Rakyat Pribumi telah diperjuangkan sebagai kekuatan oleh rakyat Amerika Latin sejak 1984, dan baru pada tahun 1994, Hari Masyarakat Adat Sedunia di putuskan oleh Majelis Umum PBB pada tanggal 23 Desember 1994 dalam resolusi 49/214. Tanggal 9 Agustus adalah momen awal ketika masyarakat pribumi bertemu dengan sub komisi PBB dalam membahas perlindungan masyarakat adat di seluruh dunia. Dan, Sidang Pleno ke-107 Majelis Umum PBB pada 13 September 2007, akhirnya menetapkan sebagai Hari Internasional Masyarakat Pribumi, dan telah diatur dalam Konvensi International Labor Organization (ILO) No. 169 tahun 1989.

Hingga kini terdapat 370 juta penduduk pribumi yang tersebar di 90 negara, dengan 7000 bahasa dengan 5000 ragam budaya. Dengan 1,6 milyar masyarakat pedesaan sampai tingkat tertentu bergantung pada hutan. Satu milyar dari 1,2 milyar masyarakat yang miskin sekali bergantung pada sumber daya hutan untuk seluruh atau sebagian sumber penghidupannya. 240 juta masyarakat sebagian besar hidup dalam ekosistem hutan. 300 – 350 juta masyarakat amat bergantung pada hutan dan tinggal di dalam atau berdekatan dengan hutan lebat yang menjadi tumpuan subsistensi dan pendapatan mereka. Serta diperkirakan ada 500 juta masyarakat yang tergantung pada hutan, di mana 200 juta di antaranya adalah masyarakat adat.

Di Indonesia ada 70 juta jiwa yang terdiri dari 1100 suku dengan 718 bahasa. Indonesia mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang di atur dalam pasal 18B ayat 2 UUD 1945 tentang masyarakat adat, UU. No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, serta UU Otsus Pasal 38 ayat (2) tentang Perlindungan Hutan Adat, Pasal 43 ayat (4) tentang Ijin HGU dari Masyarakat Adat, dan Pasal 59 ayat (3) tentang Kesehatan Gratis.

Hutan Papua Bukan Utang Negara

Lahirnya Hari Masyarakat Adat Internasional, bukan hanya sebatas momentum seremonial bagi orang Papua. Kami (GempaR-Papua), telah mendorong peringatan hari tersebut sejak 2018, dan setahun sebelumnya dengan slogan “Papua Bukan Tanah Kosong” dan “Tanah Air Milik Kita” sebagai penyebaran kesadaran kepada orang Papua dan khususnya kedapa anak muda Papua bahwa kami lah pemilik masa depan tanah Papua. Slogan ini bertujuan sebagai landasan bijak pemuda adat Papua untuk melawan balik dan mempertahankan eksistensi hutan, alam, tanahnya sebagai hak waris yang di berikan Allah, alam dan leluhur demi hidup bebas di atas tanah kami sendiri. Tanggal 9 Agustus 2023 ini, tidak hanya di peringati di Papua tapi di seluruh dunia, dengan tema umum yaitu, “Pemuda Adat Sebagai Agen Perubahan Untuk Penentuan Nasib Sendiri”.

Sesuai dengan tema umum ini, kami bersolider dan mendukung penuh sikap pemuda adat dalam Organisasi Perempuan Adat (Orpa) yang mendorong perlindungan adat wilayah Namblong Genyem dari Ancaman Investasi PT. Permata Nusa Mandiri yang merampas 32.000 hektar lahan adat, juga pemuda adat yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Tambrauw dalam menolak Investasi 120.000 hektar PT. Nuansa Lestari Sejahtera. Kami berdiri bersama pemuda adat suku Hubula, Agamua yang melawan perampasan tanah adat Klen Wio, Welesi, dan Asso-Lokonal dengan dalil pembangunan kantor Gubernur Papua Pegunungan Tengah. Dan juga seluruh pemuda adat Papua yang bergerak dengan perlawanan sipil tapi juga gerilya untuk mengusir perampasan tanah adat di wilayah Nduga, Intan Jaya, dan Maybrat. Serta bersama masyarakat adat Awyu marga Woro, Boven Digul dalam perlawanan menentang perampasan tanah adat oleh PT. Indo Asiana seluas 36.094 hektar.

GempaR-Papua menyebarkan pesan bahwa Tanah Air Milik Kita dan Papua Bukan Tanah Kosong kepada semua pemuda adat di tanah Papua yang hari-hari bergerak bersama rakyat Papua pada umumnya melawan segala bentuk kejahatan perampasan tanah adat atas nama pembangunan dan ekonomi, di Byak, Timika, dan wilayah Papua yang belum tereskpos media.

Perlawana seluruh rakyat Papua bukan tanpa sebab di samping juga sikap Negara Indonesia yang sejak empat tahun lalu, oleh Presiden Indonesia pada Maret 2019 mengatakan “… Tutup mata beri ijin investasi… siapa yang menghalangi tumpas!” Semua sikap Presiden Indonesia diikuti dengan diterbitkannya Undang-Undang Omnimbus Law 2020 (UU No. 11 Tahun 2020) dan dideregulasikanya UU Otsus Jilid II (UU No. 2 Tahun 2021), serta Pemekaran 4 Provinsi di tanah Papua pada akhir 2022. Peristiwa dalam empat tahun terakhir tersebut adalah rangkaian manifesto Negara untuk siap merampas tanah adat rakyat Papua tanpa kompromi. Bukan sembarang pernyataan, sebab berbagai pemerhati lingkungan Papua telah mengeluarkan data, bahwa perampasan tanah adat Papua telah mencapai 29 juta hektar, dengan 16 perusahaan besar, baik tambang, perusahaan Hak Pengelolaan Hutan dan Sawit di Papua. Dengan artian bahwa luas hutan Papua yang tersisa dari target investasi adalah 13 juta hektar, dari total 42 juta hektar luas hutan adat Papua.

Selain itu, di masa kepempimpinan Presiden Jokowi telah menimbulkan 2.291 kasuus dengan 41 tewas dan 546 orang di aniaya, serta 51 tertembak karena konflik agraria di Indonesia.

Di Papua, yang dihuni oleh 162 suku yang tersebar dari Sorong-Merauke, dengan keanekaragaman, mulai dari 20 jenis pohon dengan 80% adalah hutan tropis, ada 160 ribu jenis serangga, 6 ribu jenis mamalia. Semuanya sedang terancam dengan hadirnya Daerah Otonomi Baru (DOB), Papua Selatan, Papua Pegunungan Tengah, dan Papua Tengah, serta Provinsi Saireri, yang di dalamnya sedang di dorong Food Estate (FE) yang digencarkan secara bersamaan (sejak 2021), dengan luas targetkan FE mencapai 705.100 hektar di seluruh tanah Papua. Yang tujuan Indonesia jelas, keluar dari jurang krisis ekonomi dan juga krisis pangan global atau krisis pangan dunia yang sedang melanda 60 Negara di dunia termasuk Indonesia.

Di tengah krisis internal Indonesia, Negara terus melakukan kriminalisasi aktivis, halnya Rocky Gerung saat ini yang secara terbuka melawan kekejaman negara atas nama pembangunan Ibu Kota Negara di Kalimantan. Victor Yeimo yang juga adalah pemuda adat Papua yang mendekam di penjara adalah bukti kolonialisme terstruktur dan sistematis di Indonesia dan secara khusus di Papua.

Olehnya, dengan tegas kami nyatakan “Hutan Papua Bukan Utang Negara!” Arti tersebut dalam pandangan kami bahwa semua bentuk perampasan tanah adat orang Papua adalah kepentingan ekonomi dan investasi Indonesia untuk melunaskan utang Indonesia. Sebab, dalam beberapa waktu terakhir, Indonesia terus melobi berbagai Negara untuk membahas invetasi atau perluasan jaringan investor di tanah Papua.

Panggilan Solidaritas: Selamatkan Hutan Papua, Bagi Keadilan Iklim Dunia

Krisis iklim itu nyata, kita tidak memiliki banyak waktu untuk menyelamatkan bumi dari ancaman pemanasan global dan tenggelamnya pulau-pulau kecil. Perubahan iklim yang begitu esktrem disertai dengan pengrusakan ekosistem tanpa kontrol oleh kapitalis global, mendorong peningkatan suhu bumi dan berubanya tatanam iklim dunia (pancaroba).

1000 lebih orang meninggal di Portugal dan Spanyol pada Juli 2022, ketinggian ait laut yang meningkat 20 cm setiap tahunnya, kebakaran hutan di sepanjang Amerika-Kanada, Eropa dan Afrika, serta meluasnya wabah Covid-19 yang menewaskan ratusan juta manusia, serta cacar monyet yang sedang menyebar di sebagian wilayah bumi merupakan bukti bahwa krisis iklim begitu dekat, kerusakan ekosistem begitu nyata dan tak terkontrol, serta hilangnya fungsi ekosistem dan keseimbangan kehidupan antara manusia dan alam akibat dari pola ekspansi kapitalis global yang rakus.

Di tengah krisis iklim dunia, Papua yang adalah benteng terakhir hutan tropis dunia, (di antara Amazon dan Kongo) justru sedang terancam. Sebab dalam beberapa tahun terakhir, hutan Papua terus dirusak tanpa perlindungan dan keadilan hukum bagi masyarakat adat Papua yang mencoba mempertahankan tanah adat leluhurnya. Dalam enam bulan terakhir, 1.700 lebih hektar luas lahan Papua di rampas oleh lima perusahaan Food Estate di Papua. Disamping tersisanya 13 juta hektar, yang sedang dipertahankan oleh masyarakat adat Papua, serta tingginya pelanggaran HAM yang ditimbulkan oleh militer Indonesia karena melindungi kepentingan investasi tersebut.

Kami menyampaikan sikap solidaritas kami, terhadap masyarakat adat di Wadas, Jawa Tengah yang melawan perampasan tanah atas nama pembangunan Nasional Indonesia, masyarakat adat di Kalimantan Timur yang melawan perampasan tanah adat atas nama pembangunan Ibu Kota Negara Indonesia, serta seluruh masyarakat Indonesia yang terdampak investasi atas nama pembangunan.

Kami menyampaikan solidaritas kami terhadap masyarakat adat di Filipina dan Myanmar yang hari ini melawan kediktatoran, juga masyarakat adat di Pasifik, Tonga, Hawai dan Kanaki yang terdampak pencemaran laut akibat latihan perang oleh Amerika dan sekutunya.

Kami menyapaikan satu pesan yang sama kepada seluruh masyarakat adat dunia bahwa “Kami melawan, kami menjaga tanah. Kami menjaga tanah, kami menyelamatkan Bumi”.

Penutup

Sikap kami, Gerakan Mahasiswa Pemuda dan Rakyat Papua (GempaR-Papua), dalam rangka memperingati Hari Internasional Rakyat Pribumi pada 9 Agustus 2023. Kami menyatakan sikap:

  1. Mengutuk antek-antek Jakarta yang melakukan perampasan tanah adat suku Hubula Klen Wio, Welesi, dan Asso-Lokobal atas nama Pembangunan Kantor Gubernur Papua Pegunungan Tengah seluas 108 hektar.
  2. Mendukung penuh sikap perlawanan terhadap PT. Indo Siana yang mengeksploitas 36.094 hektar milik Suku Awyu marga Moro.
  3. Menolak dan mengutuk perampasan tanah adat yang terjadi di wilayah adat Namblong, oleh PT. Permata Nusa Mandiri. Serta mendesak Pemerintah Kabupaten Jayapura, untuk segera menutup perusahaan tersebut sesuai SK Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia No: SK.01/MENLHK/ SETJEN/ KUM.1/1/2022. Sebab PT. PNM masih secara illegal, merampas hutan adat masyarakat Namblong seluas 70 hektar sejak Januari-Juni 2022.
  4. Menolak dan mengutuk PT. Nuansa Lestari Sejahtera yang sedang merusak 1650 hektar tanah adat masyarakat Kebar di Tambrau, dengan rincian 550 hektar di Distrik Kebar Timur, 550 Hektar di Distrik Kebar Tengah, dan 550 Hektar di Distrik Kebar Barat.
  5. Mengutuk Pemerintah Daerah Kabupaten Tambrauw yang selama ini menjadi kaki tangan PT. Nuansa Lestari Sejahtera dalam merusak tatanan masa depan masyarakat adat Tambrauw. Serta mendesak Pemda Kabupaten Tambrauw untuk mencabut MoU kerja sama dengan PT. NLS. Serta mendesak Pemerintah Kabupaten Tambrauw agar segera mengakui hak masyarakat adat sesuai Peraturan Daerah Kabupaten Tambrauw No. 5 Tahun 2018, serta menjungjung tinggi nilai hutan adat Tambrauw sebagai wilayah konservasi sejak tahun 2011. Guna menghentikan intervensi investasi perusahaan manapun yang hanya merusak masa depan hutan adat serta tatanan sosial masyarakat adat Tambrauw.
  6. Menolak rancangan pembangunan Bandara Antariksa di Biak yang mengeksploitasi 100 hektar lahan adat masyarakat adat Byak. Dan mendukung penuh sikap masyarakat adat suku Byak, serta menolak dewan adat tandingan buatan pemerintah yang hanya memecah bela rakyat adat Papua di Byak.
  7. Menolak rancangan Daerah Otonomi Baru (DOB), Provinsi Papua Selatan, Provinsi Papua Tengah, Provinsi Papua Pegunungan Tengah, serta usulan paksa Pemerintahan Daerah Biak tentang Kepulauan Pulau Utara (Saireri).
  8. Menolak deregulasi Undang-Undang Otonomi Khusus 21 Tahun 2001, menjadi UU. 2 Tahun 2021, yang merupakan praktek kolonisasi dan anti demorasi sebab mengabaikan protes rakyat Papua melalui Petisi Rakyat Papua (PRP) Tolak Otonomi Khusus Jilid II, dengan 122 Organisasi dan 718.179 suara tolak Otsus.
  9. Pemerintah Indonesia segera memberikan Hak Penentuan Nasib Sendiri bagi Rakyat Papua sebagai solusi demokratis, demi keadilan iklim dunia serta mengakhiri pengrusakan satwa, lingkungan hidup, hutan dan mayarakat adat Papua sebagai satu kesatuan masyarakat adat dunia.
  10. Mendukung penuh sikap masyarakat adat di Filipina dan Myanmar dalam melawan kekuasan diktator yang korup dan anti demokrasi. Serta mendukung sikap sama kepada masyarakat adat di India.
  11. Atas nama satu bangsa, satu lautan dan satu perjalanan, kami mendukung penuh sikap rakyat Pasifik di Hawai, Tonga, dan Kanaki dalam melawan penghentian pembangunan pangkalan Militer serta latihan perang oleh Amerika dan sekutunya, yang berdampak pada eksistensi rakyat pribumi, ekosistem laut, dan kerusakan iklim.
  12. Atas nama kemanusiaan dan keadilan iklim dunia, kami menyerukan sikap yang sama dengan seluruh rakyat tertindas dunia untuk mendesak kapitalis dan imperialisme global (Amerika-Rusia) segera hentikan perang dan Alutista yang hanya merusak keseimbangan iklim dunia.

Demikian Pernyataan Sikap kami, atas nama Allah, alam, dan leluhur orang Papua serta semangat rakyat pribumi di seluruh dunia, kami sampaikan terima kasih.

Port Numbay, 9 Agustus 2023

Kordinator Umum Aksi Jayapura – Yokbeth Felle

Kordinator Umum Aksi  Byak – Izah I. Awom

 Sekretaris Jenderal (GempaR-Papua) – Samuel Womsiwor 

***

Berikut ini adalah video pembacaan Pernyataan Sikap oleh Kordinatur Umum Aksi Jayapura, Yokbeth Felle.

Redaksi Lao-Lao
Teori pilihan dan editorial redaksi Lao-Lao

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Kirim Donasi

Terbaru

Rekonstruksi Identitas Orang Papua Melalui Perubahan Nama Tempat

Irian berubah menjadi Irian. Masyarakat Papua atau orang-orang yang...

Rosa Moiwend dan Kesalahan Teori Patriarki

Rosa Moiwend, salah satu kamerad kita di Papua menulis di media Lao-Lao Papua pada 9 Juni 2023, bahwa gerakan...

Ekofeminisme dan Hubungan Antara Perempuan dengan Hutan Sagu

Sebuah pandangan mengenai hubungan antara perempuan dengan hutan sagu di Kampung Yoboi, Sentani dan bagaimana mengujinya dengan perspektif ekofeminisme. Sagu...

Ancaman Pembangunan Terhadap Lahan Berkebun Mama Mee di Kota Jayapura

"Ini kodo tai koo teakeitipeko iniyaka yokaido nota tenaipigai, tekoda maiya beu, nota tinimaipigai kodokoyoka, tai kodo to nekeitai...

Memahami Perempuan (Papua) dari Tiga Buku Nawal El Saadawi

Sebuah ringkasan secara umum Pengantar Isu feminisme di Papua pada umumnya masih banyak menuai pro dan kontra. Itu bisa kita temukan...

Rubrikasi

Konten TerkaitRELATED
Rekomendasi Bacaan