Ditulis oleh Renie Aryandani dan Rio Kogoya
Dalam hitungan hari, momentum Pemilihan Umum (Pemilu) akan digelar serentak di Indonesia. Mengingat sebelumnya, Pemilu 2019 memiliki cela dalam beberapa isu krusial yang masih muncul, di antaranya adalah pemenuhan hak memilih kelompok rentan yang masih perlu diperhatikan, persoalan keterwakilan perempuan, transparansi laporan dana kampanye dan pembiayaan Pemilu, penataan beban penyelenggara Pemilu, dan perbedaan pengaturan Undang-Undang Pemilu dan Pilkada. Pemilu serentak 2024 di tanah Papua menjadi sorotan utama ketika dinamika partai-partai borjuis memainkan peran krusial dalam merangkul keberagaman politik di wilayah ini. Papua, dengan kekayaan alamnya yang melimpah, menghadapi tantangan signifikan dalam membangun representasi politik yang inklusif.
Partai-partai borjuis, dengan beragam visi dan agenda, berkompetisi untuk memenangkan hati dan dukungan rakyat Papua. Dinamika ini mencerminkan pertarungan antara kepentingan ekonomi-politik. Namun, dalam konteks ini, pertanyaan mengenai bagaimana partai-partai tersebut akan memahami dan merespons aspirasi khusus masyarakat Papua, menjadi kunci penting. Situasi Pemilu di tanah Papua juga memunculkan isu-isu sensitif terkait otonomi dan hak asasi manusia. Dalam upaya mengatasi ketidaksetaraan dan ketegangan politik, partai-partai tersebut diuji untuk menawarkan solusi konkret dan mengedepankan dialog terbuka dengan kelompok-kelompok masyarakat yang berkonflik di Papua.
Penting untuk dicatat bahwa keberhasilan Pemilu ini tidak hanya diukur dari jumlah suara yang diperoleh, tetapi juga dari kemampuan partai-partai borjuis dalam merangkul pluralitas budaya dan pandangan politik. Dalam merajut keberagaman Papua menjadi kekuatan politik yang positif, Pemilu serentak 2024 menjadi tonggak bersejarah yang diharapkan membentuk arah politik Papua untuk masa depan yang lebih inklusif, berkeadilan, dan berkelanjutan.
Dalam serangkaian tari politik yang tak terbatas, Papua terjerat dalam lingkaran ongkos politik borjuis yang mengancam kedaulatan rakyatnya. Kita harus mengakui bahwa kedaulatan rakyat Papua telah menjadi mangsa dari permainan politik yang dikuasai oleh kepentingan borjuis. Melalui serangkaian manipulasi politik, elit borjuis telah menggiring Papua ke dalam perangkap ketidaksetaraan dan keterpinggiran. Oleh karena itu, saatnya bagi kita untuk mempertanyakan dan menggoyahkan pondasi-pondasi yang menyokong dominasi ini.
Pertama: Menjebol tembok hegemoni. Kita perlu bersatu untuk menjebol tembok hegemoni yang selama ini menciptakan narasi manipulatif terkait Papua. Media borjuis seringkali menjadi alat untuk meredam suara perlawanan dan menyembunyikan realitas yang sebenarnya. Masyarakat Papua harus dibebaskan dari belenggu informasi yang terdistorsi.
Kedua: Membangun kembali kesadaran politik lokal. Kedaulatan rakyat tidak dapat terwujud tanpa kesadaran politik yang kuat di tingkat lokal. Langkah-langkah untuk membangun kesadaran akan hak-hak politik dan sosial harus diambil secara serius. Pemberdayaan masyarakat Papua dalam mengelola nasib mereka sendiri menjadi kunci untuk melawan dominasi politik borjuis.
Ketiga: Menghadapi eksploitasi ekonomi. Ongkos politik borjuis tidak hanya terbatas pada ranah politik, tetapi juga tercermin dalam eksploitasi ekonomi. Papua kaya akan sumber daya alam, namun kemakmuran tersebut sering kali tidak dirasakan oleh masyarakat Papua. Diperlukan resistensi terhadap eksploitasi ini dan peneguhan kontrol atas sumber daya oleh rakyat Papua.
Dalam menghadapi lingkaran ongkos politik borjuis, perlu adanya perlawanan yang tegas dan kesadaran kolektif. Papua harus dilihat bukan hanya sebagai objek, tetapi sebagai subjek yang memiliki hak untuk menentukan nasibnya sendiri. Hanya dengan menggali akar permasalahan dan membangun perlawanan yang kuat, kita dapat membantu membebaskan Papua dari perangkap politik borjuis yang merusak kedaulatan rakyat.
Orang Papua, Pentas Demokrasi, dan Kemanusiaan
Isu krisis kemanusiaan di Papua juga sering kali menjadi bahan kampanye (dipolitisasi) dengan berbagai macam kata-kata mutiara, tapi nihil eksekusi. Rakyat Papua telah lama dilingkupi dengan ketidakpastian penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu. Bahkan terus terjadi hingga kini. Operasi militer, perampasan tanah adat, marginalisasi secara ekonomi, politik, dan budaya masif terjadi. Pentas demokrasi yang giat dilaksanakan lima tahun sekali tidak pernah memberikan rasa aman dan keadilan bagi orang Papua.
Pentas demokrasi kali ini sebenarnya hanya melahirkan borjuis-borjuis baru yang hampir seratus persen terbelenggu dengan utang biaya politik yang mahal. Butuh dana jumbo untuk membiayai seseorang dalam kontestasi politik. Menurut Fahri Hamzah, anggota Partai Gelora Indonesia, untuk biaya seseorang mendapat kursi di DPR saja butuh dana keseluruhan sebesar Rp11,6 triliun . Banyak kaum muda di Papua yang juga ikut bersaing di dalamnya, melihat selebaran poster di pinggir jalan raya lingkaran Abepura, Jayapura hingga Lingkaran Brawijaya, Merauke. Bahkan status-status Whatsapp dan Facebook. Memunculkan satu pertanyaan baru apakah mereka memiliki ongkos untuk berkampanye, misalnya. Atau harus menjual tanah dan menjanjikan proyek untuk pemilik modal agar dapat mengeksploitasi tanah Papua? Orang Papua dikebiri habis-habisan.
Para calon borjuis muda ini juga akan sangat rentan untuk melakukan tindakan korupsi. Menyalahgunakan wewenangnya untuk kepentingan pribadi atau membayar utang politik tadi. Selain karena melemahnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui revisi Undang-Undang KPK. Papua juga memiliki situasi yang berbeda dimana para calon pejabat publik tersebut rentan dikriminalisasi, seperti apa yang sedang terjadi pada Lukas Enembe. Para calon penguasa itu juga sering menggunakan isu krisis politik dan kemanusiaan di Papua sebagai tameng. Jika dilihat dari beberapa contoh kasus yang pernah terjadi, salah satunya pada Barnabas Suebu. “Saya menyesal bergabung ke NKRI.” kata yang pernah dilontarkannya ketika ingin diadili atas kasus korupsi yang menyelimutinya. Menurut Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Adnan Topan Husodo, guyuran dana Otonomi Khusus (Otsus) sebagai kompensasi pendekatan keamanan hingga perebutan sumber daya ekonomi, menjadikan Papua tempat yang subur praktik korupsi di Indonesia. Berdasarkan data KPK, Papua memperoleh angka lima kali lebih rendah dari rata-rata nasional dalam indeks upaya pencegahan korupsi.
Kesadaran atas kondisi Papua secara politik, sosial, dan budaya bagi kelompok muda yang sedang dan akan maju sangat diharuskan. Orang Papua harus paham posisinya di dalam Negara Indonesia ini sebagai apa. Menurut Pdt. Benny Giyai “masyarakat kelas dua”, ini mungkin dapat menjadi jawaban. Tetapi kondisi tersebut harus dipahami lebih jauh lagi, yaitu dari dasar sejarah orang Papua di dalam Indonesia, dimulai dengan kekerasan dan kebohongan. Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) tahun 1969 yang manipulatif dan penuh dengan intimidasi menjadi bukti kuat untuk melihat situasi krisis saat ini. Dimana sebelumnya diikuti dengan berbagai operasi militer dari tahun 1961 hingga sekarang.
Orang Papua mengalami marginalisasi secara politik dapat dilihat dari banyaknya calon legislatif non-OAP yang mencalonkan diri. Situasi ini tentu saja akan berdampak lebih jauh, yaitu terjadinya kecemburuan sosial yang berpotensi menyebabkan konflik horizontal. Data pada pesta demokrasi 2019 telah membuktikan dimana sangat minim DPRD orang asli Papua. Hal serupa juga yang ditemukan sekarang, hal ini seperti bola salju yang menggelinding. Menjadi besar seiring berjalanya waktu.
Melihat segala realita yang ada di bumi Cendrawasih, kita membutuhkan suatu gerakan yang berasal dari bawah. Memberdayakan rakyat Papua untuk sadar atas hak-haknya, memampukan mereka untuk mengadvokasikan persoalan yang dirasakan dan dilihat di sekitar lingkungan tempat mereka berada. Ini tentu saja menjadi tugas setiap individu dan komunitas. Anak muda, akademisi, aktivis atau siapa pun itu. Agar kemudian menciptakan tanah Papua yang damai bagi orang Papua itu sendiri.
***
Catatan: Renie Aryandani adalah alumni Jurusan Ilmu Hukum di Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, sedangkan Rio Kogoya adalah alumni Jurusan Hubungan Internasional di Universitas Kristen Indonesia (UKI).