Perempuan Ancaman Pembangunan Terhadap Lahan Berkebun Mama Mee di Kota...

Ancaman Pembangunan Terhadap Lahan Berkebun Mama Mee di Kota Jayapura

-

Ini kodo tai koo teakeitipeko iniyaka yokaido nota tenaipigai, tekoda maiya beu, nota tinimaipigai kodokoyoka, tai kodo to nekeitai no, ogeima wae!”.

(Jika tangan ini tidak bergerak bekerja, kaki tidak melangkah jauh dan tanah ini tidak diolah, maka bagaimana makan minum anak -anak. Mereka akan kelaparan dan mati, mereka tidak akan sekolah. Tetaplah kerja kebun, kawan!)

Kata-kata penggerak ini sering diucapkan mama-mama Mee saat bekerja di kebun.

Ketika tiba di Kota Jayapura, ucapan tersebut sekaligus menjadi alasan mama-mama Mee membuka lahan untuk bercocok tanam sayur kangkung putih dan daun petatas.

Bagi Mama Anike, Mama Magai, dan Mama Kadepa (nama disamarkan sesuai permintaan narasumber), tanah adalah segalanya. Kehidupan ketiganya tak dapat dipisahkan dari tanah. Sejak kecil mereka sudah belajar menanam.

Dalam bahasa Mee, bunamakiyo kouko akukai, yakni tanah merupakan mama. Tanah menyediakan segalanya dan memberikan setiap kebutuhan bagi kehidupan. Di Meeuwodide, sebutan untuk wilayah adat Suku Mee, tanah adalah bank kehidupan.

Mama-mama Mee meyakini bahwa tanah diciptakan oleh Sang Khalik untuk dikerjakan, diolah agar tetap hidup dan menghidupi sesuai dengan ujaran Mee bage (atau masyarakat suku Mee),

“Tai keitai, ekina muni, owa migi (kerja kebun, memelihara babi, dan membangun rumah).”

Filosofi ini menguatkan tekad Mama Anike, Mama Magai, dan Mama Kadepa untuk tetap mencari lahan dan bercocok tanam setelah pindah ke Tanah Tabi, Numbay pada kisaran tahun 1980-1990an.

Jayapura, Kota Semarak Penghuni

Kota Jayapura merupakan ibu kota Provinsi Papua. Ia juga menjadi kawasan industri perdagangan di kawasan Timur Indonesia. Dengan perkembangan yang padat, Kota Jayapura menjadi salah satu kota dengan densitas tinggi.

Selain menjadi kawasan industri dan perdagangan, Kota Jayapura menjadi pusat pendidikan sehingga terjadi urbanisasi besar-besaran. Mereka yang datang bukan hanya di usia sekolah, juga kelompok keluarga yang hendak mengikuti perubahan.

Urbanisasi di Kota Jayapura mulai terjadi dari awal tahun 1970an akhir hingga tahun 1980an. Sebagian besar datang dari wilayah adat Lapago dan Meepago. Mereka menempati Kota Jayapura sesuai mata pencaharian atau budaya kerja.

Penduduk dari wilayah adat Lapago banyak menempati di dataran tinggi, seperti sepanjang kaki gunung Cyclop, area Abepura gunung, Koya, dan sekitarnya. Ibu Ev. Ruth Togodly, S.Th, merupakan salah satunya. Ia mengungkapkan, orang tuanya sudah melakukan urbanisasi dari tahun 1970an akhir dari Wamena dan memilih menetap di daerah Angkasapura.

Ibunya, Mama Gombo, merupakan salah seorang pionir yang membuka lahan di sekitar Angkasapura hingga pernah dipanggil polisi karena lahan tersebut merupakan hutan lindung. Namun Mama Gombo tidak merusak seluruh alam sekitar gunung Angkasapura. Terlebih, lahan yang dibuka sebagai kebun berguna untuk menopang ekonomi rumah tangga. Hingga saat ini beberapa kebun masih dilanjutkan oleh anak-anaknya.

Penduduk dari wilayah adat Meepago mendiami dataran yang lebih rendah, seperti di Argapura, Dok 5, Apo, dan Deplat Kanan. Jumlah keluarga Meebage di Port Numbay berkisar 100 kepala keluarga (KK). Merujuk data dari kepala suku besar Suku Mee daerah Mamta pada periode 2019-2022, komposisi pekerjaan mereka terdiri dari 50% petani dan buruh kasar/pembersih kota, 10% juru parkir dan satpam, 30% Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan TU, serta 10% mahasiswa. Data ini merupakan hasil beberapa tahun lalu, sehingga perlu survei oleh kepala suku yang baru untuk memperbaharui.

Selain terjadi urbanisasi internal pada tahun 1970an, jauh sebelumnya telah terjadi transmigrasi besar-besaran yang dilakukan melalui program pemerintah daerah maupun negara dalam rangka pemerataan penduduk. Warga imigran sebagian besar dari Pulau Jawa ditempatkan di wilayah Koya dan Arso (sekarang Kabupaten Keerom).

Ada pula kelompok migran dari pulau Sulawesi yang menempati wilayah bagian laut, di antaranya Argapura laut, Hamadi, dan Pulau Kosong. Penduduk asli Kota Jayapura yang terdiri dari Suku Kayu Batu, Suku Kayu Pulau, Suku Tobati, Suku Enggros, Suku Nafri, Suku Skouw, dan Suku Sentani Timur sangat ramah terhadap sesamanya yang datang ke wilayah adatnya. Mereka hidup berdampingan. Lahan kosong yang tersedia kemudian dibangun perumahan maupun tempat untuk beraktivitas ekonomi dan budaya.

Pembangunan di Kota Jayapura terus berkembang pesat memakan tiap lahan kosong. Para pemilik modal besar membeli lahan-lahan tersebut untuk dilipatgandakan menjadi ruko, mal, hotel, dan lainnya yang dianggap sebagai strategi pertumbuhan ekonomi dan pengembangan daerah.

Lahan pertanian masyarakat yang semula berfungsi memenuhi kebutuhan pangan ikut diubah menjadi bangunan-bangunan publik. Selain itu peningkatan jumlah penduduk yang terjadi mengakibatkan banyak lahan pertanian yang berubah fungsi menjadi pemukiman, baik itu yang dikembangkan oleh investor maupun rumah-rumah pribadi.

Konsep pembangunan ini memandang tanah hanya bernilai kapital. Akibatnya, pemilik modal besar atau kapital kian berkuasa sementara masyarakat kelas menengah maupun kelompok miskin hidup tidak memiliki tanah.

Menyesuaikan diri dengan lingkungan yang baru bukan persoalan mudah, apalagi harus memenuhi kebutuhan ekonomi rumah tangga di tengah Kota Jayapura yang terus mengalami perkembangan dan kemajuan. Maka kelompok mama dari wilayah Meepago mulai mengolah tanah di beberapa titik tempat untuk ditanami beberapa tanaman khas, yakni daun petatas dan sayur kangkung. Beberapa lokasi lahan dapat di lihat di area belakang kampus Fakultas Kedokteran, Universitas Cenderawasih (Uncen), sebagian di sepanjang Kali (sungai) Acai, sekitar Pasar Youtefa dan sisi perumahan Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) di Kotaraja.

Bertahan Berkebun di Lahan Sempit

“Setelah ruko ini selesai dibangun bos bilang nanti timbun bagian yang kami kerja kebun. Sementara mama kerja dulu sambil selesaikan ruko ini karena akan dibuat kolam renang dan tempat bermain.” cerita Mama Kadepa dengan air muka pasrah.

Penulis menemui Mama Kadepa di tempat jualannya, di pinggir jalan raya Youtefa.

Mama Kadepa menjajakan daun petatas. Sembari menikmati senja, penulis bersama Mama Kadepa menyantap roti dengan teh hangat. Mama Kadepa kemudian menuturkan pengalamannya.

Tanah tempat Mama Kadepa berkebun sudah dibeli oleh pengusaha. Dulunya tanah tersebut milik seorang ondo (kepala suku).

“Bapak ondo tidak pernah menagih uang atau memarahi kami. (Ketika) pembangunan ruko mulai makin dekat dengan kebun kami. Bos (pemilik ruko) sudah kasih ingat.” lanjut Mama Kadepa.

Peringatan dari pemilik ruko seakan memerintahkan Mama Kadepa dan mama-mama Mee lainnya untuk segera meninggalkan lahan tersebut dan mencari tanah kosong untuk kebun baru.

“Sekarang kami, mama (Suku) Mee masih ada harapan karena anak kami pinjamkan tanah miliknya untuk diolah, ditanami sayuran.”

Mereka sudah merintis pembukaan lahan saat wabah Covid-19 merebak karena semangat orang-orang untuk berkebun meningkat. Ketiga suaminya kerap ikut membantu membuka lahan, tapi ketika proses menanam maupun memanen lebih banyak dilakukan oleh mama-mama. Lokasinya terbilang jauh, terletak di Koya Koso, Distrik Abepura. Sementara Mama Magai dan Mama Kadepa tinggal di Argapura, Mama Anike berdomisili di Buper, Waena.

Ketika pergi ke kebun, mereka harus naik angkutan beberapa kali sehingga menghabiskan biaya terlampau besar.

“Hasil jualan habis di ongkos taksi saja.” lanjut Mama Kadepa.

Alhasil, kebutuhan untuk membeli garam, minyak goreng, dan lainnya tidak dapat dipenuhi secara maksimal. Semakin jauh kebun, maka pengeluaran di biaya kendaraan angkutan dan ojek yang ditumpangi makin besar. Selain itu, lokasi tersebut sering tergenang air atau banjir yang mengakibatkan gagal panen.

Mama Kadepa melanjutkan ceritanya. Ia tinggal bersama suaminya dan enam anak. Seorang anak perempuan diantaranya sudah menikah dan baru saja melahirkan. Maka di rumah tersebut, hasil kebun Mama Kadepa menjadi tumpuan kehidupan bagi 9 penghuni, termasuk dirinya.

“Mabi (sapaan untuk anak perempuan nomor tiga dalam bahasa Mee), bapak di rumah sakit-sakitan baru adik-adik juga semua sekolah. Kalau kami sudah pindah lagi ke kebun Koya Koso nanti tidak cukup uang jajan anak-anak dan makan minum di rumah.”

Apabila sayur jualan tidak habis, Mama Kadepa mengeluh rugi. Anak-anak di rumah menunggu kepulangan sang mama dengan oleh-oleh atau bahan makanan. Mereka menantikan isi dalam agiya (noken khas dari Suku Mee).

“Hati sedih dan menangi tapi hidup sudah begitu.” ungkap Mama Kadepa getir.

Mengisi kekosongan waktu di rumah, Mama Kadepa lebih memilih menganyam noken sebisanya walau tidak begitu mahir. Pekerjaan di rumah lebih banyak diambil alih oleh anak perempuannya, Lexi, yang sudah menikah dan memilih hidup bersama orang tuanya bersama suami. Meski Lexi menikah, ia tetap melanjutkan pendidikan tinggi di salah satu perguruan tinggi swasta di Kota Jayapura.

Sementara Mama Magai sendiri merupakan janda dengan dua anak. Sembari membiayai kebutuhan sehari-hari, hasil jualan Mama Magai harus cukup untuk membayar sekolah kedua anaknya, sulungnya di bangku kuliah dan bungsu di SMA.

Mama Magai kerap menghabiskan waktu sendirian di rumah, sebab kedua anaknya banyak beraktivitas di luar rumah bersama teman-temannya. Beban rumah tangga lantas hanya dikerjakan olehnya. Jika waktunya luang, Mama Magai menyambangi keluarganya di Angkasapura.

Di rumah Mama Anike, malam itu, makanan dingin yang dimasak sedari pagi menyambutnya. Ia tetap melahapnya, kemudian ia berbaring. Kepalanya diletakkan pada bantal berwarna merah di suatu sudut ruang tengahnya.

Suami Mama Anike merupakan pendeta di sebuah jemaat Gereja Kingmi Papua. Kesehariannya, ia membantu Mama Anike mengerjakan tanggung jawab di rumah.

Keduanya memiliki 8 anak, 2 diantaranya sudah meninggal. Keenam anak lainnya berhasil menempuh pendidikan dari hasil berjualan sayur. Dulu saat anak-anak masih kecil, mereka ikut menggarap kebun dan pekerjaan-pekerjaan di rumah. Kini anak-anaknya telah hidup mandiri, ada yang bekerja sebagai dokter, PNS, guru, pebisnis, antropolog, dan pekerja kemanusiaan. Si bungsu masih duduk di bangku perguruan tinggi.

Mama Anike sebenarnya sudah sering diingatkan oleh ke-24 cucu dan anak-anaknya untuk tidak lagi bekerja di kebun ketika ia pergi berkunjung. Namun buatnya tanah sudah menyatu dengan dirinya.

Kebun Hilang, Hidup Gamang

Pembangunan infrastruktur yang pesat meminggirkan lahan yang dikelola oleh Mama-mama Mee di Kota Jayapura. Mereka tidak pernah membayangkan hunian sederhana yang mereka kelola sejak tahun 1970an akan seperti saat ini. Lahan kebun bukan lagi ditanami sayuran, tapi gedung-gedung, kawasan hotel, deretan ruko, dan bangunan lainnya.

Kelompok mama ini berharap bahwa pemerintah dapat lebih bijaksana mengembangkan program-program pembangunan sehingga tetap menyediakan lahan kayak untuk mereka yang bekerja di kebun dan menghasilkan sayuran hijau bagi masyarakat di Kota Jayapura.

“Kalau tanah sudah tidak ada lagi bagi kami, bagaimana nasib kami dan keluarga kami?” ketiga mama bertanya-tanya.

Kebingungan tidak berhenti. Hilangnya akses untuk berkebun turut menghapus kemampuan Mama-mama Mee. Tanah bukan sekadar media pencetak uang. Buat mereka, tanah merupakan pusat kehidupan secara budaya, ekonomi, dan teologis.

Apabila pembangunan memang diperuntukkan masyarakat, seharusnya tiap orang dapat menikmatinya, termasuk perempuan. Berkaca pada pengalaman Mama-mama Mee, kunci pembangunan yang bijaksana semestinya melibatkan siapa pun dan berempati terhadap perempuan dalam peranannya serta pekerjaannya dalam lingkungan hidup. Perempuan berperan dalam produksi dan pengolahan pangan, mencakup mempromosikan praktik pertanian organik dan berkelanjutan.

Selain itu perempuan adalah penjaga tradisi pertanian lokal yang berkelanjutan. Peran perempuan dalam menjaga alam sangat penting dan memiliki dampak signifikan pada pelestarian lingkungan.

***

Catatan: Tulisan ini merupakan karya dari partisipan workshop menulis untuk perayaan International Women’s Day (Hari Perempuan Sedunia) 2024 bertema “Inspire Inclusion: Ambil, Rebut, Ciptakan, dan Pertahankan Ruang untuk Perempuan di Tanah Papua” yang didukung oleh Lao-Lao Papua, Elsham Papua, Yayasan iWaTaLi Papua, Parapara Buku, dan Yayasan Pusaka. Tulisan ini diedit oleh Narriswari.

Yeimoyagamo
Penulis adalah peserta workshop menulis untuk perayaan International Women’s Day 2024 yang diselenggarakan oleh Lao-Lao Papua, Elsham Papua, Yayasan iWaTaLi Papua, Parapara Buku, dan Yayasan Pusaka.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Kirim Donasi

Terbaru

Rekonstruksi Identitas Orang Papua Melalui Perubahan Nama Tempat

Irian berubah menjadi Irian. Masyarakat Papua atau orang-orang yang...

Rosa Moiwend dan Kesalahan Teori Patriarki

Rosa Moiwend, salah satu kamerad kita di Papua menulis di media Lao-Lao Papua pada 9 Juni 2023, bahwa gerakan...

Ekofeminisme dan Hubungan Antara Perempuan dengan Hutan Sagu

Sebuah pandangan mengenai hubungan antara perempuan dengan hutan sagu di Kampung Yoboi, Sentani dan bagaimana mengujinya dengan perspektif ekofeminisme. Sagu...

Ancaman Pembangunan Terhadap Lahan Berkebun Mama Mee di Kota Jayapura

"Ini kodo tai koo teakeitipeko iniyaka yokaido nota tenaipigai, tekoda maiya beu, nota tinimaipigai kodokoyoka, tai kodo to nekeitai...

Memahami Perempuan (Papua) dari Tiga Buku Nawal El Saadawi

Sebuah ringkasan secara umum Pengantar Isu feminisme di Papua pada umumnya masih banyak menuai pro dan kontra. Itu bisa kita temukan...

Rubrikasi

Konten TerkaitRELATED
Rekomendasi Bacaan