Perempuan Memahami Perempuan (Papua) dari Tiga Buku Nawal El Saadawi

Memahami Perempuan (Papua) dari Tiga Buku Nawal El Saadawi

-

Sebuah ringkasan secara umum

Pengantar

Isu feminisme di Papua pada umumnya masih banyak menuai pro dan kontra. Itu bisa kita temukan di kehidupan sehari-hari kita di Papua. Dan tentu masih belum bisa diterima oleh masyarakat Papua pada umumnya. Tapi bagaimana pun, feminisme atau perjuangan perempuan harus didorong dan didobrak dalam masyarakat kita yang masih terkurung dalam budaya yang masih terbelakang di tengah dunia yang sudah bergerak maju.

Pertama-tama kita harus memahami feminisme. Feminisme sendiri adalah gerakan sosial, politik, dan budaya yang bertujuan untuk mencapai kesetaraan gender antara perempuan dan laki-laki. Secara khusus, feminisme berusaha untuk mengidentifikasi, mengekspos, dan mengatasi ketidakadilan yang menimpa perempuan dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam bidang politik, ekonomi, sosial, dan budaya.

Misalnya, dalam budaya Arab kita akan menemukan batasan-batasan yang dibuat berdasarkan norma hukum, budaya, dan agama yang berlaku di sana. Kemudian norma-norma yang berlaku itu berdampak buruk terhadap perempuan di Arab. Namun, hal itu dipraktikkan turun-temurun oleh petinggi-petinggi di sana hingga sampai ke persoalan domestik, sehingga menjadi sebuah kebiasaan atau budaya di daerah Arab dan sekitarnya.

Dari berbagai aspek hukum, pendidikan, pekerjaan, pakaian dan penampilan, kecantikan, kebebasan berbicara, ini membatasi perempuan untuk tidak belajar atau bertindak melebih kaum laki-laki. Ada beberapa contoh kecil, misalnya dalam hal hukum keluarga atau hukum syariah di Arab dalam mengatur perkawinan, perceraian, dan warisan. Dalam hukum ini di banyak negara Arab seringkali memberikan hak-hak yang terbatas kepada perempuan daripada laki-laki.

Kemudian, dalam hal pendidikan, perempuan di Arab meskipun masih banyak peningkatan dalam hal akses pendidikan, perempuan di Arab masih ada batasan atau hambatan yang didapat oleh perempuan Arab dalam mendapatkan pendidikan yang setara dengan laki-laki. Dan masih banyak praktik patriarki yang terjadi di sana.

Lalu bagaimana dengan perempuan di Papua? Memang di Papua masih sedikit terbuka. Dimana perempuan Papua masih bisa mengkritik hukum-hukum adat, gereja, dan lainya yang menindas mereka. Namun, perlu kita ketahui bahwa di Papua juga masih ada patriarki yang telah lama berakar dan bertumbuh di kalangan suku sesuai keyakinan dan norma yang ditetapkan turun-temurun. Dan hal tersebut sering terjadi terhadap perempuan Papua saat ini.

Penindasan Terhadap Perempuan di Arab

Dalam buku yang ditulis oleh Nawal El Saadawi berjudul Perjuangan dan Perlawanan Seorang Feminis Mesir dan Memoar Seorang Dokter Perempuan, Nawal menuliskan memoarnya dengan jelas terkait kondisi yang dihadapi oleh perempuan di Arab.

Nawal El Saadawi, perempuan asal Mesir dalam perjalanan hidup dari masa kecil hingga menjadi seorang dokter yang berjuang melawan ketidakadilan sosial dan sistem patriarki di Mesir.

Diceritakan, El Saadawi yang tumbuh dalam lingkungan yang dipenuhi dengan norma-norma patriarki yang membatasinya. Meskipun mengalami berbagai rintangan, El Saadawi memutuskan untuk mengejar pendidikan kedokterannya dan menjadi seorang dokter.

Sebagai seorang dokter, El Saadawi mengalami dampak kehidupan sosial dan politik atas ketidaksetaraan gender di Mesir. Dia menyaksikan penderitaan perempuan yang disebabkan oleh praktik-praktik kekerasan, mutilasi alat kelamin, dan masalah sadis lainnya. Hal ini memicunya untuk menjadi seorang aktivis feminis yang gigih dan berani.

Melalui pengalamannya sebagai seorang dokter dan aktivis, El Saadawi menyoroti berbagai isu penting terkait perjuangan perempuan di Arab, termasuk hak-hak reproduksi, pendidikan, dan kebebasan individu.

Kemudian El Saadawi dalam bukunya yang berjudul Perempuan di Titik Nol sebuah novel karyanya yang diterbitkan pada tahun 1975 diceritakan, kisah seorang perempuan yang dihukum mati di penjara Mesir.

Kisah dimulai ketika seorang psikiater wanita mengunjungi penjara Mesir untuk penelitiannya. Di sana, dia bertemu dengan seorang perempuan yang akan dieksekusi. Narapidana perempuan ini, yang dikenal sebagai Firdaus, menarik perhatian psikiater tersebut karena sikapnya yang tenang dan keberanian yang mengagumkan.

Firdaus bercerita tentang hidupnya, bagaimana dia tumbuh dalam kemiskinan, menghadapi kekerasan dan eksploitasi seksual sejak masa kecilnya. Dia menceritakan pengalamannya yang sulit di tengah-tengah masyarakat yang diwarnai oleh ketidakadilan sosial dan sistem patriarki yang kuat. Meski menghadapi berbagai rintangan dan penderitaan, Firdaus menunjukkan keteguhan dan keberanian dalam mencari kebebasan dan martabatnya sebagai perempuan.

Novel ini tidak hanya merupakan cerita tentang kehidupan individu Firdaus, tetapi juga merupakan kritik tajam terhadap sistem sosial dan politik yang memperbudak perempuan di Arab. Melalui narasi Firdaus, Nawal El Saadawi menyampaikan pesan tentang perlunya perjuangan untuk keadilan gender dan kelanjutan perempuan dari pemikiran yang sistematis untuk maju.

Perempuan di Titik Nol ini kemudian menjadi sebuah karya yang kuat dan menggugah yang telah mempengaruhi pembaca di seluruh dunia dan menjadi sorotan dalam gerakan feminis global.

Penindasan Terhadap Perempuan di Papua

Berbicara soal perempuan di Papua tentunya masing-masing perempuan Papua dari berbagai suku dan wilayah adat memiliki tradisi adat dan tentu penindasan sedikit berbeda-beda. Perlakuan terhadap perempuan di wilayah adat Mamta tentu berbeda dengan di Saireri. Begitu juga dengan Anim-Ha, Lapago, Meepago, Domberai, dan Bomberai. Begitu juga praktik penindasan atau patriarki juga berbeda-beda dari satu wilayah adat satu dengan lainnya, hingga ke masing-masing kelompok suku.

Misalnya dalam wilayah adat Lapago di Yahukimo dalam masyarakat suku Yali. Dalam masyarakat suku Yali terdapat banyak sekali praktek patriarki. Dimana praktek-praktek ini sudah ada sejak lama. Perempuan di suku Yali sering diperhadapkan dengan keyakinan masyarakat bahwa setelah mereka beranjak dewasa nanti mereka akan menikah dan akan ada maskawin.

Maskawin ini akan dinikmati oleh saudara kandung dari perempuan ataupun orang yang berkontribusi dan ikut membatu membayar maskawin ketika ayah dari perempuan ini menikah dengan ibu dari perempuan tersebut. Sehingga, ketika perempuan di suku Yali beranjak dewasa dan dinikahi oleh seorang laki-laki, maka, mahar atau maskawin yang dihasilkan oleh perempuan itu dinikmati oleh orang-orang yang ada sumbangsi ketika ayah dari perempuan itu hendak menikah dengan ibunya dulu.

Dan pandangan ini juga yang menjadi kebiasaan turun-temurun di suku Yali. Perempuan-perempuan yang lahir di suku Yali seolah dijadikan alat jual beli ataupun alat gadai. Sehingga, untuk melunasi utang tersebut, ada tekanan orang tua untuk segera nikahkan dengan seorang lelaki agar bisa melunasi utangnya. Hal ini sangat merugikan potensi dan memotong hak-hak perempuan untuk berpendidikan dan membangun masa depan Papua. Tidak hanya itu, semenjak masuknya injil di Papua, perempuan Papua di suku Yali juga diberi batasan-batasan yang berkaitan dengan norma agama. Yaitu, perempuan diwajibkan untuk berpakaian rok ketika ke gereja. Dan ini sudah terjadi pada umumnya di Papua. Ini merupakan bentuk patriarki dan penindasan yang terjadi di Papua khusunya di suku Yali.

Ada juga di suku Momuna di Yahukimo, misalnya. Praktek patriarki di suku Momuna juga adalah perempuan dan laki-laki sejak lahir dijodohkan di sukunya sendiri. Tidak boleh perempuan kawin ke luar. Atau anak perempuan sejak lahir sudah memiliki jodoh, entah laki-laki dewasa maupun yang seusia mereka.

Hal ini membuat perempuan di suku Momuna sulit untuk mendapatkan pendidikan yang lebih jauh. Batas pendidikan yang mereka dapatkan sesuai usia. Jika usia perempuan di suku Mumuna beranjak dewasa, maka, mau dan tidak perempuan-perempuan di suku ini akan dipanggil untuk dikawinkan dengan pasangannya yang telah dijodohkan sejak kecil. Praktek ini sangat diskriminatif dan menindas masa depan perempuan Papua di suku Momuna untuk mendapatkan pendidikan yang setara dengan perempuan lainya pada umumnya.

Dalam konteks kesetaraan gender, banyak sekali terdapat ketidakadilan. Yang mana hak-hak seorang anak laki-laki jauh lebih dominan dari pada perempuan.

Dan ini tidak terjadi di suku-suku di Yahukimo saja. Tetapi bahkan hampir terjadi di seluruh Papua. Dimana peran anak laki-laki dianggap sebagai superior dan perempuan hanya bisa mendapatkan bagian yang sudah di tentukan oleh hukum adat yang berlaku di daerah-daerah tersebut.

Secara umum di banyak kelompok suku yang ada di Yahukimo, kekuasaan, harta, dan benda sering kali diwariskan secara patrilineal, yang berarti hanya laki-laki yang dapat diwarisi kedudukan sosial atau harta keluarga. Ini menghasilkan ketidaksetaraan gender yang menguntungkan laki-laki dalam hal kekayaan dan kekuasaan.

Yang parahnya lagi adalah kekerasan terhadap perempuan di Yahukimo. Kekerasan terhadap perempuan, termasuk kekerasan dalam rumah tangga, pemerkosaan, dan pembunuhan karena alasan kehormatan, masih dianggap sebagai bagian dari tatanan sosial yang diterima atau tidak dihukum dengan tegas. Yang lebih sadis adalah penindasan karena alasan kehormatan.

Praktek-praktek ini sering kali menciptakan ketidaksetaraan gender yang signifikan di dalam masyarakat suku di Yahukimo, dan secara umum seluruh Papua. Kekuasaan, kekayaan, dan pengambilan keputusan sering kali terpusat pada laki-laki, sementara perempuan sering kali mengalami pembatasan akses terhadap pendidikan, peluang ekonomi, dan partisipasi politik. Beberapa kelompok suku juga mempraktikkan tradisi dan adat yang menguntungkan laki-laki, seperti pernikahan paksa, pembatasan peran gender yang kaku, dan kekerasan terhadap perempuan.

Pengaruh budaya dan tradisi sering kali memperkuat struktur kekuasaan yang mendukung dominasi laki-laki. Oleh karena itu, untuk mencapai kesetaraan gender di kalangan suku, perlu adanya upaya yang berkelanjutan untuk menantang praktek-praktek patriarki, mendorong partisipasi perempuan dalam pengambilan keputusan, meningkatkan akses perempuan terhadap pendidikan dan peluang ekonomi, serta mempromosikan kesadaran akan hak-hak perempuan dan penghapusan diskriminasi gender.

Perempuan Papua Dalam Indonesia

Feminisme sangat menentang patriarki. Feminisme sebagai pengetahuan dan ideologi ditentang banyak dengan melalui advokasi kebijakan untuk menghapuskan diskriminasi gender, memperjuangkan hak-hak reproduksi perempuan, mendukung kemandirian ekonomi perempuan, dan membangun kesadaran akan isu-isu yang berkaitan dengan ketidaksetaraan gender. Tujuan akhirnya adalah menciptakan masyarakat yang lebih adil dan setara bagi semua individu, tanpa memandang jenis kelamin.

Namun, patriarki juga kerap kali menindas berdasarkan kulit dan ras oleh kelompok yang merasa superior. Terutama terhadap perempuan kulit hitam. Hal ini terjadi dimana-mana, termasuk di Papua. Patriarki terhadap perempuan berdasarkan etnis ini sangat mematikan psikologi manusia pada umumnya dan perempuan pada khusunya.

Patriarki terhadap perempuan kulit hitam adalah sistem yang meliputi penindasan dan pengekangan yang khusus dialami oleh perempuan kulit hitam dalam masyarakat yang didominasi oleh laki-laki dan oleh kelompok ras yang dianggap superior. Dalam konteks ini, perempuan kulit hitam menghadapi ketidaksetaraan gender serta ras yang saling terkait. Beberapa contoh patriarki terhadap perempuan kulit hitam meliputi:

Pertama: Pengabaian terhadap pengalaman perempuan kulit hitam. Dalam gerakan feminis, pengalaman perempuan kulit hitam sering kali diabaikan atau dianggap tidak penting, sehingga suara mereka seringkali tidak terwakili dalam diskusi tentang kesetaraan gender.

Kedua: Eksploitasi dan penindasan. Perempuan kulit hitam sering kali menjadi korban eksploitasi ekonomi dan pekerjaan yang rendah, serta berisiko tinggi mengalami kekerasan fisik dan seksual.

Ketiga: Stereotipe seksualisasi. Perempuan kulit hitam seringkali diserang oleh stereotipe seksual yang merendahkan, seperti stereotipe jezebel atau angry black woman yang menggambarkan mereka sebagai objek seksual atau sebagai individu yang marah dan agresif.

Keempat: Ketidaksetaraan dalam sistem hukum dan keadilan. Perempuan kulit hitam sering kali menghadapi ketidakadilan dalam sistem hukum dan keadilan, baik sebagai korban maupun sebagai terdakwa.

Kelima: Kesenjangan sosial dan ekonomi. Perempuan kulit hitam sering kali menghadapi kesenjangan sosial dan ekonomi yang signifikan, termasuk akses terhadap pendidikan, layanan kesehatan, dan kesempatan ekonomi.

Di negara-negara yang menganut berbagai agama dan budaya yang berbeda-beda ini tentunya memiliki banyak aturan yang mengatur tentang perempuan. Seperti hal yang sama di Arab seperti dijelaskan di awal. Namun, perlu kita garis bawahi bagaimana situasi di Indonesia mendiskriminasikan perempuan Papua dalam konteks kecantikan. Banyak obat-obatan untuk kulit hanya diproduksi untuk putihkan kulit. Dan perempuan Papua ikut dalam drama permainan pasar dan kapitalisme yang menindas perempuan Papua untuk harus berkulitkan putih.

Lihat juga iklan-iklan di semua siaran televisi Indonesia hingga iklan-iklan di semua saluran media sosial yang juga menyudutkan perempuan Papua. Perempuan Papua yang punya hak dalam meraih cita-cita seperti pramugari, atau yang mempunyai kemampuan dalam sekretaris di kantor birokrasi atau perusahaan mereka tidak bisa mengambil bagian di instansi terebut karena cara pandang dan sistem yang awalnya diskriminatif dan meluas sehingga kesempatan perempuan Papua untuk bersaing sangat kecil peluangnya. Kemudian hal ini juga membuat perempuan Papua cenderung kaku, merasa terbelakang, dan lebih parahnya adalah hal ini memikat dan menyerang psikologi perempuan Papua untuk bersaing dengan potensi yang mereka miliki.

Hal ini menunjukkan bahwa patriarki dan diskriminasi terhadap perempuan Papua adalah fenomena yang kompleks, yang melibatkan berbagai bentuk penindasan dan ketidaksetaraan.

Untuk mencapai kesetaraan gender yang sejati, penting untuk memahami dan menantang patriarki dalam konteks kehidupan perempuan Papua serta memperjuangkan keadilan sosial yang inklusif dan berkelanjutan.

Kesimpulan

Menolak penindasan dan kekerasan terhadap perempuan adalah salah satu pesan utama Nawal El Saadawi dalam ketiga bukunya di atas: Perempuan di Titik Nol, Perjuangan dan Perlawan Seorang Feminis Mesir, dan Memoar Seorang Dokter Perempuan.

Maka, pentingnya kita harus memperjuangkan pembebasan dan pemberdayaan bagi perempuan. El Saadawi memperjuangkan pembebasan perempuan dari norma-norma patriarki dan konstruksi sosial yang membatasi kebebasan dan kesetaraan perempuan. Dia mendesak untuk memberdayakan perempuan untuk menjadi agen perubahan dalam ekonomi dan politik.

El Saadawi juga mengkritik interpretasi patriakal dalam agama dan budaya di dunia Arab. Dia menantang pandangan tradisional dan struktural untuk mereformasi institusi dan struktur sosial yang mempertahankan ketidaksetaraan gender.

Menurut saya, Nawal El Saadawi juga memandang bahwa perjuangan untuk kesetaraan gender sebagai bagian dari perjuangan global yang melibatkan perempuan dari berbagai budaya dan latar belakang. Dia membangun solidaritas dengan perempuan di seluruh dunia dalam perjuangan mereka untuk hak-hak yang sama. Selain itu juga, dia menyoroti pentingnya pendidikan dan kesadaran dalam memperjuangkan kesetaraan gender, menekankan perlunya mendidik perempuan tentang hak-hak mereka dan memberdayakan mereka untuk mengambil peran aktif dalam perubahan sosial.

Terakhir, karya-karya Nawal El Saadawi tentang feminisme sangat menginspirasi untuk memperjuangkan kesetaraan gender, dan membangun masyarakat yang lebih adil dan inklusif bagi semua individu, tanpa memandang jenis kelamin.

Di Papua banyak sekali perempuan yang telah terpelajar, tentunya jika pendidikan mereka dan potensi perempuan Papua ini tidak dihargai dan tidak dianggap di negara kolonial ini, maka, potensi yang mereka miliki, kita jadikan sebagai senjata untuk meruntuhkan tembok-tembok yang dibangun dengan sistem yang kotor dan arogan di negara ini.

Karena, satu perempuan yang terdidik, akan mencerdaskan satu generasi. Dan satu perempuan yang cerdas akan mendidik satu bangsa. Perempuan adalah satu mesin senjata yang akan menajamkan seribu peluruh.

***

Referensi

El Saadawi, Nawal. Perjuangan dan Perlawan Seorang Feminis Mesir. Penerbit IRCiSoD: 2022.

El Saadawi, Nawal. Perempuan di Titik Nol. Diterjemahkan oleh Sherif Hetata. Buku Zed: 1983.

El Saadawi, Nawal. Memoar Seorang Dokter Perempuan. Diterjemahkan oleh Catherine Cobham. Buku Zed: 1988.

Sehend Sama
Penulis adalah aktivis mahasiswa Papua di Aliansi Mahasiswa Komite Kota Jakarta

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Kirim Donasi

Terbaru

Rekonstruksi Identitas Orang Papua Melalui Perubahan Nama Tempat

Irian berubah menjadi Irian. Masyarakat Papua atau orang-orang yang...

Rosa Moiwend dan Kesalahan Teori Patriarki

Rosa Moiwend, salah satu kamerad kita di Papua menulis di media Lao-Lao Papua pada 9 Juni 2023, bahwa gerakan...

Ekofeminisme dan Hubungan Antara Perempuan dengan Hutan Sagu

Sebuah pandangan mengenai hubungan antara perempuan dengan hutan sagu di Kampung Yoboi, Sentani dan bagaimana mengujinya dengan perspektif ekofeminisme. Sagu...

Ancaman Pembangunan Terhadap Lahan Berkebun Mama Mee di Kota Jayapura

"Ini kodo tai koo teakeitipeko iniyaka yokaido nota tenaipigai, tekoda maiya beu, nota tinimaipigai kodokoyoka, tai kodo to nekeitai...

Memahami Perempuan (Papua) dari Tiga Buku Nawal El Saadawi

Sebuah ringkasan secara umum Pengantar Isu feminisme di Papua pada umumnya masih banyak menuai pro dan kontra. Itu bisa kita temukan...

Rubrikasi

Konten TerkaitRELATED
Rekomendasi Bacaan