Analisa Harian Apabila Prabowo jadi Presiden

Apabila Prabowo jadi Presiden

-

Selalu ada jejak yang ditinggalkan saat diskusi walau diskusinya bebas, pasti ada dialektikanya.

Walau seminggu lebih sudah berlalu, namun ada yang menarik dari kegiatan belajar sehari di Dok IX Kali, Jayapura pada 9 Februari 2024 yang ingin saya berbagi. Hal yang menarik hari itu adalah topik yang kami diskusikan di luar dari materi belajar hari itu. Topik diskusinya seputar Pilpres 2024 yang kitong tahu bersama bahwa hasil Capres dan Cawapres belum diumumkan tapi Prabowo Subianto sudah mendapat ucapan selamat dari lima kepala negara.

“Pemilihan Presiden esok itu kitong pilih siapa boleh supaya Papua cepat merdeka?” tanya seorang partisipan dari kegiatan belajar waktu itu. Pertanyaan itu awalnya sa abaikan mengingat kami, Solidaritas Nasional Mahasiswa dan Pemuda Papua (Sonamappa) tidak melihat pesta demokrasi Indonesia di Papua sebagai solusi konflik di Papua. Namun sebaliknya, pesta demokrasi (Pemilu) Indonesia di Papua hanyalah langkah politik kolonial Indonesia untuk memperpanjang pendudukan politik dan ekonomi di Bumi Cendrawasih. Namun kami memilih untuk tidak menyampaikan sikap itu secara terbuka karena secara politik kami tidak punya kekuatan untuk menggagalkan Pemilu Indonesia di Papua yang semua orang tahu, selalu memakan korban jiwa karena sarat dengan kepentingan dan kecurangan.

Dan kecurangan dan kepentingan yang telah membudaya dalam pesta demokrasi di Indonesia itulah yang menjadi jawaban atas pertanyaan, pemilihan Presiden esok kitong pilih siapa supaya Papua cepat merdeka. Menurut seorang kawan saat belajar disitu bahwa, tidak mungkin perjuangan Papua merdeka yang dianggapnya sebagai perjuangan kudus, suci, dan mulia itu bisa mendapatkan tawaran solusi yang arif dan bijaksana dari Presiden yang naik tahta dengan kecurangan yang tak bermoral. Jadi dia menyimpulkan bahwa siapa pun yang menjadi Presiden di Indonesia, jika cara mencapai kursi nomor satu itu direbut dengan cara yang tak bermoral, maka, solusi yang nantinya digunakan untuk menjawab aspirasi Papua merdeka akan cacat dan tak bermoral juga sehingga konflik di Papua akan terus terjadi.

Argumentasinya bahwa negara akan menggunakan cara-cara yang tidak demokratis dan tidak bermoral untuk menangani konflik di Papua merujuk pada pemberian Undang-Undang Otonomi Khusus (Otsus) bagi Papua yang diberikan dimasa Presiden Megawati pada tahun 2001. Dan telah kembali disahkan dan dilanjutkan oleh DPR RI pada 12 Mei 2023 dan sesuai dengan yang ditekan untuk dilanjutkan kedua kali oleh Presiden Joko Widodo pada 28 Juni 2022, tanpa mekanisme referendum internal di tujuh wilayah adat yang ada di Papua. Tapi kebijakan pemberian Otsus dan keberlanjutannya sangat dipaksakan dari atas ke bawah, dari Jakarta ke Papua.

Oleh sebab itu baginya, Capres yang nantinya menjadi Presiden walau pun dia malaikat, namun karena dia akan melanjutkan Otsus di Papua yang adalah kebijakan publik yang cacat hukum dan tak bermoral, maka konflik di Papua tidak akan terselesaikan atau Papua tidak akan dimerdekakan. Kecuali orang Papua bersatu dibawah United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) dan berjuang dengan militansi revolusioner yang tinggi dan disiplin revolusi yang kuat tanpa mengenal kata libur seperti Komite Nasional Papua Barat (KNPB) yang tidak pernah libur dari perjuangan Papua merdeka.

Mendengar kata-kata kecuali orang Papua bersatu dibawah United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) dan berjuang dengan militansi revolusioner yang tinggi dan disiplin yang kuat tanpa mengenal libur seperti KNPB, saya pun tidak bisa menahan kedua telapak tangan saya untuk memberi apresiasi. Karena anak-anak muda yang pergaulan mereka selalu menjadi buah bibir masyarakat ternyata memiliki kesadaran politik yang maju jika dibandingkan dengan lain. Agar tidak ada yang tersinggung dalam tulisan ini, saya tidak ingin menyebut golongan orang-orang sok tahu padahal nau-nau, yang ada di Dok IX Kali.

Melihat saya memberi apresiasi atas pemikirannya yang menurut saya kritis dan maju, maka, dengan sedikit malu-malu seorang kawan juga tanya sa, “Tapi menurut paguru sendiri dari ke tiga orang Capres, mana yang punya pendekatan penyelesaian yang bisa menyelesaikan persoalan di Papua”. Situasi diskusi waktu itu sudah sore, suara jangkrik dimana-mana. Sebelum memberi jawaban atas pertanyaan tersebut, saya mengajak kawan-kawan yang ada di situ memberi apresiasi atas pertanyaan itu.

Sa bilang ke dong bahwa dari jawaban para Capres dalam debat pertama yang diselenggarakan Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI di Kantor KPU, Jakarta pada 12 Desember 2023, dua Capres sangat hati-hati dalam menjawab pertanyaan soal konflik di Papua. Sementara Prabowo Subianto bicara jujur soal akar konflik di Papua. Anis Rasyid Baswedan, Capres nomor 1 dan Ganjar Pranowo capres nomor 3, menurut saya sangat hati-hati dalam menjawab persoalan konflik Papua. Kehati-hatian mereka untuk menjaga perasaan orang Papua dalam menjawab persoalan Papua membuat mereka tidak jujur soal konflik di Papua. Anies dan Ganjar melihat akar persoalan di Papua sebagai persoalan sektor rill, bukan persoalan sejarah politik.

Tapi sa juga bilang ke dong bahwa, walau tidak menyentuh akar persoalan yang melatari persoalan sektor rill, namun pendekatan dialog merupakan pendekatan yang humanis. Dan itu artinya, Anis dan Ganjar menaruh orang Papua sebagai manusia yang sederajat dengan orang Indonesia. Pertanyaannya, apakah dengan menaruh orang Papua sebagai manusia yang sederajat dengan orang Indonesia, lantas dialog itu bisa terjadi ketika mereka menjadi Presiden? Dengan penuh iman sa bilang bahwa dialog itu tidak akan terjadi. Karena rasisme kepada orang Papua di dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia telah mengakar di dalam otak mayoritas orang Indonesia dan sistem yang menjadi kekuatan politik Anies dan Ganjar. Juga mereka dua tidak punya keberanian untuk melawan ketua umum partai yang mengusung mereka menjadi Capres. Anies tidak bisa melawan Surya Paloh, begitu juga dengan Ganjar yang tidak dapat menentang “Mak Lampir” yang ada di PDI Perjuangan. Sementara untuk bisa berdialog dengan orang Papua seorang Presiden harus memiliki keberanian politik seperti Presiden BJ Habibie. Habibie bisa duduk berdialog dengan tim 100 dari Papua karena dia tidak diusung oleh partai.

Kepatuhan kepada ketua umum partai sudah bukan lagi rahasia dalam politik Indonesia. Kepatuhan terhadap ketua umum partai ditegaskan oleh politisi PDI Perjuangan, Bambang Pacul dalam rapat dengan Menteri di Senayan, Jakarta pada Rabu 29 Februari 2023 dengan gaya parodi yang membuatnya menjadi viral. Kata Bambang Pacul kepada Mahfud MD bahwa bicara soal undang perampasan aset atau yang berhubungan dengan kedaulatan bangsa jangan dibahas di Senayan karena semua anggota DPR RI tunduk sama pemilik partainya.

Kepatuhan yang kuat kepada ketua umum partai membuat tidak mungkin Anis dan Ganjar mengeksekusi langkah dialog sebagai pendekatan humanis dalam konflik di Papua. Mengapa? Lihat saja pakde Jokowi.

Presiden Joko Widodo yang diusung PDI Perjuangan yang berkoalisi juga dengan Partai Nasdem milik Surya Paloh yang kini mengusung Anes sebagai Capres tidak mampu mengeksekusi apa yang dijanjikan dihadapan ribuan orang Papua yang menghadiri Natal nasional bersama presiden di Stadion Mandala Jayapura pada 27 Desember 2014. Bahwa orang Papua tidak saja butuh pembangunan tapi juga butuh didengar.

“Saya melihat rakyat Papua tidak hanya butuh pelayanan kesehatan, tidak hanya butuh pelayanan pendidikan, tidak hanya pembangunan jalan, jembatan dan pelabuhan. Namun juga butuh didengar dan diajak bicara”. kata Presiden Jokowi.

Pernyataan Jokowi di atas secara politis artinya, selain pendekatan pembangunan untuk meningkatkan kesejahteraan orang Papua, negara harus bisa berdialog dengan orang Papua. Namun faktanya, hingga selangkah lagi Jokowi yang berani menusuk Megawati Soekarno Putri dari belakang hendak turun dari jabatan Presiden. Dia tidak punya keberanian untuk benar-benar berdialog dengan orang Papua yang berjuang untuk Papua merdeka. Hal yang sama juga akan terjadi bagi Anis dan Ganjar yang posisinya sama dengan Jokowi yang bukan siapa-siapa di Partai PDI Perjuangan. Anis bukan siapa-siapa di Partai Nasdem, begitu juga dengan Ganjar, bukan siapa-siapa di PDI Perjuangan. Jadi kita boleh bermimpi Anis dan Ganjar itu baik, tapi jangan berharap dong dua punya keberanian untuk duduk semeja dengan orang Papua bisa terjadi.

“Apa itu artinya bahwa kitong harus pilih Prabowo karena dia ketua umum partai sekaligus pemilik partai yang maju jadi Capres?” potong seorang kawan yang hari-harinya bekerja sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN) dalam diskusi itu. Dengan senyum sa bilang, “Tunggu sa selesaikan dulu baru ko sendiri putuskan sebagai pilihan politik.”

Prabowo Subianto dalam debat pertama Pilpres menjawab persoalan Papua dengan sangat jujur. Si Gemoy itu dengan jujur mengatakan bahwa masalah di Papua adalah masalah separatis. Separatis berasal dari bahasa Prancis yakni, separate yang artinya ingin memisahkan diri. Atau Separatisme dalam pengertian umumnya adalah suatu gerakan untuk mendapatkan kedaulatan dan untuk memisahkan suatu wilayah atau kelompok manusia (kelompok dengan kesadaran nasional yang tajam) dari satu sama lain (suatu negara lain). Dari ini dapat disimpulkan bahwa,

Prabowo jujur dalam melihat akar konflik di Papua dibanding Anis Baswedan maupun Ganjar Pranowo. Lantas, apakah Prabowo jujur dalam persoalan Papua? Apakah dia bisa berunding atau melakukan negosiasi damai dengan ULMWP yang adalah representatif dari semua gerakan rakyat Papua yang ingin memisahkan diri dari Indonesia? Jawabannya tentu tidak.

Walau sudah duda yang lama ditinggal istri itu berkata jujur tentang akar persoalan di Papua dalam debat pertama Capres dan dia adalah ketua dan pemilik Partai Gerindra, namun saya yakin ketika dia menjadi Presiden nanti, dia tidak akan bisa melakukan perundingan atau negosiasi dengan ULMWP di meja PBB sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Soekarno pada 1962 yang melahirkan Perjanjian New York atau duduk dengan orang Papua garis keras seperti BJ Habibie di tahun 2000. Karena walau Prabowo adalah ketua umum tapi dia akan tunduk pada konstituen partai dalam urusan Papua. Sehingga yang akan dilakukan adalah pendekatan yang dianggap tepat untuk menyelesaikan konflik di Papua sebagaimana jawabannya dalam debat, yakni, melakukan penegakan hukum dan pendekatan militer di Papua. Itu sudah pasti dilakukan.

“Masalah Papua adalah rumit karena di situ terjadi suatu gerakan separatisme. Gerakan separatisme ini sudah kita ikuti cukup lama, kita lihat ada campur tangan asing. Jadi rencana saya tentunya menegakan hukum, memperkuat aparat-aparat di situ (Papua), dan juga mempercepat pembangunan ekonomi”. Kata Prabowo dalam debat.

“Apa yang akan terjadi dengan kitong orang Papua yang sudah tinggal sedikit di atas kitong punya tanah ini jika Prabowo jadi Presiden dan dia akan gunakan penegakan hukum dan pendekatan militer di Papua dalam menangani konflik politik di Papua, karena dia akan tunduk pada konstituen partainya?” sa tanya balik ke kawan-kawan dalam diskusi itu.

“Eskalasi konflik dan pelanggaran HAM akan terus meningkat karena dia orang militer yang mengimani bahwa hukum dan senjata adalah solusi konflik. Juga kitong akan diperlakukan seperti budak karena Caleg OAP akan kuasai parlemen Indonesia di Papua. Dan yang paling sa kawatirkan adalah nanti kitong habis di atas kitong pu tanah air sendiri tanpa menunggu waktu yang lama. Sebab sudah pasti Prabowo jadi Presiden dan orang non Papua sudah pasti kuasai parlemen Indonesia di seluruh tanah Papua. Maka tidak akan ada undang-undang turunan dari Otsus yang akan dibuat di DPR untuk melindungi OAP. Kecuali untuk melindungi kepentingan ekonomi dan politik Indonesia di atas tanah Papua. Apa lagi Undang-Undang Omnibus Law (UU Cipta Kerja) yang nanti akan lebih dominan dari UU Otsus Papua.”

Matahari semakin tenggelam dan diskusi sudah sangat panas. Sa tambah lagi, sekaligus untuk mengakhiri diskusi kegiatan Belajar Liburan Sonamappa. Sa bilang bahwa siapa pun presidennya, apalagi Prabowo, selama kitong masih berada dalam pangkuan Ibu Pertiwi, kitong akan tetap diperlakukan seperti budak di atas kitong pu tanah sendiri, bukti diperlakukan seperti budak sudah terlalu banyak, salah satu contoh adalah berharap pada Bansos dibanding berkebun.

Juga sa bilang bahwa kitong akan habis dari kitong pu tanah ini. Itu bisa kitong lihat sendiri dari muka-muka dan nama para Caleg di Papua non OAP lebih banyak dibanding OAP. Kitong orang Papua hanya bisa menjadi manusia bebas dan eksis sebagai sebuah bangsa di dunia jika kitong sebagai bangsa yang berbeda dengan bangsa Indonesia kitong merdeka dan berdaulat sendiri di atas kitong pu tanah air, Sorong sampai Merauke. Itu saja. Titik. Dan itu sering sa sampaikan dalam tulisan-tulisan saya. Sampai di sini dulu, mari pulang sebelum kegelapan benar-benar menjadi penguasa malam.

***

Philipus Robaha
Penulis adalah aktivis Solidaritas Nasional Mahasiswa Pemuda Papua (Sonamappa)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Kirim Donasi

Terbaru

Rekonstruksi Identitas Orang Papua Melalui Perubahan Nama Tempat

Irian berubah menjadi Irian. Masyarakat Papua atau orang-orang yang...

Rosa Moiwend dan Kesalahan Teori Patriarki

Rosa Moiwend, salah satu kamerad kita di Papua menulis di media Lao-Lao Papua pada 9 Juni 2023, bahwa gerakan...

Ekofeminisme dan Hubungan Antara Perempuan dengan Hutan Sagu

Sebuah pandangan mengenai hubungan antara perempuan dengan hutan sagu di Kampung Yoboi, Sentani dan bagaimana mengujinya dengan perspektif ekofeminisme. Sagu...

Ancaman Pembangunan Terhadap Lahan Berkebun Mama Mee di Kota Jayapura

"Ini kodo tai koo teakeitipeko iniyaka yokaido nota tenaipigai, tekoda maiya beu, nota tinimaipigai kodokoyoka, tai kodo to nekeitai...

Memahami Perempuan (Papua) dari Tiga Buku Nawal El Saadawi

Sebuah ringkasan secara umum Pengantar Isu feminisme di Papua pada umumnya masih banyak menuai pro dan kontra. Itu bisa kita temukan...

Rubrikasi

Konten TerkaitRELATED
Rekomendasi Bacaan