Sejarah perkembangan ideologi rakyat Papua Barat tidak bisa dilepaskan dari kepercayaan tradisional: adat istiadat dan relasi orang Papua dengan alam yang ada dan berkembang bersama di dalam kehidupan komunitas orang Papua. Perjuangan pertama orang Papua adalah melawan kepercayaan barat atau budaya barat. Menurut F. C. Kamma, misionaris Kristen yang melayani di Papua, pernah catat dalam sebuah laporan yang diterbitkan pada tahun 1863 bahwa perlawanan teologi pribumi sudah ada sebelum misionaris Kristen dari barat datang (Kamma: 1972).
Kepercayaan lokal pertama yang menunjukkan perlawanannya untuk pembebasan adalah Koreri dari Biak. Koreri percaya kepada Manarkameri atau Manseren Manggundi sebagai juru selamat yang akan datang membawa keadilan, kedamaian, dan kemakmuran. Perlawanan terjadi pada masa pendudukan Jepang pada tahun 1942-1946. Gerakan Koreri ini merupakan yang paling spektakuler dan berpengaruh pada saat itu. Gerakan ini dipimpin oleh Angganitha Menufandu. Dia menjuluki dirinya sebagai ‘Ratu Emas Yudea’ dan dia juga mengakui dirinya sebagai nabi perempuan Manseren Manggoendi. Gerakan Koreri ini kemudian bertransformasi dari gerakan kebatinan menjadi gerakan kemerdekaan. Ada juga teologi asli dari orang-orang pegunungan seperti Hai (suku Amugme), Ugatame (suku Mee), dan Aber Niki (suku Lani). (Giay: 1996)
Akumulasi sejarah kepercayaan dan kekerasan telah mempengaruhi orang Papua dalam perkembangan ideologi. Hal ini kemudian bermuara pada deklarasi kemerdekaan. Papua Barat memperoleh kemerdekaannya pada tanggal 1 Desember 1961, kemudian beberapa hari kemudian pada tanggal 19 Desember pasukan Indonesia di bawah kepemimpinan Soekarno datang dan merebut wilayah tersebut melalui operasi militer yang disebut operasi Tiga Komando Rakyat (Trikora). Ini adalah awal dari kekerasan, operasi militer, genosida, ekosida, dan perjuangan panjang orang asli Papua untuk merebut kembali kemerdekaan yang telah dicuri. Selama serangkaian operasi militer di Papua Barat sejak tahun 1961 dan berlanjut hingga hari ini (2024), jutaan orang asli Papua, laki-laki, perempuan, dan anak-anak telah meninggal dan kehilangan tanah leluhurnya. Hubungan budaya orang Papua dengan alam juga dihancurkan dengan masuknya perusahaan ekstraktif seperti tambang.
Papua Barat menjadi bagian dari Indonesia melalui referendum yang dikritik banyak orang yang disebut Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) pada 1969 karena tidak ada partisipasi yang berarti dari penduduk asli Papua. Referendum ini muncul setelah perselisihan panjang antara Belanda dan pemerintah Indonesia atas Papua Barat. Hal ini diprakarsai oleh Amerika Serikat yang takut akan pengaruh Uni Soviet di Indonesia pada saat itu (Perang Dingin). Akhirnya Amerika Serikat mendorong pemerintah Belanda untuk berunding dengan Indonesia mengenai Papua Barat di New York. Hal ini dilakukan tanpa pelibatan orang Papua di dalamnya. Padahal apa yang menjadi pembahasan adalah nasib orang Papua. Perundingan tersebut menghasilkan kesepakatan dan perjanjian yang disebut New York Agreement atau Perjanjian New York pada tanggal 15 Agustus 1962.
Beberapa poin dari perjanjian tersebut antara lain Belanda harus menyerahkan Papua kepada badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui United Nation Temporary Executive Authority (UNTEA) paling lambat 1 Oktober 1962. Perjanjian ini juga menjadi dasar Pepera pada 1969. Dalam Perjanjian New York, Pepera harus dilaksanakan dengan mekanisme satu orang satu suara. Dengan kata lain, setiap orang Papua memiliki satu suara untuk menentukan pilihannya.
Namun mekanisme Pepera ini dipermasalahkan. Tidak sesuai dengan kehendak Perjanjian New karena mekanisme one man one vote tidak diterapkan. Hanya 1.025 orang yang dipilih untuk mewakili 800.000 penduduk asli Papua pada saat itu untuk berpartisipasi dalam Pepera. Dalam pelaksanaanya juga terdapat banyak ancaman dan intimidasi oleh aparat militer Indonesia terhadap para peserta yang sebagian besar adalah orang asli Papua untuk memilih menjadi bagian dari Indonesia.
Penghancuran Ekologi dan Gerakan Pembebasan
Ekologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan antara organisme hidup, termasuk manusia, dengan lingkungan fisiknya. Ilmu ini berusaha memahami hubungan vital antara tumbuhan dan hewan dengan dunia di sekitarnya. Dengan hadirnya kapitalisme, imperialisme, dan kolonialisme telah mengaburkan hubungan antara masyarakat adat Papua dengan alam.
Negara kolonial Indonesia dan imperialis Amerika Serikat memiliki kepentingan ekonomi di Papua Barat. Dua tahun sebelum Pepera dimulai pada tanggal 7 April 1967, pemerintah Indonesia menandatangani konsesi pertambangan dengan perusahaan Amerika Serikat, Freeport Sulphur of Delaware (sekarang PT. Freeport Indonesia). Freeport kemudian mengeruk Gunung Nemangkawi, sebuah wilayah yang kini menjadi bagian dari Kabupaten Mimika. Gunung Namengkawi adalah rumah bagi suku asli, Amungme. Operasi tersebut telah berhasil menghancurkan hubungan orang Amungme dengan alam dan semua makhluk yang hidup di dalamnya.
Beberapa tempat keramat di sekitar Nemangkawi telah berubah fungsi, misalnya, Peyukate sekarang dikenal sebagai Ridge Camp dan Mile 72 sebagai Grasberg. Perubahan ini mencerminkan transformasi tempat-tempat yang sebelumnya dianggap sakral dan tempat ibadah menjadi bagian dari kegiatan perusahaan. Suku Amungme, khususnya yang tinggal di tiga lembah (Waa, Tsinga, dan Arwanop) merasa kehilangan dan kecewa karena kehilangan tersebut tanpa adanya kompensasi yang layak. PT Freeport Indonesia memiliki kaitan dengan kunjungan pertama penjelajah Eropa, Carstensz, pada tahun 1623. Puncak tinggi yang dilihat Carstensz ketika berlabuh di lepas pantai Mimika, sebuah puncak yang tertutup salju, diberi nama Puncak Carstenzs. Namun, perubahan nama oleh pemerintah Indonesia telah menimbulkan makna yang berbeda, sehingga menyebabkan kurangnya pengakuan terhadap identitas dan keberadaan orang Amungme.
Solidaritas adalah Kuncinya
Banyak sekali contoh bagaimana negara-negara imperialis barat dengan dukungan negara kolonial Indonesia berusaha menghancurkan kehidupan masyarakat adat di Papua Barat. Mereka telah menghancurkan persatuan rakyat dan relasi sakral orang Papua dengan alam dengan segala macam cara.
Rasisme, diskriminasi, pembunuhan, dan bentuk-bentuk kekerasan lainnya terhadap kemanusiaan telah menjadi bahasa penjajah. Maka perjuangan untuk pembebasan nasional telah menjadi tugas dan hak kami orang Papua untuk melawan dan bertahan hidup. Pemuda dan pemudi Papua saat ini mulai mengorganisir diri mereka sendiri di kota-kota, gunung-gunung, dan di luar negeri sebagai alat pembebasan. Tetapi orang Papua percaya bahwa kejahatan terhadap kemanusiaan adalah masalah semua bangsa, oleh karena itu perjuangan ini adalah milik kita semua. Orang Asia, Indonesia, Afrika, Arab, Kurdi, Pasifik, ya, kita semua. Solidaritas adalah kunci untuk kebebasan dan pembebasan manusia. Kami percaya bahwa hanya dengan pembebasan Papua Barat dari kapitalisme, imperialisme, dan kolonialisme, maka perlindungan terhadap ekologi dapat dicapai.
***
Referensi
Kamma, F. C. (1972). Koreri, messianic movements in the Biak-Numfor Culture Area. The Hague, Martinus Nijhoff.
Giay, Benny. (1996). Masyarakat Amungme Irian Jaya, Modernisasi dan Agama Resmi: Sebuah Model Pertemuan. Majalah Deiyai Januari-Februari 1996.