Analisa Harian Dimana Mahasiswa Papua di Tengah Konya Alami Masalah?

Dimana Mahasiswa Papua di Tengah Konya Alami Masalah?

-

Pada 7 Juni 2024, saya berada di tengah warga Konya yang saat itu melakukan aksi di Kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kota Jayapura. Saat itu warga Konya yang berasal dari RT 01 dan 02 menggelar aksi protes atas penerbitan sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) kepada PT. Papua Graha Mandiri yang berencana membangun bangunan di kawasan resapan air tersebut. Menurut Albert Kareci, Kepala Seksi Survei dan Pengukuran BPN Kota Jayapura, sertifikat tersebut sudah diterbitkan pada tahun 2016 setelah dialihkan dari PT. Wamuna pada tahun 1993.

Warga Konya bertindak melakukan aksi protes saat itu karena PT. Papua Graha Mandiri memberikan surat somasi kepada warga Konya yang menegaskan bahwa lahan milik warga Konya segera dikosongkan dalam waktu satu bulan. Surat somasi itu diterbitkan berdasarkan lima sertifikat. PT. Papua Graha Mandiri juga membawa 14 anggota Satuan Brimob untuk mengawasi lahan yang diklaim berdasarkan HGB tersebut.

Yang menarik perhatian saya adalah suasana saat bergantian orasi di depan kantor BPN Kota Jayapura. Bapak-bapak dan ibu-ibu dari warga Konya bergantian berorasi hingga aksi protes selesai.

Tapi ada yang luput dalam aksi protes tersebut, yaitu suara-suara aktivisme mahasiswa. Demo mimbar bebas ini sungguh memperlihatkan pandangan yang kosong dari teriakan para mahasiswa. Tidak ada suara-suara yang terdengar dari mahasiswa berbagai kampus yang mengelilingi Kampung Konya.

Lantas, Siapa Kawan Bagi Warga Konya?

Pada pertengahan April 2024, saya mengunjungi tempat ini dan menuliskan kondisi warga Konya yang sering kali dilanda banjir. “Sejam saja hujan, itu banjirnya berhari-hari.” keluh warga Konya. Saat kondisi seperti itu, warga mengaku tidak ada realisasi janji-janji politik dari pejabat walikota atau pemerintahan setempat.

Letak Konya yang berada di dataran rendah menyebabkan air dari dataran tinggi seperti Perumnas 4, Organda, Abepura, dan Padang Bulan mengalir ke sana. Di sepanjang dataran tinggi itu banyak bangunan berdiri kokoh, termasuk universitas ternama di Papua seperti Universitas Cenderawasih (Uncen), Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Fajar Timur (STFT), Universitas Sains dan Teknologi Jayapura (USTJ), STFT GKI Izaak Samuel Kijne Jayapura, dan Politeknik Kesehatan Kemenkes Jayapura.

Warga Konya terdampak dari saluran air yang tidak dibangun dengan baik dan lahan resapan air kini sudah beralih fungsi. Area tersebut sedang dibangun Rumah Sakit Unit Pelayanan Terpadu (UPT) Vertikal Unit II Abepura. Selain itu, rencana pembangunan oleh PT. Papua Graha Mandiri juga menambah beban warga. Penyebab banjir termasuk tertutupnya saluran pembuangan air dari Kampung Konya, Lembah Emerehu menuju Sungai Acai hingga Teluk Youtefa, yang tersumbat oleh sampah dan pembangunan perumahan di atas Daerah Aliran Sungai (DAS) Konya.

Sebagai warga yang tinggal di pinggiran dataran rendah, mereka tidak hanya menampung air yang mengalir, tetapi juga menghirup udara yang tercampur dengan bau tak sedap dari aliran airnya. Penyakit seperti malaria, demam berdarah, dan lainnya dianggap biasa saja oleh warga.

Keterkaitan Mahasiswa dan Warga Konya

Ketika duduk bercerita dengan Ibu Misel Ibo di pinggir kali Konya, dia menunjuk kali yang dipenuhi tanaman sayur kangkung. “Kangkung ini disebut kangkung sarjana. Karena banyak mahasiswa yang datang memancing dan mengambil sayur kangkung ini untuk dikonsumsi. Dari tahun ke tahun pasti banyak mahasiswa yang bergantian datang dan pergi setelah lulus.” kata Ibu Ibo.

Cerita tentang Kangkung Sarjana menggambarkan hubungan antara warga Konya dengan mahasiswa. Mereka menyebut Kangkung Sarjana karena banyak mahasiswa yang mengambilnya untuk kebutuhan makan di kos-kosan atau asrama-asrama. Aktivitas ini membentuk hubungan sosial antara mahasiswa dengan warga. Namun, suasana kekeluargaan ini tidak nampak saat demonstrasi. Para mahasiswa nampak membisu ketika warga Konya sedang menderita, baik karena banjir maupun ancaman penggusuran.

Proses pembangunan RS Vertikal hingga perizinan sertifikat Hak Guna Usaha (HGU) oleh BPN Jayapura Kota menjadi persoalan baru yang harus dihadapi oleh warga Konya. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua mempertanyakan kepemilikan tanah, surat pelepasan, dan keberadaan warga Konya yang diancam gusur. Mereka juga mempertanyakan penerbitan sertifikat HGU di tanah kawasan resapan, yang menurut Peraturan Daerah Kota Jayapura Nomor 1 Tahun 2014 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Tahun 2013-2033 adalah kawasan yang memberikan perlindungan dan merupakan kawasan lindung. Namun, pejabat BPN hanya memberikan tanggapan bahwa “Kami akan tinjau kembali.” sementara surat somasi sudah memerintahkan warga untuk mengosongkan tempat dalam waktu satu bulan.

Dimana Posisi Mahasiswa dalam Persoalan Konya?

Mahasiswa disebut kaum terpelajar karena mereka adalah elemen terdidik dalam masyarakat. Mereka memiliki waktu untuk belajar dan mencerna teori dan ilmu pengetahuan. Sebagai bagian dari Tri Dharma Perguruan Tinggi, mahasiswa memiliki kewajiban untuk berjuang bersama rakyat. Setelah mempelajari dan berproses untuk berkembang melalui penelitian, mahasiswa harus terjun langsung ke lapangan untuk belajar dari kondisi objektif dan berjuang bersama masyarakat.

Realitas kekinian menunjukkan bahwa mahasiswa terjebak dalam obsesi mengejar Indeks Prestasi Kumulatif (IPK). IPK tinggi dan selesai tepat waktu menjadi hal wajib selama proses perkuliahan dengan berbagai cara ditempuh demi mencapainya, termasuk menyontek.

Kondisi ini diperparah dengan perguruan tinggi yang menjadi donatur, memproduksi mahasiswa sebagai komuditas layak jual. Sementara pasar memperluas lahan melalui pemekaran, investasi, dan sebagainya, termasuk pembangunan RS UPT Vertikal di tanah yang katanya milik Universitas Cenderawasih (Uncen).

Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) pembangunan RS UPT Vertikal Abepura bermasalah dan hal ini telah dibicarakan dan didampingi oleh LBH Papua. Suatu waktu, saya menemui seorang dosen, juga Dekan di salah satu fakultas, dan bertanya perihal AMDAL. Ia menjelaskan secara of the record, “Ade, barang ini manfaatnya banyak untuk orang Papua. Soal banjir dan lain-lain bisa diatasi dengan drainase. Tetapi yang mesti kamu lihat adalah nilai positifnya.”

Narasi yang sama mungkin dibicarakan kepada mahasiswa, membuat mereka enggan memprotes AMDAL yang bermasalah. Mahasiswa Fakultas Hukum dan Politeknik Kesehatan seharusnya kritis terhadap hal ini. Peraturan Daerah (Perda) tentang Tata Ruang sudah melarang pembangunan di area resapan air. Mahasiswa harus menguji teori yang mereka pelajari terhadap realitas, menemukan sudut pandang baru dan menyelesaikan masalah.

Krisis Kritis Mahasiswa dan Gereja

Jika mahasiswa diam tanpa daya kritis, mereka mengaminkan kehancuran yang dilakukan globalisasi di Papua. Kampus menjadi mesin cetak mahasiswa yang berpengetahuan tetapi tunduk pada penguasa. Sementara pasar memperluas lahannya di Papua dan berdampak pada deforestasi, perampasan lahan, dan perburukan kondisi hidup masyarakat Papua.

Seorang dosen berhasil meninabobokan mahasiswanya dengan nyanyian tidur, “Ade, jangan protes. Ambil positifnya saja. Cepat belajar, selesaikan kuliah, dan pulang bangun daerah yang baru dimekarkan. Di sana membutuhkan tenaga handal seperti kalian.”

Warga Konya bertanya dalam benaknya, siapakah sahabat mereka? Apakah gereja dan mahasiswa teologi? Warga Konya mayoritas beragama Kristen, namun mahasiswa teologi tampak terkurung pada hal transendental. Gereja harus kritis terhadap realitas globalisasi yang berdampak pada manusia dan alam di Papua, khususnya warga Konya yang menderita.

Menghormati dan menghargai karya ciptaan-Nya berarti memperjuangkan pelestarian alam dan melawan kejahatan terhadap alam dan manusia. Seperti yang dijelaskan Sellina Aurora dalam tulisannya Menghidupi Ekoteologi Bergereja di Papua bahwa “Ekoteologi di Papua seharusnya menjadi kampanye gereja, baik secara institusi maupun reflektif personal. Gereja menjadi yang terdepan dalam perjuangan pelestarian alam.”

***

Catatan: Tulisan ini awalnya dimuat di media The Papua Journal pada 19 Juli 2024 dengan judul Warga Konya: Siapa Sahabat Kami? Kami terbitkan kembali disini sekaligus menyunting judul dan beberapa isi atas permintaan penulis untuk tujuan pendidikan, kampanye, dan propaganda. 

Referensi

Alfons A, Jikwa S, & Winarno T. (2016). Evaluasi Sistem Drainase Sebagai Upaya Penanggulangan Banjir di Kota Jayapura. Jurnal Portal Sipil USTJ. Diakses pada 14 Juli 2024.

Yohanes Gobai
Penulis adalah wartawan thepapuajournal.com

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Kirim Donasi

Terbaru

Mambesak dan Gerakan Kebudayaan Papua Pascakolonial

Mambesak tidak sekadar grup musik Papua biasa. Selain sebagai...

Belajar Gerakan Kedaulatan Diri Owadaa dari Meeuwodide (Bagian 1)

Menjelang malam, kami memasuki Moanemani, ibukota Kabupaten Dogiyai dari Kota Nabire pada suatu hari di awal bulan April 2024....

26 Tahun AMP: Hancurkan Kebudayaan Kontra Revolusi

Berikut ini kami terbitkan pernyataan sikap Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) dalam merayakan ulang tahunnya yang ke-26, hari ini 27...

Membaca ‘The Politics of Distraction’ di Papua

Apakah kita bisa menjelaskan akar seluruh persoalan Papua hanya dengan tiga kata? Bisa. Jawabannya, perebutan sumber daya. Kapitalisme, imperialisme,...

Dimana Mahasiswa Papua di Tengah Konya Alami Masalah?

Pada 7 Juni 2024, saya berada di tengah warga Konya yang saat itu melakukan aksi di Kantor Badan Pertanahan...

Rubrikasi

Konten TerkaitRELATED
Rekomendasi Bacaan