Catatan dari Kampung Belajar Gerakan Kedaulatan Diri Owadaa dari Meeuwodide (Bagian 1)

Belajar Gerakan Kedaulatan Diri Owadaa dari Meeuwodide (Bagian 1)

-

Menjelang malam, kami memasuki Moanemani, ibukota Kabupaten Dogiyai dari Kota Nabire pada suatu hari di awal bulan April 2024. Jalan masuk menuju rumah yang kami tuju tampak lengang. Tapi memasuki perempatan, banyak masyarakat yang berkerumun, terutama terkonsentrasi di salah satu kios yang berada di jalan tersebut. Jalanan tampak gelap gulita. Hanya lampu mobil dan rumah-rumah yang tampak temaram. Beberapa lampu handphone dari masyarakat yang berkumpul di jalanan terlihat samar-samar saat kendaraan yang kami tumpangi menembus jalanan setapak menuju tempat bermalam. Dingin menyengat malam itu membuat kami bergegas untuk masuk ke dalam rumah dan beristirahat.

Keesokan harinya, tujuan kami adalah menemui para guru dari mulai Deiyai, Dogiyai, hingga ke Paniai (Enarotali) untuk memastikan kegiatan pelatihan yang kami rencanakan. Ketiga wilayah itulah yang disebut dengan Meeuwodide (negeri orang Mee). Pelatihan di tanah orang Mee tersebut berkaitan dengan mendialogkan kemungkinan memasukkan nilai-nilai Owadaa bagi pendidikan dasar di tiga wilayah komunitas orang Mee, yaitu Paniai, Deiyai, dan Dogiyai. Selain para guru, sasaran kami juga adalah para orang tua yang sangat berperan penting dalam pendidikan anak sekaligus pembentukan karakter manusia Mee tersebut. Pada tingkatan kebijakan pemerintahan, program penguatan ekonomi sangat perlu berlandaskan filosofi Owadaa yang membangun pondasi kemandirian dan kedaulatan ekonomi orang Mee.

Kajian tentang Owadaa sudah banyak dilakukan oleh intelektual Mee. Salah satunya yang saya dapatkan adalah dari Almarhum Benny Makewa Pigai, seorang birokrat sekaligus salah satu intelektual suku Mee. Ia memiliki perhatian sekaligus kajian tentang Owadaa ini yang diwariskannya melalui dua buku penting: Ekonomi Owadaa dimulai dari Halaman Rumah tiap Keluarga (2011) dan Perjuangan menjadi Tuan di Rumah Sendiri (2015). Kontribusi akademik melalui dokumentasi pengetahuan Owadaa dan langkah praksis yang dilakukan melalui tangan institusi pemerintahan, menggambarkan proses menjembatani pengetahuan Owadaa dalam literasi dan penguatan ekonomi keluarga Mee yang selalu dirindukan kehadirannya.

Almarhum Benny Makewa Pigai (menggunakan jas warna biru tua) pada saat menyelesaikan studi doktor gereja dan masyarakat di STT Walter Post Sentani, Jayapura. Foto: dokumen STT Walter Post
Almarhum Benny Makewa Pigai (menggunakan jas warna biru tua) pada saat menyelesaikan studi doktor gereja dan masyarakat di STT Walter Post Sentani, Jayapura. Foto: dokumen STT Walter Post

Gerakan Owadaa di Meeuwodide (negeri orang Mee) juga tidak bisa dilepaskan dari sosok kharismatik Almarhum Manfred Chrisantus Mote, penggagas sekaligus ketua tim monitoring program Owadaa di Dekanat Paniai. Ia juga yang menjadi inisiator terlaksananya Musyawarah Pastoral (Muspas) di Dekanat Paniai yang kemudian berkembang terus menjadi agenda Dekanat Paniai untuk menguatkan program-program di tingkat basis masyarakat. Beberapa topik yang sering dibahas dalam agenda Muspas tersebut diantaranya adalah pengembangan budaya Mee, penguatan Owadaa, Emawaa, program pendidikan, ekonomi kerakatan.

Muspas I tahun 2005 di Paroki Santo Yusup Enarotali, Muspas II tahun 2008 di Paroki Yohanes Pemadi Waghete. Pada Muspas III tahun 2011 di Paroki Santo Fransiskus Obano mulai ditambahkan dengan kata Mee yang menjadi, Muspas IV tahun 2014 di Paroki Segala Orang Kudus Deiyai, Muspas V tahun 2017 di Paroki Salib Suci Madi, Muspas VI tahun 2020 di Paroki Kristus Kebangkitan Kita, Demabaga Dekanat Tigi, dan Muspas VII tahun 2023 di Paroki St. Fransiskus Assisi Epouto.[1]

Almarhum Manfred Mote di Aula Paroki Madi, Paniai pada tahun 2009. Foto: dokumen Suara Papua
Almarhum Manfred Mote di Aula Paroki Madi, Paniai pada tahun 2009. Foto: dokumen Suara Papua

 Spiritualitas Owadaa

Manfred Mote dalam esainya Spiritualitas Owadaa bagi Suku Mee (2020) mengungkapkan Owadaa terdiri dari dua kata yaitu Owaa yang berarti rumah dan Daa, Ida, dan Edaa yang masing-masing berarti Daa (larangan, dilarang, terlarang), Idaa (isi, bagian isi, bagian dalam) dan Edaa (pagar, pelindung, pengaman, batasan). Owaadaa dengan demikian dipahami sebagai suatu kebun khusus, yang ditanami dengan tumbuhan-tumbuhan khusus, sehingga merupakan ‘larangan’ bagi semua orang lain yang tidak berkepentingan untuk mendekatinya, apalagi untuk memasuki ke dalamnya, namun diperbolehkan khusus hanya bagi orang khusus yang bertugas untuk memperhatikan dan memeliharanya. [2]

Hal yang senada dituliskan oleh Pigai (2011: 42) yang mengungkapkan bahwa Owadaa atau sering juga disebut Ooda-Owadaa adalah ajaran filosofis sekaligus praksis budaya ekonomi orang Mee. Ooda-Owadaa terdiri dari dua kata yaitu Ooda dan Owadaa. Pertama, istilah Ooda terdiri dari kata Oo artinya dingin tetapi arti kiasannya adalah penahan, pembatas atau pelindung. Kata Da adalah Eda yang artinya adalah pagar. Daa juga berarti larangan atau aturan-aturan (norma-norma) yang ditaati. Ooda adalah pagar induk (Ukaada) yang dibangun suatu kampung sebagai pembatas antara manusia dengan mahluk lain. Kedua, Owadaa terdiri dari Owaa yang artinya rumah dan Da adalah Eda yang artinya adalah pagar. Maka Owadaa adalah pagar pelindung ternak, tanaman, dan rumah tempat tinggal keluarga yang ditata di atas aturan dan larangan-larangan yang dipatuhinya. Ooda adalah pagar inti yang mengurung suatu kampung sedangkan Owadaa adalah pagar khusus untuk melindungi rumah dan pekarangan suatu keluarga, sehingga keduanya dibangun sebagai komunitas suatu kampung.[3]

Salah satu kebun masyarakat Mee di Deiyai yang saya sempat saya kunjungi. Foto: I Ngurah Suryawan
Salah satu kebun masyarakat Mee di Deiyai yang saya sempat saya kunjungi. Foto: I Ngurah Suryawan

Baik Benny Makewa Pigai maupun Manfred Mote membingkai Owadaa tidak hanya sekadar aktivitas ekonomi atau usaha pemenuhan kebutuhan hidup semata dengan berkebun dan mengolahnya untuk menjadi makanan. Owadaa dibingkai menjadi sebuah spiritualitas orang Mee yang memandang kebun Owadaa dan segala sumber makanan yang menghidupi kehidupan ini berawal dari Manusia Koyeidaba. Manfred Mote menuliskan hal ini:

Simbol kehadiran, kehidupan, dan keaktifan penyelenggaraan karya cipta Allah mewahyukan diri-Nya melalui dan dalam  Manusia Koyeidaba,  yaitu dia yang selama hidup-Nya di dunia telah mengajarkan suatu ajaran yang dinamakan Touye Mana atau Toota Mana yaitu suatu ajaran jalan kehidupan dan keselamatan yang pada akhir hidup-Nya secara rela dan bebas telah menyerahkan dan mengorbankan diri untuk mati, untuk menumbuhkan dari jasad-Nya benih-benih tumbuhan dan tanaman makanan kehidupan dan keselamatan jasmani dan rohani secara utuh baik di dunia sekarang maupun di akhirat kelak nanti, yang dinamakan benih-benih tumbuhan dan tanaman Touye Iyo atau Toota Iyo, dan kemudian setelah itu ia bangkit dari kematian-Nya dan hidup kembali.

Peristiwa Manusia Koyeidaba dipandang, diakui, dihormati, dan dipercaya sebagai ‘Sang Utusan Allah’. Dia adalah ‘Sabda yang Hidup’ (Touye Mana) dan ‘Makanan yang Hidup’ (Touye Iyo) sekaligus, ‘Yang Hadir, Hidup, dan Berkarya Cipta Aktif’ melalui rupa ‘simbol-simbol’ tumbuhan dan tanaman di ‘Kebun Owaadaa’ dari setiap rumah orang Mee (Yameewa). Mereka ini yang terus memelihara kemurnian, kesucian dan kekudusan diri bagi setiap petugasnya di setiap waktu. Menurut Manfred Mote, konsep Owaadaa menurut penghayatan dan pemahaman orang-orang tua sering juga disebut dengan istilah: Dimi Touda yang artinya tempat tinggal pikiran, pengharapan, roh Ipuwee Touda yang artinya tempat tinggal pemilik, yang memiliki, dan Mee Edaa yang artinya pagar manusia atau pelindung manusia. [4]

Bagi masyarakat Mee, filosofi ekonomi Owadaa sering juga disebut dengan Ooda-Owadaa berlangsung dan menghidupi para leluhur orang Mee jauh sebelumnya. Tujuannya adalah untuk membangun jati diri (Makodo Mee), menata dunianya yang kecil sebagai fondasi kehidupan (Umi Kabo), dan menentukan dirinya menjadi tuan di rumahnya sendiri (Tou Kabo). Basis struktur ekonomi Owadaa bagi orang Mee sebenarnya sudah tersedia dimana mereka hidup di sekitar leher pulau Papua tersebut memiliki budaya tani dan beternak babi, berburu, dan mencari ikan di kali, sungai, rawa, dan danau. Sistem pengolahan lahan pertanian yang lebih intensif di kawasan Lembah Kamu dan Lembah di tiga danau yaitu danau Paniai, danau Tigi, dan danau Tage telah memungkinkan ekonomi Owadaa berkembang dengan intensif.

Benny Makewa Pigai secara elaboratif mengungkapkan bahwa terdapat tiga wilayah garapan Owadaa yang merupakan tempat penerimaan nafkah hidup sepanjang sejarah kehidupan manusia Mee. Pada tempat-tempat ini tidak hanya menerima apa saja yang disediakan alam tetapi melalui proses bekerja dengan mematuhi aturan-aturan yang telah ditetapkan. Ruang lingkup wilayah garapan ekonomi Owadaa terdiri dari: pertama, pada saat ajaran Touye Mana (ajaran kehidupan dan keselamatan) ditegakkan, wilayah garapan pertama ini dilihat sebagai sebuah pusat penerapan budaya tani. Selain itu, tersedia juga lahan untuk membangun rumah, dapur, dan memanfaatkan lahan pekarangan untuk mengukir dunia kecil tadi. Taman kehidupan inilah yang disebut dengan Owadaa, suatu kebun hidup keluarga.

Kebun hidup ini merupakan tenaga surga yaitu tempat (Sang Pencipta) hadir menolong kehidupan manusia. Pandangan dan keyakinan orang Mee, membangun rumah dan dapur serta lahan pekarangannya tidak hanya sebagai tempat beristirahat tetapi juga adanya fungsi religi, sosial, dan ekonomi. Dunia kecil tadi dalam ajaran Touye Mana adalah tempat Sang Pencipta menolong orang Mee dalam budaya dan kehidupannya. Kesuburan usaha di wilayah ini menjadi kesuburan dan juga sekaligus kesejahteraan suatu keluarga.

Wilayah garapan Owadaa kedua, yaitu wilayah yang terletak di luar lokasi rumah tempat tinggal, yaitu tanah atau lahan garapan berupa rawa-rawa pinggiran danau atau kaki gunung suatu kampung ataupun tanah di hutan. Wilayah ini adalah tempat untuk mengusahakan usaha-usaha yang lebih besar daripada yang ada di halaman rumah. Usaha di wilayah Owadaa kedua ini berhasil atau tidaknya bergantung kepada bagaimana cara mengolah lahan, menanam dan memelihara tanaman di atas aturan dan larangannya. Aktivitas di wilayah ini juga menyediakan tempat khusus sebagai gambaran dunia kecil yang berada di masing-masing rumah, sekaligus juga menyediakan tempat anak-anak bermain.

Usaha-usaha yang dikembangkan pada wilayah ini dibangun dengan nilai ekonomis yang lebih besar dari wilayah garapan pertama. Pada garapan kedua ini tidak hanya lahan pertanian yang diusahakan, tetapi juga terbangunnya kolam budidaya ikan (lele dan udang), ternak babi, kambing, domba, bebek, ayam, kelinci dalam jumlah yang besar. Pada wilayah kedua ini juga dilakukan penataan sebagai taman wisata dan lain-lain supaya dapat memperoleh pendapatan dari hasil kegiatan dan keringat sendiri.

Wilayah ketiga dari Owadaa adalah terdiri dari hutan, air, udara, gunung, dan bukit serta tanjung, kali, sungai, rawa, telaga, danau, laut dan semua sumber daya alam yang memiliki nilai ekonomis yang luas. Pada wilayah ini terdapat sumber nafkah hidup masyarakat seperti ikan, kepiting, kodok, buah-buahan, atap rumah, kulit kayu, dan sumber untuk menyimpan air bersih dan sumber lainnya. Menjaga dan memelihara wilayah ini memerlukan usaha untuk penghijauan kembali karena nilai ekonomisnya yang paling tinggi dan luas ada wilayah garapan Owadaa yang ketiga ini.

Sumber kehidupan manusia dan mahluk hidup secara luas di wilayah ini menyimpan sejuta harapan bagi kehidupan mahluk hidup di bumi. Ketiga wilayah garapan ekonomi Owadaa ini saling terkait dan tidak terpisahkan satu sama lainnya. Terkhusus wilayah garapan ekonomi Owadaa yang ketiga ini sangat menentukan hajat hidup masyarakat Mee yang lebih luas dari wilayah pertama dan kedua. Oleh sebab itulah wilayah yang luas ini perlu pemulihan terus-menerus yang dimulai dari garapan ekonomi Owadaa yang pertama tadi (Pigai, 2011:44-45).

Seorang mama melintasi jalan setapak untuk menuju pasar di Dogiyai. Foto: I Ngurah Suryawan
Seorang mama melintasi jalan setapak untuk menuju pasar di Dogiyai. Foto: I Ngurah Suryawan

‘Menghidupi’ kembali Owadaa

Owaadaa merupakan satu spiritualitas hidup dalam menghidupkan budaya kerja yang menjadi pengetahuan sekaligus filosofi kehidupan masyarakat Mee dalam perjalanan sejarah dan peradabannya. Pengetahuan dan filosofi ini melekat dalam kehidupan dan religiusitas orang Mee. Gerakan ‘menghidupi’ Owaadaa telah dijalankan secara turun temurun oleh para moyang leluhur orang Mee yang terbukti telah menghidupi mereka dan masih diteruskan oleh sebagian kecil masyarakat suku Mee saat ini. Usaha untuk menterjemahkan nilai spiritualitas dan praktik budaya kerja di tengah masyarakat Mee yang berubah bukanlah ”barang baru”. Pada sisi yang lain, pengetahuan dan filosofi Owaadaa ini juga mulai digerakkan oleh Gereja Katolik Dekanat Paniai melalui gerakan pastoral ekonomi Owadaa dan tentu saja Gereja Kingmi Tanah Papua di Paniai sejak tahun 2005.

Langkah Benny Makewa Pigai dalam mengembangkan ekonomi Owadaa adalah penguatan akar rumput keluarga Mee dengan pembentukan lembaga yang dinamakan Bina Usaha Kelompok Kagamawa (BUKPK) pada November 2005. Pada saat itu juga kajian Owadaa berkembang di institusi pendidikan tinggi melalui Institut Studi Sosial dan Pastoral (ISSP) Zakheus Pakage di Enarotali melalui kajian ilmu Owadaa dalam budaya masyarakat suku Mee di Paniai. Pada saat itu program ini diterima pemerintah daerah saat Benny Makewa Pigai berusaha sendiri meyakinkan Bupati Kabupaten Paniai pada saat itu yaitu Januarius Douw. Selama dua tahun anggaran dikucurkan dana untuk membangun kemandirian masyarakat dengan memfasilitasi sebanyak 52 kelompok ekonomi Owadaa. Setelah dua tahun anggaran tersebut, masyarakat Mee yang pada saat itu menurut istilahnya seperti “anak ayam kehilangan induknya”. Program ini tidak lagi berjalan dan tidak mendapat dukungan dari pemerintah daerah (Pigai, 2015: 3).

Pagar yang dibuat masyarakat di wilayah Danau Tigi, Kabupaten Deiyai. Foto: I Ngurah Suryawan
Pagar yang dibuat masyarakat di wilayah Danau Tigi, Kabupaten Deiyai. Foto: I Ngurah Suryawan

Harapannya sudah tentu program Owadaa ini tidak berhenti karena berganti pemimpin daerah misalnya bupati atau gubernurnya berganti, dengan demikian berganti pula kebijakannya. Kebijakan Owadaa ini harus selalu ada untuk pemulihan keberdayaan akar rumput atau pemulihan negeri yang dimulai dari halaman rumah setiap keluarga. Formulasi ekonomi Owadaa itulah yang sedang dalam pembahasan secara ilmu di perguruan tinggi dengan keterlibatan ISSP dimana Benny Makewa Pigai menjadi salah satu tokoh sentralnya. Pola ekonomi Owadaa ini bisa menjadi sarana bagi pemerintah daerah untuk membangun dan belajar dari akar rumput.

Meski dalam konteks yang berbeda, Zakheus Pakage pernah memodernisasinya pada tahun 1950-an dengan tujuan untuk membangun kampung-kampung Kristen yang bersih dan sehat (Pigai, 2015: 3-4). Sayangnya, hingga Benny Makewa Pigai menghembuskan nafas terakhirnya, pergumulan untuk menguatkan ekonomi Owadaa dan mengkajinya dalam konteks akademik sekaligus praksisnya di tengah perubahan bagi masyarakat Mee sedikit terabaikan. Pada sisi lain, perubahan terus bergerak maju melindas orang-orang yang tidak mengikutinya.

Masyarakat Mee benar-benar lumpuh dalam budaya berkebun ini. Ada beberapa hal yang mengakibatkan hal tersebut terjadi yaitu: pertama, masyarakat di kawasan leher burung Papua ini dalam sejarahnya telah lama menjadi Daerah Operasi Militer (DOM) dengan berbagai tindakan kekerasan dan keji yang dilakukan aparat militer terhadap orang Mee, kedua, pembangunan yang lebih berpihak dan menguntungkan para pendatang, ketiga, adanya proyek pembasmian kebudayaan dalam gereja tanpa mengkontekstualisasikan injil untuk menilai mana yang baik untuk dimodernisasi, tetapi dianggap orang Mee sedang hidup dalam kekafiran, maka yang dilakukan adalah mengibliskan orang Mee dalam pewartaan, dan keempat, adanya sikap saling tidak percaya dan tidak ingin berubah mengikuti perubahan dan hidup tanpa dasar pijakan (Pigai, 2011: 23-24).

Setelah inisiatif Almarhum Benny Makewa Pigai lewat Institut Studi Sosial dan Pastoral (ISSP) Zakheus Pakage Enarotali dalam mengembangkan kurikulum Owadaa di sekolah tersebut, kini dilanjutkan oleh Sekolah Tinggi Katolik(STK) Touye Paapaa Deiyai.[5] Lembaga lainnya yang mulai mengambil peran menghidupkan spirit Owadaa adalah Yayasan Pembangunan Masyarakat (Yapkema) Papua. Peran ini diambil sebagai bentuk tanggung jawab minimal untuk memperkuat Owadaa dan berkontribusi mengatasi masalah penurunan kualitas hidup keluarga masyarakat adat Papua di wilayah adat Meepago (secara administratif kini masuk dalam Provinsi Papua Tengah) khususnya di tiga kabupaten: Dogiyai, Deiyai, dan Paniai. [6]

Kios-kios yang berdiri di bagian dalam Pasar Paniai menandai perubahan yang tidak terbendung bagi masyarakat Mee. Foto: I Ngurah Suryawan
Kios-kios yang berdiri di bagian dalam Pasar Paniai menandai perubahan yang tidak terbendung bagi masyarakat Mee. Foto: I Ngurah Suryawan

Persoalannya adalah apakah pengetahuan dan filosofi hidup Owadaa ini mampu menjadi jawaban dari perubahan sosial ekonomi yang akan selalu terus dihadapi oleh orang Mee pada masa kini dan masa depan? Atau perlahan namun pasti sudah ditinggalkan dan diperbincangkan hanya sebagai sebuah nilai-nilai tanpa makna dan spirit untuk menggerakkan kemandirian dan kedaulatan diri dalam kehidupan diri dan komunitas Mee? Kita kadang menyaksikan di berbagai masyarakat, pengetahuan dan filosofi hidup yang diwariskan oleh para leluhur tidak lagi bisa berjalan karena struktur ekonomi masyarakat yang sudah berubah dan dengan demikian orientasi kehidupan juga berubah yang menciptakan nilai-nilai hidup baru. Lalu, bagaimana nasib pengetahuan dan filosofi hidup yang diwariskan oleh para leluhur sebelumnya?

(Bersambung)

Paniai, Nabire, Denpasar, Juni – Juli 2024

Catatan: Esai ini adalah bagian pertama dari lima esai yang merangkum narasi pengalaman saya berada di Meeuwodide guna memfasilitasi para guru-guru Sekolah Dasar (SD) di Dogiyai, Deiyai, dan Paniai pada April 2024 dalam menterjemahkan nilai-nilai Owadaa bagi siswa. Acara ini difasilitasi oleh Yayasan Pembangunan Masyarakat (Yapkema) Papua di Nabire dalam menjalankan program Owadaa.

***

Referensi

[1] Baca: https://jubi.id/advertorial/2022/sukseskan-muspas-mee-vii-2023-ribuan-warga-hadiri-eba-mukai-di-epouto-paniai/, https://suarapapua.com/2016/10/06/selamat-jalan-sang-filsuf-mee/ dan https://suarapapua.com/2016/10/08/almarhum-manfred-chrisantus-mote-disebut-rasul-odaa-owaadaa/ (diakses pada 2 Juli 2024).

[2] Baca: https://www.tadahnews.com/2020/11/spiritualitas-owaadaa-bagi-suku-mee.html (diakses pada 5 Juni 2024).

[3] Almarhum Benny Makewa Pigai adalah salah satu intelektual Mee yang tekun menulis dan menghasilkan beberapa buku yang diwariskannya hingga kini. Sebelumnya Benny Makewa adalah tenaga pengajar di Institut Studi Sosial dan Pastoral (ISSP) Zakheus Pakage Enarotali dan mengembangkan kurikulum Owadaa di sekolah tersebut. Peluncuran buku-bukunya berlangsung pada Jumat, 17 Juli 2015 di ruang kuliah institut tersebut. Sayangnya ISSP Zakhes Pakage di Enarotali sudah tidak aktif lagi melaksanakan proses belajar-mengajar. Baca: https://www.youtube.com/watch?v=Gj3g5MoXP2g. (diakses pada 27 Mei 2024).

[4]  Seluruh bagian dari pemikiran spiritualitas Owadaa ini disarikan dari: Manfred Mote, spiritualitas Owadaa bagi Suku Mee bisa dibaca: https://www.tadahnews.com/2020/11/spiritualitas-owaadaa-bagi-suku-mee.html (diakses pada 5 Juni 2024).

[5] Sekolah Tinggi Katolik (STK) Touye Paapaa Deiyai dibawah naungan Keuskupan Timika mungkin menjadi satu-satunya institusi pendidikan tinggi di wilayah pegunungan (Paniai, Deiyai, dan Dogiyai) yang menjadi basis komunitas Mee. STK Touye Paapaa Deiyai berkedudukan di Kota Waghete dan memiliki satu program studi yaitu Program Studi Pendidikan Keagamaan Katolik (S1). Lihat: https://stktouyepaapaadeiyai.ac.id/ (diakses pada 22 Juni 2024).

[6] Baca: https://suarapapua.com/2023/12/15/program-owaadaa-meningkatkan-kualitas-hidup-keluarga-masyarakat-adat-papua/#google_vignette (diakses pada 2 Juli 2024).

I Ngurah Suryawan
Penulis adalah antropolog dan dosen di Universitas Papua (Unipa), Manokwari, Papua Barat.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Kirim Donasi

Terbaru

Belajar Gerakan Kedaulatan Diri Owadaa dari Meeuwodide (Bagian 2)

Pada bagian pertama catatan ini sebelumya, saya mencoba untuk...

Belajar pada Njoto, Menuju Jurnalisme yang Mendidik Massa

Dalam deretan tokoh-tokoh jurnalistik di Indonesia, nama Njoto jarang terdengar. Kerap ketika berbicara mengenai sejarah jurnalisme di Indonesia, nama...

Empat Babak Sekuritisasi di Papua

Sejak dimulainya Operasi Tri Komando Rakyat (Trikora) oleh Presiden Soekarno pada 19 Desember 1961 banyak terjadi pelanggaran hak asasi...

Mambesak dan Gerakan Kebudayaan Papua Pascakolonial

Mambesak tidak sekadar grup musik Papua biasa. Selain sebagai pioner dengan mempopulerkan lagu-lagu daerah Papua yang kaya dan beragam,...

Belajar Gerakan Kedaulatan Diri Owadaa dari Meeuwodide (Bagian 1)

Menjelang malam, kami memasuki Moanemani, ibukota Kabupaten Dogiyai dari Kota Nabire pada suatu hari di awal bulan April 2024....

Rubrikasi

Konten TerkaitRELATED
Rekomendasi Bacaan