Sejak dimulainya Operasi Tri Komando Rakyat (Trikora) oleh Presiden Soekarno pada 19 Desember 1961 banyak terjadi pelanggaran hak asasi manusia di tanah Papua. Sederhananya Trikora bertujuan untuk merebut kembali Irian Jaya Barat (sekarang Papua) untuk kembali ke pangkuan NKRI. Soekarno mengerahkan pasukan Militer Indonesia untuk melakukan operasi militer guna menghentikan ancaman terhadap kedaulatan NKRI, ancaman yang dimaksud Indonesia adalah bahwa dengan adanya upaya bangsa Papua untuk mendirikan negaranya sendiri akan menjadi negara boneka di bawah pemerintah Kerajaan Belanda dan sekutunya. Sejak saat itu, banyak operasi militer yang kemudian dijalankan di Papua[1]. Berbagai bentuk kekerasan yang dialami antara lain: eksekusi tanpa peradilan hukum yang berujung pembunuhan[2], pelecehan seksual, pemerkosaan, penyiksaan, serta penangkapan, dan penghilangan paksa. Trikora yang dikumandangkan Soekarno adalah bentuk sekuritisasi sebuah isu. Soekarno menggunakan pengaruh dan kapasitasnya sebagai Presiden Republik Indonesia untuk mengubah isu Papua menjadi masalah keamanan nasional. Melalui Trikora, Soekarno menciptakan narasi bahwa Papua adalah bagian integral dari Indonesia dan siapapun yang menentang dikategorikan sebagai ancaman bagi kedaulatan negara. Soekarno berhasil mengamankan dukungan politik dan militer dalam menjalankan operasi Trikora untuk mempertahankan Papua sebagai bagian dari Indonesia.
Sekuritisasi adalah rangkaian proses pembentukan wacana publik terhadap sebuah isu, awalnya sebuah isu dipandang sebagai isu ekonomi, politik, atau sosial, namun ketika sampai pada titik tertentu isu tersebut kemudian dikategorikan sebagai isu keamanan. Sekuritisasi menjadikan isu-isu ini sebagai ancaman serius yang memerlukan tindakan luar biasa (extraordinary measures) agar dapat teratasi. Proses sekuritisasi melibatkan upaya untuk meyakinkan publik dan dunia internasional bahwa isu tersebut membutuhkan prioritas keamanan yang tinggi, bahkan jika hal itu berarti mengesampingkan prosedur politik yang biasa.
Menurut Buzan (1991), proses sekuritisasi berkaitan erat dengan tindak perubahan status dari tingkat normal non keamanan ke dalam tingkat keamanan, perubahan status inilah yang membenarkan penggunaan kekuasaan luar biasa untuk menanggapi masalah tersebut. Buzan memperluas pandangan terhadap konsepsi keamanan tradisional seperti ancaman militer menjadi ancaman non-militer, yakni politik, sosial, dan lingkungan. Sedangkan Wæver membahas tentang proses konstruksi sosial dan linguistik yang berperan besar dalam mengubah persepsi tentang ancaman keamanan. Menurut Wæver(1995) bahasa dan narasi yang digunakan dalam merubah konstruksi penggolongan isu dan legitimasi berbagai tindakan keamanan luar biasa. Wæver juga secara aktif menjelaskan bahwa ketika isu tersebut tidak lagi dianggap sebagai ancaman, maka isu tersebut dapat dengan mudah diturunkan lagi ke dalam isu non-keamanan. Upaya-upaya yang akan dilakukan seperti pembingkaian ulang isu, discourse deconstruction, normalisasi kebijakan, negosiasi dan dialog, serta adanya upaya untuk melembagakan penanganan isu. Proses ini disebut desekuritisasi. Menurut Jaap de Wilde (1998) proses sekuritisasi tidak hanya berpengaruh bagi kebijakan domestik sebuah negara saja tetapi juga ikut mempengaruhi dinamika hubungan internasional dan responnya terhadap isu yang diangkat menjadi ancaman keamanan. Hal lainnya yang disoroti teori sekuritisasi adalah bagaimana dalam proses ini sebuah negara menjustifikasi pelanggaran terhadap hak asasi manusia atau tindakan represif yang diberikan kepada satu atau lebih kelompok tertentu atas dasar keamanan. Dengan melabeli suatu kelompok tertentu sebagai ancaman terhadap keamanan, pemerintah yang notabenenya memiliki relasi kuasa yang lebih besar cenderung mengabaikan bahkan menindas hak-hak dasar mereka. Justifikasi ini seringkali didukung oleh publik dan masyarakat internasional. Dalam dunia internasional, teori ini juga membantu kita agar dapat memahami proses terbentuknya aliansi dan kebijakan luar negeri berdasarkan pandangan musuh bersama. Hal ini membantu kita memahami dengan lebih jelas bagaimana negara-negara tertentu mendapatkan atau memberikan dukungan internasional yang lebih besar dibandingkan negara lainnya.
Sekuritisasi sendiri dapat dibagi menjadi 2 jenis, yakni: sekuritisasi objektif dan sekuritisasi subjektif[3]. Dalam sekuritisasi objektif, terdapat data empiris, statistik, dan informasi kongkrit yang mengindikasikan bahwa keberadaan ancaman tersebut nyata dan terukur . Contohnya adalah informasi yang didapatkan dari sumber-sumber intelijen yang menunjukan ancaman teroris yang nyata seperti adanya rencana penyerangan atau kepemilikan terhadap senjata yang berbahaya. Kemudian adanya angka kejahatan yang terus meningkat di daerah-daerah tertentu yang menunjukan eksistensi kelompok kriminal yang membahayakan keamanan publik. Juga laporan hasil penelitian yang menunjukan bahwa topik yang diteliti dapat mengancam kehidupan manusia, misalnya perubahan iklim yang mengancam ekosistem.
Berbanding terbalik dengan sekuritisasi objektif, sekuritisasi subjektif justru mengacu pada persepsi, interpretasi, dan narasi yang dibangun oleh aktor seperti pemerintah, militer, dan media massa dalam upaya pembingkaian isu sebagai sebuah ancaman. Proses ini tentunya melibatkan aspek psikologis, sosial, ekonomi, dan budaya yang berperan dalam proses pemahaman dan penerimaan isu oleh publik. Sekuritisasi jenis ini mengacu pada proses pembingkaian ancaman dengan menggunakan fakta dan data secara selektif menurut kebutuhan pembingkaian. Contohnya adalah retorika politik, dimana pernyataan pimpinan politik atau aktor yang berpengaruh hanya menyebutkan fakta secara selektif dampak negatif dari sebuah isu terhadap publik. Lalu ada pembingkaian melalui media massa, dimana media massa menyajikan berita tentang dampak negatif sebuah isu namun dengan cara yang berlebihan. Kerap kali juga ditemukan penggunaan narasi historis, dimana aktor menggunakan sejarah konflik atau kekerasan dalam sebuah kelompok, meskipun hal tersebut tidak lagi terjadi pada masa sekarang.
Dalam studi keamanan, tentunya teori sekuritisasi memegang peranan yang penting karena berperan sebagai kerangka analitis mengenai bagaimana sebuah isu dapat diangkat atau dikaitkan dengan ancaman keamanan baik tingkat negara maupun di tatanan dunia internasional. Teori sekuritisasi membantu kita untuk memahami bagaimana isu-isu seperti terorisme, migrasi atau perubahan iklim dapat diubah sifatnya menjadi isu keamanan. Hal ini tentunya menunjukan bagaimana wacana politik dan tindakan dari aktor-aktor berpengaruh dapat membuat sebuah isu yang awalnya bukan merupakan isu keamanan secara inheren lalu berubah menjadi isu keamanan. Teori sekuritisasi juga berperan dalam menjelaskan bagaimana untuk mencapai tujuan tertentu pemerintah, militer, dan media sebagai aktor dapat memanipulasi dan membentuk persepsi publik serta dunia internasional. Dengan memberi label sebuah isu sebagai ancaman keamanan, aktor-aktor ini membangun relasi kuasa yang lebih besar, legitimasi untuk menjalankan tindakan luar biasa (extraordinary measure), serta menggalang dukungan dari komunitas internasional. Dalam teori sekuritisasi ada 3 unit analisis yang perlu kita kenali, yakni: 1) Objek referensi, yang mana semua objek yang dianggap sebagai ancaman bagi eksistensi negara, 2) Aktor sekuritisasi, yakni mereka yang memiliki kepentingan dan berperan besar dalam mendeklarasikan objek referensi sebagai isu keamanan, 3) Aktor fungsional, adalah mereka yang berperan untuk mempengaruhi sektor yang terkait dengan perubahan isu tersebut[4]. Ketiga unit ini akan secara simultan mempengaruhi kerja satu sama lain dalam upaya untuk mengubah sebuah isu menjadi isu keamanan. Secara tradisional, ketiga unit ini adalah negara, pemerintah, dan pihak swasta[5]. Tentu saja seiring berkembangnya tatanan dunia, tiga unit analisis ini juga mengalami perubahan aktor namun tetap memiliki peran yang sama. Yang berbeda adalah bagaimana proses sekuritisasi saat ini dengan pada saat teori ini dikemukakan.
Secara teknis, kita dapat memahami bahwa proses sekuritisasi adalah upaya untuk mengubah satu isu politik menjadi isu yang lebih tinggi dan mengancam keamanan. Peran aktor disini sangat besar dalam upaya mendramatisir sebuah isu dan memberikan sinyal kepada publik bahwa isu tersebut perlu mendapatkan perhatian khusus dan penanganan ekstra. Speech act kemudian muncul sebagai cara untuk memberikan label pada sebuah isu. Speech act sendiri tidak hanya berbicara menyampaikan isu tersebut tapi bagaimana pemilihan kata, dramatisasi suasana dan tindakan saat berkomunikasi. Terdapat tiga tahapan dalam proses speech act, tahapan pertama adalah identifikasi dimana aktor mengidentifikasi ancaman yang akan disampaikan. Proses identifikasi bisa sangat bias dipengaruhi oleh aktor yang mengupayakan sekuritisasi. Tahapan kedua adalah tindakan darurat, dalam tahapan ini, aktor meyakinkan audiens untuk mengangkat isu tersebut menjadi isu keamanan melampaui legitimasinya, dalam tahapan ini biasanya terbentuk common enemy. Tahapan yang terakhir adalah dampak yang terjadi setelah berhasil mengubah sebuah isu menjadi isu keamanan. Perlu dipahami bahwa tiga tahapan speech act ini juga dapat dilihat sebagai tahapan sekuritisasi. Meskipun begitu keberhasilan sekuritisasi sebuah isu tidak hanya bergantung pada speech act tetapi bergantung penuh pada kekuatan dan kapasitas yang dimiliki oleh aktor sekuritisasi, baik secara sosial maupun politik[6].
Dampak sekuritisasi kebijakan publik sebuah negara atau wilayah terbentuk berdasarkan sekuritisasi sebuah isu. Ketika sebuah isu mengalami sekuritisasi, berarti menempatkan isu tersebut menjadi pusat perhatian yang sebenarnya tidak diperlukan untuk menyelesaikan isu-isu tersebut. Contohnya adalah alokasi sumber daya, baik manusia maupun materi yang lebih besar dalam rangka menyelesaikan isu tersebut, pembentukan kebijakan yang lebih ketat, serta berkurangnya ruang-ruang debat dan diskusi mengenai isu tersebut. Yang paling sering terjadi adalah penggelontoran anggaran militer yang lebih besar dengan mengatasnamakan keamanan namun mengorbankan kebijakan sosial dan ekonomi serta pendekatan budaya dalam mengatasi isu tersebut. Sekuritisasi jelas berdampak besar untuk mengganggu sifat pemerintah yang seharusnya akuntabel dan transparan. Melalui sekuritisasi isu dimana isu politik biasa ditingkatkan menjadi isu politik luar biasa, maka ikut mempercepat proses legislasi namun dengan tingkat pengawasan dan pengkajian yang khusus. Sekuritisasi dalam demokrasi liberal tidak selalu menyerupai “decisionism” ala Carl Schmitt, tetapi lebih cenderung ke politik Arendtian yang menekankan keterbukaan dan deliberasi antara eksekutif dan legislatif[7].
Salah satu penyebab semakin keruhnya konflik di Papua justru datang dari pemerintah pusat yang menitikberatkan semua permasalahan di Papua semata-mata karena kelompok separatis yang dibunuh dan dibinasakan. Hal ini mengakibatkan cara-cara pendekatan yang dipakai oleh pemerintah terhadap Papua dan orang Papua adalah pendekatan berbasis keamanan yang mengadopsi nilai dan perilaku militer melalui operasi militer. Dalam konteks Papua, masalah diperlakukan sebagai ancaman besar yang mendesak, sehingga tindakan yang diambil untuk mengatasinya bisa melampaui batas-batas aturan demokrasi yang ada. Ini berarti pemerintah mengambil langkah-langkah otoriter atau tindakan keras yang biasanya tidak diperbolehkan dalam demokrasi untuk menyelesaikan masalah tersebut.
Dalam menilik isu sekuritisasi di Papua setelah integrasi ke Indonesia, kita dapat membagi ke dalam 4 babak yakni: 1) Orde Baru, 2) Reformasi, 3) Otonomi Khusus Jilid I, dan 4) Otonomi Khusus Jilid II.
Pada tahun 1971, ketika Indonesia mempersiapkan diri untuk menyelenggarakan Pemilu pertama di era Orde Baru, orang Papua juga bersiap ikut serta dalam Pemilu pertama mereka dengan Indonesia. Dibawah pimpinan Dandim Biak Mayor R. A. Hendrik dan Komandan Yon 753 Mayor Puspito, maka jalankanlah sebuah operasi militer dengan nama sandi Operasi Pamungkas. Operasi ini dilakukan dengan tujuan untuk mengamankan gerakan perlawanan masyarakat yang menentang kehadiran Indonesia di wilayah Biak Barat dan Biak Utara. Operasi yang sama juga dilakukan di Manokwari untuk menangkap Permenas Ferry Awom Pemimpin Organisasi Papua Merdeka (OPM) di Biak yang melarikan diri ke Manokwari.[8] Operasi Militer yang dilangsungkan justru memperkeruh suasana politik dan keamanan karena memicu perlawanan yang lebih luas dan masif di berbagai kota di Papua. Kodam kemudian mempertegas kekuasaannya di Papua dengan menutup akses media dan menciptakan suasana ketakutan pada masa menjelang Pemilu 1971 dan setelahnya. Suasana ketakutan yang muncul akibat operasi-operasi ini menggunakan kekuatan militer secara berlebihan. Untuk melancarkan serangan kepada masyarakat sipil dalam lingkup daerah yang kecil, kadang kala ABRI menggunakan pasukan dalam jumlah besar serta pesawat pembom Bromco dan juga helikopter bersenjata. Alasan lain yang menyebabkan sulitnya melihat kondisi masyarakat Papua pada waktu itu adalah, tiap kali hendak meluncurkan operasi Militer, ABRI mengkategorikan kelompok-kelompok pemberontak di Papua sebagai Gerakan Pengacau Keamanan (GPK) sehingga apabila terdapat korban jiwa dari operasi militer yang dijalankan maka dengan mudah dapat dikategorikan sebagai penyebab gangguan keamanan. Mengkategorikan OPM sebagai GPK justru memperkeruh suasana antara OPM dan Indonesia. Terdapat perbedaan perspektif dalam melihat pemberontakan OPM yang sporadis di Era Orde baru. Masyarakat Papua yang mendukung OPM melihat OPM adalah gerakan kemerdekaan orang asli Papua yang berjuang untuk mendapatkan hak penentuan nasib sendiri secara sah, bukan semata tindakan kriminal atau penyebab kekacauan[9]. Sedangkan Pemerintah Indonesia melalui ABRI memandang OPM sebagai ancaman bagi keamanan dan kedaulatan negara. Dengan memberikan label ini, pemerintah dapat dengan mudah menjustifikasi tindakan militer yang represif sebagai upaya pertahanan keamanan dan secara jelas tidak mengakui hak politik orang asli Papua untuk menentukan nasib sendiri. Di era Orde Baru jugalah terjadi sebuah peristiwa tragis bagi orang Asli Papua. Arnold Ap dibunuh setelah ditahan oleh Pasukan Khusus Sandhi Yudha di sebuah tempat penahanan bernama Panorama. Arnold Ap adalah kurator Museum Seni Universitas Cenderawasih (Uncen) juga personil grup vokal Mambesak yang karena aktivitas kebudayaannya dianggap sebagai ancaman bagi keamanan negara dan kemudian dituduh sebagai bagian dari gerakan OPM. Terbunuhnya Arnold Ap mengakibatkan ketakutan yang berlebih di kalangan masyarakat Papua sehingga mendorong terjadinya pengungsian besar-besaran orang asli Papua ke Papua Nugini[10]. Di Kemudian hari, melalui lagu dan semangatnya Arnold Ap menjadi simbol perlawanan rakyat Papua terhadap represi militer di tanah Papua.
Di era reformasi[11], sekuritisasi di Papua berjalan seiring dengan gejolak politik Indonesia yang carut-marut. Terdapat beberapa kasus pelanggaran hak asasi manusia dengan pola yang sama seperti yang terjadi di era Orde Baru yakni penyiksaan, penembakan serta intimidasi yang dilakukan oleh militer Indonesia terhadap orang asli Papua. Penyiksaan di Paniai terjadi pada 24-29 Januari 1998. Masyarakat sipil diinterogasi dan disiksa karena dituduh membantu Thadeus Yogi yang merupakan salah satu pemimpin OPM[12]. Di Biak terjadi peristiwa penembakan oleh militer Indonesia. Bermula dari pengibaran bendera Bintang Kejora di Menara Air yang dilakukan oleh sekelompok pemuda dibawah pimpinan Filep Karma. Karma adalah seorang pegawai negeri sipil. Pengibaran bendera Bintang Kejora dilakukan sebagai simbol perjuangan kemerdekaan Papua. Aksi ini berlangsung damai, dengan warga berkumpul dan menyuarakan aspirasi mereka. Situasi ini berubah menjadi kekerasan ketika aparat keamanan Indonesia, termasuk polisi dan militer, mengambil tindakan keras terhadap para demonstran. Pada pagi hari tanggal 6 Juli 1998, pasukan keamanan melancarkan operasi untuk menurunkan bendera dan membubarkan massa. Mereka menggunakan senjata api, gas air mata, dan kekerasan fisik untuk membubarkan kerumunan. Banyak demonstran yang ditangkap, dipukul, dan disiksa. Kekerasan ini menyebabkan banyak korban jiwa dan luka-luka. Menurut berbagai sumber, jumlah korban tewas bervariasi, dengan laporan independen menyebutkan puluhan hingga ratusan orang tewas. Banyak dari mereka yang terluka parah atau menghilang tanpa jejak. Selain itu, banyak mayat yang dibuang ke laut atau dikubur secara massal tanpa identifikasi yang memadai. Biak Berdarah 1998 menjadi bukti bagaimana tragedi yang seharusnya bisa dihindari oleh pemerintah kemudian terjadi. Pemerintah menjustifikasi bahwa pengepungan dan penangkapan tersebut perlu dilakukan karena kelompok Filep Karma tidak kooperatif dan ditakutkan bahwa kejadian ini akan memantik peristiwa yang sama di kota-kota lain[13].
Dari berbagai catatan peristiwa yang terjadi, dapat dilihat bahwa pada era ini, pemerintah mengidentifikasi berbagai macam aksi damai dan pergerakan sebagai ancaman terhadap kedaulatan dan integritas nasional. Tindakan-tindakan ini dinilai sebagai upaya separatis yang akan mengganggu stabilitas negara. Dengan menyebut bahwa aksi damai dan pergerakan yang terjadi adalah aksi subversif maka menimbulkan pemahaman bahwa perlu adanya penanganan tegas dengan menggunakan tindakan militer. Dengan menyebut aksi dan pergerakan-pergerakan ini sebagai ancaman keamanan, legitimasi pemerintah untuk menggunakan kekuatan militer dan polisi secara berlebihan dapat dibenarkan. Tindakan represif yang melibatkan penggunaan senjata api, penyiksaan bahkan pembunuhan dinilai sebagai langkah yang perlu ditempuh untuk menjaga keamanan dan nasional. Dalam proses sekuritisasi ini tentunya dapat terlihat bagaimana pemerintah abai terhadap hak asasi manusia orang asli Papua, sekali lagi pelanggaran terhadap hak dasar orang asli Papua dinilai sebagai kebutuhan dalam penegakan hukum guna melenyapkan ancaman keamanan nasional. Dalam peristiwa ini juga terlihat jelas bagaimana pemerintah Indonesia menggambarkan orang asli Papua yang menuntut hak politiknya sebagai separatis dan pengkhianat yang halal darahnya untuk dibunuh. Hal ini secara efektif mendelegitimasi tuntutan orang asli Papua dan memarginalkan suara kritis mereka. Secara sadar dengan penanganan tiap isu di Papua menggunakan kekuatan militer hal ini menciptakan preseden, bahwa penyelesaian masalah di Papua hanya dapat berhasil dilakukan jika ada penggunaan kekuatan militer yang berlebih.
Setelah adanya Otonomi Khusus (Otsus) di bulan Oktober 2001, Papua memasuki babak baru dimana telah dibentuknya seperangkat undang-undang yang akan memastikan kekhususan orang asli Papua di tengah-tengah NKRI. Sangat penting untuk melihat bagaimana kemudian Otsus menjadi pedang bermata dua bagi eksistensi orang asli Papua. Salah satu peristiwa besar yang menandai Otsus adalah kematian Dortheys Hiyo Eluay, Ketua Presidium Dewan Papua (PDP) pada November 2001. Theys dibunuh saat menghadiri undangan perayaan Hari Pahlawan di Markas Kopasanda, dia diundang secara langsung oleh Letkol Inf. Hartomo. Jasadnya kemudian ditemukan di Koya, dekat perbatasan RI-PNG. Theys dan PDP berperan besar dalam upaya-upaya advokasi bagi hak penentuan nasib sendiri. Theys dilihat sebagai sosok pemimpin yang mampu menyatukan berbagai macam aspirasi dan keluhan orang asli Papua, maka itu dia diangkat sebagai Ketua Dewan Adat Papua (DAP)[14].
Yang mengherankan adalah bagaimana respon Kepala Staf Angkatan Darat saat itu, Jenderal Ryamizard Ryacudu bahwa apa yang dilakukan ketujun anak buahnya adalah perilaku heroik dan sudah sepantasnya mendapatkan gelar pahlawan serta sanksi minimal.[15]
Pemerintah Indonesia melalui Otsus memaksa meningkatnya kehadiran militer dan polisi di Papua. Kehadiran pasukan militer yang terus bertambah dibenarkan atas dasar keamanan dan peningkatan pelayanan publik. Kasus paling besar terjadi pada tahun 2019, dimana pemerintah Jokowi memutus akses internet di Papua dengan alasan mengurangi penyebaran berita palsu atau hoax. Pembatasan internet dilakukan merespon kerusuhan yang terjadi di beberapa kota besar di Papua. Kerusuhan ini terjadi karena peristiwa rasisme di Papua yang terjadi di Asrama Mahasiswa Papua Kamasan III Surabaya pada 16 Agustus 2019[16]. Pembatasan internet dan sekuritisasi saling berkaitan dalam konteks keamanan nasional dan kontrol sosial. Dalam konteks pembatasan internet di Papua, pemerintah menggunakan alasan keamanan untuk membatasi akses internet, terutama saat terjadi kerusuhan atau penyebaran konten yang dianggap menghasut atau berbahaya. Pemerintah kemudian menjustifikasi pembatasan internet atas dasar keamanan. Pemerintah mengklaim bahwasanya pada saat terjadi kekacauan, akses terhadap internet dapat digunakan untuk menyebarkan informasi yang menghasut dan mempercepat skala penyebaran hoax dan juga memudahkan organisir kerusuhan. Sekuritisasi isu terjadi pada saat isu ditetapkan sebagai ancaman atas keamanan dan kedaulatan negara, dan menggunakan tindakan tidak berdasar seperti pembatasan internet untuk menjaga stabilitas. Dalam kasus ini, pemerintah menyalahgunakan kekuasaan untuk membatasi akses internet di Papua yang meskipun bertujuan untuk keamanan, pembatasan internet sering kali melanggar hak-hak digital warga negara. Pembatasan semacam itu dapat melanggar hak atas kebebasan berekspresi dan hak untuk mengakses informasi. Dalam jangka panjang, ini bisa menciptakan iklim ketakutan dan represi, di mana warga negara menjadi lebih berhati-hati dalam menyuarakan pendapat mereka secara online. Pembatasan internet di Papua menjadi contoh penerapan sekuritisasi. Ketika terjadi kerusuhan atau ketegangan politik di Papua, pemerintah yang malas memutus akses internet dengan alasan untuk mencegah penyebaran hoax dan provokasi. Pembatasan internet menghalangi warga Papua untuk berkomunikasi dan mengakses informasi penting, sehingga menimbulkan kritik dari berbagai pihak tentang pelanggaran hak asasi manusia[17]. Secara keseluruhan, sekuritisasi memberikan kerangka bagi pemerintah untuk membenarkan pembatasan internet dalam situasi yang dianggap mengancam keamanan. Selanjutnya, masyarakat justru mulai terbiasa dengan pembatasan internet yang sering terjadi[18].
Setelah disahkannya Otonomi Khusus Jilid II pada Oktober 2021, terdapat berbagai macam perubahan isi pasal dan penambahan dua pasal baru dalam undang-undang tersebut. Di Pasal 68A UU Otsus 2021, Pemerintah Indonesia akan membentuk sebuah badan khusus yang bertanggung jawab melakukan sinkronisasi, harmonisasi, evaluasi, dan koordinasi terhadap permasalah di Papua. Badan ini bertanggung jawab langsung kepada Presiden[19]. Pada Pasal 76 undang-undang yang sama juga membahas tentang pemekaran daerah otonomi baru[20]. Tentunya dari kedua pasal ini kita dapat melihat bagaimana pemerintah Indonesia menggunakan kekuasaannya untuk turut campur secara berlebih dalam otonomi di Papua. Di Pasal 68A, pemerintah pusat menggunakan kekuasaannya secara berlebih, menggunakan isu percepatan pembangunan dan kepedulian istana terhadap Papua sebagai pembenaran langkah ini. Pasal 76 pemerintah secara sadar mengusulkan bahwa pembentukan daerah otonomi baru di Papua tidak perlu melewati tahapan administrasi seperti yang tertera dalam Pasal 33 hingga Pasal 48 UU No. 23 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dengan segala macam perubahan yang terjadi dalam undang-undang kekhususan ini, maka terjadi juga legitimasi ikut campur pemerintah pusat di tiap tahapan pembangunan di Papua.
Seiring dengan bertambahnya jumlah daerah otonomi baru di Papua, bertambah juga militer dan polisi dalam bentuk penambahan pos polisi dan militer baru. Dimulai dari tingkatan paling bawah seperti Koramil, Kodim, Kodam, Polsek, Polres, dan juga Polda di Papua. Hal ini mendorong peningkatan konflik antara orang asli Papua dan militer. Pada 5 Februari 2024, terjadi penyiksaan yang dilakukan oleh Satgas Damai Cartenz dan Satgas Elang di distrik Omuki. Penyiksaan ini dilakukan terhadap 3 orang asli Papua yakni Warinus Murib, Defianus Kogoyam dan Afrianus Murib. 2 di antara korban penyiksaan berusia dibawah 18 tahun. Ketiganya disinyalir merupakan bagian dari kelompok kriminal bersenjata yang berafiliasi dengan Organisasi Papua Merdeka. Dalam video yang beredar terlihat jelas bahwa interogasi dilakukan dengan menggunakan cara-cara yang tidak manusiawi seperti pemukulan, penyayatanm dan juga dalam laporan lebih lanjut korban diseret menggunakan mobil milik satgas. Penyiksaan ini berujung pada kematian Warinus Murib dan kedua korban lainnya yang mengalami luka parah. Setelah ditelusuri lebih lanjut, ketiganya adalah warga sipil yang sedang mencari kayu bakar di hutan[21]. Kasus ini kemudian viral di internet dan memicu kecaman dari berbagai kalangan terkait pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi.
Peristiwa-peristiwa ini hanyalah persentase kecil dari berbagai macam kasus kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di tanah Papua. Dampak sekuritisasi ini kemudian menjadikan kondisi sosial dan budaya di Papua menjadi lebih militeristik. Pendekatan militeristik yang digunakan oleh pemerintah Indonesia dalam menangani isu Papua, mencerminkan strategi pemerintah Indonesia dalam menanggapi konflik politik, ekonomi, dan sosial budaya di Papua yang bersifat merugikan orang asli Papua. Sekuritisasi yang berfokus pada penanganan isu-isu sebagai ancaman keamanan nasional, telah mengakibatkan peningkatan kehadiran militer dan polisi di Papua. Hal ini mencakup penambahan pos-pos keamanan seperti Koramil, Kodim, dan Polda di berbagai wilayah, yang menandai kehadiran yang semakin militeristik dalam kehidupan sehari-hari penduduk Papua. Kehadiran aparat keamanan yang besar ini sering kali dianggap mengintimidasi dan mengancam kebebasan serta hak-hak sipil masyarakat Papua. Pelanggaran hak asasi manusia di Papua dibenarkan dengan alasan keamanan untuk membatasi kesadaran sosial dan politik orang asli Papua serta intimidasi terhadap kebebasan berpendapat dan berserikat. Pembatasan terhadap kebebasan berekspresi dan berkumpul juga merupakan dampak langsung dari pendekatan sekuritisasi ini. Otoritas sering kali menggunakan alasan keamanan untuk membatasi akses masyarakat Papua terhadap informasi dan media sosial, serta untuk menangkap dan menghukum individu yang dianggap mengancam stabilitas nasional. Pemblokiran akses internet dan media sosial, serta sensor terhadap konten-konten yang dianggap menghasut atau mendukung separatisme, telah mempersempit ruang bagi diskusi publik dan pengungkapan pendapat di Papua. Pendekatan militeristik yang dianut pemerintah pusat juga menciptakan ketegangan sosial dan budaya di Papua. Masyarakat Papua merasakan bahwa kehadiran militer yang kuat tidak hanya mengancam kebebasan mereka, tetapi juga mengganggu pola hidup tradisional dan keberlanjutan lingkungan mereka. Ini menciptakan ketegangan yang dalam antara penduduk lokal dan pemerintah pusat, serta menambah kompleksitas dalam upaya untuk mencapai perdamaian dan keadilan di wilayah ini. Akibatnya timbul ketidakpercayaan antara orang asli Papua terhadap pemerintah pusat, kesenjangan sosial-budaya yang semakin besar, serta meningkatnya kekerasan baik secara langsung, struktural, dan kultural di Papua. Pemerintah Indonesia perlu mempertimbangkan kembali strategi mereka dalam menangani konflik di Papua, dengan lebih mengedepankan dialog politik dan pemenuhan hak asasi manusia sebagai landasan untuk mencapai perdamaian yang berkelanjutan dan pembangunan yang inklusif di Papua.
***
Pustaka
Aditjondro, George J. (2000). Cahaya Bintang Kejora. ELSAM, Jakarta.
Alua, Agus A. (2002). Papua Barat dari pangkuan ke pangkuan: suatu ikhtisar kronologis. Jayapura, Sekretariat Presidium Dewan Papua dan Biro Penelitian STFT Fajar Timur.
Bhakti, Ikrar Nusa. (2008). Hak Menentukan Diri Sendiri Jenis Baru di Papua. Jakarta, Buku Obor.
Buzan, Barry. (1991). People, States and Fear: An Agenda for International Security Studies in the Post-cold War Era. Harvester Wheatsheaf.
Buzan, Barry, et al. (1998). Security: a new framework for analysis. Lynne Rienner Pub.
Karma, Filep. (2014). Seakan Kitorang Setengah Binatang: Rasialisme Indonesia di Tanah Papua. Jayapura, Penerbit Deiyai.
Knudsen, Olav F. (2001) Post-Copenhagen Security Studies: Desecuritization securitization. Security Dialogue, Vol. 32, No. 3.
Office for Justice and Peace of Jayapura, et al. (2007). The Practice of Torture In Aceh and Papua 1998-2007. Bisa diakses disini.
Waever, Ole. (1995). Securitization and Desecuritization. On Security, edited by Ronnie D. Lipschutz, Columbia University Press.
Referensi
[1] Seperti dijelaskan dalam buku Papua Barat dari Pangkuang ke Pangkuan: Suatu Ikhtisar Kronologis yang ditulis oleh Agus A. Alua, bahwa pada awal integrasi Papua, pendekatan keamanan ditandai dengan teror, intimidasi, pembunuhan, dan manipulasi politik selama pelaksanaan Act of Free Choice 1969. Keberhasilan Indonesia tidak terlepas dari operasi militer seperti Operasi Sadar, Bharatayudha, Wibawa, dan Pamungkas, yang menyebabkan pelanggaran hak asasi manusia.
[2] Dijelaskan dalam 14 Point Program for the Prevention of Extrajudicial Executions oleh Amnesty International, ini dikenal juga dengan extrajudicial execution, menurut Amnesty International hal ini adalah Eksekusi ekstrayudisial adalah pembunuhan yang tidak sah yang dilakukan secara sengaja berdasarkan instruksi dari pemerintah atau atasan, atau melalui kesepakatan atau persetujuan diam-diam. Tindakan ini sering disebut juga sebagai eksekusi cepat atau pembunuhan kilat, yang berarti para pelakunya menganggap siapa pun yang mereka temui sebagai musuh yang sah untuk dibunuh tanpa melalui proses hukum yang sesuai. Bisa dibaca disini. Laporan ini diakses pada 20 Juni 2024.
[3] Security: a new framework for analysis, by Barry Buzan, et al., Lynne Rienner Pub., 1998, p. 31.
[4] Knudsen, Olav F. (2001) Post-Copenhagen Security Studies: Desecuritizing securitization. Security Dialogue, vol. 32, no. 3, pp. 355-368. Diakses pada 18 Juni 2024.
[5] Ibid
[6] Ibid
[7] Roe, Paul. (2012). Is Securitization a ‘negative’ Concept? Revisiting the Normative Debate over Normal versus Extraordinary Politics. Security Dialogue, vol. 43, no. 3, pp. 249–66, JSTOR. Bisa dibaca disini. Diakses pada 19 Juni 2024.
[8] Kodam XVII/Tjendrawasih. (1971). Irian Barat dari Masa ke Masa, Sejarah Militer Kodam XVII/ Tjendrawasih. Sejarah ABRI. Diakses pada 20 Juni 2024.
[9] Bhakti, Ikrar Nusa. (2008). Hak Menentukan Diri Sendiri Jenis Baru di Papua. Jakarta, Buku Obor.
[10] Aditjondro, George J. (2000). Cahaya Bintang Kejora. Jakarta, ELSAM, hal. 24-25.
[11] 1998-Oktober 2001, masa waktu dipilih karena terdapat 2 kali pergantian presiden dan setelah bulan Oktober 2001 telah diberlakukannya Otonomi Khusus di Papua.
[12] Dalam laporan Laporan Situasi Hak-hak Asasi Manusia di Paniai dan Tigi dijelaskan pada tahun 1985, Thadeus Yogi menyerahkan diri kepada Koramil Enarotali namun dia tidak ditahan. Disinyalir terdapat upaya untuk memperalat posisi Yogi dan kelompoknya yang tidak ditahan agar Militer dapat terus melakukan operasi-operasi di wilayah tersebut. Laporan bisa dibaca disini.
[13] Karma, Filep. (2014). Seakan Kitorang Setengah Binatang: Rasialisme Indonesia di Tanah Papua. Edited by Lovina Soenmi, Jayapura, Penerbit Deiyai. Diakses pada 22 Juni 2024.
[14] Dalam laporan Tempo berjdul Membekap Kematian Sang Paitua pada 9 Februari 2003 dijelaskan Mahkamah Militer Tinggi III di Surabaya mengadili sejumlah perwira dan prajurit dari Pasukan Komando Khusus dari Satuan Tugas Tribuana. Mereka yang diadili termasuk Komandan Satuan Tugas Tribuana Letnan Kolonel Infantri Hartomo; Wakil Komandan Mayor Doni Hutabarat ; dan lima anggota lainnya yaitu Kapten Rionardo, Letnan Satu Agus Supriyanto, Sersan Satu Lourensius, Sersan Satu Asrial, dan Prajurit Kepala Zulfahmi.Para terdakwa dibagi menjadi dua kelompok dengan Ketua Hakim Kolonel (CHK) Yamini, Kolonel (CHK) Amirudin Rahim, dan Kolonel (CHK) Suryono sebagai anggota, serta Jaksa Militer Kolonel (CHK) Haryanto dari Jaksa Mahkamah Militer Tinggi III Surabaya.Pada persidangan ini, Prajurit Kepala Zulfahmi mengakui bahwa dia lah yang menutup mulut Theys karena kesalahpahaman di perjalanan antara pengawal Theys dari Pasukan Komando Khusus dengan sopirnya Aristoteles, yang menyebabkan kegaduhan. Akibat penutupan mulut tersebut selama lima menit, Theys meninggal. Namun, mahkamah militer ini tidak mengejar kesaksian dari terdakwa lainnya. Hartomo sebagai Komandan Satuan Tugas Tribuana mengubah kesaksiannya mengenai instruksinya yang memperbolehkan penggunaan kekerasan selama tidak mengakibatkan kematian. Mahkamah militer ini juga tidak membuka investigasi lebih lanjut terkait perintah dari komandan untuk eksekusi.Pada tanggal 21 April 2003, putusan yang dijatuhkan menunjukkan bahwa tujuh terdakwa dihukum penjara dan dua di antaranya dibebaskan dari tugas militer mereka. Laporan ini diakses pada 22 Juni 2024.
[15] Tempo Interaktif. Jenderal Ryamizard: Pembunuh Theys Hiyo Eluay adalah Pahlawan. Jakarta, 23 April 2003. Diakses pada 23 June 2024.
[16] Berita CNN Indonesia pada 18 Agustus 2020 berjudul “Mahasiswa Papua Surabaya Peringati Setahun Rasisme ‘Monyet.’” Baca disini. Diakses pada 22 June 2024.
[17] Elsam. Internet Shut down Papua: Bentuk Represi Digital dan Menyalahi Prinsip Keadaan Darurat. Elsam, 22 August 2019. Bisa dibaca disini. Diakses pada 22 June 2024
[18] Elsam. Normalisasi Pembatasan Hak Digital di Papua. Perkumpulan Elsam, 19 April 2021. Diakses pada 22 June 2023.
[19] Undang-Undang (UU) Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. Bisa dibaca disini. Diakes pada 22 June 2024.
[20] Ibid.
[21] Berita BBC Indonesia pada 1 April 2024 berjudul “Menelusuri kasus penyiksaan warga sipil oleh prajurit TNI di Puncak, Papua – ‘Kami bebas melakukan apapun yang kami suka'”. Baca selengkapnya disini. Diskes pada 22 Juni 2024.