Dalam deretan tokoh-tokoh jurnalistik di Indonesia, nama Njoto jarang terdengar. Kerap ketika berbicara mengenai sejarah jurnalisme di Indonesia, nama seperti Tirto Adhi Surjo, Mas Matrco Kartodikromo, Petrus Kanisius Ojong, Haji Misbach, dan lain-lain yang santer terdengar. Memang Njoto lebih dikenal sebagai seorang yang menghidupkan kembali Partai Komunis Indonesia (PKI) bersama Aidit dan Lukman ketika partai tersebut hampir mendekati ajal pada 1955. Ia juga lebih dikenal sebagai sosok pionir dalam Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) dengan gagasan Turun ke bawah (Turba) demi memanifestasikan seni berwajah rakyat.
Karena itu, dalam tulisan ini saya ini hendak memaparkan sekaligus menganalisis pemikiran Njoto mengenai Jurnalisme. Patut untuk dicatat, ia menuangkan pemikirannya tersebut hanya dalam bentuk artikel pendek atau pidato-pidato yang kemudian dibukukan dalam buku Pers dan Massa. Ia tidak menuliskannya dalam bentuk buku atau magnum opus yang rigor dan sistematis. Kendati demikian, apa yang ia tawarkan, seperti yang akan lihat nanti, dapat menjadi acuan bagi mereka yang menekuni dunia jurnalisme.
Mengenal Nyoto
Njoto lahir pada tanggal 17 Januari 1927 di Bondowoso, Jawa Timur. Ia berasal dari keluarga ningrat Jawa. Ayahnya bernama Sosro Hartono yang berprofesi sebagai pedagang batik. Ia dikenal sebagai orang yang keras, tegas, dan menekankan kedisiplinan kepada anak-anaknya. Ia selalu menyuruh anak-anaknya untuk menomorsatukan belajar dan hanya bermain secukupnya. Ia sendiri juga orang yang suka membaca buku dan dekat dengan orang-orang pergerakan. Toko batiknya yang bernama Yosobusono menjadi tempat berkumpulnya orang-orang pergerakan. Bahkan ia perah dipenjara oleh kolonial Belanda akibat aktivitas pergerakan itu.
Melihat demikian tak heran apabila Njoto sedari kecil menyukai hal-hal yang berbau politik dan pergerakan. Menurut pengakuan dari saudara dan kawannya, ia sudah akrab dengan teks-teks Marx, Lenin, dan Stalin saat masih remaja. Hal tersebut ditambah dengan ketidaksukaannya pada strata budaya Jawa, sebagaimana digambarkan dalam liputan Tempo, “Njoto memilih cabut dari rumah, bersepeda, dan nongkrong di tempat pemandian umum Tasnan”.
Sejak kecil, tepatnya ketika masih duduk di bangku Hollandsche Inlandsche School (HIS) yang setara dengan Sekolah Dasar (SD), ia pernah mengatakan kepada ayahnya bahwa ia bercita-cita menjadi seorang jurnalis. Cita-cita ini kelak terwujud ketika ia memimpin Koran Harian Rakyat yang berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia(PKI). Ketika sekolah di HIS, ia tinggal bersama kakek dan neneknya mengingat sekolah itu berada di kota Jember yang jaraknya sekitar 30 kilometer dari Bondowoso. Ayahnya memang sengaja untuk tidak menyekolahkannya di Sekolah Rakyat di Bondowoso karena kurikulumnya yang kalah kualitas dari HIS.
Setamat dari HIS, ia melanjutkan pendidikannya di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) yang berada di Kota Jember. Namun, ketika Jepang datang ke Indonesia sekolah itu kemudian ditutup. Ia kemudian dipindahkan oleh ayahnya di MULO yang berada di kota Solo. Ayahnya juga turut pindah ke sana dan kemudian membeli rumah di Desa Kemlayan Wetan 142, di kawasan Kauman. Di sana ayahnya membuka toko batik kulis yang memproduksi sarung batik, kemben, blangkon dan kain panjang.
Sabar Anantaguna, seniman Lekra yang menjadi kawan Nyoto selama di sana mengaku bahwa Njoto adalah seorang siswa yang terawat dan rapi. Ia adalah seorang yang pandai bergaul dan menulis. Bakat menulis tersebut bisa dilihat ketika seorang guru memberikan tugas untuk membuat karangan tentang sepakbola, di mana Njoto menulis tentang kekecewaan penjudi sepak bola akibat pertandingan sepak bola tak jadi digelar. Apa daya, ketika sepak bola mau digelar hujan sekonyong-konyong tiba. Karangan tersebut, seperti karangan Njoto lain, dibacakan di depan kelas.
Ia juga dikenal suka menikmati musik klasik dan bahkan bisa memainkan alat musik seperti, gitar, biola, dan saksofon. Tak hanya musik, ia juga penggemar berat sastra dan seni. Ini bisa dilihat bagaimana ia menjadi salah seorang pionir di Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Bahkan, pada masa ketika PKI memerangi film-film di Amerika, ia mencoret film The Old Man and The Sea yang diangkat dari novel Ernest Hemingway dari film-film yang dilarang.
Pada masa sekolah di MULO tersebut, ia melakukan aktivitas politik secara tertutup. Ia tak pernah membicarakan hal-hal yang berbau politis kepada saudara atau kawannya. Hal ini tak mengherankan mengingat Jepang pada saat itu melarang seluruh aktivitas politik. Hingga semua orang dikagetkan ketika ia menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) di Yogyakarta, wakil PKI di Banyuwangi. Ketika itu ia masih berusia 16 tahun. Letak organisasi itu berada di kawasan Malioboro, bersama dengan sejumlah menteri.
Di kota itulah, ia berkenalan dengan Aidit dan Lukman. Mereka kemudian menjadi kawan akrab. Aidit dan Njoto dikenal sebagai sosok yang serius. Sementara Lukman adalah orang yang suka bercanda. Ketika KNIP menggelar sidang di Malang pada Maret 1947, Aidit terpilih menjadi Ketua Fraksi PKI, sementara Njoto menjadi Badan Pekerja KNIP. Ia kemudian masuk Komisi Penerjemah PKI pada awal 1948 yang bertugas untuk menterjemahkan Manifesto Partai Komunis karangan Karl Marx dan Friedrich Engels. Beberapa bulan kemudian mereka masuk dalam anggota Comite Central PKI yang mana Aidit mengurusi Bidang Agraria, Lukman mengurusi bidang agitasi dan propaganda, dan Njoto menjalin hubungan dengan badan-badan perwakilan.
Sebulan kemudian pecah pemberontakan PKI di Madiun. Partai menjadi terseok-seok. Namun, tiga serangkai itu berhasil menghidupkan kembali partai. Bahkan mereka menggeser para sesepuh partai seperti, Wikana, Tan Ling Djie, Alimin, dan lain-lain. Mereka memindahkan sekretariat partai ke Jakarta. Mereka secara sembunyi-sembunyi memperluas jaringan PKI di sana melalui Order Seksi Comite di level kecamatan. Namun, mereka mendapatkan dua kesulitan: banyak kabinet yang alergi dengan komunisme dan banyak aktivis partai yang terbunuh pasca pemberontakan. Namun, mereka justru menjadi independen dan mandiri. Malahan mereka menerbitkan majalah Bintang Merah dan selebaran Suara Rakjat yang kelak melahirkan Harian Rakjat. Dua tahun kemudian mereka memimpin partai, Aidit menjadi Sekretaris Jendral, Njoto menjadi Wakil Sekjend I, dan Lukman menjadi Wakil Sekjend II.
PKI berada pada masa kejayaan sekaligus keruntuhan ketika berada di tangan mereka. Mereka memiliki organ seni yang disebut dengan Lekra dan organ pers yang disebut dengan Harian Rakjat. Melalui Lekra, PKI menggilas para seniman yang tak sepakat dengan tujuan politis sebagai hal yang fundamental dalam seni. Melalui Harian Rakjat, PKI menggilas organ pers yang beraliran kanan dan berbau reaksioner. Dua organisasi itu punya hubungan yang krusial dengan Njoto. Njoto-lah yang mengatur para seniman Lekra yang susah diatur dan melarang pengkomunisan seluruh anggotanya. Dalam Harian Rakjat sendiri ia membawa koran itu memperoleh oplah yang sangat besar. Sebab, ia menekankan koran itu untuk menjalin koresponden dengan seluruh elemen masyarakat (petani, buruh, pelajar, mahasiswa, dan lain-lain) dan selalu memberitakan tentang keresahan dan persoalan rakyat. Inilah yang membuat PKI, salah satunya, memperoleh suara yang besar dalam Pemilu 1955.
Namun, sekitar satu dekade kemudian hubungan antara Njoto dengan Aidit meredup. Penyebabnya ialah Njoto melakukan skandal dengan Rita, mahasiswa Sastra Indonesia yang berkuliah di Uni Soviet. Sebagai seorang yang anti-poligami atau hal-hal semacam itu, Aidit memalfungsikan Njoto dalam semua jabatan fungsional jabatan partai. Lagi pula Aidit condong pada komunisme Peking, sementara Njoto condong pada komunisme Soviet. Njoto juga semakin dekat dengan Soekarno dan Marhaenisme. Karena itu, ia tak lagi diikutsertakan dalam rapat-rapat partai. Saat G-30 S kemudian meletus tak heran apabila ia tak tahu menahu. Namun, perintah dari militer untuk membasmi siapapun yang berbau komunisme membuat Njoto kena ciduk. Ada yang mengatakan ia dibuang di sungai, ditembak mati, dan sebagainya. Namun tak ada yang tahu pasti di mana keadaan dan keberadaan Njoto setelah tragedi itu. Ia hilang dan tak ada yang tahu di mana jasadnya.
Membangun Pers Ala Lenin
Sebagaimana sudah disinggung di atas, Njoto adalah orang yang memimpin koran PKI Harian Rakjat. Ia berupaya untuk mendorong koran tersebut agar selalu berpedoman pada ide-ide Lenin—yang ia klaim sebagai sokoguru revolusioner—mengenai pers. Dalam tulisannya yang berjudul Lenin, Pers, dan Kita, ia mengaksentuasikan prinsip pers Leninian yang menampik jalan tengah atau jalan ketiga ketika membuat berita. Maksudnya ialah bahwa pers harus memihak kepada orang yang tertindas ketika menginformasikan peristiwa kepada masyarakat. Dalam konteks ini, ia membedakan antara apa yang disebut dengan objektif dan netral. Objektif adalah sikap yang berpedoman pada kebenaran ketika melihat suatu peristiwa tanpa ada tendensi yang imparsial. Sebaliknya, netral adalah sikap hanya menceritakan gejala dan kronologis suatu peristiwa tanpa adanya tendensi pemihakan. Misalnya, ketika terbit kebijakan kenaikan harga BBM, seorang jurnalis yang objektif pasti akan menginformasikan dengan sebenar mungkin kebijakan itu sembari menunjukkan siapa saja yang terkena imbasnya, sementara jurnalis yang netral hanya menceritakan tentang bagaimana kebijakan itu muncul tanpa ada komitmen untuk menunjukkan siapa yang terkena imbas.
Tak hanya memihak, pers juga mesti berpartai. Bukan berarti bahwa kita harus berafiliasi dengan partai politik ketika menjalankan organ pers. Apa yang dimaksud oleh Njoto ialah bahwa organ pers mesti turut berpolitik dengan mengambil visi membela kaum proletar. Seperti yang dicatat oleh Lenin dalam What Is To Be Done bahwa tugas pers ialah “mengorganisasi penelanjangan-penelanjangan politik yang meliputi semua segi.” Penelanjangan ini begitu krusial mengingat proletar membutuhkan pelajaran dari kenyataan yang konkret dan aktual untuk menumbuhkan kesadaran kelas sekaligus mengenal kelas-kelas sosial lain selain dirinya. Maka, tujuan dari penelanjangan tersebut adalah untuk mengembangbiakkan jiwa-jiwa revolusioner kaum proletar.
Dalam konteks tersebut, ia mengkritik koran-koran yang suka memberitakan peristiwa yang tak krusial dan substansial. Dengan lain kata, peristiwa aneh atau fenomena yang belum pernah ada di dunia ini. Misalnya, ular berkepala ayam, kuda berbulu kambing, dan lain-lain. Bisa juga dengan peristiwa yang sebenarnya penting, tapi malah mengambil sudut pandang (angle) yang tak penting seperti peristiwa demo buruh yang malah tak memberitakan apa saja tuntutannya dan berapa orang yang ikut, melainkan berapa orang yang memakai sepatu terbalik.
Selain itu, ia juga mengingatkan mengenai pers lokal yang seharusnya tidak bertindak layaknya pers sentral. Peristiwa-peristiwa yang sifatnya kenegaraan (baca: umum) cukuplah diwartakan oleh pers sentral. Tugas pers lokal adalah mewartakan peristiwa-peristiwa kedaerahan yang sifatnya spesifik. Pers lokal tak boleh menganggap remeh atau abai terhadap persoalan yang sifatnya kecil karena bisa jadi sifatnya besar ketika dikuliti lebih dalam. Dan yang lebih penting lagi adalah bagaimana pers lokal itu mewartakan persoalan yang memiliki kaitan dengan kelas proletar.
Pers sentral dan pers lokal tersebut, kembali Njoto mengingatkan, harus giat menjalankan koresponden dengan buruh, petani, mahasiswa, pelajar dan terutama wong cilik. Koresponden ini diadakan agar organ pers memiliki hubungan yang erat dengan massa. Juga guna mendidik massa memahami berbagai persoalan yang terjadi, entah budaya, politik, ekonomi, filsafat, dan lain-lain. Dalam konteks ini, ia mengikuti prinsip koran Pravda di Uni Soviet, seperti yang dicatat oleh Stalin:
Kami ingin kaum buruh tidak membatasi diri pada simpati saja, tetapi ambil bagian yang aktif dalam memimpin surat kabar kita. Janganlah kaum buruh mengatakan bahwa mereka tidak cocok untuk menulis. Penulis-penulis kelas buruh tidak turun dari langit dalam keadaan sudah jadi: mereka hanya dapat dilatih secara berangsur-angsur, dalam rentetan aktivitas kesusasteraan. Apa yang diperlukan ialah memulai pekerjaan itu dengan berani: kamu boleh gagal sekali atau dua kali, tetapi akhir-akhirnya kamu akan dapat menulis.
Asas Jurnalistik
Njoto menambahkan bahwa asas dalam jurnalistik tak hanya memihak sebagaimana sudah dijelaskan di muka, melainkan juga mengutamakan kebenaran dan berprinsipil. Kebenaran adalah asas yang jauh lebih penting daripada kecepatan. Acapkali jurnalis diminta untuk meliput suatu peristiwa dan kemudian mewartakannya dalam waktu yang relatif cepat. Padahal yang jauh lebih penting dari itu adalah kebenaran. Bagi Njoto kecepatan memang hal yang penting dalam jurnalistik, di mana suatu peristiwa semestinya memang diinformasikan secepat mungkin, sehingga publik segera mengetahuinya. Namun, kita tak boleh melupakan asas kebenaran karena bagaimanapun peristiwa yang dilihat oleh jurnalis bukanlah peristiwa yang singular dan simplikatif, melainkan peristiwa yang plural, kompleks, dan rumit. Dengan demikian, pengujian dan pemeriksaan data atau yang biasanya disebut dengan verifikasi menjadi tahapan yang penting.
Asas selanjutnya adalah memiliki prinsip. Maksudnya adalah organ pers tidak boleh plintat-plintut demi kepentingan sesaat. Misalnya, suatu kala ia bisa mendukung kelompok A, kemudian berganti kelompok B, dan berganti lagi kelompok C secara arbitrer tanpa menelisik siapa yang benar dan siapa yang salah. Njoto menyebut jurnalisme seperti ini sebagai “Jurnalisme Bajing Lompat” model jurnalisme yang hanya memberitakan sesuatu berdasarkan pada apa yang lebih menguntungkan, sehingga bersifat oportunistik. Karena itu, ia mengingatkan bahwa organ pers harus memiliki prinsip yang jelas dan tegas. Prinsipnya tak lain dan tak bukan ialah menjunjung tinggi demokrasi dan mendukung kepentingan rakyat.
Asas tersebut mesti dibarengi dengan kepenulisan berita yang langsung kepada titik persoalan. Berita tak perlu ditulis dengan kata-kata indah seperti sajak atau roman, melainkan dengan singkat, padat, dan substansial. Orang tak boleh langsung mendamprat Nyoto dengan mengatakan mengenai genre jurnalisme sastrawi yang berbeda dengan kepenulisan berita pada umumnya. Sebab, jurnalisme sastrawi belum lahir saat Njoto masih hidup. Kendati singkat dan tidak perlu berbelit-belit, kepenulisan berita yang ia inginkan mesti hidup dan bisa menggerakan jiwa pembacanya.
Penutup
Walaupun ia tak banyak menghasilkan tulisan jurnalisme, namun apa yang ia tuliskan, bagi saya, setidaknya tetap relevan. Njoto mengajarkan kita bahwa organ pers semestinya digunakan sepenuhnya demi kepentingan rakyat. Organ pers tak boleh memihak sedikitpun pada mereka yang memperkosa hak-hak rakyat. Ia menunjukkan pada kita bahwa organ pers harus dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Dalam konteks Indonesia sekarang, ketika kaum oligarki meneguhkan dan melanggengkan hegemoninya melalui media, model organ pers ala Njoto tersebut dapat menjadi media counter-hegemonic oligarki.
Bukan hanya itu, organ pers juga dapat diarahkan untuk mendidik kaum proletar. Dengan lain kata, organ pers dapat digunakan untuk menumbuhkan kesadaran kelas kaum proletar dalam melihat berbagai kenyataan yang penuh dengan ketimpangan dan penindasan akibat destruktifikasi sistem kapitalisme. Maka, organ pers dapat digunakan sebagai senjata untuk melawan kapitalisme bagi mereka yang berada di persimpangan kiri jalan.
***
Catatan: Tulisan ini sudah pernah diterbitkan di media BandungBergerak pada 25 April 2024. Kami terbitkan tulisan lengkapnya dengan judul yang sama untuk kepentingan pendidikan dan propaganda di Papua. Penulis mengirim tulisan ini juga ke meja Redaksi Lao-Lao pada 15 November 2024.
Daftar Pustaka
Riza, B. (2010). Njoto Peniup Saksofon di Tengah Prahara. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia dan Majalah Tempo
Njoto. (2021). Pers dan Massa. Bandung: Penerbit Bandong
Winters, Jeffrey. (2011). Oligarki. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia