Catatan dari Kampung Belajar Gerakan Kedaulatan Diri Owadaa dari Meeuwodide (Bagian 2)

Belajar Gerakan Kedaulatan Diri Owadaa dari Meeuwodide (Bagian 2)

-

Pada bagian pertama catatan ini sebelumya, saya mencoba untuk belajar pandangan konseptual tentang Owadaa. Selain itu, sisi teologis yang kuat dari pandangan ini membuat saya meyakini bahwa dasar-dasar kehidupan sudah diletakkan oleh para leluhur orang Mee kepada keturunannya. Perjalanan panjang menuju masa depan membuat berbagai aspek perubahan berlangsung di luar kontrol orang Mee sendiri. Situasi yang secara perlahan-lahan menyingkirkan struktur-struktur sosial lama yang telah diletakkan oleh para orang tua dan pendahulu mereka. Jika pun masih diingat dan dipraktikkan, totalitasnya menghadapi tandingan dari kehadiran kios-kios yang berlangsung massif dan tergantikannya hasil-hasil Owadaa dengan beras dan Mi Instan.

Pada bagian kedua ini saya akan melanjutkan catatan belajar yang saya alami selama kurang lebih 2 minggu berada di negeri orang Mee (Meeuwodide). Jadi, saya akan memulainya dengan kisah perempuan Mee, seorang guru sekaligus kepala sekolah SD Inpres Watiyai, Distrik Tigi Timur, Kabupaten Deiyai. Namanya adalah Yuvita Mote. Mama ini menyambut kami yang mendatangi sekolahnya. Bersama dengan para guru lainnya, mereka sudah menyapu ruang kelas dan membersihkan halaman sekolah. Kami merencanakan sebuah acara untuk mengumpulkan guru-guru di wilayah Deiyai, untuk mendengar aspirasi mereka pengetahuan lokal orang Mee yang masuk dalam kurikulum pendidikan formal sekolah dasar.

Pagar Budaya

Mama Yuvita mendekati kami dan berkisah bahwa kegiatan-kegiatan yang bernuansa budaya dalam bidang pendidikan sangat mereka rindukan. Selama ini, mama merasa bagian ini kurang begitu dilihat oleh semua pelaku pendidikan. Budaya dan adat itu harus menjiwai pendidikan. Dengan demikian, sekolah harus memiliki ciri budaya. Itulah yang saya tangkap dari ekspresi Mama Yuvita yang selalu tersenyum dan mengucap syukur atas kegiatan yang kami lakukan di sekolah mereka.

Saya terusik, apa yang Mama Yuvita maksudkan dengan sekolah yang memiliki ciri khas budaya Mee dalam hal ini? Mama kemudian mengungkapkan pagar sekolah ini yang menggunakan “pagar budaya”. Tidak dipagari dengan tembok. Pagar budaya seperti apa? Pagar dalam membuat kebun dalam tradisi suku Mee yang disebut dengan Edaa secara umum yang berasal dari kayu pagar dari kebun atau hutan. Ada berbagai jenis pagar dalam budaya Mee untuk bermacam fungsinya.

Pagar di depan salah satu rumah warga Mee di dekat SD Inpres Watiyai, Distrik Tigi Timur, Kabupaten Deiyai. Foto: dokumentasi I Ngurah Suryawan.
Pagar di depan salah satu rumah warga Mee di dekat SD Inpres Watiyai, Distrik Tigi Timur, Kabupaten Deiyai. Foto: dokumentasi I Ngurah Suryawan.

Pagar budaya untuk sekolah ini tentu mendapatkan berbagai tentangan. Tapi Mama Yuvita yang menjadi Kepala Sekolah SD Inpres Watiyai tidak bergeming. Mama tetap mempertahankan pendiriannya dan pagar budaya orang Mee tetap berdiri megah mengelilingi sekolah tersebut.

Para guru perempuan, mama-mama guru di negeri orang Mee ini, membuat saya belajar banyak artinya perjuangan hidup dan berkomitmen pada sebuah profesi, meski di tengah berbagai keterbatasan ekstrem di tanah Papua. Saya dan mungkin kami, anak-anak yang sempat mengenyam pendidikan tinggi, menjalani hidup yang jauh lebih baik dibandingkan mereka.

Saya bersama dengan dua guru SD Inpres Watiyai, Distrik Tigi Timur, Kabupaten Deiyai. Foto: dokumentasi I Ngurah Suryawan.
Saya bersama dengan dua guru SD Inpres Watiyai, Distrik Tigi Timur, Kabupaten Deiyai. Foto: dokumentasi I Ngurah Suryawan.

Para guru senior dan muda yang kami temui dalam sebuah kegiatan di Moanemani Kabupaten Dogiyai, suatu waktu mengisahkan bagaimana kehadiran mereka untuk menawarkan pendidikan dasar di daerah pegunungan Papua dengan berbagai keterbatasan dan kondisi dalam ketidakpastian. Kantor-kantor pemerintahan dengan mudahnya terbakar karena konflik politik dan sekolah-sekolah yang tidak berjalan dengan baik.

Kedua guru dalam foto ini adalah mama-mama berbeda generasi dengan tipikal yang berbeda. Mama guru yang muda lebih berani berbicara dan mengemukakan pendapatnya. Sedangkan mama guru yang lebih senior saya perhatikan tenang menyimak dan menyerap jalannya diskusi kegiatan. Fokus memperhatikan dengan tatapan kepada yang sedang berbicara. Saya tidak tahu, tapi ini mungkin bisa mewakili karakteristik guru di tanah Papua.

Perubahan yang Datang

Salah satu perubahan besar yang berlangsung adalah kualitas pendidikan dasar yang tidak ‘membumi’ dengan situasi komunitas lokal yang tengah mengalami perubahan. Saya mendengar para guru, orang tua, dan masyarakat Mee yang kami temui, terutama saat pelaksanaan diskusi berlangsung sehari penuh itu, menggambarkan kekhawatiran mendalam. Mereka dengan tutur kata berat mengisahkan perubahan kehidupan orang Mee dari mulai pendidikan anak di tengah keluarga, suasana kehidupan rumah tangga, hingga yang lebih kompleks terutama yang berkaitan dengan perubahan penghidupan ekonomi dari berkebun beralih ke warung atau yang sering disebut dengan Mawar (makan warung).

Perubahan terjadi di berbagai elemen kehidupan orang Mee. Semuanya bukan hanya terjadi begitu saja hingga seperti situasi yang terjadi kini, tapi mengakar sekaligus menyejarah dalam relasi orang Mee dengan berbagai aspek, salah satunya adalah semesta moda ekonomi yang dibawa oleh pembangunan, jalan, migrasi penduduk, dan perusahaan. Dampaknya adalah generasi muda Mee tenggelam pada perubahan sehingga yang terjadi mereka tidak memahami nilai secara mendalam dan menggumulinya secara serius. Yang terjadi adalah generasi muda hanya sampai kepada performance (penampilan) semata, tidak mendalam kepada nilai-nilai. Tidak ada penghayatan sekaligus praktik terhadap nilai-nilai tersebut. Secara verbal di pembicaraan merasa bangga tetapi tidak ada penghayatan dan keseriusan untuk mendalami.

Salah satu hal yang sangat mempengaruhi pengetahuan dalam bentuk nilai-nilai adalah Bahasa Ibu yang di dalamnya mengandung berbagai pengetahuan tentang komunitas tersebut. Nilai-nilai lokal yang penting kehidupan komunitas orang Mee diperhadapkan dengan perubahan. Nilai-nilai ini atau konsep tentang kehidupan ini inferior (rendah diri) sehingga tidak percaya diri untuk menjadi jembatan (bridging) untuk melangkah menuju modernitas. Revitalisasi nilai-nilai tersebut untuk menjawab tantangan dalam posisi sekarang.

Salah satu nilai tersebut, yang sudah saya coba uraikan secara historis dalam bagian pertama esai ini adalah Owadaa yang diwariskan oleh para leluhur sebelumnya. Owadaa adalah nilai sekaligus menyediakan praktik untuk bertahan hidup di tanah sendiri, yaitu dengan mengolah tanah untuk menjamin kehidupan dengan berkebun. Owadaa mementingkan nilai (soft skill) yang terkandung dalam pengetahuan dan ajaran-ajarannya yang mentautkan manusia Mee dengan Ugatame (Tuhan) dan alam yang juga diterjemahkan sebagai warisan leluhur yang sakral. Fokus utamanya adalah nilai-nilai Owadaa dan semesta kehidupan manusia di dalamnya yang berelasi (berhubungan) dengan alam, leluhur, Ugatame yang selalu menyertai dan memberkati perjalanan kehidupan manusia.

Oleh sebab itulah pelatihan kepada guru tentang pendidikan Owadaa bertujuan untuk mendiskusikan dan merumuskan secara bersama-sama kerangka pembelajaran Owadaa untuk TK/PAUD dan SD. Pelatihan untuk guru-guru TK/PAUD dan SD bertujuan untuk menambah cakrawala dari perspektif global (apa yang terjadi di dunia luar) yang berkaitan dengan situasi dalam konteks lokal kehidupan dan budaya orang Mee.

Para guru SD Inpres Watiyai, Distrik Tigi Timur, Kabupaten Deiyai sedang mengikuti pelatihan kurikulum Owadaa. Foto: dokumentasi I Ngurah Suryawan.
Para guru SD Inpres Watiyai, Distrik Tigi Timur, Kabupaten Deiyai sedang mengikuti pelatihan kurikulum Owadaa. Foto: dokumentasi I Ngurah Suryawan.

Terkhusus dalam dunia pendidikan, posisi guru dan anak-anak sama-sama berhadapan dengan perubahan sosial yang harus mereka hadapi. Arus perubahan ini tidak gampang dimengerti oleh orang tua, apalagi anak-anak mereka bagi orang Mee. Situasi ideal yang diharapkan terjadi adalah ada kesepahaman antara guru, orang tua, dan anak dalam menanggapi perubahan tersebut sesuai dengan perannya masing-masing.

Situasi perubahan ini bisa kita cermati dari struktur sosial ekonomi masyarakat Mee. Mencermati struktur sosial ekonomi yang telah berubah menjadi sangat penting dalam kerangka memahami secara keseluruhan kerangka pondasi masyarakat Mee dalam rentang sejarah dan dinamikanya dalam menghadapi perubahan yang datang.

Salah satu hal yang menjadi pertanyaan juga adalah apakah ada keyakinan bahwa nilai-nilai kehidupan dari komunitas, dalam hal ini Owadaa dari Mee, bisa untuk menyelamatkan hidup kita dalam menghadapi perubahan. Berkaitan dengan Owadaa, pertanyaannya adalah apakah seluruh anggota komunitas, khususnya orang Mee yang bisa secara konsisten menghidupi dirinya dengan kerja-kerja nyata dan praktikal dengan menggunakan prinsip-prinsip Owadaa?

Praktik Owadaa secara individu sudah ada dan sedang berlangsung, juga dilakukan oleh beberapa pihak secara produktif dan berlangsung secara sendiri-sendiri. Owadaa sebagai bentuk pengetahuan yang berisi nilai-nilai penghidupan menghadapi tantangan dari kehidupan modern yang menyediakan pragmatisme.

Owadaa sebagai prinsip baik warisan dari leluhur, sudah terbukti menjadi sandaran penghidupan bagi komunitas sebelumnya, dalam hal ini bagi orang Mee. Jauh sebelumnya, para cendekiawan orang Mee sudah banyak yang menulis tentang pengetahuan Owadaa. Sebagai praktik reproduksi pengetahuan (baca: menghasilkan kembali pengetahuan) tentang Owadaa sudah melimpah jumlahnya meskipun perlu terus diperdalam dan didokumentasikan secara terus-menerus. Pertanyaannya adalah apakah konsep baik ini bisa dikerjakan dalam arus perubahan hidup dan kebijakan yang terjadi, khususnya bagi orang Mee? Konsep Owadaa dan nilai-nilainya perlu diterjemahkan menjadi strategi yang bisa dikerjakan dalam konteks kontemporer.

(Bersambung)

Deiyai – Nabire, Sorong, April – September 2024.

 

Catatan: Esai ini adalah bagian kedua dari lima esai yang merangkum narasi pengalaman saya berada di Meeuwodide guna memfasilitasi para guru-guru Sekolah Dasar (SD) di Dogiyai, Deiyai, dan Paniai pada April 2024 dalam menterjemahkan nilai-nilai Owadaa bagi siswa. Acara ini difasilitasi oleh Yayasan Pembangunan Masyarakat (Yapkema) Papua di Nabire dalam menjalankan program Owadaa.

***

I Ngurah Suryawan
Penulis adalah antropolog dan dosen di Universitas Papua (Unipa), Manokwari, Papua Barat.

4 KOMENTAR

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Kirim Donasi

Terbaru

Belajar Gerakan Kedaulatan Diri Owadaa dari Meeuwodide (Bagian 2)

Pada bagian pertama catatan ini sebelumya, saya mencoba untuk...

Belajar pada Njoto, Menuju Jurnalisme yang Mendidik Massa

Dalam deretan tokoh-tokoh jurnalistik di Indonesia, nama Njoto jarang terdengar. Kerap ketika berbicara mengenai sejarah jurnalisme di Indonesia, nama...

Empat Babak Sekuritisasi di Papua

Sejak dimulainya Operasi Tri Komando Rakyat (Trikora) oleh Presiden Soekarno pada 19 Desember 1961 banyak terjadi pelanggaran hak asasi...

Mambesak dan Gerakan Kebudayaan Papua Pascakolonial

Mambesak tidak sekadar grup musik Papua biasa. Selain sebagai pioner dengan mempopulerkan lagu-lagu daerah Papua yang kaya dan beragam,...

Belajar Gerakan Kedaulatan Diri Owadaa dari Meeuwodide (Bagian 1)

Menjelang malam, kami memasuki Moanemani, ibukota Kabupaten Dogiyai dari Kota Nabire pada suatu hari di awal bulan April 2024....

Rubrikasi

Konten TerkaitRELATED
Rekomendasi Bacaan