Ide menulis tulisan ini, dimulai ketika beberapa waktu lalu saya bersama seorang kawan cerita-cerita sambil minum kopi di sebuah kafe di Jakarta. Kami cerita-cerita terkait rencana kegiatan yang akan kami lakukan bersama. Selain itu kami juga cerita banyak hal: seputar kopi yang sekarang sudah bisa dipesan melalui Kode Qr, jumlah gadget yang harus dimiliki oleh aktivis untuk alasan keamanan, hingga hiruk pikuk produktivitas dan over produktif masyarakat di tempat yang sering kami sebut ‘Mama Kota’ atau Jakarta. Singkatnya, kami membahas kapitalisme di era digital dan kontradiksi-kontradiksinya.
Dari situlah, tulisan ini akan menyoroti terkait kapitalisme di era digital hingga bagaimana manusia dan kemanusiaannya dalam ruang digital dan kapitalisme yang diperkirakan akan runtuh, tetapi selalu menemukan cara untuk bertahan hidup.
Ruang Digital Sebagai Pasar
Dalam tulisan saya yang berjudul Pembangunan dan Kuasa Hegemoni di Tanah Papua, saya menulis tentang tanah sebagai salah satu ruang yang digemari oleh kapitalisme untuk bertahan, dimana pembangunan dan modernisme menjadi cita-cita masyarakat kapitalis untuk menyingkirkan tradisionalisme dalam kuasa hegemoni.
Henry Lefebvre, seorang sosiolog asal Perancis mengatakan bahwa kapitalisme bisa bertahan hidup lewat penciptaan ruang. Dewasa ini, dalam upaya globalisasi dan tercapainya pasar bebas, digitalisasi dihadirkan sebagai salah satu ruang, tempat dimana kapitalisme terus bertahan hidup. Bagaimana mungkin ini terjadi? Kapitalisme membutuhkan pasar yang bebas, yang tidak terbatas pada letak geografis. Marx memperkenalkan satu gagasan yang disebut sebagai Anihilasi ruang lewat waktu, yang secara detail dan dalam di tuliskan kembali oleh seorang geografi Marxis, yaitu David Harvey. Harvey dalam bukunya Imperialisme (2010) mengatakan bahwa kapital bersirkulasi dalam ruang dan waktu untuk menciptakan geografi historisnya yang khas.
“Tren ke arah globalisasi merupakan sesuatu yang inheren disini, dan evolusi lanskap geografis dari aktivitas kapitalis berlangsung secara besar-besaran berkat adanya babak demi babak kompresi ruang dan waktu. Kondisi industri transportasi dan komunikasi menjadi petunjuk dari adanya sebuah problem yang lebih luas. Pergerakan ruang yang cair hanya bisa dicapai jika tersedia infrastruktur-infrastruktur fisik dalam ruang”. tulis Harvey.
Dengan kemajuan dan memajukan teknologi, maka digitalisasi menjadi wujud kompresi ruang dan waktu demi terbentuknya pasar dan tercapainya tujuan akumulasi kapital.
Ruang digital yang terbentuk kemudian menjadi infrastruktur bagi kapitalisme, sementara informasi, media, dan komunikasi menjadi suprastruktur dalam kapitalisme.
Christian Funds dalam bukunya Membaca Kembali Marx di Era Kapitalisme Digital (2021) menuliskan bahwa, “Komunikasi adalah perangkat penting untuk memahami kapitalisme sebagaimana kapitalisme penting untuk memahami (perangkat) komunikasi”. Nitra Galih Imansari juga menambahkan tentang penetrasi komunikasi dalam masyarakat kapitalis yang membentuk komodifikasi.
Sebenarnya sejauh mana informasi, komunikasi hingga media massa menjadi penting bagi kapitalisme?
Dalam daftar 2.000 perusahaan transnasional terbesar di dunia yang dirilis Forbes pada tahun 2015, terdapat 243 perusahaan yang bergerak di bidang informasi dalam sektor periklanan, penyiaran dan televisi kabel, peralatan komunikasi, retail komputer dan elektronik, perangkat keras komputer, retail internet dan katalog, dan layanan telekomunikasi.
Fuchs menyebut bahwa ekonomi informasi adalah salah satu bagian besar dari kapitalisme global. “Teknologi informasi merupakan salah satu pendorong finansialisasi, sebagaimana ditunjukkan oleh jual beli saham dengan algoritma, credit scoring algorithms atau mata uang digital seperti bitcoin mempengaruhi semua sisi kehidupan manusia”. tulis Funds. Keterkaitan antara ekonomi informasi dan kebutuhan manusia setiap harinya pada teknologi informasi, akhirnya mendorong kemajuan finansialisasi.
Contoh kemajuan teknologi informasi yang paling dekat dengan kita adalah telepon genggam atau gadget. Dewasa ini semua orang memiliki gadget dan muncul standarisasi bahwa gadget yang dimiliki haruslah Android atau iPhone. Seluruh kebutuhan manusia yang ditawarkan oleh ruang digital dapat dirasakan dalam gadget. Mulai dari mesin pencari informasi, seperti google, lalu dalam hal perbankan ada mobile banking, bank digital seperti Bank Jago dan Jenius, ada juga dompet digital seperti GoPay dan OVO dengan dalil kemudahan transaksi, hingga Bitcoin.
Dalam kasus GoPay dan OVO, kita harus menggunakan keduanya untuk melakukan transaksi pembayaran dengan aplikasi tertentu. Hal yang saya alami ketika harus membayar Grab, tetapi pembayarannya hanya dapat dilakukan melalui OVO, sementara saya hanya menggunakan GoPay. Betapa tidak dibuat pusing? Terlebih kalau di Jakarta, uang konvensional sudah mulai ditinggalkan, bahkan sebatas untuk menikmati jajanan kaki lima kita harus membayar menggunakan QRIS.
Selain itu hanya dengan gadget, manusia dapat bermain judi online. Tak tanggung-tanggung transaksi judi online di Indonesia bisa mencapai angka Rp. 200 triliun pada tahun 2023, dan modal bermain judi di dapatkan dari pinjaman online yang terbagi menjadi legal dan ilegal. Ini menjadi potret hubungan sosio-ekonomi manusia dalam ruang digital.
Untuk menghilangkan kebosanan, gadget juga menyediakan game online, dimana Indonesia masuk dalam urutan tertinggi sebagai konsumen game online.
Selain itu, mengutip dari Telkomsel, dikatakan bahwa “Berdasarkan laporan yang dirilis oleh We Are Social pada bulan Januari 2024, dikabarkan bahwa di Indonesia terdapat 139 juta identitas pengguna media sosial. Angka tersebut setara dengan 49,9% total populasi nasional”.
Media sosial untuk berkomunikasi pun terbagi menjadi banyak platform, salah satunya adalah WhatsApp dan untuk aktivis, Signal adalah rekomendasi yang diberikan untuk menjaga keamanan dalam berkomunikasi.
Ruang digital memberikan kita banyak pilihan, namun yang terjadi dalam kapitalisme bahwa semua alat ini saling bersaing untuk terus bertahan dalam pasar. Hal ini diungkapkan oleh pihak Google bahwa, “Kami menghadapi persaingan ketat dari berbagai sumber, termasuk mesin pencari umum dan khusus, serta aplikasi khusus dan produk baru yang didukung oleh AI generatif. Pihak independen memperkirakan bahwa 61% orang di AS memulai pencarian produk di Amazon, bukan Google. Dan banyak pembeli daring mengunjungi Walmart, eBay, dan situs lain untuk membeli barang. Untuk pencarian perjalanan, banyak orang langsung menuju Expedia, Kayak, Orbitz, dan TripAdvisor“.
Google sebagai mesin pencari informasi mengakui bahwa mereka harus terus berupaya untuk memudahkan banyak orang untuk mendapatkan informasi karena kebutuhan informasi menjadi penting bagi orang-orang dan semua orang dapat menggunakan satu aplikasi untuk satu kebutuhan, maka Google harus menciptakan banyak terobosan dan fitur baru dalam upaya persaingan dengan banyak platform serupa.
Potret ini seperti dalam dunia nyata, manusia harus memiliki motor untuk belanja ke pasar dan harus memiliki mobil agar bisa berwisata bersama keluarga, bahkan satu motor dan satu mobil pun terasa tidak cukup untuk menjawab kebutuhan manusia. Dalam kapitalisme, manusia diarahkan untuk menjadi sangat konsumtif dan ini terjadi dalam ruang digital, bahwa manusia harus memiliki banyak aplikasi untuk menjawab kebutuhannya. Saya harus menginstal Maxim dan Grab di saat yang bersamaan padahal keduanya memiliki fungsi yang sama, namun keduanya memberikan penawaran dan pelayanan yang berbeda. Ini berlaku untuk aplikasi lainnya, yang sejenis, tetapi memiliki fitur yang berbeda. Inilah alasan Google setiap tahun melakukan ribuan kali terobosan hanya demi mempertahankan dirinya di tengah kemudahan memperoleh informasi yang ditawarkan dalam ruang digital.
Nadya Karimasari dalam Dalil Pokok Kapitalisme mengenang Ellen Meiksins Wood menulis, “Perusahaan, petani kapitalis, atau pemilik pabrik mencari untung tidak semata-mata karena rakus, tetapi jika mereka tidak berkompetisi untuk meningkatkan untung, mereka akan tersingkir dari pasar. Semua produksi harus ditujukan untuk pasar dan semua yang terlibat di dalamnya tunduk dalam prinsip persaingan agar bisa bertahan.”
Pasar dalam ruang digital tidak terbatas seperti penggunaan aplikasi Shopee, Tokopedia dan aplikasi sejenisnya sebagai toko online, dimana Anda dapat membeli kebutuhan Anda, tetapi lebih luas dari itu, ruang digital menjadi pasar dalam kapitalisme, seperti dalam pengertian pasar kapitalisme yang dituliskan oleh Ellen Meiksins Wood, bahwa pasar adalah segala hubungan bukan sebatas hubungan ekonomi (akumulasi, kompetisi, maksimalisasi, keuntungan, dan produktivitas), tetapi pasar juga menentukan hubungan sosial.
Dan akhirnya ini adalah alasan mengapa gadget telah berkembang bukan sekedar alat untuk berkomunikasi, tetapi telah menjadi bagian terpenting dalam kehidupan manusia, bahkan menunjukkan citra diri manusia. Anda bahkan tidak akan membayangkan bahwa sebuah telepon genggam yang anda miliki dapat memberikan dampak yang besar pada perekonomian dunia.
Manusia dan Teknologi
Pada dasarnya teknologi diciptakan untuk membantu pekerjaan manusia. Teknologi tidak dapat dipisahkan dengan sains, tetapi teknologi telah ada jauh sebelum keberadaan sains.
Evelyn Reed, seorang Marxis, Trotskyis, dan anggota Partai Pekerja Sosialis di Amerika berkata “Semua peradaban manusia dibangun di atas dua landasan utama, yakni produksi dan prokreasi”. Dan untuk berproduksi, manusia membutuhkan alat kerja.
Reed memberikan sumbangsih penting dalam antrpologi Marxis untuk melihat aktivitas manusia, di mana untuk mengolah pertanian skala kecil atau holikultura, perempuan menemukan tongkat penggali dan menjadi alat utama yang digunakannya sebagai seni mengolah tanah.
Tongkat ini dapat kita kenal sebagai teknologi mula-mula yang digunakan oleh manusia. Pengetahuan manusia dalam keberadaannya di alam semesta terus bertambah karena manusia terus bergerak, bekerja, dan bertambah pengetahuan lewat interaksinya dengan alam semesta.
Jaman dulu manusia hanya mengamati benda-benda langit dan berdoa kepada matahari, bulan, dan bintang. Hari ini dengan perkembangan teknologi yang diciptakan oleh tangan manusia, manusia telah berjalan menyusuri bulan di langit, lalu berpikir untuk menempati planet Mars di tengah maraknya kerusakan bumi dari ulah manusia sendiri.
Teknologi sendiri terbagi menjadi banyak jenis: teknologi informasi dan komunikasi, teknologi transportasi, teknologi pendidikan, teknologi medis, dan teknologi agrikultur. Bahkan senduk garpu yang digunakan untuk makan pun merupakan teknologi.
Untuk memikirkan tentang manusia dan teknologi, maka muncullah filsafat teknologi yang menurut Yesaya Sandang dalam bukunya Dari Filsafat ke Filsafat Teknologi (3013) mengatakan filsafat teknologi secara epistemologis memunculkan persoalan tentang sifat teknologi. Secara metafisika mempersoalkan apa yang tiruan (buatan) serta apa yang manusiawi dan tidak manusiawi. Lalu secara etika mempersoalkan moral dan penggunaan teknologi dan yang secara politis mempersoalkan bagaimana manusia hidup dalam masyarakat teknologi dan bagaimana teknologi merubah relasi dan cara hidup manusia.
Pertanyaan dasarnya adalah bagaimana teknologi digunakan. Saya memulai dengan menunjukkan kritik terhadap teknologi secara etika.
Kita sering menjumpai fenomena kecelakaan dan kekerasan yang menimbulkan korban lalu akan ada orang-orang yang merekamnya kemudian mempublikasikannya menjadi informasi.
Fenomena semacam pernah dikritik oleh Boy Rap Polimak, salah satu kelompok musik rapper dari Papua dalam judul lagunya Teknologika, yang menunjukkan aktivitas manusia yang menggunakan teknologi tanpa memakai logika. Kritik ini tentu saja tidak lahir begitu saja. Ini merupakan hasil dari pengamatan dan analisa mereka bagaimana teknologi membuat manusia kehilangan moral dan etika.
Ruang digital tidak terbatas sebagai tempat dimana informasi diproses menjadi pesan dan disebut komunikasi dalam media massa. Judi Dean tulisannya Communicative Capitalism and Class Struggle (2014) menulis, “Communication serves capital, whether in affective forms of care for producers and consumers, the mobilization of sharing and expression as instruments for “human relations” in the workplace, or contributions to ubiquitous media circuits.”
Tepat seperti yang dikatakan oleh Dean bahwa komunikasi melayani modal milik kapital, dimana lewat media massa, komunikasi menjadi informasi dan menjangkau banyak orang, membentuk relasi sosial dalam ruang digital yang bersifat non place, menunjukkan hubungan kerja yang eksploitatif, merauk sebanyak-banyaknya profit sebagai tujuan utama kapitalis dan untuk melakukan rekayasa persepsi seperti istilah Yesaya Sandang,yaitu fenomena real yang tersimulasikan dan mengelabui kita. Film Budi Pekerti yang diperankan oleh aktris Prilly Latuconsina adalah wujud konkret bagaimana tren video viral yang tidak sesuai dengan realitas diinternalisasi dan diyakini sebagai kebenaran dan berdampak secara psikologis, ekonomi, dan sosio-politik dalam dunia nyata.
Nitra Galih Imansari dalam tulisannya Konstruksi Berita Media Massa dalam Bingkai Kapitalisme Media (2021) juga menjelaskan mengenai pembangunan konstruksi sosial masyarakat kapitalis dalam menggunakan media massa. Bagaimana realitas dikonstruksikan oleh kelompok pemilik modal, contohnya lewat bisnis iklan atau lewat industri pornografi yang berdampak pada relasi manusia.
Kita bisa melihat bagaimana dampak film porno terhadap kehidupan seks. Industri pornografi memproduksi film-film dan video-video yang menunjukkan kehidupan seks yang tidak sesuai dengan realitas bahkan terkadang penuh dengan kekerasan dan menunjukkan hubungan pedofilia. Film Porno menghasilkan banyak dopamin pada otak dan berdampak pada kinerja otak. Dalam hal kepuasaan, beberapa orang akan lebih memilih menonton film porno di banding melakukan hubungan seks langsung dengan pasangan.
Hal lainnya yang dapat dilihat adalah manusia mulai teraleniasi dari dunia nyata, memisahkan diri dari komunitasnya, meninggalkan kolektivitas dan memilih menjadi individu yang terkungkung dalam dunia digital. Kita bisa menghabiskan waktu 24 jam hanya untuk game online, judi online, scrolling sosial media, mengunjungi toko online, hingga akhirnya semua aktivitas kerja di dunia nyata ditinggalkan.
Ketika kita ingin melihat hal yang manusiawi atau tidak manusiawi sepertinya tidak bisa terlepas dari pengamatan kita terhadap over produktif dan anihilasi ruang oleh waktu seperti istilah Marx. Bagaimana teknologi diciptakan dan digunakan untuk menghapus hambatan spasial dengan tujuan ekspansi kapital.
Kita pastinya sangat senang dengan kemudahan teknologi informasi yang membuat kita bisa bekerja dimana saja dan kapan saja, tetapi apakah kita bisa memastikan bahwa kita telah bekerja dengan waktu 8 jam dan 5 hari selama waktu kerja? Apakah hari cuti mensturasi kita telah kita gunakan untuk beristirahat? Apakah cuti melahirkan, kita telah manfaatkan untuk memulihkan keadaan kita dan merawat bayi kita? Atau apakah hari raya kita, kita habiskan bersama keluarga?
Bukan kapitalisme namanya jika Anda terus bekerja setiap saat, bahkan 24 jam Anda bekerja, dengan laptop dan gadget Anda secara sukarela tanpa paksaan bahkan di waktu cuti, Anda masih mengecek pekerjaan.
Lalu bagaimana dengan nasib manusia yang bekerja 24 jam di bawah tekanan aplikasi, seperti Grab, Maxim, dan Gojek? Liputan Nita Jepi Tamara berjudul Kemitraan Ojol: Akal-akalan Aplikator Mengeksploitasi Pengemudi Ojol adalah rujukan untuk memahami kondisi driver Gojek. Nita Jepi menulis bahwa, “Ia merasa terbebani karena tidak ada jaminan keselamatan dari perusahaan jika terjadi kecelakaan saat bekerja. Dengan demikian, sistem kemitraan ini tidak hanya mengeksploitasi pengemudi, tetapi juga gagal memberikan perlindungan yang layak bagi mereka.”
Liputan Nita Jepi menunjukkan bagaimana driver Gojek bukan sekedar di eksploitasi karena harus bekerja selama 24 jam untuk mencapai target, tetapi mereka juga tidak mendapatkan perlindungan keselamatan, dan mereka (driver Gojek) yang disebut ‘mitra’ oleh pihak aplikator justru tidak dilihat sebagai mitra lewat perjanjiaan kerjasama yang hanya dibuat sepihak.
Marx benar ketika mengatakan teknologi dalam kapitalisme digunakan sebagai alat untuk memperluas eksploitasi pekerja dan itulah yang terjadi hari ini. Marx benar ketika menguatirkan bahwa dampak terburuk dari kemajuan teknologi adalah tidak terserapnya tenaga kerja atau pengangguran. Jumlah pengangguran di Indonesia mencapai 7,86 juta per tahun 2023 dan akan terus bertambah disusul dengan kerusakan lingkungan dan perubahan iklim yang terjadi sebagai konsekuensi terburuk dari penggunaan teknologi.
Dalam kapitalisme di era digital, Anda tidak sedang dicambuk layaknya budak yang harus bekerja pada tuannya, tetapi Anda diberikan kebebasan (semu) untuk memilih kapan Anda dapat bekerja dan dari mana Anda akan bekerja? Atau apakah Anda bekerja secara sukarela atau Anda terpaksa bekerja karena Anda tidak memiliki pilihan lainnya? Ya, kemiskinan selalu mencekik leher manusia dan untuk terus bertahan, manusia harus hidup meski kehilangan nilai kemanusiaan dari dirinya.
Kesimpulan
Ruang digital bukan sekedar ruang hampa, tetapi potret dari ekonomi-politik. Ruang dimana kapitalisme sedang hidup dengan menciptakan inovasi dan teknologi untuk mempertahankan status quonya. Sesungguhnya kemanusiaan adalah suatu istilah kosong dalam kapitalisme, sebab keuntungan adalah tujuan utamanya.
Saya tidak sedang menulis untuk mengatakan Anda segera membuang gadget Anda, melupakan teknologi dan kembali ke jaman dimana kita tidak bisa mengakses informasi. Tidak! Tujuan tulisan ini hanyalah untuk mengatakan bahwa Anda adalah manusia yang harus mengendalikan teknologi dan menentukan sifat teknologi sebagai alat yang membantu Anda bekerja dan menjaga relasi Anda dengan manusia lainnya. Perlu diingat lagi bahwa seks dengan pasangan Anda jauh lebih baik dibanding menonton film porno. Membaca buku juga jauh lebih baik dibanding menonton Tiktok dan nonton film seperti yang disarankan oleh Karlina Supelli, seorang Filsuf dan Astronom asal Indonesia.
Dan ketika berbicara tentang kapitalisme di era digital, saya sangat menyukai kutipan “Membangun Sosialisme di Dunia Digital” yang saya temukan dalam buku Chirstian Fuchs Membaca Kembali Marx di Era Kapitalisme Digital (2021). Dan sangat menyarankan kita untuk memikirkan cara melakukan counter-hegemony dalam melawan kapitalisme di era digital. Bagi saya, Lao-Lao Papua, IndoProgress, Arah Juang, dan media pergerakan lainnya telah berupaya menyebarkan gagasan sosialiasme lewat media digital.
Namun banyak hal yang masih dibutuhkan untuk melawan dalam dunia digital, terutama ancaman keamanan, perampasan data, penghapusan konten, media-media yang di-blacklist hingga di brendel pemerintah dan lainnya.
Kita masih harus memikirkan bagaimana gagasan perlawanan dan perluasaan kesadaran sampai pada teman-teman driver online dan semua orang yang sedang di eksploitasi oleh kapitalisme lewat aplikasi.
Kita pun masih harus memastikan bahwa manusia harus menjaga bumi untuk hewan dan tumbuhan, bukan membiarkan sekelompok pemilik modal menggunakan teknologi untuk merusak bumi, lalu lari dan menempati Mars.
A Luta Continua!
***
Pustaka
Fuchs, Chirstian. (2021). Membaca Kembali Marx di Era Kapitalime Digital. Penerbit Independen: Yogyakarta.
Sandang, Yesaya. (2013). Dari Filsafat ke Filsafat Teknologi. Kanisius: Yogyakarta.
Dean, Jodi. (2014). Communicative Capitalism and Class Struggle. Juournal Media Rep: University of Marburg.
Imansari, N. Galih. (2021). Konstruksi Berita Media Massa dalam Bingkai Kapitalisme Media. Kalijaga Journal of Communication: UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Siap belajar gerakan kedaulatan diri owadaa dari Meuwodide (bagian 2)