Analisa Harian Uskup Bernardus Baru dan Pergeseran Kuasa di Papua

Uskup Bernardus Baru dan Pergeseran Kuasa di Papua

-

Di kanal YouTube Theovlogy, sebuah kanal diskusi teologi dari sekelompok teolog Protestan sebuah pertanyaan dilemparkan: “Masihkah perlu Paus?”. Sebuah pertanyaan yang tampak sederhana, tapi memuat kegelisahan zaman. Dalam dunia yang semakin horizontal, personal, dan digital, wibawa lembaga seperti kepausan dan secara lebih luas, kepemimpinan gerejawi terus diuji relevansinya.

Pertanyaan seperti ini mungkin terdengar jauh dari realitas Papua. Namun justru di tanah ini, relevansi kepemimpinan gereja menemukan bentuk yang sangat nyata dan lokal juga yaitu: Uskup Bernardus Baru, anak asli Papua yang kini memimpin Keuskupan Timika. Dalam dirinya, kita melihat bahwa kepemimpinan gereja masih sangat dibutuhkan terutama ketika melalui kapasitas ini, ia sungguh mewakili umat, memahami luka-luka tanahnya, dan berdiri bukan dari atas, melainkan dari dalam.

Ketika Relevansi Kepemimpinan Dipertanyakan

Pertanyaan tentang relevansi kepemimpinan dalam gereja, khususnya dalam struktur hierarki seperti kepausan dan keuskupan, bukan hanya milik internal Gereja Katolik. Ini adalah bagian dari diskursus eklesiologis yang lebih luas, terutama ketika dunia menghadapi perubahan sosial, digitalisasi, dan krisis kepercayaan terhadap lembaga-lembaga keagamaan.

Membahas peran Paus dan Uskup dalam konteks kekinian bukan semata soal denominasi, melainkan soal bagaimana kepemimpinan spiritual tetap memiliki tempat di tengah masyarakat yang terus berubah. Gereja Protestan sendiri, secara historis, tidak dapat dipisahkan dari akar Katolik, dan pertanyaan-pertanyaan tentang struktur, otoritas, serta makna kepemimpinan tetap menjadi bahan refleksi lintas tradisi.

Diskusi publik seperti yang dibahas dalam kanal Theovlogy lewat judul provokatif “Masihkah Perlu Paus?” mencerminkan keresahan yang sah bahwa apakah model kepemimpinan tradisional masih memiliki daya jangkau? Apakah simbol-simbol spiritual seperti Paus atau Uskup masih relevan di era keterbukaan informasi dan mobilitas sosial tinggi?

Dalam konteks ini, penunjukan Uskup Bernardus Baru—seorang putra asli Papua yang dipercaya memimpin Keuskupan Timika—menghadirkan realitas baru yang layak dicermati. Ia menjadi contoh konkret bagaimana kepemimpinan rohani bisa menjelma menjadi figur kontekstual, representatif, dan berakar pada pengalaman lokal.

Dengan demikian, membahas kepemimpinan dalam Gereja Katolik, termasuk peran Paus, menjadi bagian dari pembacaan lebih luas tentang bagaimana otoritas spiritual bertahan, berubah, atau beradaptasi dalam menghadapi tantangan zaman, termasuk di Papua.

Antonio Gramsci, dalam teori sosialnya mengenai hegemoni dan intelektual organik, menunjukkan bahwa pemimpin tidak hanya mengatur secara struktural, tetapi juga memelihara dan menyebarkan nilai-nilai dominan melalui simbol, bahasa, dan budaya. Dalam pembacaannya, Paus bukan sekadar pemimpin spiritual Gereja Katolik, melainkan simbol hegemoni budaya, figur yang memegang otoritas untuk membentuk kesadaran publik dan moral kolektif lewat bahasa agama, dan narasi iman. Kepemimpinan seperti ini bersifat simbolik sekaligus ideologis: ia menentukan mana nilai yang sah, mana suara yang layak didengar.

Kemudian, Gramsci juga memperkenalkan konsep intelektual organik—yaitu mereka yang lahir dari rahim komunitas tertindas dan menyuarakan kesadaran kolektif kelompoknya, bukan sekadar sebagai elit, tapi sebagai bagian dari denyut rakyat.

Dalam kerangka inilah, Uskup Bernardus Baru dapat dipahami bukan hanya sebagai pemimpin administratif umat Katolik di Keuskupan Timika, tetapi sebagai representasi intelektual organik Papua. Ia hadir sebagai simbol iman yang membumi, pengalaman hidup yang tak asing dengan luka tanah ini, dan identitas kultural yang lama dipinggirkan oleh narasi institusi gereja.

Keuskupan Timika: Kepemimpinan Lokal di Wilayah Strategis dan Luka Historis

Keuskupan Timika bukanlah wilayah kecil di pinggiran peta. Ini adalah salah satu wilayah gerejawi dengan cakupan terluas di Indonesia Timur. Keuskupan ini mencakup seluruh wilayah Provinsi Papua Tengah serta sebagian wilayah Provinsi Papua, termasuk Kabupaten Kepulauan Yapen, Waropen, Biak Numfor, Supiori, dan sebagian dari Mamberamo Raya. Secara geografis, ini adalah kawasan yang kompleks, terdiri dari pesisir, pegunungan, pulau-pulau, dan komunitas adat yang beragam.

Lebih dari sekadar luas wilayah, Keuskupan Timika adalah titik silang antara kepentingan spiritual, budaya, dan ekonomi nasional. Di sinilah tambang emas terbesar di dunia beroperasi, dan di sinilah pula luka-luka (lama) kolonialisme, perampasan tanah, dan marginalisasi masyarakat adat masih terasa sangat nyata.

Dalam konteks seperti itu, kehadiran seorang Uskup yang lahir dari tanah itu sendiri menjadi sangat penting. Bukan hanya untuk mengurus administrasi gereja, tetapi untuk menjadi jembatan antara iman dan keadilan sosial. Pemimpin rohani di wilayah seperti ini memerlukan pemahaman kontekstual yang dalam, bukan sekadar dari buku, tetapi dari pengalaman hidup.

Karena itu, ketika Uskup Bernardus Baru dipercayakan memimpin Keuskupan Timika, itu bukan hanya penunjukan biasa. Ia hadir di titik strategis di mana teologi, politik, budaya, dan ekonomi bersilangan. Dan lebih dari itu, ia membawa sesuatu yang sebelumnya sering hilang dari kepemimpinan gereja: akar lokal dan pemahaman dari dalam.

Timika adalah ruang yang sarat paradoks. Di satu sisi, ia menyimpan hutan, gunung, dan kampung-kampung yang sejak lama menjadi tempat hidup komunitas-komunitas adat. Di sisi lain, wilayah ini juga menjadi simbol paling telanjang dari ekspansi kapitalisme global dengan tambang emas raksasa yang mengekstraksi kekayaan alam, merusak ekologi, dan meminggirkan warga lokal dari tanah mereka sendiri.

Di tempat seperti ini, kata “pemimpin” tak bisa dimaknai secara netral. Ia bukan hanya soal jabatan atau tata kelola, tetapi juga soal keberpihakan. Siapa yang bersuara, kepada siapa ia berpihak, dan dari mana ia berasal, semua itu menentukan makna kepemimpinan di tanah yang penuh luka ini.

Karena itu, ketika seorang pemimpin, dalam hal ini seorang Uskup, lahir dari komunitas lokal dan diberi mandat memimpin wilayah seluas Keuskupan Timika, hal itu bukan sekadar rotasi jabatan. Ia menjadi simbol penting: bahwa suara dari dalam tanah sendiri mulai diberi ruang, bahwa representasi bukan lagi datang dari luar, dan bahwa keadilan harus dirintis dari kedekatan, bukan kekuasaan.

Keuskupan Timika berkedudukan di Mimika, sebuah kota yang tumbuh di atas fondasi industri ekstraktif berskala global. Sebagai pusat pertambangan emas terbesar di dunia, kota ini bukanlah kota yang dibentuk dari kebutuhan masyarakat lokal, melainkan dari logika pasar global yang lapar akan sumber daya. Dalam kerangka teori sosial, Mimika merepresentasikan wajah industrial urban society yang paling kompleks di Papua. Sebuah kota yang hadir karena tekanan ekonomi global, bukan karena aspirasi masyarakat adat.

Kota ini tumbuh secara paksa, memunculkan wajah-wajah modernitas yang kontras dengan luka sosial yang dalam: kemiskinan lokal di tengah kapitalisme global, dan marginalisasi komunitas adat di tengah pembangunan besar-besaran. Di antara deru mesin industri dan bangunan modern, masih terdengar bisik-bisik kehilangan: kehilangan tanah, bahasa, relasi sosial, dan rasa memiliki atas ruang hidup.

Terang saja, legacy yang diterima oleh Uskup Bernardus Baru bukanlah warisan ringan. Di tangannya kini tergenggam tongkat gembala, namun di baliknya terletak sebuah mandat pastoral yang besar, yaitu menggembalakan umat di wilayah yang penuh luka historis, ketimpangan struktural, dan ketegangan identitas.

Sebagai manusia, tentu ia tidak lepas dari keterbatasan. Tapi kehadirannya bersama dengan Uskup Yanuarius You di Keuskupan Jayapura, menandai sesuatu yang lebih besar dari individu. Untuk pertama kalinya, dua keuskupan penting di Papua dipimpin oleh putra-putra asli tanah ini. Ini bukan sekadar perubahan administratif. Ini adalah perayaan atas kemenangan representasi, kemenangan simbolik bahwa gereja mulai belajar mendengar dari dalam, bukan hanya berbicara dari luar.

Iman yang Membebaskan: Dari Teologi Pembebasan ke Teologi Hitam

Dalam perspektif Teologi Pembebasan, lahirnya pemimpin dari komunitas tertindas adalah tanda iman yang berakar pada sejarah konkret manusia. Iman yang tidak melayang di langit doktrin, tetapi menyentuh tanah, tubuh, dan trauma. Uskup Bernardus Baru dan Uskup Yanuarius You hadir sebagai perwujudan nyata dari iman yang membebaskan, dari gereja yang belajar mendengar jeritan tanah Papua dan menyerapnya menjadi sumber hikmat pastoral.

Demikian pula, Black Theology (Teologi Hitam) yang lahir dari pengalaman rasialisme dan kekerasan struktural terhadap orang kulit hitam di Amerika, menegaskan bahwa pemimpin yang sah adalah mereka yang mengenal luka dari dalam. Sebagaimana James Cone katakan, “Allah ada di pihak yang tertindas, dan suara mereka adalah suara teologis yang sah.”

Dan kini, di aras global, kita menyaksikan sebuah harapan serupa tumbuh: pemilihan Paus Leo XIV, seorang non-putih pertama dari Amerika dan mantan Kardinal dari Peru, tanah yang juga sarat kolonialisme, kemiskinan, dan perlawanan masyarakat adat. Kepemimpinannya tidak bisa dilepaskan dari konteks krisis global hari ini, termasuk peran ambigu negara adidaya seperti Amerika Serikat dalam konflik internasional, kerusakan ekologis, imperialisme, dan kapitalisme.

Di tengah banyaknya masalah global hari ini, mulai dari krisis lingkungan, ketimpangan sosial, hingga ketegangan antar bangsa, kita mulai melihat munculnya pemimpin-pemimpin yang tidak berasal dari pusat kekuasaan, melainkan dari latar belakang yang dulu kerap diabaikan. Ini adalah tanda perubahan arah: bahwa harapan tidak lagi bertumpu pada elit lama, tetapi pada mereka yang punya kedekatan dengan realitas hidup sehari-hari.

Gereja dan dunia tak bisa terus-menerus diselamatkan dari atas. Harapan baru justru tumbuh dari mereka yang pernah dibungkam, yang tahu rasanya hidup dalam ketimpangan, dan yang membawa suara komunitas yang selama ini tak terdengar. Kepemimpinan yang lahir dari pengalaman sulit, dari keberpihakan, dan dari tanah yang nyata, adalah harapan baru bagi dunia yang sedang mencari arah: lebih adil, lebih membumi, dan lebih berani berpihak pada kehidupan.

Maka kemenangan representatif dua uskup asli Papua bukan hanya kemenangan lokal. Ia bagian dari harapan global akan arah baru kepemimpinan yang berpihak, membumi, dan sungguh-sungguh memihak kehidupan. Dan dari sana, kita bisa berharap: bahwa gereja, sekali lagi, bukan hanya rumah bagi iman, tapi juga rumah bagi keadilan.

Dari Noken dan Telur, Kita Belajar Menjaga Kehidupan

Dalam salah satu kisah yang direkam dalam buku Yosepha Alomang: Pergulatan Seorang Perempuan Papua Melawan Penindasan karya Benny Giay dan Yafet Kambay, diceritakan momen ketika Mama Yosepha Alomang menyerahkan noken berisi telur kepada Uskup Leo Laba Ladjar. Ketika sang Uskup bertanya, “Ini untuk apa, Mama?”, beliau menjawab, “Bapa Uskup jaga to!”

Cerita ini menyimpan makna yang tak lekang oleh waktu. Telur adalah simbol kehidupan yang rapuh, mudah pecah, dan membutuhkan perlindungan. Sedangkan noken adalah simbol kepercayaan, tanggung jawab, dan daya rawat dari sebuah komunitas. Dalam konteks itu, pesan Mama Yosepha bisa dibaca sebagai pengingat: bahwa tanah dan rakyat Papua, khususnya di wilayah Keuskupan Timika, memerlukan kehadiran gembala yang tidak hanya memimpin, tetapi juga menjaga.

Ketika Uskup Bernardus Baru menerima tongkat gembala, ia juga mewarisi harapan yang sama: bahwa gereja dapat menjadi ruang yang aman dan berpihak bagi kehidupan yang paling rentan. Dalam konteks sosial yang kompleks dan sering kali penuh luka, noken dan telur tetap relevan sebagai pengingat akan tugas utama kepemimpinan: menjaga, merawat, dan mendengarkan.

Semoga.

***

Sellina Aurora
Penulis adalah seorang Pendeta dan Pengajar di Sekolah Pendidikan Guru Jemaat (SPGJ) Lahai Roi, Manokwari.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Kirim Donasi

Terbaru

Uskup Bernardus Baru dan Pergeseran Kuasa di Papua

Di kanal YouTube Theovlogy, sebuah kanal diskusi teologi dari...

Sang Pengingat Jalan ke Tanah Leluhur

Pagi itu, di awal Mei 2025, saya kembali teringat dengan lagu Mu Man Minggil. Irama dan lantunan syairnya sayup-sayup...

Soekarno Tidak Pernah Diasingkan ke Ayamaru

"Nsi nsot, nna nsyoh, man nrana. (Mata lihat, tangan pegang, lalu mulut bicara)" Miroro Bleskadith (1960an) Ada sebuah mitos, atau...

Wawancara Lao-Lao TV: TPRA dan Perjuangannya

https://www.youtube.com/watch?v=NhMy_8pcT2A&t=62s Wawancara Lao-Lao TV kali ini, kawan Mikael Kudiai, Pemimpin Redaksi Lao-Lao Papua mewawancarai kawan Novita Opki dari Tong Pu...

“Makan Gratis, Mati Gratis” 

Dalam beberapa bulan terakhir ini, kebijakan pemerintah pusat mengenai program Makan Bergizi Gratis (MBG) bagi pelajar menjadi salah satu...

Rubrikasi

Konten TerkaitRELATED
Rekomendasi Bacaan