Analisa Harian Pelajaran dari Buku Gerpolek Bagi Gerakan Kemerdekaan Papua

Pelajaran dari Buku Gerpolek Bagi Gerakan Kemerdekaan Papua

-

Gerilya, Politik, dan Ekonomi (Gerpolek) adalah karya atau lebih tepatnya program politik yang ditulis oleh Tan Malaka pada tahun 1948 saat meringkuk di Penjara Madiun. Karya ini ditulis untuk merespon situasi ekonomi-politik Indonesia pasca kemerdekaan yang merosot turun sebagai akibat perundingan-perundingan yang dilakukan oleh Pemerintah Republik dengan Belanda.

Dalam uraiannya Tan Malaka menjelaskan strategi-taktik perang di bidang militer, tapi juga di politik-diplomasi serta ekonomi. Bagi Tan Malaka kemerdekaan Indonesia 100% adalah tidak bisa ditawar. Semua aspek adalah kepunyaan bangsa Indonesia, sehingga “tuan rumah tidak bisa berunding dengan maling!”

Atas dasar inilah Tan Malaka dan kawan-kawan membentuk Persatuan Perjuangan untuk menolak berunding dengan Belanda, kecuali dalam pengakuan Kemerdekaan 100% bagi Bangsa Indonesia. Oleh karena ini, Tan Malaka ditangkap lalu dijebloskan ke dalam penjara oleh Republik karena dianggap mengganggu kerja sama dengan Belanda.

Tapi ini tidak membungkam Tan Malaka sama sekali. Dari balik penjara, Tan Malaka justru menulis Gerpolek. Gerpolek ditujukan untuk kaum Murba (buruh dan rakyat pekerja) Indonesia untuk membela dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia saat itu.

Namun apabila kita mempelajari karya ini kembali saat ini, kita akan melihat bahwa relevansinya bukan hanya untuk zaman awal kemerdekaan Indonesia dan untuk Indonesia seorang diri, tapi dalam pokok-pokok teoritisnya masih mengandung sumber-sumber ilham yang tidak terkira dalamnya, terutama bagi perjuangan revolusioner hingga hari ini dan dimana saja.

Kita mengambil misal seperti “dua macam jenis perang”, ini tidak akan pernah lekang oleh waktu dan terbatas oleh ruang. Selama masih ada penindasan, maka ia akan menjadi sumber teoritis untuk memahami perang antara bangsa dan kelas agresor melawan bangsa dan kelas yang memperjuangakan kemerdekaan. Demikian halnya dalam ilmu gerilya, ekonomi, dan politik yang terkandung dalam Gerpolek.

Saya menilai pelajaran ini jugalah yang harus diambil oleh gerakan perjuangan kemerdekaan Papua Barat. Seperti yang dikatakan oleh Tan Malaka, “Belajarlah dari Barat, tapi jangan jadi peniru Barat, melainkan jadilah murid dari Timur yang cerdas.” Marilah kita belajar dari Indonesia, tapi jangan jadi budak Indonesia, namun jadilah murid dari Papua Barat yang cerdas untuk kemerdekaan Papua Barat.

Dua Macam Jenis Perang

Dalam Gerpolek, Tan Malaka membagi perang menjadi dua jenis, yaitu perang yang dilakukan dengan maksud menindas bangsa lain dan perang yang dilakukan untuk melawan penindasan. Perang yang pertama biasanya dilakukan oleh bangsa imperialis dan kolonialis dengan maksud menindas bangsa-bangsa lain. Sementara perang yang kedua biasanya dilakukan oleh bangsa-bangsa yang menjadi target penindasan untuk memperjuangkan kemerdekaan mereka.

Dalam perang antara Indonesia dan Belanda misalnya, pihak Indonesia berada di jenis perang yang kedua, yaitu perang untuk memperjuangkan kemerdekaan bangsa Indonesia dari tindasan Belanda. Sementara sebaliknya, pihak Belanda berada di jenis perang yang pertama, yaitu perang untuk merebut dan menguasai wilayah bangsa lain, yaitu Indonesia.

Dalam perang ini, keduanya, baik Indonesia maupun Belanda, senantiasa menggunakan jalan kekerasan; kalau perlu dan memang perlu, keduanya saling bunuh-membunuh. Tapi kekerasan dan pembunuhan yang dilakukan oleh Indonesia adalah terpaksa karena dirinya dan tanah airnya diserang oleh musuh. Sehingga perang dan pembunuhan adalah mutlak perlu dilancarkan untuk mengusir bangsa asing dari tanah air Indonesia.

Sementara sebaliknya, perang dari Belanda didasarkan oleh nafsu serakah ingin menguasai dan menindas bangsa lain. Maka kekerasan dan pembunuhan yang dilakukan oleh Belanda adalah dilatarbelakangi oleh nafsu kotor dan jahat karena ingin menguasai, menghancurkan, dan merampok bangsa lain.

Maka dilihat dari kedua sifat perang ini, cocoklah bagi kita untuk menyatakan bahwa mutlak perlu bagi Indonesia untuk mengobarkan perang; sementara sebaliknya perang oleh Belanda adalah perang yang harus dienyahkan dari muka bumi dan dikutuk untuk selama-lamanya.

Sekarang, marilah kita bertanya: dalam perang antara TPNPB-OPM dan rakyat Papua melawan TNI/POLRI hari ini—keduanya masing-masing masuk golongan mana? Apakah golongan perang penindasan atau perang kemerdekaan? Jawaban atas pertanyaan ini hanya dapat ditarik dari kenyatan-kenyataan material yang melatarbelakangi perang tersebut.

Apa kenyataan material dari perang TPNPB-OPM dan rakyat Papua? Kenyatan material yang pertama adalah Papua merupakan bangsa sendiri yang berhak untuk merdeka dan berdaulat seperti halnya bangsa-bangsa lain di muka bumi. Tetapi proses ini dihancurkan dan direbut secara paksa oleh bangsa Indonesia sejak tahun 1961 hingga hari ini.

Proses ini dilangsungkan dengan cara yang biadap dan memalukan. Indonesia menenteng senjata dan menyebarkan serangkaian tipu daya. Perjanjian New York atau New York Agreement (1962) dimanipulasi, Pepera (1969) berjalan dibawah bot dan senjata, dan dekolonisasi Papua Barat dihancurkan tanpa ampun. Rakyat Papua yang protes ditembak mati, total 500-600 ribu jiwa hinga hari ini.

Indonesia berdalih datang untuk bangun Papua. Tapi kenyatan menunjukkan kondisi rakyat Papua semakin hancur. Hutan dibabat berjuta-juta hektar, air diracuni, udara dikotori, ekonomi-politik dikuasai hingga ke akar-akar. Sementara rakyat Papua terlempar ke jurang kemiskinan dan kebinasaan.

Secara umum rakyat Papua diserang. Apakah rakyat Papua harus diam? Tidak! Dan inilah yang melatarbelakangi perang yang dilancarkan oleh TPNPB-OPM dan rakyat Papua sejak 1960an hingga hari ini. Ini adalah perang yang terpaksa, perang yang harus diambil, suka tidak suka, mau tidak mau, Papua harus perang karena diam berarti binasa! Ini adalah perang melawan penindasan! Ini adalah perang untuk merdeka!

Maka cocoklah untuk kita tempatkan perang ini dalam jenis perang yang kedua, yaitu perang untuk melawan penindasan. Ini adalah perang suci, agung, dan mulia. Sementara sebaliknya, perang oleh TNI/POLRI adalah perang yang kotor, busuk, dan kriminal. Ini adalah perang jenis pertama, yaitu perang dari bangsa asing yang ingin merampok dan menguasai bangsa lain.

Indonesia dan bangsa Papua adalah dua bangsa yang berbeda. Memaksanya bergabung dengan cara-cara kekerasan dan tipu daya seperti yang dipertontonkan oleh Indonesia adalah cara yang memalukan. Wajah Indonesia di Papua adalah wajah kekerasan. Semua bukti-bukti sejarah membuktikan hal ini, sehingga tidak perlu lagi diuraikan satu-persatu.

Indonesia memaksa Papua bergabung dengan Indonesia atas bantuan Amerika Serikat yang terkutuk. Hadiah kepada Amerika adalah kontrak karya pertama Frepoort ditandatangani tahun 1967. Dua tahun kemudian Amerika membantu Indonesia memenangkan mayoritas suara di PBB untuk menutupi malu Indonesia atas tipu daya dan kekerasan yang dilakukan dalam Pepera 1969.

Selanjutnya arus modal terbuka ke Indonesia. Papua menjadi pintu masuk, tapi sekaligus juga menjadi target berikutnya bagi ekstrasi bahan mentah ke kantong imperialis. Korindo Group dari Korea Utara masuk, LNG dari Inggris lanjut, dan sekarang Australia menargetkan Blok Wabu. Penjajahan atas Papua adalah agenda imperialis dan mereka membayar TNI/POLRI untuk memuluskan semua ini.

Maka jelaslah, perang oleh TNI/POLRI adalah perang untuk merampok dan mencuri serta menindas bangsa lain. Ini adalah perang penindasan! Perang yang terkutuk dan busuk! Semua manusia rasional harus mengutuk aktivitas ini dan membantu rakyat Papua mengusirnya.

Soal Perang

Tan Malaka dalam Gerpolek membagi soal pokok perang menjadi dua, yaitu Soal Membela dan Soal Menyerang. Soal yang pertama adalah suatu aktivitas yang hendak dilakukan dengan maksud ingin melindungi diri dari ancaman musuh dengan cara menyerang atau musnah sama sekali ketika melindungi diri. Sementara soal kedua adalah bagaimana menyerang ancaman/musuh hingga mengalami kerugian sebesar-besarnya atau musnah sama sekali dengan sedikit kerugian di pihak kita.

Dalam soal membela bukan berarti diam menunggu, tetapi “pembelaan yang sebaik-baiknya ialah dilakukan dengan menyerang.” Sementara sebaliknya, penyerangan yang baik tidak dilakukan dengan ceroboh; namun senantiasa memperhatikan hal-hal yang dapat melindiungi diri seperti siasat, tempo, amunisi, dan lain sebagainya. Singkatnya kedua soal ini saling mempengaruhi dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain.

Bangsa Indonesia yang diserang oleh Belanda adalah mutlak perlu untuk membela diri. Tetapi pembelaan diri yang baik bukan berarti diam berpangku tangan menunggu Belanda. Namun sebaliknya, bangsa Indonesia harus menyerang. Penyerangan ini bukan berarti bangsa Indonesia adalah bangsa yang suka perang, kriminal, pengacau, dan liar. Tetapi serangan yang dilakukan oleh bangsa Indonesia adalah karena terpaksa, yaitu suatu maksud hendak melindungi diri.

Maka perang yang dilakukan oleh bangsa Indonesia adalah perang yang mulia dan tidak bercacat-cela. Ini adalah perang suci! Perang untuk bebas dari ancaman! Perang untuk kemerdekaan! Perang untuk berdaulat di atas tanah airnya sendiri! Segera setelah ancaman ini lenyap, maka perang akan berakhir.

Hari ini, atau sejak 1963, bangsa Papua diserang oleh Indonesia dengan mengirim ribuan prajurit bertubi-tubi ke Papua untuk menduduki dan mencaplok tanah air rakyat Papua. Maka, apakah rakyat Papua harus diam berpangku tangan? Tidak! Membela diri yang baik adalah menyerang! Maka rakyat Papua harus menyerang! Dan inilah yang dilakukan oleh rakyat Papua dan TPNPB-OPM sejak 1960an hingga hari ini.

Barang siapa menolak fakta ini, maka ia adalah manusia buta, goblok, dan tolol! Perang rakyat Papua dan TPNPB-OPM adalah perang untuk membela diri dari ancaman yang dilancarkan oleh bangsa penjajah Indonesia. Maka perang ini adalah perang suci, perang yang harus dilakukan demi eksistensi suatu bangsa. Sementara sebaliknya, perang oleh penjajah Indonesia adalah perang kotor karena hendak ingin menguasai bangsa lain. Ini adalah kenyataan yang tidak bisa ditolak oleh siapapun!

Perang Rakyat

Tan Malaka menulis dalam Gerpolek bahwa perang di Indonesia (1945-1949) bukanlah perang yang dilakukan dengan maksud menindas bangsa asing. Sebaliknya, adalah perang yang terpaksa dilancarkan untuk menolak tindasan bangsa asing atas rakyat Indonesia. Ini adalah perang kemerdekaan.

Tapi bukan perang yang hanya ingin menukar pemerintahan asing dengan dalam negeri, melainkan perang dengan maksud merebut dan mempertahankan semua sumber-sumber ekonomi dan politik, dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat Indonesia. Ini adalah perang untuk Indonesia merdeka 100%.

Sekarang, apa tujuan perang yang dilancarkan oleh rakyat Papua? Pertama-tama, perang yang dilakukan oleh rakyat Papua bukanlah hendak ingin membunuh dan menguasai bangsa Indonesia. Tetapi sebaliknya, perang rakyat Papua adalah semata-mata terpaksa untuk menolak tindasan bangsa asing, yaitu bangsa Indonesia yang datang menduduki bangsa Papua secara paksa.

Apa bukti dari klaim ini? Adalah fakta bahwa perang yang dilakukan oleh rakyat Papua berlangsung di atas teritori bangsa West Papua dan dimotori oleh orang asli Papua sendiri. Ini sama seperti Indonesia melawan Belanda yang berlangsung di teritori Indonesia dan oleh rakyat Indonesia, dan bukan di Belanda.

Apa tujuan Belanda berperang di teritori bangsa lain? Apa tujuan Indonesia berperang di teritori bangsa lain? Kalau bukan hendak ingin menguasai dan merampok bangsa lain, maka apa tujuannya? Inilah salah satu bukti (seperti bukti-bukti lain di atas) yang tidak bisa dielak oleh siapapun. Perang Indonesia di Papua jelas-jelas adalah perang yang ingin menguasai dan menduduki bangsa Papua, sementara sebaliknya oleh rakyat Papua adalah perang untuk mengusir nafsu jahat ini.

Namun begitu, motif perang rakyat Papua juga bukan hanya hendak ingin mengusir pemerintahan borjuis-kapitalistik Indonesia yang biadap dan menukarnya dengan pemerintahan elit-borjuis Papua. Tetapi perang rakyat Papua adalah untuk mengusir bangsa penjajah sebagai sumber penderitaan dan mendirikan pemerintahan Papua Barat Merdeka yang berpihak sepenuh-penuhnya bagi kemaslahatan umum rakyat Papua Barat.

Anasir Perang

Dalam menghadapi perang, Tan Malaka menulis bahwa ada lima hal yang perlu diperhatikan, yaitu:

Pertama: Cacah jiwa. Cacah jiwa adalah jumlah manusia baik prajurit aktif yang terlibat langsung maupun total masyarakat dalam suatu wilayah yang bertindak sebagai bangsa agresor atau penindas-kolonialis. Dalam perang antara Belanda dan Indonesia, jumlah penduduk Indonesia adalah 70 juta dan penduduk Belanda adalah 7 juta jiwa (1948).

Maka ditinjau dari aspek ini, bangsa Indonesia jelas lebih unggul berkali-kali lipat dari pada rakyat Belanda. Oleh sebab itu, Indonesia menang dalam aspek ini dari pada pihak Belanda.

Sekarang bandingkanlah jumlah jiwa rakyat Papua dan kolonialisme Indonesia. Data terbaru menunjukkan jumlah rakyat Papua adalah 2 juta jiwa, sementara kolonialisme Indonesia adalah 279 juta (sudah dikurangi 2 juta rakyat Papua). Sementara jumlah total militer adalah 1,50 juta jiwa belum termasuk jumlah polisi. Maka total jumlah seluruhnya hampir mencapai 2 juta jiwa. Jumlah yang sama dengan total penduduk Papua.

Tapi apakah dengan ini kita harus mundur? Tidak. Adalah fakta bahwa tidak semua rakyat Indonesia mendukung kolonialisme di Papua, bahkan sebaliknya, banyak yang berada di pihak rakyat Papua. Kontrakdiksi-kontradiksi pokok yang dilahirkan oleh rezim kapitalistik hari ini di Indonesia jelas akan merobek jurang tersebut semakin lebar dan tentunya akan semakin banyak yang berada di pihak kita.

Tugas kita adalah tetap mempertahankan perlawanan tersebut sampai titik darah penghabisan. Ya, itulah tugas utama kita hari ini.

Kedua: Pertanian/bumi. Pertanian atau bumi yang dimaksud oleh Tan Malaka adalah luas wilayah dan persoalan medan geografis. Dahulu Belanda menghadapi Indonesia sangat kesusahan sebab iklim dan struktur geografis Indonesia yang berlainan dengan Belanda. Luasnya kepulauan Indonesia dan medan-medan yang susah tidak memungkinkan Belanda untuk menaklukkan Indonesia. Oleh karena itu, Indonesia menang dalam persoalan ini.

Hari ini, Indonesia vs Papua di atas tanah air Papua Barat. Luasnya Pulau Papua adalah empat kali Pulau Jawa dengan medan bergunung-gunung tinggi, rawa payau, tebing-tebing curam, dan sungai-sungai besar. Bagi rakyat Papua Barat dan terutama TPNPB-OPM ini bukanlah kesusahan, sebab berpuluh-puluh ribu tahun telah hidup dan terbiasa dengan keadaan demikian. Sementara bagi prajurit Indonesia, ini adalah keadaan yang berlainan sama sekali. Mereka terbiasa hidup di perkotaan, tanah datar, dan tidak dipenuhi semak belukar.

Oleh sebab itu, rakyat Papua Barat terutama TPNPB-OPM sebagai tentara rakyat, unggul dalam bidang ini. Biarpun Indonesia menggunakan kekuataan teknologi secanggih mungkin, tidak akan mengoyak-oyak pertahanan TPNPB sebab mereka lebih menguasai medan.

Pemerintah kolonial Indonesia juga mengeluarkan berjuta-juta miliar dan bahkan triliun untuk membiayai operasi militer, sebagai akibatnya utang-utang Indonesia meningkat di tingkat internasional, dana-dana sosial dalam negeri dipangkas, dan kesengsaran merebak dimana-mana. Pemberontakan besar akan melanda Indonesia, dan sebagai akibatnya Papua akan mendapat tempat penting, seperti halnya Timor Leste pada 1998.

Sekali lagi, ini adalah kenyatan yang tidak bisa dihindari. Tugas kita, tetaplah berjuang sampai titik darah penghabisan.

Ketiga: keuangan. Dalam hal keuangan, Indonesia jelas jauh berkali-kali lipat. Dengan hasil rampokan tanah-tanah rakyat dari Sabang sampai Merauke, buruh-buruh yang diperas hingga kering, rakyat yang dipajaki secara gila-gilaan, Indonesia jelas “mandi” uang. Tetapi ini mengalir ke kantong borjuasi dan mereka menolak untuk mengembalikan kepada dana-dana sosial, apalagi membiayai militer.

Oleh sebab itu, persoalan ini dikembalikan lagi kepada rakyat yang menanggungnya lewat pajak, dan lain sebagainya. Di sisi lain, Indonesia terus meningkatkan utangnya hingga hari ini mencapai 8.000 trilun.

Indonesia juga mengeluarkan ratusan miliar untuk meredam isu-isu Papua di tingkat internasional, terutama kawasan Pasifik. Sebagai akibatnya Indonesia mengeluarkan terlalu banyak uang dan terus-menerus mengalami kerugian. Memang ada ribuan triliun yang dikeruk dari Papua, tapi, sekali lagi, ini mengalir langsung ke saku borjuasi, sehingga rakyat lagi-lagi yang akan menanggung semua beban ini.

Sementara sebaliknya, rakyat Papua tidak mengalami kerugian apapun dalam perang melawan Indonesia, kecuali rantai yang menindasnya. Tanah air Papua kaya akan sagu, kasbi, ikan, sayur berlimpah-ruah. Sehingga perang hingga akhir hayat pun kita tidak akan mengalami kekuarangan sebab alam selalu sedia mendukung. Dalam hal ini, sekali lagi, kita lebih unggul.

Keempat: moral. Dalam perang Belanda melawan Indonesia, prajurit-prajurit Belanda harus meninggalkan anak-istri dan handai-tolan, jauh dari tanah airnya. Mereka berlayar jauh ke Indonesia untuk berperang, tapi bukan perang untuk kepentingan dirinya sendiri, melainkan untuk membela kapital-kapital milik para borjuasi Belanda dan antek-anteknya.

Para prajurit sering direkrut paksa atau karena tekanan ekonomi, mereka terpaksa ikut berperang. Perang mereka adalah terpaksa, dan bukan karena kemauan mereka sendiri. Sehingga watak aktif mereka mati, tidak berdaya, karena tidak didasarkan oleh kemauan dan kehendak mereka sendiri.

Sebaliknya, tentara dan rakyat Indonesia berada di negeri mereka sendiri, dekat bersama anak-istri dan handai-tolan; berperang karena mereka diserang, karena bangsa mereka ditindas dan demi kemerdekaan tanah airnya. Maka dorongan mereka adalah dari keinginan luhur sanubari yang paling dalam, dan didorong oleh kepercayaan akan tanah yang gilang-gemilang, yakni Indonesia merdeka. Oleh karena itu, watak aktif mereka hidup, berdaya kuat, dan berkali-kali lipat daripada serdadu Belanda. Tidak peduli bersenjatakan bambu runcing dan perut kosong, yang penting adalah Indonesia merdeka. Dan hasilnya mereka menang.

Sekarang keadaan demikian juga yang dialami oleh TPNPB-OPM dan rakyat Papua. Beribu-ribu militer Indonesia diterjunkan, tapi TPNPB-OPM dan rakyat Papua siap menghadapinya. TPNPB-OPM dan rakyat Papua berperang karena didasari naluri aktif mahluk hidup, yaitu bebas dari ancaman musuh, dan didasarkan oleh keinginan membentuk negara-banganya sendiri, Papua Barat Merdeka.

Sebaliknya prajurit TNI/Polri dan antek-anteknya berperang karena terpaksa, didorong oleh nafsu naik pangkat dan uang. Sehingga moral semacam ini tidak kuat dan mudah goyah dibandingkan moral prajurit pejuang seperti halnya TPNPB-OPM dan rakyat Papua. Moral kita dan tekad kita beribu-ribu kali lebih unggul, sehingga dalam hal ini, kita boleh membanggakan diri.

Seperti pepatah militer, “senjata bukan ukuran, yang penting adalah manusia”. Kita rakyat Papua Barat telah membuktikan itu, dan kita akan terus berperang sampai titik darah penghabisan, Papua Barat Merdeka!

Dan kelima: organisasi dan siasat. Yang terakhir dari “anasir perang” menurut Gerpolek adalah organisasi dan siasat. Organisasi dan siasat adalah penting dalam sebuah peperangan. Prajurit yang tidak bersatu dalam satu organisasi yang kuat dan mempunyai siasat yang jitu akan mudah diruntuhkan. Dalam hal ini, dimanapun, bangsa penjajah selalu unggul.

Mereka mempunyai organisasi ketentaraan yang kuat dan latihan-latihan militer yang baik. Sehingga mereka sering diunggulkan dalam sebuah peperangan. Tapi dalam sejarah sudah kita saksikan berkali-kali bahwa bangsa imperialis yang terkemuka sekalipun sudah ditaklukkan oleh bangsa terjajah yang diremehkan.

Lihatlah perang Vietnam melawan Amerika, Aljazair melawan Perancis, Indonesia melawan Belanda, dan sebagainya. Apa yang terjadi? Bangsa imperialis dipermalukan. Inilah, sekali lagi, “senjata bukan ukuran, yang terpenting adalah manusia!”

Tapi dengan ini kita bermaksud bukan meremehkan kekuatan senjata. Senjata tetaplah penting. Tetapi dihitung dari semua keunggulan-keunggulan lain, terutama moral, keadaan bumi, dan cacah jiwa, maka satu kekurangan yakni senjata bisa diatasi dengan keunggulan-keunggulan lain.

Indonesia mengusir Belanda dengan bambu runcing. Mengapa kita tidak bisa mengusir Indonesia dengan busur-panah dan megapon? Apa yang susah? Hai rakyat Papua Barat, marilah berjuang sampai titik darah penghabisan. Rebut hak kita yang dirampas oleh tirani. Berjuang atau mati? Lebih baik mati dengan kepala tegak daripada hidup dengan lutut bertekuk.

Perang Seluruh Rakyat

Jika kita kurang dalam hal senjata, uang dan siasat organisasi, maka “siasat apakah yang terbaik untuk memperoleh kemerdekaan itu?” demikian tanya Tan Malaka dalam Gerpolek. Dan jawabannya adalah ‘perang seluruh rakyat’.

Perang seluruh rakyat adalah kolaborasi antara senjata, ekonomi, dan politik. Para gerilyawan di hutan memainkan tugas mereka lewat senjata, maka sipil juga harus bergerak. Baik dalam hal mogok, demonstrasi, pawai, boikot, termasuk diplomasi-diplomasi internasional.

“Tak ada tempat dan tempoh buat membangun dan beristirahat bagi Belanda.”

Inilah juga yang harus dilakukan oleh rakyat Papua dalam perjuangan mengusir Indonesia. Para gerilyawan TPNPB-OPM telah memainkan fungsinya di hutan, maka sudah seharusnya sipil ikut bergerak. Demonstrasi, mogok sipil nasional, pawai, boikot, dan diplomasi-diplomasi internasional harus terus dan terus dilancarkan.

Jangan biarkan Indonesia untuk menarik nafas tenang di atas tanah air kita. Hantam terus-menerus. Pukul urat nadi mereka dengan mogok sipil nasional, dan pembangkangan sipil. Demonstrasi harus pecah di seluruh kota. Kaum muda, mahasiswa, mama, ade, kaka, bapa, semua harus bergerak.

Tanah air Papua milik kita, jangan biarkan pencuri bebas berkeliaran. Diam berarti ditindas, maka perlawanan adalah solusinya. Tahun 2019 kita sudah membuktikan dalam protes anti rasisme: Indonesia pusing tujuh keliling. Maka kenapa masih ragu? Bergerak lah sekarang, hari ini juga!

Hanya dengan ‘perang seluruh rakyat’ kita akan memecah konsentrasi musuh. Dengan itu, kemenangan mudah diraih. Apabila sipil dalam negeri dan diplomasi internasional diam, maka musuh akan mengumpulkan tenaganya untuk memukul kita terus-menerus. Kita harus bergerak bersama, dan oleh karena ini, kita membutuhkan persatuan.

Persatuan seluruh rakyat Papua Barat adalah solusi meraih kemerdekaan. Tanpa persatuan, kemerdekaan adalah sebuah ilusi.

Prajurit Negara Merdeka dan Prajurit Bangsa Berjuang

Ini adalah pelajaran khusus untuk prajurit pembela tanah air kita, TPNPB-OPM. Urusan militer dalam negara merdeka adalah harus dipisahkan dari urusan politik. Sementara sebaliknya, urusan militer dalam negara atau bangsa berjuang haruslah berkaitan erat dengan politik.

Militer dalam negara merdeka hanya berurusan dengan soal perang dan pertahanan negara. Urusan politik biarlah diserahkan kepada sipil dan ahli politik. Sebab apabila militer dilibatkan dalam politik, maka merosotlah demokrasi itu. Sipil menjadi tidak berdaya, karena militer dengan segala sumber dayanya mudah mengendalikan ekonomi dan politik, maka merosotlah supremasi sipil.

Sementara sebaliknya bagi negara berjuang, politik adalah jantung dan otak dari seorang prajurit. Seorang prajurit haruslah mengerti apa yang ia perjuangkan, bagaimana ia memperjuangkan itu, dan sebagainya. Pendeknya: ia harus berideologi.

Ideologi adalah motor penggeraknya, bukan sebaliknya senjata sebagai penggerak. Politik adalah panglima bagi prajurit bangsa berjuang! Dengan berideologi, ia mampu mempengaruhi paham pasukannya, serta rakyat di sekitarnya sambil berusaha mendapatkan semua kebutuhan hidup dan pertempuran bagi pasukannya.

Inilah yang dilakukan oleh Che Guevara di Cuba, Ho Chi Min di Vietnam, Zapatista di Meksiko, Ismail Toroama di Bogainville, dan lain sebagainya. Mereka bukan hanya pandai dalam strategi militer, tapi juga cakap dalam politik. Hanya dengan begitu, mereka bukan hanya mampu bertahan dalam susah dan marah bahaya, tapi dalam setiap aksi-aksinya menuai dukungan dari massa luas.

Inilah juga yang harus dilaksanakan oleh prajurit-prajurit kita, TPNPB-OPM. Perang yang dilancarkan telah diakui oleh seluruh rakyat, tetapi untuk mendapat dukungan luas, maka persoalan-persoalan ideologi harus diperkuat. Setiap prajurit bukan hanya bertanggung jawab terhadap senjatanya, tetapi juga hasil kerja senjata tersebut. Ini berarti prajurit tersebut harus cakap dalam politik atau ideologi.

Jenderal Goliath Tabuni, Melkisedek Awom, Lekagak Teleggen, Lamek Taplo, Aibon Kogoya, Arnold Kocu, Terrianus Sato, Sebby Sambom, dan semua yang sedang bertempur di hutan bukanlah sembarang prajurit. Tapi mereka adalah orang-orang berwibawa dan memiliki visi yang jelas, Papua Barat Merdeka. Tapi untuk mempertajam itu lebih lagi, maka dibutuhkan sebuah ideologi yang kuat. Dan oleh karena itu, dibutuhkan kerja-sama yang erat antara TPNPB-OPM dan organisasi sipil yang memiliki kemampuan teori yang kuat, yakni partai revolusioner.

Kesimpulan

Pelajaran-pelajaran dari Gerpolek karya Tan Malaka telah kita uraikan sebagian dalam teks ini. Tapi untuk mendapat pemahaman yang jauh lebih jernih, maka dipersilahkan untuk setiap orang membacanya secara langsung. Tentu pula, ada bermacam-macam kesesuaian yang perlu dikongkritkan dengan realitas objektif kita sendiri. Sehingga, sekali lagi, Gerpolek perlulah dibaca oleh kita semua yang sedang memperjuangkan kemerdekaan kita.

Akhir kata, mari berjuang terus sampai Papua Barat Merdeka.

***

Musell M. Safkaur
Penulis adalah aktivis Papua di Ayamaru, Maybrat, Papua Barat Daya.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Kirim Donasi

Terbaru

Pelajaran dari Buku Gerpolek Bagi Gerakan Kemerdekaan Papua

Gerilya, Politik, dan Ekonomi (Gerpolek) adalah karya atau lebih...

Uskup Bernardus Baru dan Pergeseran Kuasa di Papua

Di kanal YouTube Theovlogy, sebuah kanal diskusi teologi dari sekelompok teolog Protestan sebuah pertanyaan dilemparkan: “Masihkah perlu Paus?”. Sebuah...

Sang Pengingat Jalan ke Tanah Leluhur

Pagi itu, di awal Mei 2025, saya kembali teringat dengan lagu Mu Man Minggil. Irama dan lantunan syairnya sayup-sayup...

Soekarno Tidak Pernah Diasingkan ke Ayamaru

"Nsi nsot, nna nsyoh, man nrana. (Mata lihat, tangan pegang, lalu mulut bicara)" Miroro Bleskadith (1960an) Ada sebuah mitos, atau...

Wawancara Lao-Lao TV: TPRA dan Perjuangannya

https://www.youtube.com/watch?v=NhMy_8pcT2A&t=62s Wawancara Lao-Lao TV kali ini, kawan Mikael Kudiai, Pemimpin Redaksi Lao-Lao Papua mewawancarai kawan Novita Opki dari Tong Pu...

Rubrikasi

Konten TerkaitRELATED
Rekomendasi Bacaan