Pada Rabu, 4 April 2020, dari markas PBB, New York, Sekertaris Jenderal PBB, Antonio Guterress meminta seluruh negara anggota PBB di dunia untuk bersama-sama (fokus) melawan Covid-19. Dalam rangka menghormati dan menindaklanjuti instruksi tersebut, orang Papua walaupun belum merdeka sebagai negara yang berdaulat, ULMWP bersama TPNPB sebagai organisasi yang paling bertanggungjawab dalam status politik orang Papua. TPNPB bahkan berinisiatif melayangkan surat kepada pemerintah kolonial Indonesia untuk melakukan gencatan senjata dengan aparat keamanan dan militer kolonial Indonesia di Nduga, Timika (areal Freeport Indonesia), Intan Jaya dan Pegunungan Bintang.
TPNPB mendukung instruksi PBB untuk semua negara, termasuk kolonial Indonesia guna melakukan penanganan secara intens guna menjamin keselamatan warga negara Indonesia, termasuk kaum budak (sebutan saya): orang Papua. TPNPB sepakat agar semua negara yang merdeka maupun yang belum berdaulat, sama-sama memberantas Covid-19. Mereka sangat menghormati hak asasi kemanusiaan semua orang, keselamatan semua orang, khusus masyarakat sipil di kawasan operasi militer di Papua saat ini.
“Kami harap Indonesia mematuhi seruan Sekjen PBB, Antonio Guterrez untuk ‘gencatan senjata global di seluruh penjuru dunia’,” tulis Sebby Sambom, Juru Bicara TPNPB pada Minggu, (12/04).
Terlepas dari pro dan kontra, kelompok gerilyawan sipil bersenjata dan nasionalis ini, sebenarnya menawarkan sesuatu yang baik dengan cara yang damai, beretika, dan bermartabat kepada pemerintah kolonial Indonesia. Namum pemerintah kolonial Indonesia, melalui aparat keamanan dan militernya menolak gencatan senjata yang ditawarkan oleh TPNPB.
Respon Kolonial Indonesia
Pemerintah kolonial Indonesia sendiri belum mengeluarkan pernyataan resmi dalam hal merespon tawaran gencatan senjata dari TPNPB. Saat ini pemerintah kolonial masih sibuk dengan urusan penanganan Covud-19. Bahkan pemerintah kolonial Indonesia datangkan aparat keamanan dan militernya dari luar Papua guna melancarkan operasi militer atas nama penegakan hukum atau pengejaran kelompok gerilyawan pro kemerdekaan Papua itu di tengah-tengah ancaman Covid-19.
“Ini cara berpikir yang sangat keliru. Bagaimana mungkin Negara dalam hal ini TNI/Polri dituntut melaksanakan gencatan senjata dengan pemberontak yang telah melakukan serangkaian aksi kekerasan,” kata Kapendam XVII/Cenderawasih, Kol Inf Muhammad Aidi dalam pernyataan tertulis yang dikirimkan ke SINDONews, Kamis (11/10/2018).
Pernyataan ini lama. Dikutip dari pernyataan mantan pimpinan militer kolonial Indonesia pada tahun 2018 lalu yang dialamatkan kepada almarhum Pater Neles Tebay, mantan ketua Jaringan Damai Papua. Saat itu, mantan calon kuat Uskup Keuskupan Jayapura itu meminta aparat keamanan dan militer kolonial Indonesia serta TPNPB meletakan senjata. Dia menawarkan dialog antara kolonial Indonesia dengan TPNPB dan ULMWP sebagai solusi damai yang adil, damai yang bermartabat.
Namun kolonial Indonesia menolak tawaran gencatan senjata yang disampaikan oleh JDP. Sekarang kolonial Indonesia sama saja, belum memperlihatkan respon positif terkait tawaran gencatan senjata yang dilayangkan oleh TPNPB. Sejumlah pihak, baik dari tokoh agama, adat, LSM dan lainnya, meminta kolonial Indonesia untuk menarik pasukan TNI-Polri kembali menghentikan operasi militer, sebaliknya menerima tawaran gencatan senjata yang disampaikan oleh TPNPB. Lagi-lagi, kolonial Indonesia enggan mengindahkannya.
Kolonial Indonesia enggan merespon pada gencatan senjata yang ditawarkan oleh TPNPB yang dilayangkan melalui press release. Sebaliknya, kolonial Indonesia secara diam-diam terus mengejar TPNPB hingga mengakibatkan masyarakat sipil di kawasan yang diduga tempat persembunyian TPNPB mengungsi ke hutan-hutan, pegunungan, belantara, dan daerah lain.
Kolonial Indonesia aktif melancarkan operasi militer bersamaan dengan ancaman Covid-19. Disini, dia melahirkan ketakutan yang luar biasa bagi masyarakat sipil. Dia menambah sekaligus mengabungkan (menganeksasikan) ketakutan operasi militer dengan ketakutan Covid-19 bagi masyarakat sipil di kawasan operasi militer. Namun ketakutan terbesar bagi masyarakat sipil, korban operasi militer adalah ketakutan karena operasi militer yang lebih dulu dan lama menakutkan mereka di hutan belantara. Ketakutan dan trauma akibat ancaman Covid-19 ini hanya ketakutan kecil tapi berbahaya. Bagi mereka itu hanya menambah ketakutan di atas ketakutan akibat operasi militer (aneksasi militer).
Sikap kolonial Indonesia di tengah pandemi Covid-19 ini jelas menunjukkan sikap aneksasi. Artinya, dia memadukan (aneksasikan) ketakutan, kekhawatiran, kecemasan, keluhan, dan trauma bagi masyarakat sipil akibat ancaman Covid-19 serta bahaya operasi militer. Operasi militer secara diam-diam di tengah ancaman Covid-19 juga tercatat (menambah) daftar dalam mode atau motif perbudakan modern—pembantaian/pembunuhan dengan cara baru—secara sistematis di tanah koloni, West Papua. Operasi militer di tengah ancaman Covid-19 hari ini, semakin meningkatkan kepercayaan orang Papua. Bahwa kolonial Indonesia memang kolonial, menjajah orang Papua dengan sistem aneksasi.
Hingga saat ini, kolonial Indonesia tidak sedikitpun menunjukkan keseriusan guna menjamin keselamatan warga negara Indonesia—masyarakat sipil korban operasi militer kolonial Indonesia di kabupaten Nduga, Timika, Intan Jaya dan Pegunungan Bintang dari ancaman Covid-19 maupun dari bahaya operasi militernya. Justru pada masa kritis saat ini, masih saja kolonial Indonesia mengirim pasukan tanpa pernah sedikitpun untuk menarik pasukan kembali dengan mempertimbangkan ancaman global saat ini.
Pendoropan pasukan TNI/Polri dari luar Papua, kemudian mengirim ke daerah operasi militer di tengah ancaman Covid-19 ini sangat berbahaya. Bahayanya adalah kita semua, terutama masyarakat sipil di daerah operasi militer saat ini belum bisa pastikan. Bahwa apakah pasukan keamanan dan militer kolonial Indonesia itu berstatus sehat atau tidak (positif terjangkit Covid-19). Tentu ini sangat para, apalagi jika pemerintah kolonial Indonesia kirim pasukan tanpa melakukan pemeriksaan terhadap kesehatan mereka militer.
Kehadiran aparat keamanan dan militer kolonial Indonesia di Papua di tengah ancaman Covid-19 masih pro dan kontra. Kolonial Indonesia bilang, kehadiran aparat keamanan dan militernya guna menjaga stabilitas keamanan, ketertiban, ketenteraman dan kedamaian. Tetapi pada saat yang sama, masyarakat sipil takut, trauma dan kabur (selamatkan diri) ke hutan lebat. Bahkan masyarakat sipil, korban operasi militer kolonial Indonesia sendiri mengaku justru takut, khawatir, dan trauma dengan kehadiran aparat keamanan dan militer kolonial Indonesia.
Dari pihak TPNPB telah menyatakan sikap yang jelas dan tegas. Bahwa mereka tidak akan pernah melancarkan serangan di pemukiman warga sipil, rumah sakit dan fasilitas umum yang menguntungkan semua pihak selama situasi kritis global hari ini tak kunjung stabil. Ini juga merupakan komitmen mereka dalam menghargai dan menghormati instruksi PBB. Namun, apabila kolonial Indonesia enggan menindaklanjuti instruksi PBB dan permintaan pihaknya untuk melakukan gencatan senjata tidak digubris, sebaliknya tetap melancarkan operasi militer, maka pihaknya tidak akan pernah mundur selangkapun. Mereka berkomitmen, apabila ada serangan, maka mereka juga akan serang aparat keamanan dan militer kolonial Indonesia.
Militer kolonial Indonesia banyak melakukan pelanggaran dan mengorbankan warga sipil. Banyak orang, terutama masyarakat sipil—korban operasi militer kolonial Indonesia hari ini tinggal dalam ketakutan dan trauma. Banyak sekali masyarakat sipil, termasuk ibu-ibu hamil dan anak dibawah umur ikut lari—mengungsi ke hutan. Sebelumnya, mereka lari karena takut terhadap operasi militer kolonial Indonesia di pemukiman mereka. Namun ketakutan mereka ini semakin meningkat lagi dengan adanya ancaman global saat ini, Covid-19.
Mama Atina Gwijangge masih hidup. Dia adalah korban operasi militer kolonial Indonesia di kabupaten Nduga. Buah dada bagian kirinya menderita sakit akibat kanker payudara yang ia derita sejak 2016 lalu. Pada Desember 2018 lalu, dia lari ke hutan dengan membawah bayinya, yang bernama Endewendeth Lokbere yang berusia 2 bulan. Mereka kabur ke hutan karena di kampung halamannya aparat keamanan dan militer kolonial Indonesia masuk. Kemudian membakar rumah milik masyarakat, menembak gereja, dan menetap di pos layanan kesehatan dan pendidikan di distrik yang terletak sebelah distrik Mbua.
“Saya takut tentara, polisi. Saya punya susu ini ada sakit. Darah turun di badan, baju dan tanah. Tapi saya lari ke hutan gara-gara polisi dan tentara Indonesia masuk di kampung. Mereka bakar rumah. Tembak gereja. Tinggal di sekolah, puskesmas. Saya takut jadi lari ke hutan”, kata mama Arina di RSUD Jayapura, ketika di diwawancarai oleh penulis pada awal 2019 lalu.
Banyak ibu-ibu hamil dan anak-anak dibawah umur dilaporkan ikut melarikan diri dan mengungsi jauh dari kampung halaman akibat trauma dan ketakutan. Banyak anak-anak putus sekolah dan sakit di tempat pengungsian. Tak sedikit pula yang dilaporkan meninggal dunia. Mereka tinggal dalam keterbatasan makanan dan minuman, peralatan masak dan makan minum serta pakaian dan peralatan tidur di hutan belantara. Masih banyak yang tidur di bawah pohon-pohon, gua-gua batu dengan mengalasi daun-daun dan rumput.
Banyak anak dibawah umur putus sekolah tinggal jauh dari kampung halamannya. Tak sedikit pula yang hingga saat ini sakit, menderita, dan tidak mengikuti imunisasi yang adalah program prioritas dari Unisef/PBB yang diwajibkan agar semua negara anggota UN dilaksanakannya. Mereka tidak mendapatkan akses pendidikan dan kesehatan yang layak.
Kondisi Korban Rakyat Sipil
Covid-19 ini, tentu akan membahayakan dan menakutkan mereka di hutan belantara. Saat ini mereka membutuhkan pertolongan cepat. Mereka harus segera diselamatkan dari ancaman Covid-19 dan operasi militer kolonial Indonesia. Kolonial Indonesia bertanggung jawab atas nasib dan masa depan pengungsi operasi militer kolonial Indonesia. Kolonial Indonesia wajib penuhi hak-hak korban operasi militer, terutama ibu-ibu hamil dan anak-anak di bawah umur. Pemenuhan hak-hak mereka adalah konsekuensi utama sebagai negara yang sah dan masih aktif mengendalikan kehidupan korban operasi militer di tanah koloni.
Kolonial Indonesia, kalau mau mengejar TONPB silahkan. Tapi perlu ingat, catat dan laksanakan ini segera. Sebelum mencari, mengejar dan kontak senjata dengan TPNPB di tengah wabah Corona, terlebih dahulu harus memisahkan warga sipil. Kolonial Indonesia segera selamatkan masyarakat sipil. Warga sipil yang adalah juga warga negara Indonesia yang saat ini ada tengah ancaman pandemi Covid-19. Dan lebih baik berhenti kontak senjata menerima tawaran gencatan senjata dari TPNPB.
Tidak baik. Kolonial Indonesia melancarkan operasi militer di tengah ancaman Covid-19. Tidak terhormat, apabila operasi militer dilakukan tanpa mengutamakan keselamatan nyawa warga negaranya. Tidak pantas dan tidak layak di mata dunia, jika ngotot untuk melakukan operasi militer. Tidak etis, bila tidak mengikuti instruksi PBB untuk fokus tangani Covid-19 dengan asas kemanusiaan atau sebaliknya melanggar dan melawan instruksi PBB. Ini hanya memperburuk citra kolonial Indonesia di mata dunia internasional. Juga menambah luka dan duka kemanusiaan orang Papua. Bahkan justru dapat meningkatkan nasionalisme orang Papua di samping meningkatkan ketidakpercayaan orang Papua terhadap kolonial Indonesia. Lebih dari pada itu, di tengah pandemi C-19 ini, kolonial menunjukkan bahwa dia aktif dan masih menerapkan sistem aneksasi dalam operasi militer.
W. Willy, seorang lelaki korban operasi militer di kabupaten Lanny Jaya baru-baru ini, meminta agar pemerintah kolonial Indonesia mendengar dan menerima tawaran gencatan senjata yang disampaikan oleh TPNPB. Tawaran itu, baginya menang tidak mudah diterima oleh kolonial dengan mudah. Namun dengan kondisi dan ancaman global akibat Covid-19 hari ini, ia berharap, kolonial Indonesia bisa memikirkan dengar pikiran dingin (kemanusiaan).
“Hingga 2020 ini pemerintah juga kebal telinganya untuk mendengar tuntutan kami, korban operasi militer untuk tarik pasukan kembali. Seharusnya pemerintah dengar kami kalau dia rasa kasihan sama kami—rasa memiliki sama kami—peduli pada nasib dan masa depan kami di tangan mereka. Kalau pemerintah tidak mau juga dengar, maka menurut saya, PBB harus intervensi untuk menjamin hak-hak dasar kami sebagai manusia.” tulis Willy melalui pesan singkat dari Jayapura kepada penulis pada Minggu, (12/04).