Artikel ditulis oleh Doug Lorimer. Tulisan ini ditulis berdasarkan diskusi yang dipresentasikan dalam sebuah kursus kepemimpinan Resistance yang diorganisasikan oleh Eksekutif Nasional Democratic Socialist Party di Sydney, pada tanggal 24-25 April 1995.
Tujuan fundamental dari partai Marxis revolusioner adalah mengorganisasikan revolusi sosialis. Dalam rangka merealisasikan tujuan ini, partai harus memenangkan komitmen ideologi dan politik dari keseluruhan mayoritas kelas pekerja. Hal tersebut tidak dapat dituntaskan hanya dengan berpropaganda. Adalah sebuah hukum sejarah bahwa hanya melalui pengalaman berjuang secara kolektif, pengalaman aksi secara kolektif, maka massa rakyat dapat mulai membebaskan dirinya dari dominasi ideologi kelas penguasa, dan lebih mudah menyerap gagasan-gagasan revolusioner.
Dalam masa masa normal, ideologi kelas penguasa mendominasi kesadaran massa. Ini bukan sekadar karena sang penguasa memiliki kontrol atas sarana produksi ideologis (seperti rumah-rumah ibadah, sekolah, media massa, dll), tetapi juga karena kondisi-kondisi kehidupan kelas-kelas pekerja yang berjalan normal. Dalam kehidupan sehari-hari, massa rakyat dihisap dan disiksa melalui eksploitasi dan pengasingan terhadap kerja, sebagaimana juga melalui kurangnya waktu luang yang, sebenarnya, harus diperoleh.
Sekalipun mereka bersimpati dengan gagasan sosialisme, sebagaimana yang ditunjukkan oleh massa rakyat di berbagai negeri—simpati yang dicerminkan dalam dukungan elektoral untuk partai-partai yang menyatakan kesetiaannya pada sosialisme—itu tidak berarti bahwa pikiran mereka terisi oleh suatu kesadaran revolusioner. Dalam kondisi kehidupan yang normal, massa rakyat luas adalah korban pasif dari penghisapan dan penindasan. Situasi normal ini cenderung mengisi kesadaran mereka dengan gagasan bahwa revolusi adalah hal yang tidak mungkin dan tidak berguna, bahwa musuh mereka begitu kuat dan begitu susah untuk dikalahkan.
Aksi Massa dan Kesadaran Revolusioner
Namun dalam panasnya mobilisasi massa yang besar, dalam aksi-aksi bersama, perasaan rendah diri dan tak berdaya ini dapat serta-merta menghilang. Massa rakyat menjadi sadar akan potensi kekuatannya yang luar biasa begitu mereka bertindak bersama, secara kolektif dan dalam solidaritas. Itulah alasan, mengapa kaum Marxis revolusioner menyertakan makna yang begitu penting terhadap tindakan kolektif oleh kaum tertindas untuk membangun aksi-aksi massa. Melalui aksi massa lah, kaum tertindas mulai menghancurkan kebisuan dan perilaku terbudak, yang telah ditanamkan kepada mereka sejak lahir.
Lebih jauh lagi, tanpa mobilisasi yang berskala besar—seperti pemogokan, arak-arakan, demonstrasi jalanan, dll—massa tidak dapat secara ampuh melawan serangan yang dilancarkan oleh kaum kapitalis dan pemerintahannya terhadap standar kehidupan dan hak-hak demokratik mereka. Demoralisasi (patah semangat) dan kehilangan kepercayaan atas kekuatan mereka sendiri, akan berbuahkan penerimaan pasif terhadap serangan semacam itu. Hal tersebut akan sangat membahayakan proses pengembangan kesadaran revolusioner di antara massa dan unsur-unsur pelopornya. Mengorganisasikan kesatuan tindakan kelas pekerja, atau bagian tertentu darinya, yang dapat memenangkan perjuangan melawan serangan para penguasa kapitalis, merupakan kebutuhan obyektif yang harus dihadapi oleh partai, sebagai satu prasyarat pertumbuhannya di masa depan.
Partai Marxis revolusioner selalu diawali dengan hanya satu minoritas kelas pekerja dan, secara umum, minoritas di antara kaum tertindas. Dalam masa normal, hal tersebut dapat dihitung dari jajaran dan dari antara pengikutnya, yang kadang jumlahnya sekadar minoritas yang tidak signifikan, jika dibandingkan dengan populasi secara umum. Awalnya, mayoritas kelas pekerja dan sekutu-sekutu potensialnya—mahasiswa, kelas menengah perkotaan, kaum tani di negeri-negeri di mana populasinya signifikan—tidak setuju dengan program partai, dan tidak siap untuk mengikuti seruan aksinya. Mereka masih berada di bawah pengaruh kepemimpinan pro-kapitalis yang takut akan dampak radikalisasi mobilisasi massa dan, karenanya, mereka tidak punya keinginan untuk mengorganisasikan perjuangan massa.
Selanjutnya, bagaimana agar partai dapat menarik massa luas ke dalam aksi bersama, ke dalam perjuangan massa anti kapitalis?
Taktik Front Persatuan diajukan pertama kali oleh Komunis Internasional (Komintern) di bawah kepemimpinan Lenin dan Trotsky pada tahun 1921-1922, untuk menyelesaikan tantangan tugas mendesak yang dihadapi oleh partai-partai Komunis di Eropa. Kondisi saat itu, gerakan buruh didominasi oleh kepemimpinan reformis borjuis kecil–secara umum, kaum sosial demokrat–yang dipenuhi dengan satu pandangan kolaborasi kelas dan sepenuhnya anti revolusioner. Partai-partai Komunis, yang dalam banyak kasus dibentuk oleh kekuatan revolusioner yang telah memisahkan diri dari partai-partai sosial demokrat saat kebangkitan revolusi Rusia di tahun 1917, mewakili suatu minoritas kelas pekerja yang terpolitiskan. Sementara kaum borjuasi sedang melancarkan serangan terhadap standar kehidupan kelas pekerja. Saat yang sama, muncul sentimen yang meningkat dalam kelas pekerja, yakni sentimen untuk melakukan aksi bersama melawan serangan tersebut. Kepemimpinan Komintern mengusulkan agar partai-partai Komunis di Eropa harus mengupayakan kesepakatan dengan kaum reformis untuk melakukan tindakan bersama dalam rangka mempertahankan kebutuhan-kebutuhan mendesak kelas pekerja.
Pada saat itu, usulan tersebut dihakimi oleh aliran ultra-kiri dalam gerakan Komunis dunia, yang melihatnya sebagai sebuah langkah menyerah terhadap reformisme. Sebaliknya, Lenin dan Trotsky secara terang-terangan menggambarkan mereka sebagai perwakilan dari sayap kanan Komintern dalam perdebatan tersebut, untuk menunjukkan ketidaksabaran mereka dengan sektarianisme steril tersebut, yang menganggap penolakan terhadap kompromi dengan kekuatan-kekuatan non revolusioner sebagai persoalan yang prinsip.
Aliansi dan Kompromi
Setahun sebelum taktik front persatuan untuk pertama kalinya dirumuskan oleh Komintern, Lenin telah mendebat argumen-argumen dari kaum ultra kiri. Dalam pamfletnya tentang taktik kaum Komunis, yang ditulisnya pada tahun 1920, berjudul, “Left Wing” Communism – An Infantile Disorder (“sayap kiri”–suatu penyakit kekanak-kanakan), Lenin mengatakan:
Kapitalisme tidak akan pernah menjadi kapitalisme yang sesungguhnya, jikalau kaum proletariat tidak dikelilingi oleh sejumlah besar jenis kelompok menengah di antara kaum proletariat dan semi-proletariat (yang menggali sebagian nafkah hidupnya dengan menjual tenaga kerjanya), di antara kaum semi-proletariat dan petani kecil (dan seniman kecil, pekerja kerajinan, serta tuan-tuan kecil secara umum), di antara petani kecil dan petani menengah, dan sebagainya, dan jika proletariat sendiri tidak terbagi ke dalam strata yang lebih maju dan terbelakang, jika proletariat tidak dibagi menurut asal-usul teritorial, pekerjaan, kadang menurut agama, dan sebagainya. Dari semua ini muncul lah kebutuhan, kebutuhan absolut bagi Partai Komunis, pelopor kaum proletariat, bagian yang berkesadaran kelas, untuk melakukan perubahan arah/zig-zag, untuk bergabung dan berkompromi dengan berbagai kelompok proletariat, dengan berbagai partai pekerja, dan dengan tuan-tuan kecil. Semua itu adalah persoalan mengetahui bagaimana menerapkan taktik-taktik ini dalam rangka meningkatkan—bukan menurunkan—tingkat kesadaran kelas proletariat secara umum, semangat revolusioner, dan kemampuan untuk bertarung dan menang. Kebetulan, sepatutnya dicatat bahwa kemenangan kaum Bolshevik atas kaum Menshevik memang berkaitan dengan penerapan taktik mengubah arah/zig-zag, berdamai dan kompromi-kompromi, yang terjadi tidak hanya sebelum, tetapi juga sesudah Revolusi Oktober 1917. Akan tetapi, perubahan arah dan kompromi tentunya harus mendukung, memperkuat, dan mengkonsolidasikan kaum Bolshevik, dengan mengorbankan kaum Menshevik. Kaum borjuis kecil demokrat (termasuk juga kaum Menshevik) jelas-jelas mengacaukan pemahaman antara borjuasi dan proletariat, antara demokrasi borjuis dan sistem Dewan (Sovyet), antara reformisme dan revolusionerisme, antara cinta terhadap kaum pekerja dan ketakutan akan kediktatoran proletariat. Taktik yang tepat dari kaum Komunis harus memanfaatkan kebingungan-kebingungan tersebut, tidak mengabaikannya; memanfaatkannya demi konsesi kepada unsur-unsur yang berpihak kepada proletariat—kapan pun, dan dalam tindakan mereka yang berpihak pada proletariat—sebagai kekuatan tambahan dalam melawan mereka yang berpihak kepada kaum burjuasi. Salah satu hasil dari penerapan taktik yang tepat, Menshevisme mulai mengalami perpecahan, dan semakin mengalami perpecahan di negeri kita; para pimpinan oportunis yang keras kepala mulai terisolasi, dan kaum pekerja terbaik serta unsur-unsur terbaik di antara demokrat borjuis kecil menjadi terbawa ke kubu kita. Ini merupakan sebuah proses yang panjang, dan “keputusan” yang besar. “Tidak ada kompromi, tidak ada manuver”—yang hanya akan melemahkan kemampuan pengaruh proletariat revolusioner dan pembesaran kekuatan-kekuatannya.
Dalam bagian lain dari pamfletnya itu, Lenin menyatakan bahwa “seluruh sejarah Bolshevisme, baik sebelum maupun sesudah Revolusi Oktober, penuh dengan perubahan arah, taktik berdamai dan kompromi dengan kelompok-kelompok lain, termasuk dengan partai-partai borjuis!”.
Dalam melancarkan suatu perang untuk mengalahkan borjuasi internasional, sebuah perang yang seratus kali lebih sulit, lebih berkepanjangan dan kompleks dibandingkan dengan perang yang paling keras di antara negara-negara dan, lebih lanjut lagi, dengan meninggalkan setiap zig-zag, meninggalkan setiap pemanfaat dari satu konflik kepentingan (bahkan jika konflik itu bersifat sementara) di antara suatu musuh, atau meninggalkan setiap perdamaian maupun kompromi dengan calon-calon sekutu (bahkan jika itu adalah sekutu temporer, tidak stabil, meragukan, maupun sekutu kondisional)—bukankah itu sesuatu yang sangat tidak masuk akal?
Musuh yang paling kuat hanya bisa dihantam dengan melaksanakan usaha yang paling maksimal, dan melalui penggunaan segala sesuatu seutuh-utuhnya. Kehati-hatian, penuh perhatian, wajib memanfaatkan secara cakap setiap kesenjangan, bahkan yang paling kecil, di antara musuh, setiap konflik kepentingan antara borjuasi di berbagai negeri, dan berbagai kelompok maupun tipe borjuasi dari berbagai negeri, dan juga mengambil keuntungan dari setiap kesempatan yang paling kecil sekalipun untuk memenangkan massa sekutu, walaupun sekutu itu sementara, meragukan, tidak stabil, tidak handal, dan kondisional. Mereka yang tidak memahami hal ini, menunjukkan kegagalan dalam memahami unsur terkecil dari Marxisme, sosialisme ilmiah moderen secara umum.
Contoh Kompromi
Satu contoh tentang bentuk kompromi yang dipikirkan oleh Lenin, adalah yang dibuatnya dalam pamflet tersebut, sehubungan dengan sarannya kepada kaum Komunis Inggris agar mengusulkan satu kesepakatan dengan para pimpinan Partai Buruh dalam satu aliansi pemilu menghadapi aliansi pemilu antara Partai-Partai Liberal dan Konservatif.
Partai Komunis [tulis Lenin], harus mengajukan “kompromi” kesepakatan pemilu kepada para pengikut Henderson dan Snowden: mari kita berjuang bersama, melawan aliansi antara Lloyd George dan kaum Konservatif; marilah kita berbagi kursi parlemen sesuai jumlah suara kaum buruh, baik untuk Partai Buruh maupun untuk Partai Komunis (tidak dalam pemilu, tetapi dalam sebuah kotak suara khusus), dan marilah kita menjaga sepenuhnya kebebasan beragitasi, berpropaganda, dan beraktivitas politik. Tentunya, tanpa kondisi yang terakhir ini, kita tidak dapat bersepakat untuk membangun satu blok, karena itu akan berarti pengkhianatan; Kaum Komunis Inggris harus menuntut dan mendapatkan kebebasan untuk mengekspos kaum Henderson dan Snowden, sama seperti (selama lima belas tahun, 1903-1917) kaum Bolshevik Russia menuntut dan mendapatkannya dari kaum Henderson dan Snowden Russia, yakni kaum Menshevik.
Jika para pengikut Henderson dan Snowden menerima blok dalam pengertian itu, maka kita yang akan mendapatkan keuntungan. Karena jumlah kursi di parlemen tidaklah penting bagi kita; artinya kita tidak berjuang untuk kursi. Kita harus mengambil keuntungan pada poin itu. Kita harus menjadi pengambil keuntungan, karena kita akan menjalankan agitasi kita di antara massa, saat Lloyd George sendiri naik darah terhadap Henderson dan Snowden. Dan kita tidak hanya akan membantu Partai Buruh untuk segera membentuk pemerintahannya, tetapi kita juga akan membantu massa agar segera memahami propaganda komunis yang akan kita jalankan untuk melawan Henderson, secara tepat dan terang-terangan…
Jika Henderson dan Snowden menolak membangun blok bersama kita dalam pengertian itu, kita tetap akan mendapatkan keuntungan yang lebih banyak. Karena di satu sisi kita harus menunjukkan kepada massa … bahwa Henderson lebih suka membangun hubungan dekatnya dengan kaum kapitalis dibanding menyatukan kelas pekerja.
Karena Lenin tidak menggunakan istilah “front persatuan” dalam pamflet tersebut, sesungguhnya hal itu terungkap dalam istilah “blok”, “aliansi”, “kesepakatan”, dan sebagainya, yang dapat dipertukarkan satu dengan yang lain, serta mengandung penjelasan yang kaya mengenai gagasan front persatuan, sebagaimana yang diterapkan dalam seluruh sejarah gerakan Marxis di Russia.
Marx dan Engels tentang Front Persatuan
Sesungguhnya, gagasan tentang front persatuan, tentang sebuah aliansi sementara di antara kekuatan Marxis dan non Marxis demi tindakan bersama, untuk mencapai tujuan mendesak yang disepakati bersama, telah menjadi bagian dari persenjataan taktis dari gerakan Marxis semenjak pembentukkannya di pertengahan abad ke-19. Sebagai contoh, gagasan tersebut terkandung dalam tulisan Marx dan Engels di bulan Maret 1850, yang berjudul Surat Kepada Komite Sentral Liga Komunis. Dalam terbitan tersebut, mereka menggariskan taktik-taktik yang harus diterapkan oleh kaum Komunis di Jerman terhadap demokrat borjuis kecil dalam kebangkitan revolusi demokratik 1848-49, yang mengalami kegagalan.
Marx dan Engels mencatat bahwa gerakan massa telah sepenuhnya berada di bawah dominasi dan kepemimpinan demokrat borjuis kecil”, dan bahwa kemudian kaum demokrat borjusi kecil “mengulurkan tangannya, mengajak berjuang untuk pembentukkan sebuah partai oposisi yang besar, yang akan merangkul semua bentuk pendapat” dalam gerakan demokratik, “artinya, bahwa mereka berusaha menjebak kaum pekerja dalam sebuah organisasi partai yang didominasi oleh pernyataan-pernyataan sosial demokrat, dan berupaya menyembunyikan kepentingan khusus mereka, di mana tuntutan mendesak kaum proletariat sudah pasti tidak boleh diajukan, demi perdamaian [sosial] yang didambakan.
Marx dan Engels menulis, perserikatan semacam itu, dengan sendirinya akan memberikan keuntungan dan sekaligus kerugian bagi kaum proletariat. Kaum proletariat akan kehilangan independensinya yang penuh, yang dengan susah payah dicapai, dan sekali lagi direduksi menjadi sekedar embel-embel demokrasi borjuis yang formal. Oleh karenanya, hal itu harus benar-benar ditolak. Selain, sekali lagi, dalam rangka kita berhenti memberikan aplaus bagi kaum borjuis demokrat, kaum pekerja, dan terutama Liga, harus mengupayakan sendiri pembentukan sebuah perkumpulan rahasia yang independen, dan organisasi terbuka partai pekerja yang berdiri sejajar dengan kaum demokrat formal… Dalam sebuah kasus perjuangan melawan suatu musuh bersama, tidak dibutuhkan perserikatan yang khusus. Begitu suatu musuh bersama harus langsung dilawan, maka kepentingan dari kedua partai saat itu berdiri sejajar. Dan sebagaimana sebelumnya maka begitu juga di masa depan. Aliansi ini diperkirakan hanya berlaku untuk satu momen, yang akan terjadi dengan sendirinya.
Di sini kita melihat rumusan dari gagasan fundamental tentang front persatuan, yaitu, kesatuan aksi untuk melawan musuh bersama, yang dikombinasikan dengan oposisi terhadap program yang pro kapitalis, dari salah satu sekutu sementara. Sesungguhnya, pada bagian lain tulisan tersebut, menyajikan hal tersebut sebagai pendekatan dasar bagi kaum pekerja dalam bersikap terhadap kaum demokrat borjuis kecil: hubungan antara partai buruh revolusioner adalah seperti ini: partai buruh revolusioner berbaris bersama mereka untuk melawan faksi dengan tujuan menggulingkannya, namun partai demokrat borjuis kecil melawan mereka dalam segala hal dengan tujuan mengupayakan konsolidasi posisinya demi kepentingan mereka sendiri, tulis Marx dan Engles.
Memenangkan Massa
Pernyataan yang paling ramping dan padat mengenai taktik front persatuan adalah sebuah laporan yang diadopsi oleh Komite Eksekutif Komunis Internasional (ECCI/KEKI) di bulan Maret, 1922. Laporan tersebut ditulis oleh Trotsky, sehubungan dengan situasi yang dihadapi oleh Partai Komunis Prancis. Bagian pertama dari laporan itu memberikan penjelasan umum tentang taktik front persatuan, dengan mengembangkan poin-poin yang ditulis dalam “Tesis tentang Front Persatuan” yang diadopsi oleh ECCI pada Desember 1921. Tesis tersebut juga ditulis oleh Trotsky, yang kemudian disyahkan oleh Konggres Komunis Internasional yang Ke-4 pada bulan November, 1922.
Karena sebagian besar kawan-kawan tidak pernah membaca dokumen dokumen Komintern tersebut, aku pikir akan sangat membantu jika diberikan beberapa kutipan dari laporan Trotsky pada bulan Maret, 1922, mengenai taktik front persatuan:
Tugas dari partai Komunis adalah memimpin revolusi proletariat. Dalam rangka menyatukan kaum proletariat untuk merebut kekuasaan secara langsung, dan mencapai revolusi proletariat, maka Partai Komunis harus membasiskan diri pada mayoritas luas kelas pekerja. Sepanjang partai tidak menggenggam mayoritas itu, maka partai harus berusaha memenangkannya.
Partai dapat melakukan itu hanya jika partai adalah sebuah organisasi yang sepenuhnya independen, dengan program yang jelas, dan dengan disiplin internal yang keras. Itulah sebabnya, maka partai harus berpisah secara ideologis dan organisatoris dari kaum reformis dan kaum sentris, yang tidak berjuang bagi revolusi proletariat, yang tidak memiliki kapasitas maupun harapan untuk mempersiapkan massa bagi revolusi, dan siapapun, yang merasa frustasi dengan kerja ini.
Setelah memastikan dirinya sepenuhnya independen, dan terdapat kesatuan ideologis di seluruh jajarannya, Partai Komunis harus berjuang untuk mempengaruhi mayoritas kelas pekerja.
Namun sudah tampak dengan sendirinya, bahwa kehidupan kelas proletariat tidaklah aktif, selama periode persiapan untuk menuju revolusi ini. Benturan dengan kaum industrialis, kaum borjuasi, dan dengan kekuasaan negara, akibat dari tindakan sendiri dari salah satu atau kedua belah pihak, yang berjalan bersamaan.
Dalam benturan-benturan ini, sejauh melibatkan kepentingan hidup kelas pekerja, atau kepentingan mayoritas kelas pekerja, atau salah satu bagiannya, maka massa kelas pekerja merasakan kebutuhan akan kesatuan tindakan—kesatuan dalam melawan serangan kapitalisme, atau kesatuan dalam melakukan serangan terhadap kapitalisme. Setiap partai yang secara mekanis menempatkan dirinya berlawanan dari kebutuhan kesatuan tindakan kelas pekerja, pasti akan disalahkan oleh kaum pekerja.
Konsekuensinya, baik dalam hal asal-usul maupun esensi, persoalan front persatuan sesungguhnya bukan persoalan hubungan yang saling bergantung antara fraksi kaum Komunis di parlemen dan fraksi lain [sosial demokrat], atau di antara komite sentral dari dua partai… Problem front persatuan—di luar fakta bahwa, dalam perjalanan waktu, sebuah perpecahan merupakan hal yang tak terhindarkan di antara organisasi-organisasi politik yang mendasarkan dirinya pada kelas pekerja—adalah bagaimana menumbuhkan kebutuhan mendesak, untuk melindungi peluang membangun front persatuan kelas pekerja, dalam perjuangan melawan kapitalisme.
Mereka yang tidak memahami tugas ini, hanya memaknai partai sebagai sebuah perkumpulan propaganda, dan bukan sebuah organisasi untuk aksi massa…
… Sudah sangat jelas… bahwa kaum pekerja yang masih mendukung kaum reformis dan kaum sentris, sangat berkepentingan dalam mempertahankan standar kehidupan, dan kesempatan untuk kebebasan berjuang yang sebesar-besarnya. Kita harus konsekuen dalam merencanakan taktik untuk mencegah Partai Komunis mengalami—dan lebih jauh lagi berubah menjadi—sebuah halangan organisasional dalam jalannya menuju perjuangan proletariat saat ini.
Lebih jauh lagi, partai harus mengambil inisiatif untuk mengamankan persatuan dalam perjuangan ini. Hanya dengan cara ini partai akan menarik lebih dekat kaum pekerja yang bukan menjadi pengikutnya, atau yang belum mempercayainya karena mereka tidak mengenalnya. Hanya dengan cara ini partai dapat memenangkan kepercayaan mereka.
Jika partai Komunis tidak mengupayakan peluang organisasional pada setiap akhir momentum bersama, memungkinkan koordinasi aksi-aksi bersama antara massa pekerja kaum Komunis dan non Komunis (termasuk kaum Sosial Demokrat), maka akan menyingkap ketidakmampuannya untuk memenangkan mayoritas kelas pekerja—atas dasar aksi massa. Ini akan menurukan kualitas partai menjadi perkumpulan untuk propaganda Komunis, dan tidak akan pernah berkembang menjadi sebuah partai untuk mengambil-alih kekuasaan.
Front Persatuan dan Para Pemimpin Reformis
Apakah front persatuan diluaskan hanya untuk massa pekerja, ataukah juga melibatkan para pemimpin oportunis?, tanya Trotsky.
Menekankan pertanyaan ini secara berlebihan adalah hasil dari kesalahpahaman, jelas Trotsky. Jika kita dapat dengan mudah menyatukan massa pekerja di sekitar bendera kita, atau pun di seputar slogan-slogan praktis kita, dan menyingkirkan organisasi-organisasi reformis, baik partai atau serikat buruh, tentunya akan menjadi yang terbaik di dunia. Akan tetapi, persoalan mendasar front persatuan tidak akan muncul dalam bentuk seperti ini.
Poin tersebut lebih jelas terlihat, tapi justru diabaikan oleh pimpinan Stalinis di Komintern pada awal tahun 1930-an. Pimpinan Stalinis menyerukan pembentukan “front persatuan dari bawah” dengan kaum pekerja Sosial Demokratik, untuk melawan ancaman fasisme Jerman. Konsep “Front persatuan” tersebut secara terang-terangan menyingkirkan para pemimpin organisasi-organisasi di mana para pekerja berada di dalamnya. Akibatnya, kebijakan Stalinis “front persatuan dari bawah”, bermakna tuntutan kepada kaum pekerja sosial demokrat untuk menerima kepemimpinan Partai Komunis, sebagai pra kondisi untuk perjuangan bersama melawan fasisme. Jajaran pengurus dan pendukung Partai Sosial Demokrat, yang mayoritas terdiri dari kaum buruh yang terorganisasikan, menolak ultimatum birokratik Stalinis tersebut. Dengan demikian, para pemimpin Sosial Demokrat menutup kesediaan mereka untuk terlibat dalam perjuangan melawan fasisme. Hal itu juga memberikan pembenaran bagi kaum Stalinis untuk membatasi “perjuangan” mereka untuk melawan fasisme, yang hanya omong kosong belaka. Sebagai akibatnya, derap Nazi menuju kekuasaan di Jerman berjalan lancar, tanpa ada satu perlawanan pun dari gerakan buruh terorganisir.
Taktik front persatuan muncul dari fakta, seperti yang ditegaskan Trotsky dalam laporannya pada tahun 1922, …bahwa bagian yang paling teguh dan terpenting dari kelas pekerja sedang menjadi bagian atau pendukung organisasi-organisasi reformis. Pengalaman mereka saat ini masih belum cukup menyediakan syarat, sehingga mereka meninggalkan organisasi reformis tersebut, lalu bergabung dengan kita. Hal itu mungkin terjadi, hanya setelah terlibat dalam aktivitas-aktivitas massa yang menjadi kewajiban saat ini, dan saat itu lah sebuah perubahan besar terjadi. Dan hal itulah yang kita perjuangkan. Tetapi, bukan persoalan itu lah yang sedang berada di depan sekarang”. Trotsky kemudian menjelaskan:
Saat ini bagian yang terorganisasikan dari kelas pekerja terpecah ke dalam tiga formasi.
Yang pertama, adalah kaum Komunis, yang berjuang menuju revolusi sosial, dan tepatnya karena dukungan itu berjalan bersama pergerakan (seterbatas apapun) kaum pekerja yang melawan para penindasnnya dan melawan negara borjuis.
Pengelompokkan yang lain, kaum reformis, berjuang menuju konsiliasi (penyesuaian) dengan borjuasi. Namun karena tak ingin kehilangan pengaruhnya atas kaum pekerja, mereka terpaksa melawan harapan yang terpendam dalam diri para pimpinannya, demi mendukung gerakan parsial kaum tertindas melawan penindasnya.
Akhirnya, kelompok yang ketiga, kaum sentris, yang selalu saja mengacaukan antara kedua kelompok di atas, dan yang tak memiliki signifikansi independensi.
Dengan demikian tercipta situasi yang memungkinkan semuanya untuk terlibat aksi bersama, di atas sebuah rangkaian persoalan vital di antara kaum pekerja yang disatukan di dalam tiga organisasi tersebut di atas dan di kalangan massa yang tak terorganisasikan oleh ketiga organisasi tersebut.
Kaum Komunis, seperti yang sudah dikatakan, tidak hanya harus melawan tindakan tindakan tersebut. Akan tetapi sebaliknya, harus mengambil inisiatif bagi mereka, terutama karena semakin besar massa yang ditarik ke dalam gerakan, semakin tinggi kepercayaan diri yang muncul. Semua yang lebih percaya diri adalah sasaran yang dituju oleh gerakan massa, dan semua keberhasilan yang menentukan akan membuatnya lebih mampu berbaris di depan, selemah apapun slogan awal perjuangan tersebut. Itu berarti aspek bertambahnya massa dalam gerakan diperoleh setelah merevolusionerkannya, sekaligus menciptakan kondisi yang lebih memadai untuk mengenalkan slogan-slogan kita, metode perjuangan kita dan, secara umum, harus dikarenakan peran memimpin Partai Komunis.
Kaum reformis takut akan potensi semangat revolusioner gerakan massa; lapangan yang mereka sukai adalah: tribun parlemen, kantor-kantor serikat buruh, dan kantor-kantor Kementrian.
Sebaliknya, lepas dari segala pertimbangan, kita berkepentingan untuk mendepak kaum reformis dari surganya, lalu menempatkan mereka bersama dengan kita, sebelum dibawa ke hadapan massa yang berlawan…
Kesatuan front berkonsekuensi pada perkiraan kesiapan kita, pada batas-batas tertentu dalam persoalan yang spesifik, dan bagaimana, di tingkat praktis, menghubungkan tindakan tindakan kita dengan organisasi-organisasi reformis, agar dapat meraih perluasan di dalam organisasi organisasi reformis yang, pada saat ini, tetap merupakan bagian terpenting dari proletariat yang sedang berjuang…
Kebijakan yang ditujukan untuk mengamankan front persatuan tentunya tidak dengan sendirinya menjamin bahwa kesatuan tindakan di lapangan akan dicapai dalam semua bentuknya. Sebaliknya, dalam banyak kasus, dan mungkin bahkan dalam mayoritas kasus, kesepakatan organisasional hanya akan dicapai setengahnya atau mungkin tidak sama sekali. Tetapi, massa yang berjuang harus selalu diberikan kemungkinan untuk meyakinkan dirinya sendiri bahwa kesatuan aksi yang tak bertujuan tidak lah sesuai dengan kehendak kesatuan formal kita, akan tetapi karena kurangnya kehendak nyata untuk berjuang di kalangan kaum reformis.
Dalam memasuki kesepakatan-kesepakatan dengan organisasi-organisasi lain, secara alamiah kita menetapkan satu disiplin tertentu dalam bertindak. Akan tetapi, disiplin tersebut tidak dapat mutlak sebagai karakternya. Dalam kejadian di mana kaum reformis mulai memecah perjuangan, sehingga mengarahkannya pada kehancuran nyata gerakan, dan bertindak melawan situasi serta semangat massa, kita. sebagai sebuah organisasi independen, selalu menyediakan hak untuk memimpin perjuangan sampai pada tujuannya, dan hal tersebut tanpa sekutu setengah hati (dan sementara) kita itu.
Hal tersebut bisa menumbuhkan kebangkitan baru yang lebih tajam dalam perjuangan di antara kita dengan kaum reformis. Tetapi hal tersebut tidak akan lebih lama membuat kita berputar-putar, mengulang-ulang, taktik yang sederhana karena terkunci oleh satu maupun serangkaian gagasan yang berjalan di tempat, tetapi akan menandakan–memberikan kebenaran taktik kita–dalam memperluas pengaruh kita di kalangan kelompok proletariat yang baru dan segar…
Trotsky menyimpulkan bagian pertama laporannya dengan mengulang keharusan absolut kaum Komunis untuk memelihara independensi politiknya dalam setiap front persatuan:
Kita berpisah dengan kaum reformis dan kaum sentris dalam rangka mendapatkan kebebasan penuh dalam mengritik ketidaksetiaan, pengkhianatan, ketidakpastian, dan semangat tanggung-tanggung dalam gerakan buruh. Untuk alasan tersebut, setiap bentuk kesepakatan organisasional, yang membatasi kebebasan mengkritik dan agitasi, sepenuhnya tidak dapat kita terima. Kita berpartisipasi dalam front persatuan tetapi, bukan karena satu momentum tunggal, lalu kita menjadi larut di dalamnya. Kita berfungsi di dalam front persatuan sebagai sebuah detasemen independen. Tepatnya karena, dalam perjuangan di mana massa luas harus belajar dari pengalaman, kita harus berjuang lebih baik daripada yang lainnya, dan kita harus lebih berani dan menentukan. Dalam hal itu, kita akan membawa masa front persatuan revolusioner lebih dekat kepada kepemimpinan kaum Komunis yang solid.
Dari kutipan kutipan laporan Trotsky, tentunya menjadi jelas bahwa front persatuan bukan lah tujuan itu sendiri, tetapi sebuah alat untuk memobilisasi massa, untuk memenangkan pengaruh atas massa, menyaring mereka lepas dari dominasi politik dan organisasional kepemimpinan yang salah dari kaum reformis. Front persatuan adalah taktik pembangunan partai.
Tidak ada Cetak-biru (Blueprint) Taktik
Bagi kaum Marxis, tidak ada blueprint taktik yang baik untuk sepanjang waktu dan arena perjuangan. Taktik haruslah selalu kongkret, yaitu yang dirancang untuk sesuai dengan situasi-situasi khusus dan dalam kerangka hubungan hubungan antar kekuatan politik.
Tetapi, seperti semua taktik yang digunakan oleh kaum Marxis revolusioner, taktik front persatuan harus tidak boleh dilepaskan dari atau berjalan melawan strategi dasar kita—rencana jangka panjang kita—untuk mengorganisasikan sebuah revolusi sosialis, yakni membangun sebuah partai pelopor Marxis yang revolusioner dengan basis massa dan pengaruh massa di kalangan kelas pekerja. Karenanya, pra-kondisi fundamental bagi setiap front persatuan adalah bahwa kaum Marxis revolusioner harus mempertahankan independensinya sendiri dan kebebasannya untuk mengajukan pandangan-pandangannya, termasuk kritisismenya terhadap sekutu sementara. Esensi dari taktik front persatuan, karenanya, diringkas dalam dua frasa: “Berbaris sendiri-sendiri, berdemonstrasi bersama!”; dan “Kebebasan mengkritik, kesatuan tindakan!”.
aktik front persatuan dirancang oleh Komintern pada tahun 1921-22 dalam rangka berhadapan dengan situasi khusus dalam gerakan buruh Eropa, yaitu dengan mengajukan tindakan bersama dengan kelas pekerja untuk melawan serangan ekonomi kaum borjuis–dalam satu konteks di mana partai-partai Komunis hanya memimpin minoritas (yang signifikan) dari para pekerja, tetapi mayoritas kaum pekerja tetap menerima kepemimpinan partai-partai dan organisasi-organisasi yang didominasi oleh kepemimpinan pro-kapitalis.
Bentuk taktik front persatuan yang terbentuk pada saat itu, karenanya, memfokuskan pada usaha mencapai kesepakatan-kesepakatan formal dari organisasi-organisasi tertentu yang memiliki pengaruh di kalangan kelas pekerja. Akan tetapi, sementara istilah “front persatuan” pertama memasuki terminologi gerakan Marxis, untuk menggambarkan bentuk khusus dari front persatuan tersebut, seharusnya hal tersebut tidak dipahami sebagai hal yang hanya mampu diterapkan di dalam bentuk seperti itu. Dalam mengorganisasikan gerakan massa untuk melawan Perang Vietnam di akhir tahun 1960-an dan awal tahun 1970an, sebagai contohnya, kaum Marxis revolusioner berpartisipasi dalam front persatuan—namanya Kampanye Moratorium Vietnam—yang merupakan pembentukan koalisi dari organisasi-organisasi, kelompok dan individu yang berbeda beda, yang hanya bertindak dalam kesepakatan untuk membangun dan mengatur tindakan tindakan khusus, yang secara prinsip merupakan rangkaian aksi massa turun jalan. Setelah setiap aksi utama, kecenderungan menyimpang yang melekat dalam formasi yang heterogen menyebabkan adanyan ancaman perpecahan. Satu satunya yang tetap mempertahankan front persatuan tersebut adalah satu isu: yaitu perlawanan terhadap perang.
Kekuatan-kekuatan yang terlibat dalam koalisi front persatuan tersebut tidak saja menjaga pandangan-pandangannya yang berbeda secara luas untuk setiap isu sosial yang lain, mereka, bahkan, tidak setuju tentang bagaimana tujuan utama mereka—mengakhiri perang—akan dapat dicapai.
Kita harus terus menerus melancarkan perjuangan di dalam koalisi untuk melawan baik kaum reformis maupun kaum sektarian ultra-kiri, terutama dalah hal apa yang seharusnya menjadi tuntutan sentral gerakan dan metode aksi seperti apa yang harus digunakan. Kaum reformis terus berusaha mensubordinasi gerakan pada kepentingan elektoral seperti yang dilakukan oleh Partai Buruh Australia (ALP), sementara kaum ultra-kiri berusaha mengalihkannya ke dalam konfrontasi sia-sisa dengan polisi. Kaum reformis berusaha memfokuskan tuntutan-tuntutan gerakan anti-perang untuk mendukung negosiasi diplomatik antara kaum agresor imperialis dan gerakan pembebasan Vietnam, atau sekadar tuntutan abstrak yang sederhana untuk perdamaian. Kaum ultra-kiri berusaha agar gerakan mengadopsi slogan revolusioner yang abstrak seperti “Hancurkan imperialisme Amerika Serikat!” dan “Kemenangan bagi Front Pembebasan Vietnam!” sebagai tuntutan sentral untuk melakukan mobilisasi. Dalam kasus yang sama, mereka tidak juga berpikir untuk memobilisasi sentimen massa (untuk melawan perang) ke dalam satu kekuatan penuh yang akan dapat secara aktual membantu orang orang Vietnam dalam perjuangan untuk memaksa angkatan bersenjata kaum imperialis keluar dari negerinya.
Sebaliknya, orientasi kelompok Resistance dan partai Democratic Socialist Party adalah terus berjuang di dalam front persatuan untuk memobilisasi demonstrasi massa agar terdapat perlawanan publik terhadap perang, yang secara prinsip adalah aksi aksi massa dan arak-arakan, serta mengupayakan tuntutan sentral yang dapat memobilisasi demonstrasi tersebut, yakni penarikan segera dan tanpa syarat seluruh tentara Amerika Serikat dan Australia dari Vietnam. Kebenaran dari pendekatan tersebut ditunjukkan melalui fakta bahwa Front Moratium Vietanam mencapai keberhasilan yang terbesar sehubungan dengan mobilisasinya ketika orientasi tersebut—aksi massa di seputar tuntutan penarikan mundur segera tentara Amerika Serikat dan Australia dari Vietnam—diterima oleh mayoritas jajaran aktivis dalam koalisi front persatuan yang terjadi pada tahun 1970 dan 1971.
Bentuk yang diambil oleh front persatuan di dalam perlawanan terhadap perang Vietnam dan koalisi front persatuan lainnya, di mana kami terlibat di dalamnya selama lebih dari dua dekade terakhir, jelas berbeda dengan apa yang dibayangkan oleh Komintern di awal tahun 1920-an. Mereka tidak mengambil bentuk kesepakatan formal di antara organisasi organisasi revolusioner dengan kaum reformis—yang memiliki pengaruh terhadap massa di dalam gerakan buruh yang terorganisir—untuk aksi bersama. Hal tersebut merefleksikan fakta bahwa mayoritas luas kaum muda dan yang lainnya, yang telah diradikalisasi sejak tahun 1960-an, telah masuk ke dalam aksi politik di luar kerangka gerakan buruh yang terorganisir.
Tujuan Fundamental dari Taktik Front Persatuan
Dalam setiap kasus, taktik front persatuan tidak harus difokuskan secara khusus pada kesepakatan-kesepakatan formal di antara para pemimpin organisasi massa Marxis revolusioner dan reformis. Sementara kesepakatan-kesepakatan semacam itu mungkin diperlukan untuk memperluas keterlibatan massa ke dalam aksi namun, dalam rangka aksi massa, kaum Marxis tidak membuat inisiatif-inisiatifnya bergantung terutama pada kesepakatan dengan kaum reformis yang memimpin organisasi massa. Dengan melakukannya sendiri, bersama dengan organisasi kiri lain, atau bersma para aktivis independen, kaum Marxis harus mempromosikan mobilisasi.
Tentunya, dalam merumuskan tuntutan-tuntutan untuk mobilisasi semacam itu dan memilih bentuk-bentuk aksinya, kita harus berusaha memperluas keterlibatan seluas mungkin dengan mengikutsertakan, jika memungkinkan, para anggota dari organisasi massa reformsi (yang sedang memimpin dan besar pengauhnya di kalangan massa kaum pekerja). Itu bermakna bahwa kaum Marxis harus berusaha mempertahankan pendekatan front persatuan terhadap organisasi organisasi tersebut, bahkan ketika kesempatan untuk mencapai setiap kesepakatan tindakan bersama kecil peluangnya. Dengan begitu, kaum Marxis dapat menunjukkan kepada mereka (yang terlibat dalam perjuangan) bahwa kurangnya persatuan di dalam perjuangan tidak lah berarti sektarianisme, akan tetapi karena ketidaksiapan kaum reformis untuk berjuang melawan kelas penguasa.
Keampuhan dari pendekatan semacam itu tergantung pada kaum Marxis di dalam menghindari permohonan yang sepenuhnya formal, menghindari retorika terhadap taktik front persatuan—yakni menyerukan kaum reformis untuk bergabung di dalam sebuah perjuangan bersama untuk menuntut namun dengan tuntutan yang asing terhadap situasi aktual—sehingga tidak menemukan jawaban dalam kekuatan-kekuatan yang lebih luas, sebagai contohnya: seruan untuk melancarkan perjuangan bersama untuk menuntut nasionalisasi dari monopoli-monopoli besar, padahal isu mendesak yang ada di depan mata adalah kebutuhan untuk melawan serangan terhadap hak-hak perempuan untuk melakukan aborsi. Pada hakekatnya, dalam rangka mengungkap ketidaksiapan kaum reformis, taktik front persatuan hanya bisa berhasil jika, didasarkan pada penilaian yang realistik terhadap situasi, kita bisa menunjukkan bahwa kaum reformis tidak siap berjuang dalam merespon kepentingan-kepentingan mendesak dan mendasar dari massa.
Dalam mengungkap ketidaksiapan kaum reformis memimpin perjuangan yang serius dalam mempertahankan kepentingan massa yang mendesak dan mendasar, bagaimanapun juga, itu hanyalah salah satu aspek saja dari taktik front persatuan. Hal tersebut perlu ditekankan karena taktik front persatuan sering disalahartikan sebagai tujuan yang tunggal dan utama. Sekadar menunjukkan bahwa para pemimpin reformis organisasi-organisasi massa sebagai pengecut dan pengkhianat tidaklah menuntaskan problem kunci yang dihadapi oleh partai Marxis revolusioner—yakni memenangkan jajaran pengurus dan pengikut organisas- organisasi massa tersebut lepas dari pengaruh politik kaum reformis; dan untuk membawa mereka di bawah pengaruh politik dan kepemimpinan kita. Itulah tugas yang tidak saja memecah genggaman politik kaum reformis terhadap massa, tetapi juga untuk meyakinkan mereka agar meletakkan kepercayaan politik mereka di dalam partai Marxis revolusioner. Untuk melakukan hal tersebut, kita harus menunjukkan kepada massa, melalui pengalaman perjuangan mereka sendiri, bahwa program, taktik dan kepemimpinan kita lebih baik daripada kaum reformis.
Tujuan fundamental dari taktik front persatuan bukanlah menunjukkan bahwa kaum reformis adalah pemimpin yang tidak handal. Lebih dari itu, tujuan fundamentalnya adalah memberikan kondisi yang lebih menguntungkan bagi kaum Marxis untuk menunjukkan bahwa mereka adalah para pemimpin yang lebih baik dari pada kaum reformis.
Taktik front persatuan adalah sekedar sebuah inisiatif yang dilakukan oleh kaum Marxis untuk memenangkan kaum pekerja dan/atau beserta kaum mahasiswa/pelajar yang berada pada organisasi atau partai lain, sebagaimana juga kaum pekerja dan mahasiwa/pelajar yang tidak segaris, untuk bergabung di dalam satu perjuangan bersama (dengan kita) untuk mempertahankan kepentingan-kepentingan mendesak massa, dan di dalam rangka melawan para penguasa kapitalis. Front persatuan bisa saja melancarkan mobilisasi-mobilisasi yang paling massif dalam hal isu-isu mendesak saat ini dan, dengan demikian, memberikan kondisi-kondisi yang paling menguntungkan bagi kaum Marxis revolusioner untuk menunjukkan bahwa mereka adalah pembangun perjuangan yang terbaik.
Itu juga berarti: apakah front persatuan perlu dibentuk atau tidak, tidak lah sepenuhnya bergantung atas fakta bahwa partai Marxis revolusioner dan organisasi organisasi lain bisa bersepakat atas satu isu khusus, tetapi berdasarkan atas apakah penerapan taktik tersebut akan membantu partai di dalam memenangkan kekuatan-kekuatan yang lebih luas ke dalam perspektif-perspektifnya. Dalam beberapa isu, kami bisa memiliki pandangan yang sama dengan mereka yang tergabung dalam Liga Spartakus tapi, 99 kali dari 100 (atau bahkan lebih dari itu), hal itu tidak akan membantu kita untuk memenangkan kekuatan yang lebih luas, yang akan menerima perspektif kita, bila kita membentuk front persatuan dengan sekte yang tidak relevan secara politik.
Hal yang sama, posisi antara kami dengan para mahasiswa Liberal di beberapa kampus tertentu—yang lepas dari pengaruh Serikat Mahasiwa Nasional (NUS) yang didukung Partai Buruh Australia (ALP)—akan tetapi posisi yang sama tersebut tidak lah bermakna bahwa kita akan memiliki segalanya untuk didapatkan dengan membentuk front persatuan bersama mereka dalam isu tersebut.
Kami menentang serikat-serikat mahasiswa yang berafiliasi pada NUS karena, dalam setiap perjuangan yang serius melawan pemerintah ALP yang akan memswastanisasikan pendidikan lanjutan, NUS adalah sebuah halangan birokratik. Akan tetapi, kaum Liberal mendukung privatisasi sistem universitas. kaum liberal menentang NUS karena para birokrat ALP, yang menjalankan sistem universitas, kadang-kadang dipaksa untuk memberikan dukungan terhadap perjuangan mahasiswa dalam rangka mempertahankan kredibilitasi di kalangan para aktivis mahasiwa.
Front persatuan adalah satu organisasi untuk melakukan tindakan praktis bersama di antara organisasi-organisasi revolusioner dan non revolusioner, bahkan termasuk di dalamnya adalah organisasi borjuis. Akan tetapi, apa yang akan dilakukan oleh sebuah front persatuan dalam persoalan afiliasi kampus pada NUS? Apa tindakan praktis bersama yang akan dilakukan oleh front persatuan? Untuk mempengaruhi para pelajar agar memilih melepaskan serikat kampusnya dari NUS, kita harus melancarkan propaganda atau kampanye pendidikan untuk meyakinkan mereka bahwa NUS berdiri di jalan yang melawan tuntutan pendidikan murah. Argumen kita mengapa para pelajar tidak harus mendukung NUS, secara diametris, bertentangan dengan kaum liberal. Bila kita tidak bisa bekerjasama dengan mereka dalam mengarahkan kampanye untuk melawan afiliasi NUS, sebuah front persatuan dengan mereka dalam issue tersebut tidak akan memiliki tujuan yang berarti.
Tuntutan dan Slogan
Dalam membangun aksi-aksi front persatuan, kita berusaha mendorong front persatuan mengongkritkan tujuannya dengan menempatkan tuntutan-tuntutan yang jelas dan spesifik terhadap para penguasa kapitalis. Atau, dalam situasi tertentu, terhadap para pemimpin organisasi massa yang reformis. Penentuan sebuah atau beberapa tuntutan dalam aksi front persatuan, berporos pada sejumlah kriteria: apakah tuntutan-tuntutan tersebut memperhatikan situasi yang kongkret, misalnya isu aktual yang muncul dalam satu posisi, perjuangan kelas? Apakah tuntutan-tuntutan tersebut, dalam cara yang parsial sekalipun, merupakan kebutuhan obyektif massa yang mendesak sehubungan dengan problem khusus yang telah diajukan? Apakah tuntutan tersebut berkemampuan memobilisasi massa, misalnya apakah tuntutan itu memperhatikan tingkat kesadaran dan kesiapan massa untuk berjuang? Akankah pengalaman berjuang dengan tuntutan-tuntutan tersebut dapat membantu massa mengatasi ilusi-ilusi dalam sistem kapitalis?
Sebagai satu contoh, dari penerapan kriteria-kriteria tersebut, mari kita memperhatikan beberapa perbedaan tuntutan yang didukung oleh berbagai aliran gerakan dalam melawan perang Vietnam. Sampai dengan tahun 1968, kaum reformis—dan “sayap kiri” ALP serta sekutu Stalinis mereka berda di dalam Partai Komunis Australia—mendukung mobilisasi anti-perang dengan tuntutan: perundingan. Kita menentang tuntutan semacam itu karena:
a). Tuntutan tersebut tidak memenuhi kebutuhan massa, khususnya massa rakyat Vietnam. Tuntutan tersebut berkonsekuensi mendukung gagasan bahwa para agresor imperialis memiliki hak untuk merundingkan urusan rakyat Vietnam. Dengan demikian, melanggar hak rakyat Vietnam untuk menentukan nasib sendiri secara nasional. Lebih jauh lagi, jika tuntutan tersebut diterima oleh kaum imperialis sekalipun, tuntutan tersebut tidak akan membuat perang berakhir. Kenyataan yang terjadi—Washington sepakat masuk dalam perundingan dengan rakyat Vietnam di tahun 1968. Selama empat tahun berjalan, perang tidak hanya berlanjut, tetapi kaum imperialis justru meningkatkan jangkauan perangnya.
b). Tuntutan berunding berkemampuan memobilisasi massa luas (di Australia) untuk menentang perang hanya jika kaum imperialis menolak berunding dengan rakyat Vietnam. Jika gerakan anti-perang menempatkan isu berunding sebagai tuntutan utamanya, maka kaum imperialis dapat membelokan arah gerakan. Baik dengan mengklaim telah berusaha melakukan perundingan—dan menyalahkan rakyat Vietnam karena mempersulit tercapainya perundingan (dan, memang, perundingan telah dilakukan oleh kaum imperialis pada tahun 1968)—ataupun dengan sekedar setuju untuk bernegosiasi.
c) Menurut pengalaman, melakukan mobilisasi dengan tuntutan berunding, tidak membantu menghancurkan ilusi massa di balik kebohongan pemerintahan kaum imperialis. Sebagai akibatnya, gerakan anti-perang, untuk sementara waktu, mengalami disorientasi, dan tidak termobilisasi. Itu terjadi pada tahun 1968-1969, ketika Washington setuju untuk berunding, dan melancarkan propaganda besar-besaran yang mengklaim bahwa perundingan tersebut menunjukkan Washington menghendaki perdamaian dan ingin menghentikan perang.
Kaum ultra-kiri dalam gerakan—Aliansi Buruh Mahasiwa yang dipimpin kaum Maois—mendukung mobilisasi anti-perang yang dibangun dengan slogan seperti “Hancurkan Imperialisme Amerika Serikat!” dan “Kemenangan bagi Front Pembebasan Nasional (NLF)!”. (1) Kita menentang upaya mobilisasi massa anti-perang dengan slogan semacam itu. Karena slogan tersebut tidak berkemampuan memobilisasi massa yang memiliki sentimen anti-perang. Paling maksimal, mereka hanya mampu memobilisasi minoritas kaum radikal, yang jumlahnya kecil.
Berbeda dengan tuntutan berunding dari kaum reformis, dan slogan abstrak dari kaum ultra-kiri, kita berpendapat bahwa pergerakan mempunyai tuntutan sentralnya, yakni menyerukan segera dilakukan penarikan mundur tentara Australia dan Amerika Serikat dari Vietnam. Karena tuntutan tersebut:
a). Secara langsung berhubungan dengan masalah yang mendesak—yaitu masalah perang dan bagaimana mengakhirnya;
b). Memenuhi kebutuhan obyektif mendesak massa, baik di Vietnam maupun di Australia dan Amerika Serikat, untuk mengakhir perang, dan mempersilakan rakyat Vietnam menyelesaikan urusannya sendiri;
c). Berkemampuan memobilisasi massa yang memiliki sentimen anti-perang, untuk menentang secara langsung kebijakan perang dari penguasa imperialis. Tepatnya, karena tuntutan tersebut menyediakan jawaban yang jelas dan langsung atas persoalan bagaimana segera mengakhiri perang, dan;
d). Lebih mudah untuk menjelaskan kepada para buruh dan mahasiswa Australia, bahwa mereka tidak memiliki kepentingan dalam dominasi imperialis di Vietnam, atau di negeri lainnya di Dunia Ketiga. Dan, secara lebih umum, bahwa kepentingan mereka bertentangan dengan kepentingan para penguasa imperialis tersebut. Itu karena tuntutan tersebut secara langsung menunjukkan bahwa kesalahan terjadinya perang adalah tanggung jawab yang bersangkutan, yakni kaum agresor imperialis. Akumulasi perjuangan untuk memenangkan tuntutan tersebut kemudian dapat membantu menghancurkan ilusi massa dalam sistem kapitalis.
Pada bagian awal, telah aku jelaskan bahwa kita menentang slogan abstrak kaum ultra-kiri. Itu tidak bermakna bahwa kita menentang “pembuatan dan penggunaan slogan”. Kenyataannya, pembuatan dan penggunaan slogan dapat membantu mempopulerkan sebuah tuntutan—dengan mengubahnya menjadi slogan. Sebagai contoh, tuntutan penarikan mundur tentara Amerika Serikat dan Australia dari Vietnam sesegera mungkin, terasa cukup panjang. Karena itu, kita mempopulerkannya dengan memadatkannya menjadi slogan: “Tentara Keluar, Sekarang!”, atau bahkan hanya “Keluar, Sekarang!”. Pada tahun 1917, kaum Bolshevik mempopulerkan program-program mereka yang mendasar, yakni kontrol buruh terhadap industri, penghentian keterlibatan Russia dalam perang imperialis, dan pengambilalihan tanah semi-feodal oleh kaum tani, dalam sebuah slogan yang terdiri dari tiga kata: “Tanah, Roti, dan Perdamaian!”. Mereka menghubungkan hal tersebut dengan propaganda yang menjelaskan kebutuhan untuk mengalihkan kekuasaan politik dari Pemerintahan Sementara borjuasi dan tuan tanah kepada front persatuan yang berbentuk komite (Dewan/Sovyet), yang dipilih oleh pekerja, prajurit, dan petani—dan mereka mempopulerkannya melalui agitasi dengan slogan “Seluruh Kekuasaan di Tangan Soviet!”. Dalam kasus-kasus tersebut, slogan yang diajukan oleh kaum Marxis revolusioner tidaklah abstrak. Slogan-slogan itu tidak dilepaskan, melainkan secara langsung dilekatkan pada persoalan-persoalan kongkrit pada saat itu.
Apa perbedaan antara tuntutan dan slogan? Tuntutan merupakan sebuah rumusan pernyataan, yang secara jelas ditujukan pada musuh atau pihak tertentu, yang mengungkapkan secara tepat apa yang anda minta untuk dipenuhi oleh si musuh. Slogan adalah kalimat pendek atau teriakan, yang menunjukkan suatu posisi atau kebijakan. Kata slogan itu sendiri berasal dari istilah teriakan khas (dalam perang di Gaelic), yang digunakan oleh berbagai klan di dataran tinggi Skotlandia.
Front Persatuan dan Pemerintahan Koalisi
Front persatuan dengan isu tunggal adalah yang paling mudah dibangun dan dipertahankan. Akan tetapi, terdapat situasi di mana taktik front persatuan dapat diperluas untuk membangun koalisi multi isu, seperti aliansi elektoral atau bahkan pembentukan pemerintahan. Sebagai contoh, kaum Bolshevik, setelah Revolusi Oktober, membentuk pemerintahan koalisi bersama sayap kiri Partai Sosialis Revolusioner yang berbasis petani. Walaupun demikian, dalam semua kasus, front persatuan harus mengabdi pada tujuan mengupayakan mobilisasi massa menentang kelas penguasa kapitalis.
Ada sebuah artikel menarik yang ditulis oleh Trotsky ada bulan November, 1922, yang membahas kemungkinan kaum Komunis Perancis membentuk pemerintahan front persatuan dengan “para pembelot—yakni kaum Sosial Demokrat:
… jika dalam sebuah krisis politik yang alot, suatu mobilisasi yang kuat dari kaum pekerja di negeri tersebut berbuahkan pemilu, yang menghasilkan suara mayoritas bagi “para pembelot” dan kaum Komunis, termasuk di dalamnya kelompok-kelompok menengah dan simpatisannya, serta semangat massa pekerja yang tidak membiarkan “para pembelot” tersebut membuat blok dengan kaum borjuasi untuk menentang kita, maka dimungkinkan untuk membentuk sebuah pemerintahan koalisi buruh. Koalisi tersebut lah yang menentukan kebutuhan transisi untuk menuju kediktatoran proletariat yang revolusioner.
Trotsky kemudian menggarisbawahi kemungkinan skenario lain bagi pembentukan front persatuan di antara partai-partai yang berbasis gerakan buruh, yaitu mobilisasi kelas pekerja untuk melawan kudeta fasis. Menurut Trotsky, Dalam melancarkan perlawanan terhadap serangan fasis, partai kelas pekerja yang reformis akan dapat ditarik oleh Partai Komunis untuk membentuk sebuah pemerintahan buruh dalam makna ekstra parlementer. Lalu Trotsky bertanya, Dalam kasus seperti itu, akan kah kita setuju untuk membentuk pemerintahan koalisi dengan para pembelot?
Kita akan setuju—jika mereka masih memiliki pemikiran untuk mendukung kelas pekerja, yang bisa memaksa mereka untuk melepaskan diri dari kaum borjuasi. Akankah hal tersebut menjamin kita bisa menyingkirkan setiap pengkhianatan dari sekutu kita dalam pemerintahan tersebut? Sama sekali tidak. Sembari bekerja bersama mereka dalam pemerintahan (untuk melancarkan langkah-langkah revolusioner di tahap awal), kita tetap harus mengawasi mereka dengan penuh kewaspadaan seperti kita mengawasi musuh. Kita tetap harus mengkonsolidasikan posisi politik dan organisasi kita tanpa henti, mempertahankan kebebasan mengkritik dalam berhubungan dengan sekutu, dan memperlemah mereka dengan mengajukan usulan-usulan baru secara terus menerus, yang akan memecah pengelompokan mereka dengan cara mengarahkan mereka dan, terutama, dengan cara mendesak elemen-elemen sayap kanan untuk keluar.
Pembahasan Trotsky tentang situasi dan kondisi di mana kaum Marxis dimungkinkan membentuk pemerintahan koalisi bersama kaum Sosial Demokrat menjadi pandangan resmi Komunis Internasional sebulan kemudian. Dalam Tesis Taktik-Taktik Komintern yang diadopsi oleh Konggres Komintern Keempat, ia mengamati bahwa seruan untuk pemerintahan semacam itu memberikan makna yang sangat penting bagi negeri-negeri yang situasi masyarakat borjuisnya secara khusus tidak stabil, di mana keseimbangan antara kekuatan partai buruh dengan partai borjuasi menghasilkan persoalan pemerintahan yang bersifat praktis-aktual—atau membutuhkan solusi mendesak. Di negeri-negeri tersebut, slogan pemerintahan buruh, secara tak terhindarkan mengikuti taktik dari keseluruhan front persatuan.
Partai-partai dalam Internasional Kedua berusaha menyelamatkan situasi di negeri-negeri tersebut dengan mendukung dan membentuk koalisi antara borjuasi dengan Sosial Demokrat. Dalam situasi adanya sebuah koalisi antara borjuis dengan Sosial Demokrat, baik terbuka atau tertutup, kaum Komunis harus mengajukan usulan front persatuan yang melibatkan seluruh pekerja, dan sebuah koalisi dari seluruh partai buruh dalam isu ekonomi dan politik, yang akan melawan serta akhirnya menggulingkan kekuasaan borjuis. Setelah penyatuan perjuangan seluruh buruh melawan borjuasi, maka seluruh aparatus negara harus diambil-alih oleh pemerintahan buruh, sehingga memperkuat posisi kekuasaan yang dipegang oleh kelas buruh. Tugas yang paling elementer dari pemerintahan buruh adalah mempersenjatai proletariat, melucuti organisasi-organisasi kontra-revolusioner borjuasi, memberikan kontrol produksi kepada kaum buruh, mengalihkan beban pajak kepada kelas yang bermilik, dan menghancurkan perlawanan kontra-revolusioner borjuasi.
Pemerintahan buruh semacam itu hanya dimungkinkan jika dilahirkan dari perjuangan massa, dan didukung oleh organisasi tempur kaum buruh yang dibentuk dari unsur-unsur kelas pekerja yang paling tertindas di tingkat akar rumput.
Sekarang persoalan yang mungkin ditanyakan adalah: Ketika para pemimpin Sosial Demokrat mewakili sebuah aliran politik borjuis reformis, apa kemudian perbedaan di antara pemerintahan front persatuan dengan pemerintahan koalisi kolaborasi kelas—misalnya, pemerintahan Front Popular yang dibentuk oleh kaum Stalinis dan kaum Sosial Demokrat di Spanyol pada tahun 1936? Perbedaannya terletak pada metode aksi dan basis kekuatannya. Sebuah front persatuan, termasuk pada level pemerintahan, adalah sebuah koalisi yang bertujuan untuk memobilisasi massa di tingkat praktek, melakukan tindakan bersama untuk melawan kelas penguasa kapitalis dan, karenanya, berbasiskan pada “organisasi-organisasi tempur” massa—serikat-serikat buruh, komite-komite pemogokan, dan komite-komite lain yang berorientasi pada pembangunan aksi massa. Sebuah aliansi kolaborasi kelas berusaha mencapai tujuannya melalui kolaborasi dengan para penguasa kapitalis, dengan sayap liberalnya, sehingga mendasarkan dirinya pada pemanfaatan institusi-institusi demokrasi borjuis—parlemen, pengadilan arbitrasi, dan sebagainya. Aliansi tersebut berusaha mencapai tujuannya dengan mendukung salah satu bagian dari borjuasi, satu kelompok politisi kapitalis, untuk melawan politisi lain, dalam kerangka mempertahankan sistem kapitalis.
Konsesi-konsesi Bagi Sekutu
Dalam taktik front persatuan, terkandung adanya konsesi kepada sekutu non revolusioner. Hakekat dan cakupan dari konsesi-konsesi semacam itu harus ditekankan pada setiap langkah. Tujuannya adalah untuk melihat seberapa banyak aliansi yang dapat dipertahankan atau diperluas, sembari melindungi tujuan utamanya, yaitu memobilisasi kekuatan yang lebih luas dalam perjuangan melawan kapitalis, dan memberi kesempatan kepada kaum Marxis revolusioner untuk menunjukkan kelebihan gagasannya terhadap sekutu-sekutu sementara.
Terdapat sebuah pembahasan yang sangat berguna mengenai hal tersebut, yang ditulis oleh Lenin dalam sebuah artikel pada bulan April, 1922, dengan judul Kita Harus Membayar Begitu Banyak. Komintern berusaha membentuk sebuah front persatuan dengan Internasional Kedua. Kaum Sosial Demokrat, tanpa persetujuan, dalam suatu tindakan bersama yang spesifik, malah menuntut serangkaian kondisi untuk melanjutkan perundingan. Perwakilan-perwakilan Komintern di dalam perundingan tersebut menyepakatinya. Lenin keberatan, bukan karena konsesi semacam itu tidak prinsipil, melainkan karena tidak ada hasil yang dapat diambil.
Lenin menulis, Bayangkan, kaum Komunis harus berada dalam gagasan yang mendasar saat agen-agen borjuasi melancarkan propagandanya di hadapan pertemuan kaum buruh yang besar. Bayangkan juga, bahwa borjuasi menuntut dari kita bayaran yang begitu tinggi untuk menghargai gagasan yang mendasar tersebut. Jika harganya tidak disetujui sebelumnya, maka kita harus menawar, tentunya, agar dana partai kita tidak terbebani terlalu berat. Jika kita membayar terlalu banyak untuk penghargaan terhadap gagasan mendasar tersebut, sudah pasti kita melakukan kesalahan. Akan tetapi, lebih baik membayar dengan harga yang tinggi ketimbang menolak kesempatan berbicara di hadapan kaum pekerja—yang, hingga saat ini, berada dalam ‘kepemilikan’ eksklusif kaum reformis, atau kawan yang paling loyal bagi kaum borjuasi.
Sehubungan dengan konsesi terhadap kaum reformis, satu persoalan yang belakangan ini membingungkan adalah: apakah kita boleh mengundang politisi ALP untuk berbicara di panggung aksi front persatuan yang berjuang melawan kebijakan pemerintahan ALP? Itu adalah persoalan taktik yang sangat khusus dan sangat kongkret yang harus dinilai sehubungan dengan kebutuhan membangun aksi. Akan kah seorang pembicara dapat menarik lebih banyak orang untuk terlibat dalam sebuah aksi, atau dalam aksi-aksi selanjutnya? Tentunya jika politisi ALP tidak mendukung tujuan aksi front persatuan, atau ia merupakan pendukung kebijakan yang diprotes oleh front persatuan, kemudian kita mengundangnya berbicara di panggung, itu bukanlah konsesi untuk mendapat seorang sekutu (meskipun, tidak handal dan hanya dalam kondisi tertentu), melainkan sekadar memberikan kesempatan bagi musuh anda untuk mengatur perlawanan kita.
Organisasi Demokratik-Mandiri
Akhirnya, perlu dipikirkan bahwa taktik front persatuan harus dipergunakan secara efektif, tidak boleh hanya dibatasi hanya pada kesepakatan antara pimpinan organisasi untuk aksi bersama, tetapi harus diperluas sampai ke berbagai jajaran pengurus. Oleh karena itu, front persatuan harus melibatkan komite-komite aktivis di tingkat lokal, yang berorientasi membangun aksi-aksi massa.
Dewan-dewan pemogokan (demokratik) memilih komite-komite pemogok, dan setiap mekanisme yang sama, dalam bentuk tindakan massa lainnya, memainkan peran vital dalam mengembangkan organisasi massa yang mandiri. Dalam dewan-dewan tersebut massa belajar tentang pemerintahan sendiri. Bentuk-bentuk organisasi yang memberi kesempatan kepada massa untuk mengatur perjuangan mereka atas persoalan-persoalan mendesak merupakan bentuk embrionik dari dean/Soviet, bentuk tertinggi dari front persatuan, dan bentuk dasar dari organisasi demokratik negara buruh di masa depan.
Artikel ini pertama kali dimuat di Socialist Alternative. Pernah dimuat lagi dalam bahasa Indonesia di Koran Pembebasan. Kami muat disini untuk tujuan pendidikan dan propaganda.