Amolongo, Nimo, Koyao, Koha, Kinaonak, Nare, Yepmum, Dormum, Tabea Mufa, Walak, FoiMoi, Wainambe, Nayaklak
Pernyataan Sikap
Solidaritas Rakyat untuk Demokrasi
Beberapa pekan belakangan, Amerika Serikat dibanjiri dengan protes besar-besaran karena pembunuhan terhadap George Floyd, warga negara AS berkulit hitam yang dilakukan oleh anggota kepolisian. Kematian George Floyd tidak hanya memicu protes di negara asalnya, namun tidak terkecuali di negara-negara lain, terutama yang masih sarat akan diskriminasi rasial.
Ketika seluruh dunia ramai-ramai mengecam tindak diskriminasi ras yang terjadi di AS, di Indonesia, Jaksa Penuntun Umum (JPU) pengadilan negeri Balikpapan mengajukan tuntutan yang berat, tidak adil, dan rasis terhadap 7 Tahanan Politik (tapol) Papua. Ketujuh Tapol ditangkap dan dikenai pasal makar usai mengorganisir aksi demonstrasi damai anti rasisme guna merespon peristiwa pengepungan dan diskriminasi rasial yang terjadi di asrama mahasiswa Papua di Surabaya.
Tuntutan yang diajukan JPU, antara lain, Buchtar Tabuni (17 tahun penjara), Agus Kossay (15 tahun Penjara), Steven Itlay (15 tahun penjara), Ferry Gombo (10 tahun penjara), Alexander Gobai (10 tahun penjara), Hengki Hilapok (5 tahun Penjara), dan Irwanus Uropmabin (5 tahun penjara). Bukan hanya tuntutan saja yang berat, sejak awal proses pengadilan berlangsung, potret diskriminasi juga terlihat jelas saat ketujuh Tapol tersebut dipindahkan ke Balikpapan tanpa sepengetahuan keluarga dan kuasa hukum. Dampak pemindahan sepihak ini tentu saja mempersulit proses pendampingan hukum bagi para Tapol.
Beratnya tuntutan terhadap 7 Tapol di atas adalah salah satu contoh nyata dari diskriminasi rasial terhadap orang Papua di Indonesia. Ke-7 orang tersebut memprotes dengan unjuk rasa damai, bahkan Buchtar Tabuni sendiri sama sekali tidak terlibat, namun tetap ditangkap dan dituntut dengan hukuman penjara yang sangat lama atas tuduhan makar. Sedangkan di sisi lain para pelaku pengepungan dan ujaran rasis di Surabaya dijatuhi hukuman yang ringan, hanya 5-7 bulan penjara saja. Bahkan aparat TNI berseragam lengkap yang terlibat mengawali pengepungan hanya dikenai sanksi skors.
Secara keseluruhan terdapat 54 tahanan politik Papua terkait aksi anti rasisme mengecam peristiwa Surabaya. Mereka tersebar di Jakarta, Balikpapan, Wamena, Jayapura, Manokwari, Fakfak, dan Sorong. Data ini semakin menunjukan wajah rasis hukum Indonesia yang sebenar-benarnya.
Intimidasi Pada Penyelenggara Diskusi Soal Papua
Gaung #BlackLivesMatter yang sampai ke Indonesia mendapat respon cukup baik. Tagar #PapuanLivesMatter turut didengungkan oleh banyak pihak di Indonesia menyatakan bahwa Indonesia juga memiliki masalah rasisme akut yang kerap menimpa rakyat Papua. Terlebih kejadian bertepatan dengan pembacaan tuntutan terhadap 7 tapol. Sejurus dengan itu ramai pula gelaran diskusi daring atau webinar yang bertema persoalan rasisme Papua. Fenomena ini merupakan kemajuan signifikan ketika mulai banyak orang Indonesia berani membicarakan tentang apa yang terjadi di Papua secara terbuka.
Meski begitu beberapa penyelenggara tersebut tidak luput dari represi. Kejadian paling baru, Ketua Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Teknokra Universitas Lampung (Unila) diancam orang tak dikenal lantaran mengadakan diskusi daring mengenai isu rasisme terhadap Papua. Ancaman itu masuk ke aplikasi WhatsApp miliknya dengan mengirimkan tangkapan layar berupa data pribadi dan orang tuanya. Sebelumnya BEM Universitas Indonesia yang juga mengadakan diskusi bertema Papua mendapat respon negatif dari pihak rektorat. Dalam siaran pers bernomor Peng-102/UN2. HIP/HMI. 03/2020, UI menuding para pembicara yang dihadirkan tidak layak mengisi diskusi tersebut.
Upaya represi di ruang akademik ketika membicarakan soal Papua bukan kali ini saja terjadi. Desember 2019 lalu, 4 mahasiswa Universitas Khairun (UNKHAIR) Ternate di-Drop Out lantaran terlibat dalam aksi solidaritas untuk Papua. Fenomena ini sekali lagi memperlihatkan bahwa persoalan Papua coba ditutup rapat-rapat. Setelah bertahun-tahun menutup akses jurnalis, kini represi juga mewujud dalam ruang-ruang akademik. Hal ini bertujuan bukan lain agar penindasan dan eksploitasi sumber daya alam secara masif bisa terus berjalan di Papua. Terlebih Otonomi Khusus akan habis pada tahun depan.
Buah dari Kolonialisme
Penangkapan dan pemenjaraan terhadap peserta demo anti rasisme adalah satu dari sekian banyak diskriminasi rasial yang diterima oleh rakyat West Papua semenjak dipaksa bergabung menjadi bagian dari wilayah Indonesia.
Mengapa dipaksakan? Karena sejak tanggal 1 Desember 1961, rakyat West Papua sudah mendeklarasikan kemerdekaannya. Namun deklarasi tersebut tidak diakui pemerintah Indonesia yang melalui Soekarno langsung mengumandakan Trikora untuk menggagalkan kemerdekaan West Papua karena dianggap sebagai negara boneka bikinan Belanda. Trikora yang dipimpin oleh Jenderal Soeharto menumpahkan banyak darah rakyat West Papua.
Sebenarnya pada 27 Desember 1949 saat pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Pemerintah Belanda, West Papua merupakan koloni tak berpemerintahan sendiri dan diakui demikian oleh PBB dan Belanda, yang pada waktu itu menjadi penguasa administratif kolonialnya.
Papua masih berada di bawah kuasa Belanda (yang menjanjikan dekolonisasi), setidaknya sampai Indonesia melakukan upaya-upaya pembebasan tanah Papua. Pasca Trikora, Belanda yang semestinya bertanggung jawab untuk melakukan dekolonisasi malah menandatangani Perjanjian New York (New York Agreement) terkait sengketa wilayah West New Guinea (Papua Barat) pada tanggal 15 Agustus 1962 dengan tanpa melibatkan satu pun rakyat West Papua. Perjanjian tersebut hanya melibatkan 3 pihak diantaranya, Indonesia, Belanda, dan Amerika Serikat sebagai pihak penengah. Padahal perjanjian itu berkaitan dengan keberlangsungan hidup rakyat West Papua.
Perjanjian ini mengatur masa depan wilayah Papua Barat yang terdiri dari 29 Pasal yang mengatur 3 macam hal, di mana pasal 14-21 mengatur tentang penentuan nasib sendiri (Self Determination) yang didasarkan pada praktek Internasional yaitu satu orang satu suara (One Person One Vote). Dan pasal 12 dan 13 mengatur transfer administrasi dari Badan Pemerintahan Sementara PBB (UNTEA) kepada Indonesia.
Di tahun 1963, ketika Indonesia mengambil alih tanggung jawab administratif atas West Papua, teritori itu tetap berstatus koloni tak berpemerintahan sendiri yang berhak atas penentuan nasib sendiri dibawah hukum internasional. Hak itu diakui oleh Indonesia dalam New York Agreement yang menguatkan fakta bahwa Indonesia tidak memiliki kedaulatan hukum atas West Papua. Keberadaan Indonesia di West Papua adalah administrasi kolonial yang bisa bersifat permanen hanya jika rakyat West Papua memilih integrasi melalui penentuan nasib sendiri dengan prosedur yang disyaratkan oleh hukum internasional.
Satu-satunya penentuan nasib sendiri yang dilakukan adalah Pepera yang tidak sah pada tahun 1969. Tidak sah, karena hanya 1022 orang (4 orang lainnya tidak ambil bagian) yang terlibat dalam pemungutan atau kurang dari 0,2% dari populasi Papua, yang dikondisikan setuju untuk integrasi dengan Indonesia. Musyawarah untuk mufakat melegitimasi Indonesia untuk melaksanakan Pepera yang tidak demokratis, penuh teror, intimidasi, dan manipulasi serta adanya pelanggaran HAM berat. Nyatanya hasil dari pelaksanaan Pepera tersebut hanya dicatat di Sidang Umum PBB lewat Resolusi 2504 (XXIV) yang mana tidak disebutkan bahwa Pepera telah dilaksanakan sesuai dengan New York Agreement maupun prosesnya memenuhi standar penentuan nasib sendiri seperti yang diamanatkan oleh Resolusi PBB 1514 dan 1541 (XV).
Buah dari proses integrasi yang dipaksakan ini berakumulasi menjadi serangkaian konflik yang kerap diakhiri dengan serentetan pelanggaran HAM berat. Salah satu yang paling sering terjadi adalah pembunuhan di luar hukum oleh aparat keamanan Indonesia. Dan ini tidak pernah diusut tuntas. Tidak pernah ada yang diadili secara tegas. Sebut saja kasus Paniai, Deiyai, Wasior, atau Biak.
Peristiwa terbaru menimpa 2 pemuda di Mimika. Eden Bebari dan Roni Wanduk tewas ditewas ditembak aparat keamanan Indonesia ketika tengah mencari ikan. Sementara di Intan Jaya, Melki Tipagau, siswa sekolah dasar berusia 11 tahun tewas bersama Kayus Sani (51) karena ditembak oleh aparat keamanan Indonesia.
Aneksasi dan kolonialisasi Indonesia terhadap Papua selama puluhan tahun menimbulkan luka yang amat mendalam. Selain sumber daya alam yang dieksploitasi dan dikuras habis-habisan, kekerasan demi kekerasan yang dilakukan oleh negara terus belanjut. Operasi militer, pembunuhan aktivis, hingga diskriminasi rasial yang bersifat sistematis dan struktural kerap kali terjadi hingga hari ini.
Bebaskan Seluruh Tapol Papua
Jika tuntutan terhadap 7 tapol Papua diamini oleh hakim, maka ini semakin membuktikan watak rasis dan kolonialis Indonesia. Ini hanya akan menumpuk kembali timbunan dosa atas rakyat Papua, memperdalam luka yang entah sudah seberapa dalam menjadi semakin tak terperi, dan semakin membenarkan bahwa Indonesia telah menjajah Papua.
Maka dari itu, melalui aksi lewat pernyataan sikap ini kami menuntut:
- Bebaskan 7 Tapol Papua: BuchtarTabuni, Agus Kossay, Steven Itlay, Ferry Gombo, Alexander Gobai, Hengki Hilapok, dan Irwanus Uropmabin, tanpa syarat.
- Bebaskan seluruh Tapol Papua
- Berikan Hak Menentukan Nasib Sendiri bagi rakyat Papua
- Buka akses jurnalis di tanah Papua seluas-luasnya
- Tolak pembangunan Kodim dan Polres baru di seluruh tanah Papua
- Menuntut Jokowi mematuhi putusan PTUN atas pelambatan dan pemutusan akses internet di Papua
- Menuntut Jokowi untuk menghentikan dan bertanggung jawab atas penindasan di tanah Papua
- Tarik Militer Organik dan Non-organik di seluruh tanah Papua
- Tolak kriminalisasi terhadap aktivis Papua
- Cabut SK DO 4 Mahasiswa UNKHAIR
- Adili pelaku pelanggaran HAM di Papua dan pelaku rasisme
- Menentang elit-elit Papua yang memanfaatkan isu Papua
- Tolak penyelenggaraan PON di tanah Papua
- Tutup Freeport dan audit seluruh kekayaanya untuk rakyat Papua
- Hentikan proses produksi non-esensial (tambang, sawit, dan pembalakan hutan)
- Hentikan perampasan tanah adat atau ulayat
- Hentikan perpanjangan Otsus.
- Hentikan intimidasi terhadap diskusi-diskusi persoalan Papua
- Buka ruang demokrasi seluas-luasnya di tanah Papua dan Indonesia
- Tolak Omnibus LAW
- Sahkan RUU PKS dan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga
- Cabut UU Minerba
Kami menyerukan kepada seluruh rakyat tertindas untuk bersama melawan Kolonialisme dan rasisme yang menimpa rakyat Papua.
Yogyakarta, 15 Juni 2020
Kami yang tergabung dalam Solidaritas Rakyat untuk Demokrasi:
- Aliansi Mahasiswa Papua
- Front Rakyat Indonesia untuk West Papua
- Lavender Study Club
- Cakrawala Mahasiswa Jogja
- Lingkar Studi Sosialis
- Pembebasan
- Aksi Kamisan Jogja
- Siempre
- LMND-DN
- UII Bergerak
- IKB-PMPT
- Serikat Mahasiswa Muslimin Indonesia-Jogja
- Baku Bantu
- Noseni
- PLUSH
- IPMT