Pendahuluan
Pertanyaan awal dan seharusnya dijawab segera untuk membahas ini adalah mengapa perlu dibahas? Setidaknya ada beberapa penelitian yang menunjukan akan adanya genosida di Papua. Diantaranya: Pertama, Penelitian AHRC (Asian Human Rights Commision) yang berjudul “The Neglected Genocide: Human rights abuses against Papuans in the Central Highlands, 1977–1978”[1] selama tahun 1977-1978. Kedua, tahun 2010, Sydney University merilis laporan yang berjudul, “A Slow-Motion Genocide: Indonesian Rule in West Papua, Griffith Journal of Law & Human Dignity”[2], dst. Kedua penelitian ini terasa dekat dengan topik yang sedang dibahas yang diketahui penulis. Dengan demikian, ini menjadi salah satu alasan pentingnya membahas topik ini. Agar, pembaca dengan mudah mengidentifikasi apa yang sedang terjadi di sekitar kita dalam kacamata ancaman genosida.
Merujuk pada Konvensi Genosida Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun 1948, Genosida didefinisikan sebagai ‘niat untuk menghancurkan, secara keseluruhan atau sebagian, kelompok nasional, etnis, ras atau agama’ dengan tindakan yang diarahkan pada kelompok itu yang meliputi: pembunuhan, menyebabkan mental serius atau kerusakan fisik; sengaja menimbulkan kondisi kehidupan yang diperhitungkan untuk menyebabkan kehancuran suatu kelompok, dan memaksakan tindakan untuk mencegah kelahiran.[3] Terlepas dari operasi militer, setidaknya sebagai contoh langsung kita dapat melihat konflik di Nduga yang hingga saat ini masih terjadi ini bisa menggambarkan pembahasan topik ini. Di sana, ada pembunuhan, juga melalui gambar yang beredar bahwa adanya kerusakan fisik sejak penyerangan hingga setelahnya seperti penyakit kulit, dan juga pengungsi yang hingga kini masih dalam trauma. Hal lain yang perlu dibayangkan lagi adalah pencegahan kelahiran.
Menurut Dr. Gregory H. Stanton yang merupakan Presiden, dari Genocide Watch, seorang Profesor Peneliti dalam Studi dan Pencegahan Genosida, merumuskan 10 tahapan dalam terjadinya genosida[4]. Diantaranya: klasifikasi, simbolisasi, diskriminasi, dehumanisasi, organisasi, polarisasi, persiapan, persekusi, pemulihan, dan denial. Mari membahas satu demi satu.
Satire: Genosida turun kelas jadi solouw
Sebelum lanjut, mari simak satir berikut ini.
Kira-kira sebelum tahun 2009, sebelum tulisan seputar genosida di Papua, Indonesia “membayar” (eh… salah, dong bilang ‘mengundang’) salah satu peneliti bernama Jim Elmslie[5] dan Stuart Upton[6] untuk membantah “tuduhan” bahwa Indonesia melakukan genosida di Papua. Mereka menerbitkan dua artikel, yang cukup….. (ah nanti kam baca sendiri). Jim Elmslie menulis artikel dengan judul “Not just another disaster”[7] (Bukan Sekadar Bencana). Stuart Upton menulis artikel dengan judul yang cukup menohok, “A disaster, but not genocide”[8] (Bencana, Tapi Bukan Genosida).
Namun, Jim Elmslie “berubah pikiran”, pada tahun 2013, ia menerbitkan kembali sebuah tulisan (yang telah disinggung di atas) berjudul “A slow-motion genocide: Indonesian rule in West Papua”, Ia membuktikan bahwa adanya genosida di papua tapi de main solouw. Genosida tapi da pake gaya lambat. Kalo sa buat satire kira-kira begini, “Pace da suru beli Parang ke da pu tetangga. Eh ternyata de pu tetangga malah beli pisau lau tusuk Pace dia” (ah… tra lucu). Mari kita lebih serius.
Bila dibayangkan, hal ini yang membuat penulis ingin memaparkan ini berdasarkan beberapa tahap genosida yang yang digambarkan oleh Stanton. Walaupun ulasan Stanton adalah genosida secara ekstrim tapi, karena Jim Elmslie mengidentifikasi adanya ‘genosida gerak lambat’. Maka, ini akan menjadi pendasaran untuk pembahasan untuk menghubungkan atau mengidentifikasi tahapan genosida dan konteks Papua hingga saat ini dalam ulasan berikut. Mari simak!
Tahapan Genosida dan Pencegahan
Pertama, Klasifikasi
Klasifikasi ini menggambarkan akan adanya perbedaan-perbedaan mendasar yang ada pada manusia. Stanton menggambarkannya begini, “Semua budaya memiliki kategori untuk membedakan orang menjadi “kita dan mereka” berdasarkan etnis, ras, agama, atau kebangsaan: Jerman dan Yahudi, Hutu dan Tutsi, (Melanesia dan Melayu atau Indonesia dan Papua). Masyarakat bipolar yang tidak memiliki kategori campuran, seperti Rwanda dan Burundi, adalah yang paling mungkin mengalami genosida.” Dalam kasus Papua silahkan identifikasi sendiri.
Stanton menawarkan cara pencegahannya bahwa, “mengembangkan institusi universal yang melampaui perbedaan etnis atau ras, yang secara aktif mempromosikan toleransi dan pemahaman, dan yang mempromosikan klasifikasi yang melampaui perbedaan tersebut.” Salah satu isu penting untuk mencegah adalah isu pentingnya hak asasi manusia. Lembaga-lembaga Gereja dan HAM dapat menjamin itu dalam hal pembicaraan mengenai kemanusiaan.
Kedua, Simbolisasi
Pada aspek ini, dapat diidentifikasi dengan adanya simbolisasi. Ini hanya penguatan atau istilah lain dari yang sebelumnya. Stanton menuliskan begini, “Kami memberikan nama atau simbol lain untuk klasifikasi. Kami menamakan orang “Yahudi” atau “Gipsi,” atau membedakan mereka dengan warna atau pakaian; dan menerapkan simbol tersebut kepada anggota grup. Klasifikasi dan simbolisasi secara universal adalah manusia dan tidak harus mengakibatkan genosida kecuali jika mengarah pada dehumanisasi. Ketika dikombinasikan dengan kebencian, simbol mungkin dipaksakan pada anggota kelompok paria yang tidak mau: bintang kuning untuk orang-orang Yahudi di bawah pemerintahan Nazi, syal biru untuk orang-orang dari Zona Timur di Khmer Merah Kamboja.” Dalam konteks Papua, sering kita dengar simbol yang dibangun seperti separatis, kelompok kriminal (KKB, KKSB), dst yang menyimbolkan pembedaan.
Stanton menawarkan pencegahannya seperti ini: “Untuk memerangi simbolisasi, simbol kebencian dapat dilarang secara hukum (swastika di Jerman) sebagaimana dapat membenci ucapan. Tanda kelompok seperti pakaian geng atau jaringan parut suku juga bisa dilarang.”
Ketiga, Diskriminasi
Pada level ini, Stanton menulisnya seperti ini, “kelompok dominan menggunakan kekuatan hukum, adat, dan politik untuk menolak hak-hak kelompok lain. Kelompok yang tidak berdaya mungkin tidak diberi hak sipil penuh, hak pilih, atau bahkan kewarganegaraan. Kelompok dominan didorong oleh ideologi eksklusif yang akan merampas hak-hak kelompok yang kurang kuat. Ideologi menganjurkan monopoli atau perluasan kekuasaan oleh kelompok dominan. Ini melegitimasi viktimisasi kelompok yang lebih lemah. Pendukung ideologi eksklusi sering karismatik, mengekspresikan kebencian terhadap pengikut mereka, menarik dukungan dari massa.”
Contohnya dalam beberapa kasus yang terjadi, Undang-Undang Nuremberg tahun 1935 di Nazi Jerman, yang menelanjangi warga Yahudi Jerman, dan melarang pekerjaan mereka oleh pemerintah dan universitas. Penolakan kewarganegaraan bagi minoritas Muslim Rohingya di Burma adalah contoh saat ini. Dalam kasus Papua, silahkan bayangkan sendiri. Tetapi, jika mengangkat isu akhir-akhir ini, kecenderungan penggunaan pasal makar yang diterapkan kepada aktivis politik Papua, bisa menjadi salah satu bahan untuk identifikasi akan adanya genosida pada level genosida ke-3. Hal lain yang perlu digaris bawahi adalah adanya kelompok dominan menggunakan kekuatan hukum, adat, dan politik untuk menolak hak-hak kelompok lain.
Stanton menawarkan pencegahannya seperti ini, “Pencegahan terhadap diskriminasi berarti pemberdayaan politik penuh dan hak-hak kewarganegaraan untuk semua kelompok dalam suatu masyarakat. Diskriminasi atas dasar kebangsaan, suku, ras atau agama harus dilarang. Individu harus memiliki hak untuk menuntut negara, perusahaan, dan individu lain jika hak mereka dilanggar.” Jika ini tidak jalan, akan masuk kepada tahapan berikut.
Keempat, Dehumanisasi
Pada level ini, Stanton menjelaskan begini, “Satu kelompok menyangkal kemanusiaan kelompok lain. Anggota-anggotanya disamakan dengan binatang, hama, serangga atau penyakit. Dehumanisasi mengatasi kejijikan manusia yang normal terhadap pembunuhan. Pada tahap ini, propaganda kebencian di media cetak dan radio kebencian digunakan untuk menjelek-jelekkan kelompok korban. Kelompok mayoritas diajar untuk menganggap kelompok lain kurang dari manusia, dan bahkan asing bagi masyarakat mereka. Mereka diindoktrinasi untuk percaya bahwa “Kita lebih baik tanpa mereka.” Masih ingat istilah-istilah monyet, tikus, sampah, ini adalah tanda-tanda bahwa genosida masuk pada tahapan ini. Orang papua “ketinggalan”, “bau”, “kotor”, dst. Kira-kira ini bisa menggambarkan hal ini.
Dalam beberapa kasus yang telah terjadi pada orang Yahudi, Stanton menulis, “Kelompok yang tidak berdaya ini dapat menjadi sangat tersingkir sehingga mereka sebenarnya diberi nomor daripada nama, karena orang-orang Yahudi berada di kamp kematian. Mereka disamakan dengan kotoran, kenajisan, dan amoralitas. Wacana yang membenci mereka dipropaganda melalui radio, surat kabar, dan pidato resmi.”
Stanton menawarkan cara pencegahannya seperti ini, “Para pemimpin lokal dan internasional harus mengutuk penggunaan ucapan kebencian dan membuatnya secara budaya tidak dapat diterima. Para pemimpin yang menghasut genosida harus dilarang bepergian internasional dan keuangannya dibekukan.” Selain itu, ia juga menganjurkan media yang mengumbar kebencian harus dilarang, misalnya buzzer saat ini.
Kelima, Organisasi
Nah, pada level ini ingin menggambarkan bahwa adanya organisasi yang dipersenjatai oleh negara. Stanton menulis bahwa, “Genosida selalu diorganisir, biasanya oleh negara, sering menggunakan milisi untuk memberikan penyangkalan tanggung jawab negara. (Contohnya adalah dukungan pemerintah Sudan dan mempersenjatai Janjaweed di Darfur.) Kadang-kadang organisasi bersifat informal (gerombolan Hindu dipimpin oleh militan RSS lokal selama partisi India) atau didesentralisasi (kelompok teroris jihad). Unit pasukan khusus atau milisi sering dilatih dan bersenjata. Senjata dibeli oleh negara dan milisi, seringkali melanggar embargo Senjata PBB, untuk memfasilitasi tindakan genosida. Negara-negara mengorganisir polisi rahasia untuk memata-matai, menangkap, menyiksa, dan membunuh orang-orang yang dicurigai menentang para pemimpin politik. Pelatihan khusus diberikan kepada milisi pembunuh dan unit pembunuh militer khusus.” Silahkan membayangkan dengan keadaan di Papua sendiri.
Selanjutnya, Stanton menawarkan cara mencegahnya, yakni “keanggotaan dalam milisi genosida harus dilarang. Para pemimpin mereka harus ditolak visa untuk perjalanan asing dan aset asing mereka dibekukan. PBB harus mengenakan embargo senjata kepada pemerintah dan warga negara yang terlibat dalam pembantaian genosida, dan membuat komisi untuk menyelidiki pelanggaran, seperti yang dilakukan di Rwanda pasca-genosida, dan menggunakan sistem hukum nasional untuk menuntut mereka yang melanggar embargo semacam itu.” Yang jelas, di Papua PBB masih dihambat untuk melakukan penyelidikan pelanggaran HAM di Papua. Terutama, untuk melakukan penyelidikan di daerah konflik saat ini di Nduga, Itan Jaya. Termasuk beberapa daerah beberapa waktu lalu pasca rasisme seperti di Deiyai, Wamena, dst untuk menyelidiki siapa kelompok yang terlibat dalam penyerangan warga sipil.
Keenam, Polarisasi
Pada level ini, mau menggambarkan bahwa adanya polarisasi secara hukum secara sistematis dengan tujuan menyalahkan target. Stanton menjelaskan seperti ini, “Ekstremis memisahkan kelompok. Kelompok kebencian menyiarkan propaganda polarisasi. Motivasi untuk menargetkan kelompok diindoktrinasi melalui media massa. Hukum dapat melarang perkawinan campur atau interaksi sosial. Orang-orang moderat dari kelompok pelaku sendiri paling mampu menghentikan genosida, mereka yang pertama ditangkap dan dibunuh. Pemimpin dalam kelompok sasaran adalah orang berikutnya yang ditangkap dan dibunuh. Kelompok dominan mengeluarkan undang-undang darurat atau dekrit yang memberi mereka kekuasaan total atas kelompok sasaran. Undang-undang mengikis hak-hak sipil dan kebebasan mendasar. Kelompok sasaran dilucuti untuk menjadikan mereka tidak mampu membela diri, dan untuk memastikan bahwa kelompok dominan memiliki kendali total.”
Pencegahan yang ia tawarkan adalah, “perlindungan keamanan bagi para pemimpin moderat atau bantuan bagi kelompok-kelompok hak asasi manusia. Aset ekstremis dapat disita, dan visa untuk perjalanan internasional ditolak. Kudeta oleh ekstrimis harus ditentang oleh sanksi internasional. Keberatan keras harus diajukan untuk melucuti kelompok oposisi. Jika perlu mereka harus dipersenjatai untuk membela diri.” Kita harus paham bahwa ini dalam kondisi yang sudah sangat ketat dan terjadi secara masif dan aktif.
Ketujuh, Persiapan
Pada tahap ini, sudah masuk di tahap persiapan. Stanton menulis bahwa, “Rencana dibuat untuk pembunuhan genosida. Para pemimpin kelompok nasional atau pelaku merencanakan “Solusi Akhir” untuk “pertanyaan” Yahudi, Armenia, Tutsi, atau kelompok sasaran lainnya. Mereka sering menggunakan eufemisme untuk menutupi niat mereka, seperti menyebut tujuan mereka sebagai “pembersihan etnis,” “pemurnian,” atau “kontra-terorisme.” Mereka membangun tentara, membeli senjata, dan melatih pasukan dan milisi mereka. Mereka mengindoktrinasi penduduk dengan ketakutan akan kelompok korban. Para pemimpin sering mengklaim bahwa “jika kita tidak membunuh mereka, mereka akan membunuh kita,” menyamar sebagai genosida sebagai pembelaan diri. Tindakan genosida disamarkan sebagai kontra-pemberontakan jika ada konflik bersenjata yang sedang berlangsung atau perang saudara. Tiba-tiba ada peningkatan retorika dan propaganda kebencian yang mendadak dengan tujuan menciptakan rasa takut terhadap kelompok lain.”
Cara pencegahan yang ia tawarkan, sebagai adalah, “Pencegahan persiapan dapat mencakup embargo senjata dan komisi untuk menegakkannya. Dalam hal ini harus mencakup penuntutan hasutan dan konspirasi untuk melakukan genosida, keduanya kejahatan berdasarkan Pasal 3 Konvensi Genosida.” Sebagai informasi penjelas, Pada pasal 3 berisi tentang, Konvensi tentang Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida disebutkan ada lima perbuatan yang dapat dihukum yaitu: (a) Genosida; (b) Persekongkolan untuk melakukan genosida; (c) Hasutan langsung dan di depan umum, untuk melakukan genosida; (d) Mencoba melakukan genosida; (e) Keterlibatan dalam genosida. Indonesia sampai saat ini belum melakukan pengesahan Konvensi Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida.”[9] Sekedar informasi tambahan bahwa menurut Dr. HM. Zainuddin, bahwa “Indonesia sampai saat ini (2013) belum melakukan pengesahan Konvensi Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida.”[10]
Kedelapan, Persekusi
Pada level ini, ditandai dengan adanya identifikasi dan pemisahan karena identitas. Mulai dilakukannya pembedaan secara massal. Stanton menjelaskan bahwa, “Korban diidentifikasi dan dipisahkan karena identitas etnis atau agama mereka. Daftar kematian disusun. Dalam genosida yang disponsori negara, anggota kelompok korban mungkin terpaksa memakai simbol pengenal. Properti mereka sering diambil alih. Kadang-kadang mereka bahkan dipisahkan menjadi ghetto[11], dideportasi ke kamp konsentrasi, atau dikurung di daerah yang dilanda kelaparan dan kelaparan. Mereka dengan sengaja dirampas sumber daya seperti air atau makanan untuk menghancurkannya secara perlahan. Program diterapkan untuk mencegah prokreasi melalui sterilisasi paksa atau aborsi. Anak-anak secara paksa diambil dari orang tua mereka. Hak asasi dasar kelompok korban menjadi disalahgunakan secara sistematis melalui pembunuhan di luar proses hukum, penyiksaan dan pemindahan paksa. Pembantaian genosida dimulai. Mereka adalah tindakan genosida karena mereka dengan sengaja menghancurkan bagian dari suatu kelompok. Para pelaku mengawasi apakah pembantaian semacam itu memenuhi reaksi internasional apa pun. Jika tidak, mereka menyadari bahwa komunitas internasional akan kembali menjadi penonton dan mengizinkan genosida lain.”
Nah, pada tingkatan ini lalu, PBB sudah dapat intervensi secara langsung. Tidak pada level-level sebelumnya yang hanya pada taraf investigasi saja. Cara pencegahan yang ditawarkan Stanton bahwa, “pada tahap ini, Genocide Emergency harus dinyatakan. Jika kemauan politik dari kekuatan besar, aliansi regional, atau Dewan Keamanan PBB atau Majelis Umum PBB dapat dimobilisasi, intervensi internasional bersenjata harus disiapkan, atau bantuan besar diberikan kepada kelompok korban untuk mempersiapkan pertahanan diri. Bantuan kemanusiaan harus diorganisir oleh PBB dan kelompok-kelompok bantuan swasta untuk gelombang pengungsi yang akan datang.”
Kesembilan, Pemulihan
Pada tahap pemulihan,dapat diidentifikasi dengan adanya pembunuhan masal. Stanton menuliskan bahwa, “Pemulihan dimulai, dan dengan cepat menjadi pembunuhan massal yang secara hukum disebut “genosida.” Ini adalah “pemusnahan” bagi para pembunuh karena mereka tidak percaya bahwa korban mereka adalah manusia sepenuhnya. Ketika disponsori oleh negara, angkatan bersenjata sering bekerja dengan milisi untuk melakukan pembunuhan. Kadang-kadang genosida menghasilkan pembunuhan balas dendam oleh kelompok-kelompok terhadap satu sama lain, menciptakan siklus genosida bilateral mirip pusaran air (seperti di Burundi).”
Banyak aksi yang menunjukan ketidak manusiawian terjadi disini, “Mayat yang sudah mati dipotong-potong; perkosaan digunakan sebagai alat perang untuk mengubah dan membasmi secara genetis kelompok lain. Penghancuran kekayaan budaya dan agama digunakan untuk memusnahkan keberadaan kelompok dari sejarah.”Perkosaan massal terhadap perempuan dan anak perempuan telah menjadi ciri semua genosida modern. Semua pria yang bertempur terbunuh dalam beberapa genosida. Dalam genosida total, semua anggota kelompok sasaran dibasmi.”
Pencegahannya adalah, “hanya intervensi bersenjata yang cepat dan luar biasa yang dapat menghentikan genosida. Daerah-daerah yang benar-benar aman atau koridor-koridor pelarian para pengungsi harus dibangun dengan perlindungan internasional yang bersenjata lengkap. (Daerah “aman” yang tidak aman lebih buruk daripada tidak sama sekali.) Brigade Kesiapan Tinggi Berdiri PBB, Pasukan Tanggap Cepat Uni Eropa, atau pasukan regional – harus diberi wewenang untuk bertindak oleh Dewan Keamanan PBB jika genosida itu kecil. Untuk intervensi yang lebih besar, pasukan multilateral yang diotorisasi oleh PBB harus melakukan intervensi. Jika Dewan Keamanan PBB lumpuh, aliansi regional harus bertindak pula berdasarkan Bab VIII Piagam PBB atau Majelis Umum PBB harus mengesahkan tindakan di bawah Uniting for Peace Resolution GARes. 330 (1950), yang telah digunakan 13 kali untuk intervensi bersenjata tersebut.” Stanton lebih lanjut menjelaskan bahwa, sejak 2005, tanggung jawab internasional untuk melindungi melampaui kepentingan sempit masing-masing negara. Jika negara-negara yang kuat tidak akan menyediakan pasukan untuk melakukan intervensi langsung, mereka harus menyediakan transportasi udara, peralatan, dan sarana keuangan yang diperlukan bagi negara-negara regional untuk melakukan intervensi.
Kesepuluh, Denial
Denial merupakan tahapan akhir, ditandakan dengan berakhirnya genosida. Stanton menuliskan bahwa, “tahap terakhir yang berlangsung sepanjang dan selalu mengikuti genosida. Ini adalah salah satu indikator pasti pembantaian (genosida) lebih lanjut. Para pelaku genosida menggali kuburan massal, membakar mayat, mencoba menutupi bukti dan mengintimidasi para saksi. Mereka menyangkal bahwa mereka melakukan kejahatan, dan sering menyalahkan apa yang terjadi pada para korban. Mereka memblokir investigasi kejahatan, dan terus memerintah sampai diusir dari kekuasaan dengan kekerasan, ketika mereka melarikan diri ke pengasingan. Di sana mereka tetap bebas dari hukuman, seperti Pol Pot atau Idi Amin, kecuali mereka ditangkap dan pengadilan dibentuk untuk mengadili mereka.”
Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa, “Tanggapan terbaik untuk penolakan adalah hukuman oleh pengadilan internasional atau pengadilan nasional. Di sana bukti bisa didengar, dan pelaku dihukum. Pengadilan seperti Pengadilan Yugoslavia, Rwanda atau Sierra Leone, pengadilan untuk mengadili Khmer Merah di Kamboja, atau Pengadilan Kriminal Internasional mungkin tidak menghalangi para pembunuh genosida terburuk. Tetapi dengan kemauan politik untuk menangkap dan menuntut mereka, beberapa orang mungkin diadili. Jika memungkinkan, proses pengadilan lokal harus menyediakan forum untuk mendengar bukti terhadap pelaku yang bukan pemimpin utama dan perencana genosida, dengan peluang untuk restitusi dan rekonsiliasi. ” Dalam hal ini, Percobaan yang dilakukan terhadap Gaçaça Rwanda adalah salah satu contohnya. Keadilan harus disertai dengan pendidikan di sekolah-sekolah dan media tentang fakta-fakta genosida, penderitaan yang ditimbulkannya kepada para korban, motivasi para pelakunya, dan perlunya pemulihan hak-hak para korbannya.
Dengan demikian, pembahasan ini berakhir sampai di sini. Setidaknya, walaupun tidak terjadi seekstrim yang dibahas oleh Stanton dan yang pernah terjadi terhadap Yahudi dan Tutsi. Namun, dengan pembahasan ini hanya sekedar pembaca dapat mengidentifikasi akan adanya genosida tetapi dengan cara yang lebih lamban seperti yang diungkapkan Jim.
Sebagai informasi tambahan bahwa, Genocide Watch telah meluncurkan Laporan pada tahun 2016 tentang Negara yang Beresiko menggunakan model Sepuluh Tahapan Genosida baru dari proses genosida, Indonesia masuk dalam kategori berisiko terjadinya genosida pada tahap kelima[12], yakni dengan identifikasi terbentuknya organisasi-organisasi tertentu yang dapat dijadikan objek genoside.
Menurut Minority Rights Group, tahun ini, 2020 mengupdate adanya 1 Konflik bersenjata besar[13] di Indonesia. Sedang diketahui bersama bahwa saat ini sedang terjadi di Nduga, Intan Jaya, dan Timika, antara TPNPB dan TNI. Tahun 2019, Indonesia berada di peringkat ke-69 dalam hal ancaman terhadap Masyarakat kelompok tertentu. Singkat kata, indeks ancamannya peringkat 69 terhadap komunitas yang beresiko salah satunya adalah Papua.
Referensi:
[1] diterbitkan 2013, https://freewestpapua.org/wp-content/uploads/2013/10/AHRC_TheNeglected_Genocide-lowR.pdf
[2] See Jim Elmslie and Cammi Webb-Gannon, A Slow-Motion Genocide: Indonesian Rule in West Papua, Griffith Journal of Law & Human Dignity, Vol. 1[2] 2013, pp. 142-165. https://ro.uow.edu.au/cgi/viewcontent.cgi?article=5030&context=sspapers
[3] Elmslie, Jim, Bukan sekadar bencana, Diterbitkan, 13 Sep 2009, https://www.insideindonesia.org/not-just-another-disaster/
[4] Stanton, Gregory H., The Ten Stages of Genocide, Alliance Against Genocide: Genocide Watch, 2016. Diterbitkan di http://genocidewatch.net/wp-content/uploads/2012/06/The-Ten-Stages-of-Genocide-handout.pdf [sumber utama]
[5] Jim Elmslie adalah koordinator bersama Proyek Papua Barat di Pusat Studi Perdamaian dan Konflik, Universitas Sydney. Ph.D. tesis, ‘ Irian Jaya Di Bawah Pistol: Pembangunan Ekonomi Indonesia versus Nasionalisme Papua Barat’ diterbitkan oleh University of Hawaii Press. https://www.insideindonesia.org/not-just-another-disaster
[6] Stuart Upton menyelesaikan PhD-nya tentang migrasi di Papua di Universitas New South Wales pada tahun 2009.
[7] Selengkapnya bisa baca di, Elmslie, Jim, Not just another disaster, diterbitkan 13 Sep 2009, https://www.insideindonesia.org/not-just-another-disaster
[8] Selengkapnya bisa baca di, Upton, Stuart, A disaster, but not genocide, diterbitkan, 13 Sep 2009, di https://www.insideindonesia.org/a-disaster-but-not-genocide/
[9] Zainuddin, Zainuddin, GENOSIDA DAN RAMIFIKASINYA DI INDONESIA, UIN Malang, diterbitkan Senin, 11 November 2013 di https://www.uin-malang.ac.id/r/131101/genosida-dan-ramifikasinya-di-indonesia.html
[10] ibid.,
[11] Ghetto adalah istilah untuk tempat tinggal warga Yahudi, istilah ini dipakai pada abad ke-16 dan ke-17. Ghetto sering dikaitkan sebagai perlambangan diskriminasi. Ghetto merupakan tempat tertutup yang terpisah dari kota.
[12] “Genocide Watch has launched its 2016 Report on Countries at Risk using its new Ten Stages of Genocide model of the genocidal process” diterbitkan 2016 di Genocide Watch, beralamat di “http://genocidewatch.net/alerts-2/interactive-map/
[13] Minority Rights Group: Peoples Under Threat, diterbitkan secara live di https://peoplesunderthreat.org/countries/indonesia/