Secara ideal kehidupan berdemokrasi dan kehidupan pada umumnya lebih terbuka terhadap kebebasan individu dan nilai relativisme, hal ini tentu membuka ruang berpikir kita untuk sanggup penilaian secara kritis pelbagai pilihan yang mungkin, tindakan, keyakinan, dan praksis kehidupan. Bukan tidak absur, dalam situasi seperti ini untuk berpikir secara kritis, berargumentasi, dan menafsir tentang kehidupan dan politik harus benar-benar tajam, dan sangat diperlukan. Oleh karena itu, diperlukan transformasi politik dalam terang filosofi dan pengaruh filosofi untuk mengasa cara berpikir manusia di zaman ini, agar di dalam ruang demokrasi dan politik diutamakan nilai filantropi. Tentu saja filosofi masi sangat mungkin untuk diaplikasikan ke dalam kehidupan sehari-hari, terutama dalam ruang demokrasi dan sistem politik Indonesia.
Perlu kita bersyukur atas warisan besar dari Sokrates, Plato, Aristoteles, Epikuros, Stoa, Kant, Hegel, Heidegger, dan Filsuf-Filsuf besar lainnya. Mereka telah mengajarkan bagaimana cara berargumentasi, bagaimana cara berpikir kritis. Mereka mengajarkan bahwa Filsafat bukan hanya tentang berpikir logis atau hanya sekedar penjelasan yang sifatnya epistemis mengenai suatu kebenaran, tetapi lebih setuju itu filsafar harus berorientasi pada suatu cara berpikir untuk menata, merefleksikan, untuk mencapai suatu kehidupan yang lebih baik dan sempurna.
Kita dituntut untuk sanggup berpikir sendiri, berargumentasi, dan bernarasi tentang kehidupan sesuai situasi. Kita menyadari bahwa kesanggupan seperti ini tidak hanya secara kodrati berkenaan dengan konsep, ide atau pikiran yang aktif sebagai dasar argumentasi kita. Kesanggupan ini sangat berhubungan erat dengan suatu keputusan, misalnya perjuangan tentang kebenaran, dan keadilan yang berdampak bagi kehidupan masyarakat.
Tentu ini menjadi suatu hal yang menarik jika kita berani meninjau benang merah dari konsep politik di Papua dan ruang demokrasi yang dikendalikan oleh sebagian orang yang mengingkari nilai filantropi dan cita rasa kemanusiaan. Kalau kita Berbicara tentang Papua tidak akan habis dan selesai sebab ruang diisi oleh kepentingan-kepentingan politik sehingga demokrasi itu bisa dikatakan hanya sebatas mimpi sendiri. Seharusnya yang perlu diperhatikan dalam kehidupan masyarakat di Tanah Papua, khususnya dalam kehidupan kehidupan yang berdemokrasi, peringatan cara pandang filosofis yang lahir dari disiplin akademis yang ketat dan normatif. Melainkan yang dibutuhkan adalah konservasi dan praksis intuisi yang melahirkan kebebasan berargumentasi bagi Orang Asli Papua, mewujudkan cara pandang yang pragmatis-dialektis bagi Orang Asli Papua, progresif-humanis dan berdasarkan pada etos-solidaritas bagi Orang Asli Papua. Dalam ruang demokrasi, setiap masyarakat Papua berhak berpikir, berargumentasi dan bertindak jika martabat mereka direndahkan, mereka berhak mendapatkan perlindungan hukum, berhak mendapatkan pembelaan, berhak mendapatkan kebebasan dalam ruang publik untuk mencapai nilai keadilan. Mereka tentu punya hak konstitusi dalam demokrasi untuk menentukan pikiran mereka sendiri guna mencapai kehidupan yang lebih baik dan sempurna.
Menurut saya, perlu transformasi politik dan pengakuan dalam ruang publik demokratis dalam konteks Vita Activa (kehidupan yang aktif). Sebab kita perlu lebih dalam Kondisi Manusia orang Papua dalam terang aktifitas kehidupan sehari-hari di mana mereka tinggal, bertumbuh dan berjualan untuk menentang hak-hak dasar. Transformasi Politik di Papua memang harus dimulai dari membaca secara terang-benderang dari garis kondisi orang Papua yang dapat mentransendensikan diri, sanggup melihat orang Papua dari banyak perspektif, khususnya dari perspektif situasi konkret yang sedang dilihat oleh Orang Asli Papua (OAP) dan kulturnya.
Saatnya kita perlu mengubah budaya politik yang baru, politik yang terbuka pada realitas, politik yang membuka ruang demokrasi seluas-luasnya bagi masyarakat untuk berpikir kritis dan berargumentasi, politik yang melihat kebenaran secara objektif, dan politik yang bertanggung jawab terhadap publik. Bukan sebaliknya politik yang menindas orang asli Papua atau politik yang membungkam ruang demokrasi secara sepihak.
Nilai filantropi terhadap orang asli Papua harus menjadi dasar politik dan menjadi suatu paradigma budaya politik yang baru. Paradigma ini harus melampaui domain agama, politik partai dan golongan-golongan sosial. Agar terwujud paradigma politik kemanusiaan yang mampu menembus kebenaran dan keadilan bagi masyarakat pada umumnya dan Orang Asli Papua, khususnya.
Untuk sampai pada politik seperti ini, kita perlu berani dan mau menjelajahi secara heroik untuk melawan semua ketidakadilan, penindasan, dan manipulasi praktek politik di Tanah Papua. dewasa ini, Papua menjadi suatu kerangka acuan (kerangka acuan) untuk melihat secara global wujud ketidakadilan yang diterapkan oleh penguasa dalam politik negara Indonesia. Penindasan, anti HAM berat, dan ketidakadilan sosial bagi Orang Asli Papua di politisir atas nama demokrasi. Fakta membuktikan bahwa masalah masa lalu Orang Asli Papua akan menjadi PR besar yang bisa bertindak secara domokrasi.
Imajinasi politik kita pada umumnya seharusnya sudah mampu bergerak melampai perspektif Etis, Agama, Suku, dan Ras. Agar mampu melihat ruang publik dengan pola rasa kemanusiaan. Dalam konteks Papua, kita perlu melihat hak asasi Orang Asli Papua sebagai suatu pesan terbuka yang tertuang dalam konstitusi negara ini untuk mencapai kehidupan yang baik dan sempurna. Tujuan dari pengakuan hak Orang Asli Papua di ruang publik semata-mata menjunjung tinggi nilai rasa kemanusiaan, dan menyempurnakan praktik politik yang menyesatkan cara berpikir manusiaa dewasa ini, serta melawan semua ketidakadilan yang terjadi di Tanah Papua.
Epikuros salah satu Filsuf Yunani klasik mendasarkan pemikirannya pada teori Demokritos dan para Atomis yang mengajarkan bahwa realitas satu-satunya yang kita alami hanyalah apa yang dapat kita serap melalui pancaindra, realitas yang terdiri atas atom-atom kecil yang hanya berbeda dalam ukuran, berat dan bentuk . Namun, atom-atom itu memiliki kebebasan untuk bergerak secara spontan.
Bila alam semesta dengan benda-benda di dalamnya terjadi karena kekuatan atom itu sendiri, termasuk manusia, ia mempunyai kebebasan dan dapat menentukan sendiri langkahnya dengan kekuatan pikiran, argumentasi, dan tindakan. Sehingga perlu disadari bahwa manusialah yang menjadi ukurannya. Kebebasan sangatlah penting bagi Epikuros. Konsekuensinya ia memberikan kebebasan bagi atom-atomnya sehingga atom-atom itu dapat memberikan kebebasan bagi manusia dapat menentukan nasibnya sendiri, dan semua pilihan-pilihannya.
Jika kita mendasarkan pemikiran Epikuros dengan pengalaman Orang Asli Papua, maka kita dapat melihat dan menerjemahkan kebebasan yang dimaksud oleh Epikuros dalam ruang demokrasi kebebasan untuk berpikir secara kritis, menentukan pilihan-pilihan secara kritis, dan menentukan nasibnya sendiri guna mencapai suatu masa depan yang lebih baik dan sempurna.
Pada zaman feodalisme raja-raja, konsep ruang publik yang sempit sebagai tempat bercokolnya sistem otoritas dogmatis dan paternalistis. setelah menyatakan klaim pada jaman pencerahan, konsep ruang publik berubah menjadi tempat dimana orang-orang berani berbicara dan mengungkapkan pendapatnya secara kritis. Di Tanah Papua, kita dapat melihat transformasi pemikiran itu dengan tindakan melawan ketidakadilan, kita dapat melihat bagaimana gerakan mahasiswa, LSM dan masyarakat sipil yang terus-menerus menyuarakan HAM di tanah Papua. Gerakan-gerakan menyuarakan HAM, suatu gerakan melawan hukum, melainkan suatu gerakan yang menjunjung tinggi nilai cita rasa kemausiaan. Dewasa ini orang Papua menuntut akses ruang publik yang seluas-luasnya untuk mengalirkan pemikiran mereka atas nama cita rasa itu.
Kita perlu mengakui bahwa kultur politik lama harus dirubah bahkan di ganti dengan kultur politik yang baru, tentu harus punya semangat cita rasa kemanusiaan yang tinggi agar “mampu melihat apa yang tidak terlihat dan mampu menyetuh apa yang tidak tersentuh”. Spirit politik yang baru harus bisa menggapai nilai filantropi Orang Asli Papua, atas pengalaman dasar langsung dan realitas yang terjadi di tengah-tengah kehidupan Orang Asli Papua. Atas dasar itu, dengan sendirinya ruang demokrasi terisi oleh rasa sakit yang berada dalam kondisi tertinggi.
Sebab salah satu kelemahan dasar demokrasi modern dan kultur politik kontemporer dewasa ini adalah peminggiran dimensi cita rasa dan martabat kemanusiaan. Demokrasi hanya menjadi arena bermain untuk merebut kekuasaan. Kultur politik menjadi suatu cita-cita tentang harta kekayaan dan kepentingan kelompok tertentu. Keduanya telah merasuki dan menguasai ruang publik. Sehingga ruang publik terasa pengap karena terisi oleh orang-orang tertentu dengan kepentingan-kepentingannya.
Kita perlu membuka paradigma cita rasa kemanusiaan di tanah Papua yang tercinta ini agar mampu melihat realitas-realitas yang terjadi. Kita perlu mengakui hak berpikir kritis, hak berargumen, hak menentukan pilihan-pilihan, dan hak menentukan nasib yang lebih baik untuk masyarakat umum, dan Orang Asli Papua.
Biarkan manusia dibesarkan dengan pemikiran-pemikiran yang kritis, argumen-argumen yang tepat yang mampu mengikis budaya politik yang merusak martabat. Biarkan kesetaraan martabat manusia sebagai suatu patokan untuk berdiri di dalam ruang demokrasi.
Referensi:
Baghi, Felix, SVD. (2014). Redeskripsi Dan Ironi. Ledalero-Maumere-Flores-NTT.
Herlianto, M.TH. Humanisme Dan Gerakan Zaman Baru. Yayasan Kalam Hidup-Bandung