Kegunaan praktis judul di atas ini sifatnya bukan hanya mendesak, tetapi juga penting. Mengapa? Banyak basis argumentasi yang dapat disampaikan dalam kesempatan ini. Pokok perkaranya ada pada strategi dan taktik serta proses perjuangan yang seolah tidak ideal. Sehingga mungkinkah ini sebagai keberhasilan dan kelemahan para pejuang Papua? Entahlah. Tapi singkatnya begini.
Perjuangan rakyat Papua pada dekade 60 an mengalami kegagalan karena banyak faktor. Utamanya adalah faktor minimnya SDM dan diplomasi luar negeri yang dapat mencari dukungan ke segala penjuru dunia, melintasi blok-blok ideologi, ras, benua dan agama. Bangsa Papua mengalami kekosongan di sini waktu itu. Maka tidak heran, jika dalam berbagai perundingan di UN, tidak ada satupun wakil bangsa Papua yang dapat hadir, layaknya Soebandrio, Moh, Hatta, Tan Malaka, Sjahrir dll-yang diandalkan menghadiri semua pertemuan internasional dalam semua proses perjuangan kemerdekaan Indonesia. Sehingga pemerintah colonial Belanda, AS, Indonesia dan UN mengadakan perundingan sepihak, sesuka hati mereka, tanpa melibatkan sama sekali perwakilan orang Papua. Akibatnya jelas, perlawanan dan perjuangan orang Papua yang sengit dalam negeri sesudah menyatakan proklamasi kemerdekaan dari Belanda, 1 Desember 1961 dapat dilokalisir, dieliminir dan bahkan dimatikan.
Fase berikutnya memasuki dekade 1970-80 an, fase dimana Papua berada dalam bingkai NKRI pun nyaris tidak berbeda jauh. Justeru makin runyam. Meski sudah ada beberapa nasionalis- eksil Papua di luar negeri. Namun, mereka tidak bisa mengelorakan perjuangan secara berarti, karena era Orde baru yang militeristik dan otoriter, tidak memberikan sedikitpun warna dan wacana demokrasi. Sehingga eksistensi perjuangan dalam negeri lumpuh total. Meski ada beberapa deklarasi pemerintahan Papua merdeka tetapi tidak berdampak sama sekali. Deklarasi, pemerintahan dan cabinet bentukan mati dengan sendirinya. Diantaranya yang cukup dikenal adalah deklarasi Zeth Rumkorem, Thom Wanggai Dst. Kendala utamanya tetap ada pada persoalan internal rakyat Papua. Tidak ada pemimpin kuat. Juga khususnya kekuatan diplomasi yang masih belum optimal.
Fase berikutnya adalah perjuangan dekade 1980-2000. Akhir dua dekade ini, memberikan sedikit harapan, adanya perlawanan rakyat Papua yang intensip, bersamaan dengan runtuhnya status kekuasaan pemerintahan orde baru. Terbukti, pada tahun 1999 rakyat Papua yang sudah mulai berkontraksi dan mengkonsolidasikan diri bersatu dan membentuk berbagai forum untuk menuntut hak-hak dasarnya yang telah dianulir oleh pemerintah negara Indonesia. Terbukti dengan pertemuan rakyat Papua yang difasilitasi FORERI-PDP dengan beberapa presiden Indonesia untuk meminta kemerdekaan. Pada masa ini, di dalam negeri telah lahir beberapa tokoh-tokoh pemimpin besar yang sudah terproses, diantaranya Theys Eluay, Tom Beanal, Thaha Al Hamid, Agus ALua, Yorris Raweyai, Herman Awom, Willy Mandowen dkk.
Komando kepemimpinan dalam negeri menjadi jelas dan kuat dengan munculnya beberapa tokoh terdidik ini. Hasilnya yang jelas dan nyata mereka melakukan perjuangan damai, bermartabat dan elegan sesuai dengan asas demokrasi dan HAM untuk meminta pamit- merdeka kepada Presiden B.J Habibie. Namun, lagi-lagi bagi musuh mungkin dilihat masih lemah. Kelemahan itu terlihat pada aspek dukungan dan lobi internasional Papua yang masih longgar. Sehingga, dalam kerangka menegakkan dan menjaga keutuhan NKRI Harga Mati, para pemimpin nasional itu ditumpas dengan berbagai cara. Theys H. ELuay dibunuh setelah diculik oleh Kopassus 2001. Agus Alua dan Willy Mandowen meninggal misterius 2011 dan 2017. Tom Beanal, Yoris Raweyai dan Thaha Alhamid mundur, berbalik dan masuk menghamba pada sistem Indonesia. Sementara Pdt, Herman Awom masih hidup. Pasca insiden pembunuhan Theys H. Eluay, rakyat Papua memasuki fase statis- senyap, bagaikan “anak-anak ayam yang sedang kehilangan induknya”. Di dalam suasana itu, lagi-lagi pergerakan dan perjuangan rakyat Papua era ini memasuki nasib yang serupa dengan nasib golongan tua pada 1960 an. Meski konsolidasi internal sudah massif terjadi, tapi masih terdapat kecolongan dalam hal diplomasi luar negeri. Hal inilah yang menjadi penyebab tumbangnya perjuangan PDP.
Kemudian sekitar tahun 2008- 2011, di bawah naungan gereja, LSM dan aktivis-aktivis muda mahasiswa dan pemuda, bangsa Papua mulai mengadakan regenerasi pejuang sebagai upaya melahirkan pemimpin nasionalis Papua. Deklarasi Perdamaian Abepura, Deklarasi KRP III dan pasca aksi-aksi heroik mahasiswa dan rakyat di tanah Papua dan luar Papua, muncul wajah-wajah baru calon pemimpin perjuangan bangsa Papua. Sebut saja ada: Buctar Tabuni, Victor Yeimo, Mako Tabuni, Sem Awom, Markus Haluk, Yanto Awerkion dkk. Perjuangan makin intensif ketika pada tahun 2014, semua pemimpin yang ada di dalam negeri dan di luar negeri berikhtiar untuk bersatu di dalam satu wadah persatuan pembebasan yang disebut ULMWP. Adalah Saralana, Port Villa Vanuatu yang menjadi saksi sejarah proses integrasi para pejuang Papua. Untuk menyatukan tekad, visi, misi, strategi dan taktis perjuangan melawan pendudukan Indonesia.
Setelah persatuan dan masuknya Papua Barat di meja organisasi solidaritas keluarga Melanesia, MSG, apakah perjuangan Papua sudah benar-benar terkonsolidasi? Tentu ini pertanyaan yang berat. Mengapa? Rupanya kita belum terlalu kuat dan lihai untuk melawan musuh. Ini bukan saja karena kita lemah dihadapan lawan tetapi dihantui oleh ketidakharmonisan relasi internal para pejuang. Tetap parah ! Dan meski demikian, rupanya kita telah menghadapi masalah baru yang mirip dengan 5 dekade lalu. Yakni, diplomasi menjadi makin intensip dan kuat, namun di dalam negeri, rakyat Papua telah tercerai berai. Apa dasarnya? Tidak sulit. Lihat saja mengapa setelah penyatuan di Saralana, dan lahirnya ULMWP, tidak diikuti dengan fusi atau penyatuan semua organ perjuangan di bawah payung ULMWP? Mengapa masih terdengar nama KNPB, TPN-OPM, WPNA, WPNCL, NRFPB, PNWP atau SHDRP, PARJAL, DEMAK, GEMPAR, SONAMAPPA, FIM dll? Idealnya, haruslah semua organ-organ ini juga bersatu di dalam ULMWP. Semua aksi-aksi apapun sebagaimana zaman PDP, mestinya hanya menampilkan satu identitas, yakni ULMWP agar semuanya terlihat terkomando satu, sesuai ideologi dasar bangsa Papua: “one People one soul”.
Apakah kesalahan ini ada dari dalam struktural ULWMP atau ini memang diakibatkan oleh kentalnya ego dan ambisi tiap faksi, adalah merupakan pertanyaan yang sangat menggelitik. Dalam dinamikanya yang demikian, maka munculah peluang delegitimasi ULMWP. Beberapa wilayah dibentuk sekretariat ULMWP dan bekerja, sementara ada yang belum ada. Dibentuk juga komite Aksi ULMWP belakangan untuk menggencarkan aksi-aksi massa. Namun tetap tidak legitimated. Karena semua massa rakyat telah terfragmentasi ke dalam basis-basis tradisionalnya masing-masing. Akhirnya apa yang terjadi, sampai dengan periode kedua ULMWP di tahun yang keenam ini? ULMWP mengalami stagnansi dan berada di bawah ancaman guncangan dan friksi internal.
Meskipun dinamikanya alot demikian, namun bila disadari masih ada harapan. Harapan itu yakni rakyat Papua saat ini, sedang membutuhkan satu figur pemimpin dalam negeri. Karena di luar negeri, diplomasi Papua telah melambung jauh dari Indonesia. Hal itu sudah diakui oleh Menteri Luar Negeri Indonesia, Retno Marzudi dan Rocky Gerung. Meski ada deklarasi baru-baru ini terkait pemerintahan sementara, dan presiden sementara, viralnya berita itu pun dapat menjadi kekuatan baru dalam rangka mendapatkan simpati dan dukungan internasional yang lebih luas.
Dan terakhir, rakyat Papua hari ini, di masa momentum berakhirnya status UU Otonomi Khusus 2001 ini, sekali lagi, sedang membutuhkan sosok pemimpin atau kepemimpinan nasional yang dapat mempelopori perlawanan bersama aksi massa di dalam negeri. Sebab situasi objektif hari ini, menunjukkan indikasi kuat bahwa di luar sudah siap, tinggal dalam negeri saja! To lagian, Kita tidak mungkin mau jatuh di lubang yang sama. Mari coba renungkan, benarkah tidak ?
Sangat Benar
Hormat
“…jikalau nafiri berbunyi tiada berketentuan, siapakah gerangan bersiap akan berperang? 1Kor 14:8 (Alkitab TL)
Hormat