Dong mau menyesal? Terlambat, cium sana kuburannya! Atau gantikan dia, kalian yang pergi bukan dia. Tulis MP rekan Fembri Paul Fonataba mahasiswa Kedokteran yang ditemukan sudah tidak bernyawa oleh rekannya sesama calon dokter, Untung Saputra di Perumahan BPN Dok IX Kali RT 03 RW IV Kelurahan Tanjung Ria Distrik Jayapura Utara. Ciutan dengan tagar Justice for Paul Fonataba itu menyisahkan pembicaraan publik walau sudah sepekan berlalu.
Publik, terutama teman-teman sesama Dokter Muda mengaitkan kematian Fembri dengan sikap seorang oknum Dokter Spesialis Mata di RSUD Dok II yang juga Dosen di Fakultas Kedokteran Universitas Cendrawasih (UNCEN). Ada apa dengan sang Dokter? Secara jasmani dan rohani baik-baik saja. Tapi secara ahklak sang dokter bisa dibilang pelit untuk memafkan juga mengampuni kesalahan Fembri yang sudah berjuang meminta maaf dan menerima sanksi atas kesalahannya.
Pertanyaannya lagi, bagaimana mungki seorang Dokter yang secara rohani dan jasmani baik, tidak bisa mengampuni bahkan memberi maaf atas kesalahan administrasi yang dilakukan Fembri. Kesalahan Fembri adalah memalsukan tandatangan tapi atas kesalahannya itu, dirinya sudah menerima sanksi selama enam bulan. Tetapi setelah selesai menjalani sanksi, Fembri tidak diberi kepastian mengikuti remedial stase akhir oleh Dokter terkait. Bahkan kebijakan Lembaga Universitas untuk mengikut sertakan Fembri pada Yudisium Dokter Muda nanti, diancam akan diaduhkan oleh sang Dokter dengan argumentasi kode etik profesi.
“Rektor tak menampik jika ada pelanggaran yang dilakukan almarhum berkaitan dengan pemalsuan tandatangan. Tetapi yang bersangkungan sudah minta maaf bahkan meminta pengampunan dan mengakui semua kesalahannya. Namun ternyata masih di ada kesulitan yang ditemui” Cepos Online, Rabu (20/1).
Rektor Universitas Cendrawasih, DR. Ir. Apolo Safanpo, ST,.MT juga mengatakan bahwa secara kelembagaan, mereka sudah mengambil langka-langka humanis untuk membantu almarhum tapi sang Dokter tetap tegar hati menolak menolong almarhum.
“Kami juga menanyakan kepada dekan, kepada ketua program pendidikan profesi dokter dan coordinator komite pendidikan RSUD dan arsip kami lengkap dimana dekan sudah menyurat kepada dokter yang bersangkutan untuk mengikutsertakan mahasiswa tersebut dalam stase berikutnya atau mengulang pada stase yang sama. Namun dokter tersebut tidak mengizinkan” Kata Rektor. Cepos Online, Rabu (20/1).
Ada upaya dari lembaga untuk membantu Fembri untuk menyelesaikan stase akhirnya bahkan mengakhiri program profesi kedokterannya. Serta perjuangan fembri sendiri untuk tidak mengulangi kesalahannya lagi dengan menjalani masa sanksi. Tetapi Fembri pada 13 Januari 2013 telah meninggal dunia diduga oleh teman-temannya kalua Fembri bunuh diri karena depresi.
Jika benar. Apa kah itu artinya Fembri tidak sabaran dan tidak berjuang untuk remedial stase akhirnya? Tidak, dia sangat sabar dan penuh dengan semangat untuk menjadi dokter. Buktinya, dia siap menerima sanksi dan meminta ampun atas kesalahannya agar bisa mengikuti remedial stase akhirnya. Namun tetap saja dia dipersulit oleh sang Dokter yang seharusnya mendidiknya agar menjadi Dokter yang professional.
“Menunggu dari 14 Juli 2018 sejak nilainya disalah satu stase ditarik sampe sudah dibatas tegarnya. Dia menunggu dan menunggu kepastian dari stase tersebut untuk remedial, dan akhirnya dia memilih angka favoritnya untuk mengakhiri hidupnya. 13 Januari 2021” Tulis Medhy Paputungan di akun Facebokknya dengan tagar Justice for Paul Fonataba.
Kasus Dokter Muda Papua yang meninggal dengan menyimpan misteri karena diduga bunuh diri bukanlah sesuatu yang baru pertama kali terjadi. Selain Fembri Fonataba, ada Clemens Wopari, di tahun 2018. Kasus Clemens Woparai sebagaimana yang ditulis oleh Benyamin Lagowan di akun Facebooknya. Bahwa, Clemens Wopari Mahasiwa FK UNCEN angkatan 2005, juga mengakhiri hidupnya karena perjuangannya menjadi dokter bertahun-tahun tertahan.
“Rekan kami tidak makan dan minum karena depresi. Ijazahnya yang ditunggu selama bertahun-tahun dari pendidikan akademik kampus tidak kunjung diberikan,” ungkap Tengku Saputra, Ketua Pergerakan Dokter Muda Indonesia (PDMI). Facebook Lagowan Chelegian (17 Januari 2021).
Clemens Wopari depresi karena 20 kali dirinya mengikuti Ujian Kompetensi Mahasiswa Program Pendidikan Dokter (UKMPPD) tapi tidak lulus-lulus. Apa kah karena Clemens Wopari tidak mampuh? Tidak. Jika tidak mampu dia tidak mungkin Wisuda Program Sarjana Kedokteran dan juga tidak dapat menilai ada yang salah dengan sistem. Tapi karena dia mampuh sehingga memperoleh gelar Sarjana Kedokteran. Juga dapat menilai bahwa ada salah dengan system pendidikan kedokteran.
“Total saya belajar di Kedokteran adalah 13 tahun. Berdoa, belajar dan ujian-itu yang saya lakukan selama ini. Dimana letak kesalahan saya? Atau kah system ini yang menyusahkan saya?” Tanya Clemens dalam pengglaan surat yang dikirim kepada Dirjen P dan K. Facebook Logowan Chegelian, (17 Januari 2021)
Kematian misterius Dokter Muda, Fembri Paul Fonataba, S.Ked dan Clemens Wopari, S.Ked bagi saya, bila benar disebabkan oleh depresi yang disebabkan oleh sikap perilaku atau ahklak tidak manusiawi dari seseorang terhadap yang lain. Maka perilaku atau ahklak tidak manusiawi dari seorang yang secara jasmani mau pun rohani baik tetapi berahklak seperti binatang, bagi saya itu pun ada penyebabnya. Dan itu adalah Sistem Ekonomi Politik yang diadopsi oleh negara.
Sistem ekonomi dan politik yang diadopsi negara Indonesia hari ini adalah new liberalis. Sistem ini diadopsi paska resim militersime Seoharto yang sangat otoriter runtuh, Mey 1998. Dua tahun setelah itu, tahun 2000, sektor pendidikan di Indonesia mulai diprivatisasi. Pendidikan nasional Indonesia melalui PP No. 153 tahun 2000 tentang Perguruan Tinggi Badan Hukum Milik Negara (PT BHMN). Kemudian dimuluskan dengan UU No. 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan.
Undang-undang tersebut adalah amanat dari UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Indonesia. Undang-undang yang melegalkan sistem keji tersebut, lahir bersamaan dengan pelaksanaan paket kebijakan investasi. Pendidikan di Indonesia menjadi sector terakhir yang diprivatisasi setelah sector-sektor yang mengusai hajat hidup orang banyak seperti; sumber daya air, minyak dan gas bumi diprivatisasi.
Privatisasi atau swatanisasi sector pendidikan yang dilakukan negera membuat negara melepaskan tanggungjawabnya untuk mencerdaskan warga negaranya. Sebaliknya negara melalui capital (pemilik modal) yang berada dalam pemerintahan menjadikan pendidikan sebagai bisnis negara. Padahal, negara tidak boleh berbisnis dengan warga negaranya disektor public seperti pendidikan dan kesehatan sebagaimana yang dikatakan Ribka Tjiptaning Anggota Komis IX dari dari Fraksi PIDP. Bahwa negara tidak boleh berbisnis dengan warga negara.
“negara tidak boleh berbisnis dengan rakyatnya dengan alasan apapun,” bilang Ribka dalam Rapat Kerja Komisi IX DPR. Merdeka,com/Selasa (12/01/2021).
Ketika negara mulai berbisnis dengan warga negaranya pada sector-sector public yang adalah tanggungjawab negara seperti pendidikan. Imbasnya adalah masyarakat kelas bawah sulit mengakses pendidikan dan perguruan tinggi tidak lagi menjadi tempat belajar menjadi manusia yang siap memanusiakan manusia. Tapi hanya menjadi salon yang menyiapkan mahasiswa untuk kebutuhan pasar kapitalisme. Guna menata diri disalon pendidikan agar sesuai kebutuhan pasar kapitalis. Jadinya mahasiswa harus siap mengeluarkan biaya yang tidak sedikit, apa lagi mahasiswa kedokteran. Uang jajan pun terpaksa harus dikeluarkan demi merias diri berulang-ulang ketika harus mengulang mata kuliah secara reguler dengan membayar SPP karena dosen tidak mau memberi remedial karena gratis.
Demikian pula dengan permintaan maaf, harus ada mahar atau dalam budaya Papua bayar denda, ada uang dan piring. Mungkin itu yang di inginkan sang Dokter dengan dahlil etika profesi. Jadi tidak ada yang gratis. Sudah begitu mengulang mata kuliah yang tidak lulus atau mengikuti stase akhir harus sampai dengan nilai yang diremedialkan atau diikuti secara reguler sesuai dengan standart yang ditentukan sistem pendidikan yang sudah dikapitalisasi melalui kebijakan privatisasi atau swatanisasi. Jika belum sesuai standar harus mengulang dan harus bayar lagi. Begitu terus dan menjadi sistem bisnis.
Sudah begitu, bagi kapitalisme tak ada yang gratis apa lagi stase akhir. Tak ada yang gratis bagi kapitalis mempengaruhi paradigma dosen. Dosen tidak lagi melihat mahasiswa sebagai pemuda anti kemapanan yang lagi belajar. Namun dosen melihat mahasiswa sebagai tenaga kerja siap pake yang lagi belajar, apa lagi mahasiswa kedokteran. Privatisasi pendidikan juga membuat dosen tidak lagi menjadi pengajar semata tapi juga pengusaha diktat yang diktaktor. Ada perang ganda, mengajar/membimbing sekaligus berbisnis.
Membimbing sekaligus berbisnis dengan dahlil etika profesi berdampak negative terhadap mahasiswa. Mahasiswa akan menjadi kelinci percobaan metodelogi pengajaran dan uji coba kurikulum untuk melahirkan SDM sesuai kebutuhan pasar kapitalis. Juga menjadi objek bisnis para dosen. Paradigma ini dan prakteknya sekali lagi, tentu membuat mahasiswa stress.
Sudah begitu, stress yang dialami mahasiswa tidak hanya kerena dosen yang berperan ganda menjadi pengusaha mata kuliah. Namun juga dikarenakan pemberlakuan Sistem Kredit Semester (SKS) yang ketat dan pembatasan masa studi, serta mekanisme Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) terntu membuat mahasiswa stress karena mahasiswa saling lomba untuk menjadi manusia siap pake di dunia kerja. Yang “kalah” akan malu dan minder sama yang “menang”.
Apa lagi kalah karena dicurangi atau ditindas oleh sistem dan manusia. Mereka yang kalah karena merasa dicurangi atau ditindas oleh sistem dan manusia (dosen) yang tidak peka dan tidak punya hati nurani, pasti dong stess dan bisa bunuh diri. Sebagaimana Fembri Paul Fonataba, S. Ked dan Clemens Wopari, S. Ked.
Dan pilihan mengakhiri hidup yang dipilih dua Dokter Muda Papua, menurut saya, bukan saja dikarenakan mereka stress atas perilaku dosen semata, menurut pemberitaan sepihak dari sahabat-sahabat Fembri Paul Fonataba dan Clemens Wopari. Tapi diakibatkan pula oleh kebijakan negara dengan memprivatisasi atau menswatanisasi sektor pendidikan nasional Indonesia. Plus kegagalan Otonomi Khusus Papua dalam memberi imun terhadap Mahasiswa Papua dalam mengakses dan mendapatkan kepastian pendidikan yang layak dan transparan serta murah dalam akses biaya.
Saran; Dari kasus Fembri Paul Fonataba dan Clemens Wopari yang mengakhiri hidup mereka karena depresi sebagaimana yang ketahui publik dari postingan Facebook sahabat-sahabatnya. Saya sarankan agar kampus menyediakan psikolog bagi mahasiswa yang dianggap butuh bantuan psikolog, berdasarkan rekomendasi dosen pembimbing dan dosen stop jadi pengusaha mata kuliah atau pengusaha diktat. Juga secara Universitas dan Fakultas harus memproteksi dengan tegas dan serius hak dan cita-cita mahasiswa asli Papua yang dipersulit oleh sistem birkorasi yang kapitalistik dan dari sikap yang tak manusiawi. Tidak hanya menyurat apa lagi takut atas aduan dengan dahlil etika profesi. Agar kasus Paul Gesswein Fonataba dan Clemens Wopari tidak terulang lagi.
Dan untuk mahasiswa dan kaum muda Papua. Bila kematian Dokter Muda, Fembri Paul Fonataba dan Clemens Wopari diakibatkan oleh privatisasi pendidikan. Maka seyogyanya, kitong harus mengambil sikap revolusi untuk melawan praktek kapitalis pendidikan di Papua. Kitong harus lihat dong dua punya kematian seperti rakyat dan pemuda Tunisia melihat kematian Mohamed Bouazizi yang membakar dirinya karena menolak penindasan yang tersistematis dan dilegalkan dalam paket peraturan pemerintah dan sistem kapitalisme yang berakar di Tunisia.
Pembakaran diri Mohamed Bouzizi sebagai protes atas sistem menindas dan manusia yang tak manusiawi memicu demonstrasi di seluruh Tunisia. Bahkan Presiden Zine El Abidine Ali yang berkuasa selama 23 tahun harus menyatakan mengundurkan dari Presiden Tunisia.
Bagaimana dengan dokter spesialis mata yang disanyalir sering memeras mahasiswa dan diduga membuat Fembri Paul Fonataba stress dan bunuh diri? Juga Dekan Fakultas Kedokteran UNCEN yang tak punya keberpihakan bagi mahasiswa Papua sehingga Clemens Wopari bunuh diri? Serta Rektor UNCEN yang diam sehingga persoalan 2018 kembali terjadi di 2021? Jangan diam. Lawan.
Referensi bacaan:
1. Facebook Logowan Chegelian, postingan tertanggal 17 Januari 2021, pukul 18:08
2. Facebook Steven Yawan, postingan tertanggal 18 Januri 2021
3. Facebook Medhy Paputungan, postingan 13 Januari 2021
4. Buku Kaum Muda Bicara Hak Asasi Manusia (2012)
5.https://www.ceposonline.com/2021/01/22/kematian-dokter-muda-paul-ikut-dibahas-uncen
Malam broo, bisa nama nya oake inisial saja kah? Soalnya tra enak d baca, ada peraturan pers juga ttg itu🙏🙏🙏
Terimakasih kawan, kami edit sesuai permintaan..🙏🏾