Kalau kita berbicara soal tanah dan wilayah di Papua akan menjadi sesuatu yang sangat penting, sebab sangat berhubungan erat dengan sistem nilai dan norma yang hidup dan dipercaya oleh masyarakat adat pendukunganya. Bagi masyarakat adat di Tanah Papua, Tanah dan wilayah memiliki banyak istilah dalam bahasa lokal masing-masing kelompok masyarakat yang ada.
Secara umum, Masyarakat adat memandang tanah sebagai ibu atau mama yang selalu memberikan penghidupan bagi keberlanjutan hidup mereka dari generasi ke generasi. Tanah memberikan berbagai dukungan dan perlindungan terhadap kehidupan regenerasi masyarakat adat. Tanah juga dianalogikan sebagai Kekuasaan, kekuatan dan kesejahteraan.
Tanah merupakan siklus hidup masyarakat adat pada masa lalu, kini dan nanti, maka penghargaan dan perlindungan yang diberikan dalam bentuk pengelolaan dan pemanfaatan untuk pemenuhan dan keberlanjutan hidup masyarakat adat menjadi hal yang pokok dan sangat penting. Oleh karena itu maka pemutusan hubungan mereka dengan tanah adat secara tidak langsung akan telah memutuskan akses hidup dan keberlanjutan generasi mereka, dengan demikian maka perlu adanya pengahargaan yang tinggi atas nama kemanusiaan dari setiap pihak.
Bertolak dari pandangan yang hidup berdasarkan norma dan nilai-nilai tradisi, maka dalam pengelolaan dan pemanfaatan tanah adat dilakukan masyarakat dengan pola dan berbasis ruang. Masyarakat adat sangat mengenal dan memahami wilayah mereka maka secara sederhana pula telah membagi wilayah mereka ke dalam ruang-ruang kelola bagi keberlangsungan hidup berdasarkan pengetahuan serta kepercayaan mereka.
Ruang kelola adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lain hidup, melakukan kegiatan, dan memelihara kelangsungan hidupnya.
Hakikat hidup manusia pada dasarnya membangun hubungan antara manusia dan lingkungan berdasarkan kosmologi dalam kepercayaan mereka. Pola ini kemudian membentuk berbagai konsep, aturan dan nilai dalam imlementasinya, terutama dalam membentuk ruang-ruang kelola, baik secara ekonomi, sosial budaya dan religius. Ruang-ruang tersebut dibangun berdasarkan sistem nilai dalam tradisi dan adat istiadat mereka.
Masyarakat memposisikan letak kampung, pola pemukiman, kebun, lokasi berburu dan menangkap ikan, lokasi keramat, dan beberapa ruang dalam wilayah adat mereka. wilayah kelola berdasarkan urutan, ruang utama, ruang produksi, ruang religius/ keramat yang keseluruhannya disebut dengan beragam istilah dalam bahasa masing-masing daerah.
1) Ruang Utama
Ruang utama merupakan pusat pengorganisasian masyarakat, memiliki berbagai fungsi baik ekonomi, politik, sosial budaya, hukum dan religi sehingga dibangun menurut pertimbangan-pertimbangan tersebut. Lokasi-lokasi kampung pada wilayah kepulauan yapen dibangun secara terpusat pada lokasi-lokasi yang strategis berdasarkan kondisi saat itu. Kampung di bangun pada tepian pantai sebagai jalur akses utama tetapi juga memiliki peluang secara politik dan ekonomi produktif mereka. Selain masyarakat yang tinggal pada daerah pantai dan pulau, pada masyarakat yang tinggal di darah pegunungan juga memiliki persamaan dalam pola ruang wilayah secara tradisional.
2) Ruang produksi
Kebutuhan sumber mata pencaharian hidup dan teknologi, membutuhkan ruang produksi dalam pemanfaatannya. Hutan, laut, sungai dan kebun merupakan ruang produksi yang selalu menjadi bagian penting dalam pengelolaan dan pengembangan. Ruang ini merupakan ruang yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat adat. Pada masa lalu, status ruang ini sebagai alasan utama pergerakan masyarakat/ food gathering. Pada saat kontak budaya, pola ini ruang ini dibangun berdekatan dengan ruang utama dan pada jalur akses utama untuk mempermudah distribusi keluar wilayah atau ke lokasi ruang utama.
3) Ruang religi
Ruang ini menjadi ruang sakral bagi masyarakat, seperti tempat-tempat sejarah penciptaan, ruang persemayaman roh-roh leluhur serta tempat pemakaman (kubur). Pada ruang ini menjadi penting bagi masyarakat berdasarkan kosmologi yang hidup dalam kepercayaan mereka.
Pengelolaan ruang-ruang hidup masyarakat secara tradisional telah mampu memberi dampak yang sangat signifikan dalam kelangsungan hidup anggota masyarakat pengelolanya.
Secara formal, pemerintah telah mengakomodir ruang-ruang kelola tradisional berdasarkan sistem nilai, budaya dan kepercayaan masyarakat adat. Hal ini dapat kita lihat pada undang – undang nomor 5 tahun 1960 tentang pokok pertanahan (UUPA 1960) atau juga dalam undang – undang nomor 23 tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup (UU No.23 Tahun 1997), dalam pasal 9 UU No.23 tahun 1997 disebutkan bahwa hukum adat juga dijadikan dasar penetapan dan pembentukannya.
Walau secara resmi pemerintah telah menetapkan berbagai perundang-undangan tentang hal tersebut, namun beberapa kelemahan dalam perecanaan kawasan tidak mempertimbangkan aturan-aturan masyarakat adat telah menyebabkan kerugian-kerugian social, baik biaya, tenaga dan waktu sebagai akibat dari konflik-konflik tenurial yang terjadi.
Pemerintah wajib melakukan konsultasi dengan MHA dalam sebuah kawasan perencanaan pembangunan dan investasi skala besar. hal itu termuat dalam peraturan mentri agraria/ kepala BPN No. 2 Tahun 1999 pada pasal 6 ayat 1. untuk wilayah Papua, kebanyakan kasus perampasan lahan MHA dilakukan melauli kebijakan oleh para pejabat yang tidak melakukan koordinasi dan konsultasi dengan masyarakat adat pemegang hak atas tanah dengan istilah “Izin Lokasi” sehingga berimplikasi pada diterbitkanya HGU yang belum jelas pengertiannya pada tingkatan pemahaman MHA.
Awal proses perampasan lahan dan ruang-ruang kelola MHA terlihat secara sederhana pada pemberian Batas HGU bagi perkebunan skala besar untuk sebuah wilayah administratif di tingkat Provinsi seluas 20.000 ha dan 100.000 ha untuk seluruh wilayah Indonesia. sedangkan batas maksimum luas penguasaan Tanah di Provinsi Papua dan Papua barat melebihi batas maksimum penguasaan Tanah Untuk 1 provinsi, sebagaimana yang terdapat dalam pasal 4 Permen Agraria/ Kepala BPN no. 2 tahun 1999; dan telah direvisi dengan permen ATR/ Kepala BPN No. 5 tahun 2015.
Beberapa contoh kasus Perampasan lahan yang terjadi di provinsi Papua bertolak dari penjelasan diatas seperti pada kasus Korindo Grup dengan 3 anak perusahaan sawit di Merauke dengan Total Luasan konsesi 80.931 ha, Menara Grup dengan 7 anak perusahaan di kap. Boven Digul dengan luasan 270.095 ha, Bumi Mitratrans Maju Grup dengan 3 anak perusahaan dengan luasan konsesi 115.540 dan beberapa grup perusahaan yang berada pada kabupaten Merauke dan Bovendigul (Setahun Moratorium; Pusaka, 2019). Dari contoh kasus tersebut terlihat jelas bahwa batas luasan yang ditetapkan telah membengkak dan sangat terlihat jelas telah dilakukan perampasan lahan MHA secara Strukutral.
Beberapa hal pokok yang sekiranya dapat digunakan guna mewujudkan pengelolaan serta pembangunan wilayah yang baik, bermanfaat, dan berkelanjutan dengan menjunjung tinggi nilai-nilai budaya dan martabat masyarakat adat, maka diperlukan keserasian dalam pengembangan rtrw berbasis ruang kelola tradisional dengan struktur dan pola ruang secara daerah dan nasional.
Hal tersebut diharapkan dapat menghindari benturan-benturan yang terjadi dalam pengelolaan sumber daya alam diatas tanah dan wilayah adat.
Dengan demikian maka, perlu adanya skema baru pola hubungan antara Pemerintah, modal dan masyarakat, agar supaya pembangunan yang terjadi dapat bermanfaat bagi semua tingkatan baik pemerintah, masyarakat dan semua pihak yang berkepentingan diatas tanah adat tersebut.
**