Awal 2021 bara api mulai menyalah kembali di wilayah Pegunungan Papua tepatnya di Kabupaten Intan Jaya. Paling menjadi sorotan adalah perang antara Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPN-PB). Konflik antar kedua yang tidak pernah padam ini secara garis besar ini berawal dari sejarah Papua yang direkayasa oleh Indonesia dan Amerika Serikat, Operasi militer TRIKORA, integrasi secara paksa, PEPERA yang cacat hukum dan ekspansi investas besar-besaran yang terus masuk di Papua. Dengan demikian berbagai perjuangan baik TPNPB maupun kelompok pergerakan sipil Papua tidak lain untuk mempertahankan bangsa dari segala penindasan dan penjajahan.
Relevansi dari akar persoalan tersebut merupakan pemicu konflik berkepanjangan yang kemudian disusul berbagai kebijakan dan pemberian kekhususan dengan sistem pengendalian yang sifatnya koersif dan otoriter ini menjadikan situasi di Papua secara keseluruhan berada dalam keadaan darurat. Secara holistik, retorika Jakrta terhadap Papua itu menganggap konsep yang mereka lakukan dan penerapannya tentu harus dijalankan secara terstruktur dan sistematis bahkan secara paksa dilakukan. Tetapi hasil dari pada itu memiliki kesimpulan yang berbeda, bahkan kacamata Papua melihat Pemerintah Indonesia melakukan pendekatan dengan berbagai cara itu hanyalah bagian dari dominasi kekuasaan untuk penguasaan seluruh Tanah Papua. Banyak konflik yang terjadi dari sejak 1961 hingga kini, membuka lembaran baru pada 2021 telah memberikan catatan merah yang tengah dituliskan diberbagai media tentang situasi dan kondisi Papua.
Peristiwa terbaru dalam rangkaian konflik yang telah terjadi sejak awal tahun ini dari Januari hingga Februari, khususnya di wilayah Kabupaten Intan Jaya, Papua. Berikut beberapa peristiwa diantaranya Rabu 6 Januari 2021 Pembakaran Pesawat jenis Twin Otter milik MAF dengan kode PK-MAX di Bandara Pagamba, Distrik Mbiandoga Kabupaten Intan Jaya, Papua.Berikut dua Prajurit Raider dari Yonif R 400/Banteng Raiders gugur ditembak TPN-PB, di Kampung Titigi, Distrik Sugapa, Kabupaten Intan Jaya, Papua. Keduanya yaitu Pratu Roy Vebrianto dan Pratu Dedi Hamdani anggota Yonif Raider 400/Banteng Raiders, pada Jumat 22 Januari 2021. Pada 30 Januari 2021, diduga mata-mata, Boni Bagau seorang warga sipil di Kabupaten Intan Jaya, Papua tewas ditembak TPN-PB di perbatasan Distrik Sugapa dengan Homeyo. Kamis pagi 4 Februari 2021, pasukan Yonif Raider 400/Banteng Raiders yang di BKO dan bertugas di Kabupaten Intan Jaya, Papua terlibat baku tembak dengan TPN-PB di Hipadipa. Akibat kontak tembak di pagi buta tersebut, satu anggota TPN-PB dilaporkan tewas tertembus peluru prajurit Raiders. Selanjutnya seorang anggota TNI AD dari Satgas Apter Kodim Persiapan Intan Jaya, Papua, Praka Hendra Sipayung, menjadi korban peluru TPN-PB. Praka Hendra Sipayung ditembak pada Jumat 12 Februari 2021 sekitar pukul 15.15 WIT, di Kampung Mamba, Distrik Sugapa, Kabupaten Intan Jaya, Papua. Korban ditembak saat hendak berbelanja di warung yang berada didepan Pos Maleo. Pada 8 Februari 2021, ratusan warga mengungsi sekitar 600-an lebih warga yang berasal dari kampung Bilogai, Kumlagupa, dan Puyagiya itu mengungsi ke sebuah gereja Katolik.
Senin pagi 15 Februari 2021, tewasnya satu anggota TNI atas nama Prada Ginanjar Arianda. Penyisiran di kampung Wamba oleh TNI untuk melakukan pengejaran terhadap anggota TPN-PB yang disebutkan sebagai pelaku penembakan tewasnya satu anggota TNI atas nama Prada Ginanjar Arianda. Penyisiran tersebut mengakibatkan seorang pemuda atas nama Janius Bagau tertembak dilengan kiri hingga tulang hancur. Pada malamnya korban tertembak, Janius Bagau yang didampingi keluarga atas nama Justinus Bogau dan Soni Bogau saat di Puskesmas, mereka bertiga didatangi TNI dan diinterogasi kemudian dipukul dan disiksa hingga akhirnya ketiga warga sipil tersebut meninggal dunia di Puskesmas Bilogai, Sugapa, Kabupaten Intan Jaya. Kematian itu dituding anggota TNI bahwa ketiga warga tersebut hendak merampas senjata milik aparat saat sedang berada di Puskesmas.
Demikian peristiwa yang berlangsung selama dua bulan diawal tahun 2021. Sebelumnya pada tahun 2020 lalu, Gembala Gereja, Pendeta Yeremia Zanambani tewas ditembak Alpius, Wakil Komandan Daerah Rayon Militer (Koramil) Hitadipa TNI-AD di Hitadipa, Intan Jaya, Papua. Konflik ini telah berlangsung juga pada tahun-tahun sebelumnya yang menyebabkan ketegangan dan traumatis mendalam yang dialami oleh rakyat Papua.
Menyelidiki konflik yang terjadi di Kabupaten Intan Jaya dan sekitarnya adalah bukan saja tentang TPN-PB dan TNI/POLRI, sesungguhnya dari kedua kubu ini harus disimak secara transparansi dan berdasarkan latar belakangnya masing-masing. TPNPB secara singkat dapat digambarkan sebagai pemilik wilayah tanah Papua dari Sorong sampai Merauke, perjuangan dan pertempuran yang berlangsung sejak 1961 dengan militer Indonesia, hal ini dilakukannya dengan tujuan mempertahankan dan melindungi tanah air dan rakyatnya yang sebelumnya telah kita ketahui bersama bahwa bangsa Papua telah mengumumkan kemerdekaan namun dibubarkan secara paksa dengan berbagai tindakan yang pada akhirnya mencetuskan konflik terus-menerus hingga kini.
Hal ini ketika dilihat pada uraian singkat tentang peristiwa diatas merupakan bagian yang bukan terpisah atau baru diluar akar persoalan tetapi semua memiliki relevansi yang mutlak berdasarkan realitas selama ini. Namun pemerintah Indonesia selalu mengabaikan bahkan untuk tetap mempertahankan Papua atau meyakinkan PBB dan negara-negara demokrasi untuk tidak mengambil sikap bersama untuk pembebasan Papua.
Rentetan konflik, kebijakan penyelesaian selama ini disimpulkan bahwa Indonesia tidak serius mau menyelesaikan masalah. Semua aspek baik politik, ekonomi, sosial budaya, bahkan agama yang dijalankan selama ini bukan sesuatu yang dilakukan dengan tujuan terciptanya rekonsiliasi, memberikan keadilan dan mengangangkat martabat rakyat Papua. Sehingga wajar saja jika Indonesia ini berdasarkan retorika Papua adalah negara penjajah, penindas, pelaku pelanggaran HAM berat.
Berbagai aspek masalah tersebut, rakyat Papua telah menjadi minoritas untuk menduduki posisi yang berpengaruh di banyak bidang penting di tanah airnya sendiri, semata-mata bukan karena kalah bersaing atau tidak memilki sumber daya manusia, namun, karena tidak diberikan kesempatan, kebebasan, orang-orang Papua diteror, dan terancaman sehingga menjadi takut untuk membangun daerahnya, tanah airnya sendiri.
Watak militeristik pun ikut serta didalam keseharian masyarakat sipil, dominasi penguasaan ini dilakukan bukan hanya menggunakan kekerasan (Tindakan nyata) tapi juga melalui pikiran. Yang secara tidak disadari bahwa sebagian besar dari rakyat Papua telah memiliki sudut pandang, karakter dan budaya yang berbeda, ini disebabkan juga dari banyak hal yang tidak terlepas dari aspek tersebut. Rakyat dipaksakan mengikuti kemauan pemerintah tetapi sebaliknya pemerintah justru berpihak kepada kepentingan politik dan kapitalis.
Sehingga berbagai operasi militer dengan dalih keamanan, mempertahankan kedaulatan, penumpasan separatisme, atau bahkan sebagai upaya balas dendam anggota TNI kepada TPNPB, adlah Tindakan tidak berprikemanusian karena mengorbankan ratusan hingga ribuan rakyat Papua, yang terpaksa mengungsi dari kemapung halaman mereka selama 3 tahun terakhir, bahkan tidak sedikit yang sakit hingga mati di kamp-kamp pengungsian. Kekerasan yang dipertontonkan TNI dengan superiortitas alusista sejauh ini adalah arogansi, terror, bahkan penggusuran wilayah yang akan menjadi basis-basis kapital. Seperti yang baru saja kita lihat di wilayah Sugapa Intan Jaya semata-mata untuk mengamankan potensi tambang emas terbesar kedua di Papua setelah Freeport yaitu Blok Wabu.