SIARAN PERS KOALISI MASYARAKAT SIPIL
HARI AIR SEDUNIA (WORLD WATER DAY) 2021:
COVID-19 DAN PENGABAIAN HAK WARGA NEGARA ATAS AIR DAN
SANITASI YANG BERSIH
Sejak diputuskan dalam Konferensi PBB tentang Lingkungan dan Pembangunan di Rio de Janeiro, Brazil, pada tahun 1992, tanggal 22 Maret selalu diperingati sebagai World Water Day (Hari Air Sedunia). Peringatan ini menjadi hajat tahunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang berfokus pada mendorong pentingnya konservasi air. Lebih dari pada itu, ini menjadi momentum penting peningkatan kesadaran atas krisis air global dan turut mendukung pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) ke-6: Ensure availability and sustainable management of water and sanitation for all.
Komitmen internasional tersebut turut diperkuat melalui Resolusi 64/292. Majelis Umum PBB pada 28 Juli 2010 secara eksplisit mengakui bahwa hak atas air dan sanitasi yang bersih sangat penting untuk mewujudkan semua hak asasi manusia (HAM). Resolusi menyerukan kepada negara dan organisasi internasional untuk 3 (tiga) hal. Pertama, menyediakan sumber daya keuangan. Kedua, membantu pengembangan kapasitas dan transfer teknologi untuk membantu negara-negara, khususnya negara berkembang. Ketiga, untuk menyediakan air minum dan sanitasi yang aman, bersih, dapat diakses dan terjangkau untuk semua.
Hari Air Sedunia 22 Maret 2021 yang mengangkat tema Valuing Water atau “menghargai air” serupa seperti tahun sebelumnya: diperingati di tengah Pandemi Covid-19. Kebutuhan air bersih di masa ini kian mendesak. Seiring dengan himbauan dan seruan otoritas nasional (pemerintah), air bersih menjadi alat esensial protokol kesehatan pencegahan penyebaran virus, seperti untuk mencuci tangan dalam frekuensi tinggi. Hal ini bukan perkara mudah, khususnya bagi masyarakat yang mengalami kelangkaan air bersih. Namun, sebenarnya setiap tahun, fakta permasalahan atas pemenuhan hak atas air dan sanitasi tetap bermunculan.
Kualitas air sungai di Indonesia terus memburuk. Hal ini ditunjukkan dengan semakin tingginya persentase sungai yang tercemar berat dari tahun ke tahun berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) 2019. Dalam situs LOKADATA, disebutkan penyebab utama pencemaran yang terjadi di sungai yang melewati perkampungan adalah aktivitas industri.
Kita dapat menilik realitas kondisi buruh sawit di Arso Timur Kabupaten Keerom, Papua. Para buruh yang tinggal di perumahan area perkebunan hanya mengandalkan air sumur yang disediakan perusahaan dan waduk di tengah perkebunan sawit dengan pemberlakuan sistem irigasi buka tutup guna mengaliri air dari sungai sekitar. Akibatnya, jika musim kering/kemarau, air menjadi persoalan utama karena sumur dan sistem irigasi tidak akan bekerja sama sekali. Untuk mengatasi kelangkaan air, para buruh perkebunan mengandalkan waduk yang letaknya cukup jauh. Air waduk ini sangat keruh dan dipenuhi dengan dedaunan kering dan jentik nyamuk, padahal digunakan untuk mandi cuci kakus (MCK). Aliran air memang hanya ditarik dengan pipa air biasa tanpa ada filter dan digunakan mesin penarik air untuk menambah tekanan air agar dapat mengalir ke rumah/barak buruh. Sedangkan, untuk kebutuhan minum dan memasak, keluarga buruh mengandalkan sumur sebagai sumber air minum satu-satunya yang jaraknya kurang lebih dua ratus meter dan ditempuh dengan berjalan kaki (ELSAM, 2020).
Hal serupa terjadi di area perkebunan sawit di Kabupaten Sorong, Papua Barat. Mama-mama masyarakat adat Moi Klamono dipaksa untuk menempuh perjalanan jauh untuk sekadar menjangkau akses air bersih. Hal ini lantaran sumber air di area perkebunan telah tercemar oleh limbah dari penggunaan bahan-bahan kimia beracun di pengoperasian perkebunan.
Kekhawatiran masyarakat akan kelangkaan air bersih juga dialami oleh Masyarakat di Kabupaten Sambas dan Ketapang, Kalimantan Barat. Masyarakat di kedua kabupaten ini mengeluhkan pencemaran air di sungai dan sumber air mereka akibat penggunaan pupuk dan pestisida yang berlebihan dalam perkebunan maupun limbah minyak sawit dari pengolahan minyak sawit mentah yang masuk ke aliran sungai. Hal ini berakibat pada pencemaran air dan menurunnya jumlah ikan tiap tahunnya.
Sawit Watch mencatat hingga tahun 2020 terdapat sebanyak 72 komunitas masyarakat yang berkonflik dengan perkebunan sawit untuk isu kerusakan lingkungan. Perkebunan sawit tidak hanya menyebabkan terjadinya penurunan kualitas air bersih. Dalam konteks yang lebih berat, hadirnya perkebunan sawit juga dapat mengakibatkan hilangnya (mengering) sungai-sungai kecil atau aliran anak sungai di suatu wilayah di sekitar perkebunan. Jika hal ini sudah terjadi, maka akan berdampak pada hilangnya budaya dan kearifan lokal masyarakat adat atau masyarakat setempat yang secara turun temurun melakukan pemanfaatan dan pengelolaan air di wilayah tersebut.
ECOTON (2018), dalam pendataan pestisida dan pupuk yang dilakukan, menemukan 5 (lima) agen aktif pestisida, 4 (empat) diantaranya amat sangat beracun dan 9 jenis pupuk yang mengandung logam berat yang berbahaya bagi kesehatan manusia dan lingkungan. Pupuk dan pestisida mencemari sungai melalui praktik-praktik yang tidak memenuhi prosedur dan regulasi seperti: mengubah ukuran penyemprot dan pemupukan sembarangan dan penanaman sawit di bantaran sungai.
Tidak hanya meracuni lingkungan, paparan pestisida dan pupuk juga meracuni buruh penyemprot dan pemupukan yang mayoritas adalah perempuan. Paparan pada saat bekerja disebabkan oleh tidak digunakannya alat perlindungan diri (APD) yang lengkap. Hal tersebut terjadi karena tidak disediakan oleh perkebunan ataupun ketiadaan informasi dampak kesehatan paparan senyawa beracun tersebut. Kondisi ini masih ditambah dengan tidak tersedianya air bersih bagi buruh untuk membersihkan diri/dekontaminasi setelah bekerja. Pada kasus yang ekstrem, seperti yang dialami oleh buruh kebun di Kalimantan Timur, air kanal/sungai tercemar untuk kebutuhan sehari-hari termasuk air minum.
Air sendiri juga menjadi malapetaka bagi manusia yang tidak menjaga lingkungannya atau hutan. Kasus Banjir Bandang pada Maret 2019 di Kabupaten Jayapura yang menelan ratusan korban jiwa menjadi buktinya. Banjir juga terjadi pada masyarakat Yerisiam, Kabupaten Nabire, Papua pada tahun 2016. Hal ini disebabkan pembabatan hutan yang meluas untuk perusahaan sawit.
Berbagai fakta di atas memperlihatkan adanya praktik pengabaian hak-hak buruh, salah satunya minimnya ketersediaan air bersih yang layak bagi buruh. Air bersih menjadi kebutuhan dasar yang penting bagi pekerja/buruh. Ketiadaan air bersih pada barak-barak buruh/pekerja memaksa mereka untuk berpikir mendapatkan air bersih untuk keperluan masak atau mandi. Tak jarang, mereka menampung air hujan atau pergi ke sungai. Belum lagi kondisi pandemi Covid-19 kian menambah kerentanan dan memberikan ancaman yang spesifik dan serius terhadap pemenuhan hak-hak buruh atas air bersih dan sanitasi. Di sisi lain, kode praktik keamanan dan kesehatan pada perkebunan yang berkaitan dengan proses dekontaminasi bahan beracun dan ketersediaan air bersih yang aman, sebagaimana disyaratkan oleh ILO, pada praktiknya tidak terlaksana dengan baik.
KRuHA mencatat pelanggaran Hak Atas Air akibat ekspansi secara luar biasa yang terus menerus dilakukan oleh industri ekstraktif seperti sawit setidaknya berada pada lima level perampasan air dan ekosistem air, yaitu: Pertama, perusakan massal sumber air di hulu akibat pembukaan hutan untuk perkebunan, akibatnya ribuan DAS mati karenanya; Kedua, pencemaran sumber air warga, baik oleh pupuk, buruknya pengolahan limbah, maupun oleh bahan yang terkandung dalam sumber daya alam yang dibongkar selama proses ekstraksi; Ketiga, pengeringan sumber air rakyat di sekitar wilayah industri akibat tingginya konsumsi air dalam setiap proses produksinya – dari perkebunan hingga pengolahan di pabriknya; Keempat, pembukaan lahan untuk industri ekstraktif seperti perkebunan sawit yang telah mengurangi kapasitas tanah dalam menyerap air hujan dan seringkali mengakibatkan banjir di wilayah sekitar; Kelima, perampasan air yang bahkan letaknya jauh di luar kawasan industri sawit misalnya peningkatan permintaan dan supply air minum dalam kemasan di kawasan produksi sawit karena kurangnya air layak konsumsi di wilayah tersebut.
Lebih lanjut, berdasarkan General Comment No. 15: The Right to Water, Kebersihan lingkungan sebagai aspek hak atas kesehatan menurut pasal 12, paragraf 2 (b). Kovenan mencakup pengambilan langkah-langkah non-diskriminatif untuk mencegah ancaman terhadap kesehatan dari kondisi air yang tidak aman dan beracun. Oleh karenanya, Negara Pihak harus memastikan bahwa sumber daya air alami dilindungi dari kontaminasi zat berbahaya dan mikroba patogen. Demikian pula, Negara Pihak harus memantau dan memerangi situasi ekosistem air berfungsi sebagai habitat vektor penyakit di mana pun mereka menimbulkan risiko bagi lingkungan hidup manusia.
Berangkat situasi tersebut, bersamaan dengan momentum Hari Air Sedunia 2021, koalisi masyarakat sipil mendorong Pemerintah Indonesia untuk lebih serius dalam memastikan pemenuhan hak atas air dan sanitasi yang bersih bagi warga negaranya dengan melalui reformasi hukum. Eksistensi Prinsip-Prinsip Panduan PBB tentang Bisnis dan HAM (UNGPs) perlu diaktualisasikan dengan baik. Sebab, prinsip ini telah menekankan adanya tanggung jawab perusahaan dalam menghormati HAM termasuk hak atas air dan sanitasi. Untuk itu, perusahaan sudah sepatutnya dapat memastikan kebijakan hak atas air dan sanitasi, mengidentifikasi, mencegah dan berupaya memulihkan apabila telah terdapat dampak hak asasi manusia yang terjadi.
Jakarta, 22 Maret 2021
ELSAM – ECOTON – GEMAWAN – Koalisi Buruh Sawit (KBS) – SAWIT WATCH – YADUPA – SKPKC Fransiscan Papua – PAPUAN VOICES – KRuHA – Lembaga Peduli Masyarakat Mimika Timur Jauh (LEPEMAWI) – GempaR-Papua
Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi:
- Busyrol Fuad (ELSAM) 085655004863
Sigit K. Budiono (KRuHA) 081318835393
Riska Darwamati (ECOTON) 081252031456
Hady Saputra (Sawit Watch) 082154574142
Yuliana Langowuyo (SKPKC Fransiscan Papua) 082199668664
Rut Ohoiwutun (YADUPA) 082239625793