Analisa Harian Hidup dan Mati Arnold Ap: Melawan Lupa 37 Tahun...

Hidup dan Mati Arnold Ap: Melawan Lupa 37 Tahun Pembunuhan Sang Budayawan

-

Pada 26 April 1984, Arnold Clemens Ap seorang musisi pendiri grup musik dan tari  Mambesak di bunuh oleh Komando Pasukan Sandi Yudha (Kopasanda) atau yang kini lebih dikenal sebagai Komando Pasukan Khusus (Kopasus) di Pantai Base-G, Kota Jayapura, Papua.

Semasa hidup, Arnold dikenal sebagai seorang Seniman dan Budayawan Papua. Bersama Mambesak mempromosikan musik dengan irama tradisional keseluruh tanah Papua dalam kurun waktu 1978-1984. Ada beberapa cara yang digunakan Arnold Ap bersama kawan-kawannya di Mambesak, pertama merekam dan memproduksi album lagu Mambesak Volume I hingga V dalam bentuk kaset pita. Produksi tersebut bahkan dilakukan berulang kali karena diminati dan tersebar luas di seluruh Tanah Papua.

Mambesak juga memiliki  program acara siaran radio di stasion Radio Republik Indonesia (RRI) Nusantara V Polimak Jayapura untuk Wilayah Papua dengan nama program Pelangi Budaya dan Pancaran Sastra. Sebuah media untuk mempromisikan keberagaman budaya dan musik Papua. Seperti mempopulerkan dialek melayu Papua, musik tradisional, hingga cerita-cerita lucu yang dikenal sebagai Mop. Melalui Siaran ini pula mereka sering menerima kiriman rekaman lagu dan teks lagu berbahasa daerah dari pelosok Tanah Air Papua, yang kemudian mereka aransemen untuk di nyanyikan ulang di pentas tari maupun di rekam kedalam kaset pita.

Salah satu lagu Mambesak yang terkenal hingga ke seluruh Indonesia adalah Apuse yang iramanya lalu dipakai pada soundtrack film “Garuda di Dadaku” yang disutradarai  oleh Ifa Isfansyah pada 2009 dan 2011. Judul serta materi Apuse dirubah menjadi judul lagu Garuda di Dadaku oleh grup band Netral. Hingga kini Band Netral tidak secara benar menjelaskan asal muasal lagu tersebut walau sudah banyak kritik dialamatkan kepada mereka.

Ketiga, Arnold Ap giat melakukan regenerasi dan kaderisasi bagi para musisi muda di grup Membesak, dengan melatih mereka bermain alat musik, seperti tifa, ukulele, gitar, dan juga mengajarkan berbagai tari-tarian. Selain itu Arnold juga mempunyai kemampuan sebagai penulis sketsa formasi tarian kreasi Papua.  Hal itu dilakukan karena Mambesak rutin mengikuti berbagai lomba ditingkat lokal hingga nasional untuk mempromosikan Budaya Papua.

Hidup dan mati Sang Legenda Musik Daerah Papua tiada henti dikisahkan dan direnungkan. Salah satu versi berasal dari kumpulan esai-esai George Junus Aditjonro (GJA) yang dibukukan dan dicetak oleh Elsam Jakarta  pada Juli 2000 dengan Judul Cahaya Bintang Kejora. Pada bab empat dalam buku ini, GJA menjelaskan secara lengkap tentang Mambesak dan semua tokoh yang terlibat dalam pembembentukannya juga mendukung sejak awal hingga akhirnya terjadi perpecahan dalam tubuh membesak yang dilatarbelakangi oleh perbedaan pandangan tentang konsep dan jenis musik, hingga kronologis ke kematiannya.

GJA mengambarkan bahwa  Arnold Clements Ap adalah seorang pemuda penuh bakat yang telah aktif dalam berbagai kegiatan sejak masa muda. Dengan kemampuannya itu ketua Lembaga Antropologi Uncen Ignatius Soeharno meminta kesediannya menjadi  Kurator Museum Uncen, tawaran itu bahkan sejak Arnold masih menjadi mahasiswa Jurusan Geografi di Fakultas Keguruan Ilmu pendidikan (FKIP) Universitas Cendrawasih (UNCEN).

Sejak itu Arnold dan teman-temannya mendirikan sebuah  grup musik dan tari sekitar 1972. Awalnya Grup itu mereka berinama Manyori atau Burung Nuri  yang dianggap Burung Suci oleh suku Biak. Namun dengan berbagai masukan serta pertimbangan dari banyak sahabat, mereka lalu memilih sebuah nama yang masih dari bahasa Biak yaitu Mambesak atau Burung Cenderawasih.

Eksistensi Mambesak dalam bidang musik, seni, dan budaya membuat seorang Arnold Ap dikenal luas di Papua. Ratusan hingga ribuan musik karya mereka telah diproduksi menjadi Kaset dalam beberapa volume dan dijual secara luas diseluruh Papua waktu itu. Membesak tidak sulit mendapat tempat di hati para pecinta musik Papua karena menyanyikan lagu dengan hampir semua bahasa suku di Papua, dengan perpaduan antara gitar, ukuele, dan tifa, irama yang digemari rakyat Papua, yang dalam Ilmu Anthropologi serta musikologi dikenal dengan Folksong[1].

Pengaruhnya yang luas bersama Mambesak, sekaligus menjabat Kurator Museum Uncen bahkan penangungjawab dua siaran radio di RRI menimbulkan keresahan bagi beberapa kelompok dan membuat dirinya mulai tidak disukai terutama oleh Angkatan Bersenjatah Republik Indonesia (ABRI). Arnold di curigai menjadikan Mambesak sebagai separatisme “gaya baru”, dan dengan semua aktivitasnya itu dituding sebagai propaganda politik untuk memprovokasi rakyat Papua menentang Indonesia.

Terlebih lagi saat itu di Papua ada seorang eks Tentara Nasional Indonesia (TNI) asal Biak bernama Zet Jafeth Rumkorem, yang baru saja memproklamirkan kemerdekaan Republik Papua Barat dipinggiran Kota Jayapura yang dikenal dengan Markas Viktoria pada 1 Juli 1971. Suatu peristiwa Politik yang semakin menambah tingginya operasi militer ABRI di Papua. Nama-nama operasi militer  untuk penumpasan Organisasi Papua Merdeka tersebut,  antaralian:  Operasi pamungkas (1970-1974), operasi kikis (1977-1978), operasi sapu bersih (1978-1982), Operasi Sate (1984) dan masih banyak lagi Operasi-operasi militer yang sudah semenjak tahun 1963 hingga 1998  gencar di seluruh Tanah Papua.

Arnold Ap  lalu dikaitkan memiliki hubungan dengan kelompok Zet Rumkorem tersebut sehingga harus disingkirkan. Walaupun sampai sekarang tuduhan tersebut tidak pernah terbukti dan tidak mampu dibuktikan oleh ABRI. Arnold ditangkap dan dijebloskan ke Rumah Tahanan Polisi Daerah Papua (Polda) bersama sepupunya yang juga anggota Mambesak dan Staf Kampus Fisip-Uncen bernama Edy Mofu 30 November 1983, mereka ditahan berbulan-bulan tanpa pernah diadili di Pengadilan.

Pada malam 21 April 1984 seorang anggota polisi bernama Pius Wanem “membujuk” Arnold Ap untuk melarikan diri dari Rumah Tahanan Polda Papua di APO Kota Jayapura. Malam hari ketika sel rumah tahanan itu dibuka lima orang tahanan diantanya Arnold Ap , Edy Mofu, Agustinus Runtumboi (Sekretaris Desa Nolokla, Setani), Alex Membri, Johanis C. Rumainum (Mahasiswa Fisip-Uncen) melarikan diri.

Perlahan-lahan mereka meninggalkan lingkungan Polda Papua menuju kearah belakang Gedung Olaraga (GOR) Cenderawasih, disana telah menunggu sebuah mobil Toyoya. Alex Mebri memilih tidak ikut bersama mereka dan hilang di kegelapan malam. Mobil itu lalu melarikan mereka ke Base-G sebuah kawasan pantai Wisata dibagian utara Kota Jayapura.

Sesampianya disana para tahanan lalu melepaskan pakaian dan berenang untuk mengapai sebuah perahu kecuali Edy Mofu. Dengan kondisi lautan yang bergelombang di malam itu Edy Mofu tidak dapat mengapai perahu. Setelah menunggu beberapa lama, mereka memutuskan untuk ke Pasir 6 sebuah lokasi arah barat Kota Jayapura. Keesokan harinya didapati kabar bahwa jasat Edy Mofu ditemukan warga lengkap dengan pakaian yang dikenakan. Kuat dugaan Edy meninggal terbawah arus dan gemobang lautan Pasifik.

Arnold Ap bersama kedua rekannya menunggu selama tiga hari di Pasir 6 dengan harapan akan ada jemputan yang melarikan mereka menuju  Provinsi Vanimo, Papua New Guinea (PNG), disana anak dan istrinya telah menunggu.

Namun naas, dihari keempat, saat berada dibibir pantai perahu yang sering digunakan warga untuk mengantar makanan pada mereka telah dipenuhi oleh Kopasanda. Arnold tidak kuasa menghindari sergapan, tiga tembakan menyasar di perut dan lengan kanannya. Dengan terluka dia digelandang keatas perahu dan dilarikan kembali ke Base G. Dua orang perawat dari Rumah Sakit Aryoko telah menunggu dengan peralatan medis di Base G namun menemukan bahwa dia telah tewas sebab pendarahan.

Keesokan harinya 27 April, Jasad sang budayawan lalu dikembalikan ke rumah dinas miliknya  di depan Museum Uncen, Distrik Abepura Kota Jayapura. Kabar kematian sang seniman dan budayawan menyebar luas di Kota Jayapura, hingga massa terus memadati rumah duka. Namun  militer mendesak jenasah harus dikuburkan pada hari itu juga, tepatnya jam 7 malam. Ratusan orang berjalan kaki mengiring mobil jenazah menuju pengkuburan Tanah Hitam Distrik Abepura Kota Jayapura, yang berjarak dua kilo meter. Jenasahnya lalu dikuburkan tepat di sebelah Edy Mofu yang dimakamkan beberapa hari sebelumnya.

Saat ini menjelang 26 April 2021 telah genap 37 tahun kisah tragis kekejaman militer terhadap Budayawan Besar Tanah Papua itu. Kasus kematinnya tidak pernah dipertanggungjawabkan oleh institusi ataupun kesatuan yang telah melakukan kejahatan tersebut,  pelaku bebas tidak diadili atas pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat tersebut.

Sampai hari ini sang budayawan dan Mambesak masih terus dikenang melalui iringan musik dan suaranya yang merdu. Oleh Sebagian mahasiswa dan kelompok muda kematiannya masih sering peringati dengan berbagai aksi, seperti panggung budaya; dengan tarian, music dan orasi-orasi politik, atau bahkan melayat di makam Dua Tokoh Bangsa tersebut, Arnold Ap dan Edy Mofu. Upaya itu sebagai gerakan “Melawan Lupa” dan Pendidikan politik bagi anak bangsa disetiap tahunnya.

Pada 5 Agustus 2020, 11 orang Penulis yang terdiri dari akademisi, antropolog, dan mahasiswa Antropologi Universitas Cenderawasih resmi meluncurkan sebuah buku dengan Judul “Grup Mambesak, Simbol Kebangkitan dan Kebudayaan Masyarakat Papua Proto”. Buku tersebut sekaligus perayaan atas hari dimana Grup Mambesak resmi terbentuk. Peluncuran dilakukan dengan beragam bentuk acara ofline maupun online, seperti diskusi buku, musik, dan berbagi kisah bersama isteri, anak, dan rekan Arnold di Mambesak Demianus Kurni langsung dari Belanda. Buku tersebut bahkan diharapkan sebagai awal dari sebuah gagasan yaitu “mambesakologi”.

Tulisan ini telah di sunting dan diterbitkan kembali dari  judul asli “Kisah Tragis Kematian Arnold Ap Budayawan Papua” dari yasonngelia.blogspot.com.

Referensi:

[1] Sekilas tentang Folksong, “Folksong berarti nyayian atau lagu rakyat yang menyebar melalui pendengar secara turun-temurun”  dalam Wikipedia Folksong adalah lagu daerah atau musik daerah-kedaerahan yang merupakan lagu atau musik yang berasal dari satu daerah tertentu dan menjadi populer dinyanyikan baik oleh rakyat daerah tersebut maupun rakyat lainnya. Pada umumnya pencipta lagu daerah ini tidak diketahui lagi pembuatnya atau pengarangnya.

Yason Ngelia
Penulis adalah aktivis Gerakan Perjuangan Rakyat Papua (GPRP) dan Pengasuh Rubrik Analisa Harian.

1 KOMENTAR

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Kirim Donasi

Terbaru

Rekonstruksi Identitas Orang Papua Melalui Perubahan Nama Tempat

Irian berubah menjadi Irian. Masyarakat Papua atau orang-orang yang...

Rosa Moiwend dan Kesalahan Teori Patriarki

Rosa Moiwend, salah satu kamerad kita di Papua menulis di media Lao-Lao Papua pada 9 Juni 2023, bahwa gerakan...

Ekofeminisme dan Hubungan Antara Perempuan dengan Hutan Sagu

Sebuah pandangan mengenai hubungan antara perempuan dengan hutan sagu di Kampung Yoboi, Sentani dan bagaimana mengujinya dengan perspektif ekofeminisme. Sagu...

Ancaman Pembangunan Terhadap Lahan Berkebun Mama Mee di Kota Jayapura

"Ini kodo tai koo teakeitipeko iniyaka yokaido nota tenaipigai, tekoda maiya beu, nota tinimaipigai kodokoyoka, tai kodo to nekeitai...

Memahami Perempuan (Papua) dari Tiga Buku Nawal El Saadawi

Sebuah ringkasan secara umum Pengantar Isu feminisme di Papua pada umumnya masih banyak menuai pro dan kontra. Itu bisa kita temukan...

Rubrikasi

Konten TerkaitRELATED
Rekomendasi Bacaan