Pilihan Redaksi May Day, Aneksasi, dan Sosialisme di Papua

May Day, Aneksasi, dan Sosialisme di Papua

-

Seratus tiga puluh lima (135) tahun sudah May Day atau hari buruh Internasional diperingati di berbagai negara, termasuk Indonesia. May Day, dilaksanakan setiap tahunnya dalam beragam bentuk, mulai dari mogok kerja, long march, panggung orasi, hingga demonstrasi oleh organisasi-organisasi buruh. May Day adalah momentum konsolidasi untuk memaksimalkan perjuangan mereka.

Peristiwa bersejarah ini tidak terjadi begitu saja melainkan berawal dari aksi demonstrasi dan mogok kerja buruh di Chicago Amerika Serikat yang melibatkan lebih dari 300.000 kaum buruh pada 1886. Aksi tersebut tidak berjalan mulus, terjadi bentrokan yang melukai serta menewaskan ratusan hingga ribuan massa buruh. Sebagian dari mereka lalu ditangkap dan dihukum penjara. Untuk mengenang peristiwa itu Internasionale ke II di Paris 1889 menetapkan 1 Mei sebagai hari buruh internasional.

Penetapan tersebut tidak begitu saja diterima oleh negara-negara kapitalis, terutama karena Internasionale adalah konferensi para sosialis dunia di bawa payung komunisme, yang otomatis menentang ideologi liberal kapitalis. Namun pada perkembangannya, terjadi “kompromi” oleh negara-negara kapitalis terhadap kaum buruh, kondisi ini kian membaik setelah lahirnya International Labour Organization (ILO), atau organisasi perburuhan internasional pada 1919. ILO, kemudian diadopsi oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sebagai salah satu konvenan internasional, dan menjadi badan khusus yang mengembangkan penetapan standar dibawah naungan sistem PBB. Konvensi ILO, bertujuan untuk meningkatkan standar keselamatan buruh serta menjamin kualitas hidup, dan pekerjaan-pekerjaan buruh di dunia tanpa diskriminasi ras, jender atau asal usul sosial[1].

Maka tidak heran bila setiap tahun, pabrik-pabrik hingga gedung-gedung pemerintah, termasuk gedung parlemen di berbagai belahan dunia, akan ramai dikerumuni dan dikepung oleh kaum buruh baik yang tergabung dalam serikat buruh, ataupun perorangan, seperti yang biasa kita saksikan di Jakarta. Bagaimana massa buruh menduduki Monas, Gelora Bung Karno (GBK), hingga jalan-jalan utama di Jakarta. Sambil membawah beragam atribut aksi seperti spanduk, pamflet, hingga orasi-orasi yang menggelegar mendesak perubahan, dan menentang praktek-praktek buruk kapitalisme yang masih terus terjadi.

May Day begitu kontras di Indonesia, yang mana sektor ekonominya digerakan oleh buruh-tani hingga buruh industri, dengan pabrik-pabrik skala rumahan hingga skala besar; namun hari buruh yang semarak baru ditetapkan sebagai libur nasional tahun 2014 oleh Soesilo Bambang Yudoyono (SBY). Meskipun terbilang lambat, namun penetapan itu adalah pencapaian yang patut dibanggakan, mengingat peringatan hari buruh di Indonesia telah dimulai sejak tahun 1920.

Aneksasi vs Integrasi di Papua

Berbeda dengan Jakarta, Papua kita tidak akan menyaksikan buruh turun ke jalan menyambut May Day dan menuntut hak mereka, apalagi dengan kekuatan massa yang besar. Kita hanya akan menyaksikan perang propaganda antara rakyat Papua baik di media-media sosial maupun di pusat-pusat kota. Perang media dan propaganda ini, terjadi antara rakyat Papua yang memperingati hari “aneksasi”, dan rakyat Papua yang dibekap Tentara Nasional Indonesia (TNI) untuk merayakan hari “integrasi” Irian Barat (kini Papua) ke Indonesia pada tahun 1963.  Massa yang berbeda pandangan Politik ini, seringkali terlibat adu mulut ketika tanpa sengaja berpapasan di jalan maupun pada titik-titik aksi di pusat kota, ataupun saat di gedung pemerintah dan parlemen.

Sejarah pertentangan itu bermula sejak 58 tahun yang lalu, ketika peralihan Papua oleh United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA/PBB) kepada Indonesia 1 Mei 1963. Langkah PBB ini untuk melegalkan aktivitas Indonesia mempersiapkan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) hingga 1969. Kekuasaan dari UNTEA lalu dijadikan peluang untuk memaksimalkan berbagai upaya politik, dalam memuluskan keinginannya menguasai Papua, yang waktu itu disebut Irian Barat dan atau Nederlands New Guinea. Apa yang dilakukan oleh Indonesia? pertama, Indonesia melanggar perjanjian New York 15 Agustus 1962 (New York Agreement). Terutama ketentuan menyangkut bentuk pelaksanaan Pepera yang mewajibkan referendum secara luas, dan mengikutsertakan seluruh rakyat. Kedua, Indonesia merepresif semua gerakan-gerakan protes damai rakyat secara biadap, baik dengan menangkap, memenjarahkan, bahkan tidak sedikit yang dilaporkan terbunuh.

Indonesia memang sangat berniat menguasai Papua. Nampak jelas bagaimana mereka memanfaatkan semua jaringan orang-orang Indonesia di Papua. Misalnya para tahanan politik, tenaga medis, dan guru; untuk menyebarkan propaganda integrasi. Seperti  halnya digulis[2] bernama Soegoro Admoprasodjo,  pengajar dan direktur  di Asrama kursus singkat Pamong Praja di Kota Nica (Kampung Harapan Kab. Jayapura), ada juga J Gerungan  seorang dokter perempuan yang bertugas di beberapa daerah di Papua sejak 1945, dan Sam Ratulangi di Serui 1946. Sosok-sosok seperti mereka inilah, yang membuat Indonesia berhasil memempengaruhi orang-orang Papua untuk mendirikan partai-partai kemerdekaan Indonesia, seperti Komite Indonesia Merdeka (KIM), dan Partai Kemerdekaan Indonesia Irian (PKII). Upaya ini dilakukan untuk menandingi kelompok Orang Papua yang dibekap Belanda dalam 12 Partai politik, Komite Nasional Papua (KNP) dan Nieuw Guinea Raad (Dewan Papua) sejak 1950 an.

Upaya sistemik ini mengakibatkan perpecahan di kalangan Intelektual Papua, dan semakin mengerucut ketika diangkatnya Eliezer Jan Bonay sebagai Gubernur Papua pertama, dibawah pemerintahan Indonesia (1963-1964); yang bahkan belum sah berkuasa di Papua. Faktanya, Eliezer adalah Intelektual Papua yang terlibat secara Politik dalam Deklarasi Kemerdekaan Papua 1 Desember 1961. Setelah Eliezer, giliran Frans Kaisepo (1964-1973) tokoh politik yang memang sejak awal mendukung penguasaan Indonesia atas Papua; Frans Kaisepo paling terkenal karena mencetus nama Irian untuk pertama kali di Konferensi Malino 1947. Keberhasilan Indonesia memecah belah kalangan intelektual, tidak terjadi pada rakyat Papua, dilihat dari besarnya gelombang protes rakyat menjelang Pepera di berbagai kota terutama Jayapura dan Manokwari. Rakyat Papua berkeinginan kuat merdeka menjadi sebuah negara ketimbang terjerat dalam kolonialisme sekali lagi.

Buruh yang Tak Miliki Kesadaran Kelas

Praktek kapitalisme dan kolonialisme otomatis menghadirkan tenaga kerja (buruh) di Papua. Seperti masuknya Perusahan modern pertama sebelum Freeport, bernama Nederlandsche Nieuw Guinea Petroleum Maatschapp (NNGPM) di Sorong pada 1935 yang mengelola minyak dan gas. Para buruh dari NNGPM asal Belanda seperti Dr. Jean Jacques Dozy, Dr. A.H Colijn, dan Ir. Frans Wissel yang umumnya dikenal sebagai geolog inilah yang kemudian menjadi penemu Gesberg di Timika, yang catatannya kemudian mempermudah eksplorasi Freeport. Selanjutnya, pada kekuasaan Jepang 1940 an pabrik-pabrik di Manokwari juga didirikan untuk kepentingan militer dan akomodasi Jepang. Buruh-buruh yang bekerja didatangkan dari luar Papua, seperti dari Belanda, Amerika, dan Indonesia. Buruh Indonesia saat itu bekerja dibawah tekanan dan tanpa upah, banyak dari mereka tidak kembali ke daerah asal karena meninggal dunia. Pada 1952 terbentuk satu organisasi buruh oleh para pekerja asal Belanda dan Indo Belanda bernama Perserikatan Pekerja Kristen di Niuew Guinea (Persekding). Serikat buruh ini terbentuk untuk merespon kehadiran sekretaris Negara Urusan Papua yang datang dari Belanda, aksi tersebut adalah yang pertama kali memperlihatkan masalah sosial dan ekonomi di Papua[3]. Organisasi ini mulai terlibat dalam dinamika politik saat itu namun tidak berkembang karena tidak ideologis dan memiliki anggota dari kalangan Orang Papua. Sedang keterlibatan sebagian kecil Rakyat Papua hanya sebagai staf administrasi Belanda hingga 1963.

Keinginan Indonesia menguasai Papua berkaitan juga dengan ekspedisi gabungan oleh Jan Van Gruisen dari Oost Borneo Maatschappij – OBM (Perusahaan Kalimantan Timur), yang telah mendapatkan izin konsensi seluas 100 km persegi oleh pemerintah Hindia Belanda (wilayah yang kini disebut Daerah A dalam Kontrak Karya PT. Freeport Indonesia), dengan Forbes Wilson kepala eksplorasi Freeport Sulphur Company pada tahun 1960. Dimana pada waktu itu, gejolak politik Indonesia dengan Belanda memuncak pada 1958 dengan pengambilalihan semua asset Belanda yang berada di wilayah Indonesia. Sementara di Papua dilakukan invansi melalui Operasi Trikora yang di Pimpin oleh Soeharto, 19 Desember 1961. Perebutan kedaulatan wilayah antara Indonesia dan Belanda berlangsung setidaknya hingga PEPERA 1969. Sedangkan dalam  rentan waktu tersebut tepatnya 05 April 1967, Menteri Pertambangan Slamet Bratanata, dan perwakilan Freeport menandatangi Kontrak Karya bagi pengembangan Gunung Bijih untuk jangka waktu 30 tahun[4]. Hingga sekarang sudah tidak terhitung lagi jumlah investasi dan buruh di seluruh Tanah Papua.

Selain faktor ekonomi politik sebagai masalah utama kapitalisme dan kolonialisme; tidak ada ideologisasi untuk membangun kesadaran kelas buruh di Papua. Seperti halnya Indonesia, pengorganisiran kelas buruh setelah terbentuk Partai beraliran Sosialis, Indische Sociaal-Democatische Vereeniging (ISDV) pada 1914 dengan salah seorang pendirinya Josep Henk Sneevliet atau yang dikenal dengan “Sneevliet”. Dimana, tugas awal ISDV adalah membangun kesadaran ideologis kelas-kelas tertindas di Indonesia melalui kerja-kerja Propaganda ISDV di berbagai media massa.  Sejak saat itu Sosialisme berkembang pesat karena diterima oleh rakyat terutama melalui Serikat Islam (SI) dan Boedi Utomo (BU). Selanjutnya, perkembangan Sosialisme semakin maju dengan terbentuk berbagai Partai Sosialis seperti Partai Komunis Indonesia (PKI), Musyawarah Rakyat Banyak (Murba), Hingga Partai Sosialis Indonesia (PSI). Walau kemudian hari partai-partai ini dibubarkan, tetapi memiliki andil besar dalam ideologisasi gerakan perlawanan di Indonesia sampai sekarang.

Patokan ideologi ISDV adalah Sosalisme Ilimiah atau Marxisme, dimana  dalam manifesto Komunis Karl Marx mengatakan pernyataan mendasar dari sosialisme; yaitu sejarah semua masyarakat adalah sejarah pertentangan kelas. Dalam pandangan Karl Marx masyarakat berada dalam struktur-struktur kelas sosial yang saling bertentangan, terutama kelas  atas dan bawah atau kelas penindas dan yang tertindas. Masing-masing kelas merepresentasikan kepentingannya sehingga terdampak kepada satu dan lainnya. Kelas yang terdampak buruk adalah kelas mayoritas atau kelas buruh dan kaum miskin (proletariat).

Dalam menganalisis perkembangan masyarakat, yaitu sejak komonisme primitif, perbudakan, feodal, monarki hingga sekarang masyarakat Kapitalis. Karl Marx mengatakan terdapat tiga golongan kelas sosial yaitu pemilik modal, tuan tanah, dan buruh (kelas tertindas). Kelas tuan tanah menjadi terasing dan digolongkan kedalam kelas pemilik modal, sehingga kebanyakan dibahas hanya dua kelas saja. Kelas pemilik modal atau mereka yang memiliki alat-alat kerja, mesin, tempat produksi, dan sebagainya. Kelas buruh sebaliknya tidak memilik alat produksi sehingga menjual tenaga kepada kelas pemilik. Kelas buruh tidak akan bekerja kalau tidak diberikan pekerjaan, dan tidak bisa hidup kalau tidak bekerja pada kapitalis. Olehnya kelas kapitalis mengambil kesempatan itu untuk menindas, dengan tujuan utama untuk mengeskploitasi tanaga dan menciptakan ketergantungan kelas buruh kepadanya.

Cara kerja sistem kapitalis adalah dengan mendapatkan untung (laba) bukan hanya dari barang yang dihasilkan tetapi terutama dari tenaga buruh; perpanjangan jam kerja, pemotongan upah, ketiadaan hak bagi buruh perempuan (dan sebagainya), yang disebut sebagai komoditas utama kapitalis. Kapitalis mendapatkan keuntungan tidak tergantung pada tinggi atau rendahnya harga barang yang di produksi (harga komoditas) di pabrik-pabrik karena disesuaikan dengan kebutuhan pasar (hukum permintaan dan penawaran). Sistem ini mengakibatkan buruh tidak menerima hasil kerja (upah) sesuai yang dihasilkan kepada si pemilik, terbukti dengan ketidakmampuan buruh memiliki apa yang dikerjakan, ini yang menjadi kritik utama marx dalam ekonomi kapitalis karena buruh menjadi terasing denga napa yang dia hasilkan sendiri.

Kepentingan objektif masing-masing kelas ini (kapitalis dan buruh) berupaya membebaskan dan mempertahankan sistem yang ada. Kapitalis akan mempertahankan keberlangsungan kelasnya dengan berbagai cara, begitu juga buruh akan berupaya membebaskan dirinya dari jeratan sistem yang dibuat kapitalis. Untuk menyelesaikan persoalan kelas buruh Karl Marx mengusulkan, atau solusi yang ditawarkan adalah revolusi sosial mengambil sistem-sistem produksi, alat, mesin, dan tempat-tempat produksi oleh buruh demi kemakmuran buruh itu, termasuk dengan mendirikan negara buruh. Hanya dengan inilah buruh dapat mengendalikan ekonomi untuk kepentingannya. Pemikiran-pemikiran Karl Marx ini membangkitkan semangat serta kesadaran buruh dimasanya. Maka tidak heran terdapat penolakan dan pertentangan bukan hanya oleh kapitalis tetapi datang juga dari kelompok Sosialis utopis. Kegagalan Internasionale ke I di Inggris 1864 adalah bukti pertentangan kaum Utopis terhadap pemikiran Karl Marx. Namun mayoritas kaum buruh Eropa dan Amerika menerima gagasan-gagasan marx sebagai jalan membebaskan kaumnya dari penindasan, termasuk di Indonesia.

Objek analisis Marx adalah kelas buruh sebagai kelas mayoritas di Eropa saat itu, sehingga dalam perkembangannya, selain Eropa; Sosialisme menjadi sangat bervariasi dalam melihat kelas-kelas tertindas di negrinya masing-masing. Mao Zedong misalnya, dalam mendefenisikan dan menganalisa kelas-kelas masyarakat Tiongkok, mengatakan terdapat kelas sosial sebagai berikut; Kelas Tuan Tanah dan Komperador, Kelas borjuasi sedang, kelas borjuasi kecil, kelas semi proletariat dan terakhir adalah proleteriat atau buruh industri. Kelas semi proletariat atau kaum tani miskin adalah kelas mayoritas dan tertindas di Tiongkok saat itu (bukan buruh). Mayoritas rakyat tertindas inilah kemudian menjadi basis revolusi Tiongkok dengan membangun kesadaran kelas-kelas tertindas terhadap kelas penindas. Seruan-seruan Ketua Mao sejak mudanya adalah seruan persatuan kepada kaum tani, buruh, pelajar, perempuan, tukang becak, hingga polisi pun diwajibkan bersatu untuk menentang penguasa dan merebut kedaulatannya.

Tidak hanya di Cina, Sosialisme berkembang dan dikenal luas ke seluruh dunia, banyak negara-negara menganut Sosialisme sebagai senjata menentang kapitalis setiap saat. Hingga kejatuhan Uni Soviet, dan negara-negara Eropa Timur pada 1990 an, yang disangka sebagai kejatuhan terbesar bagi Sosialisme. Namun nyatanya tidak, walaupun berdampak, bersamaan “wajah baru Sosialisme di abad 21” dikumandangkan oleh negara-engara Amerika latin, Seperti Kuba, Venezuela, Cili, Argentina, Bolivia hingga Brazil. Sosialisme abad 21 yang didorong  Amerika latin dibawah kepemimpinan Hugo Chaves dan gagasan Bolovarian adalah Sosialisme tanpa terbebani dengan apa yang dilakukan oleh Uni Soviet dan negara-negara Eropa Timur bersama comintern. Penegasannya adalah Sosialisme abad 21 adalah Sosialisme yang terbangun untuk menjawab kebutuhan masing-masing negeri, yang lazimnya memiliki ciri umum yang sama yaitu menentang Kapitalisme yang telah mengurita diseantero dunia.

Wajah Sosialisme di Papua

Sementara dewasa ini di Papua justru memiliki tendensi buruk terhadap Sosialisme. Banyak faktor, pertama sejarah masuknya kolonialisme, penyebaran agama kristen dan Pendidikan oleh Kolonialisme Eropa (Jerman dan Belanda). Kedua sejarah keterlibatan PKI dan Uni Soviet dalam perebutan Papua, atau dibalik operasi Trikora 19 Desember 1961. Bagaimana DN Aidit Ketua Umum PKI mengkonsolidasikan jaringan komunis internasional (comintern), melibatkan beberapa elit Papua dalam agenda-agenda PKI di Jakarta, dan mengkonsolidasikan ribuan pemuda radikal untuk mendukung perebutan Papua. Dan Uni Soviet memberikan U$D 450 juta[5] untuk mempersenjatai militer Indonesia. Walau akhirnya justru Amerika Serikat yang berhasil mempengaruhi sistem politik Indonesia dengan menghancurkan Soekarno dan PKI pada 1965, para pejuang kemerdekaan Papua tetap menganggap “Sosialisme” juga dibalik gagagalnya kemerdekaan Papua.

Akhirnya setelah 59 tahun kolonialisme Indonesia di Papua, Sosialisme seperti “terkubur” dalam-dalam. Perkembangannya sebagai ilmu pengetahuan pun menjadi eksklusif (khusus), ada anggapan bahwa konsep-konsep tersebut tidak muda dipelajari, tidak sesuai bagi perjuangan pembebasan Papua. Sehingga menjadi tertutup dan terbatas terutama di kalangan intelektual. Selain itu faktor traumatik dari pembubaran PKI yang juga memakan korban, hingga pelarangan secara hukum terhadap ajaran dan aliran-aliran marxisme melalui Tap MPR berpengaruh di Papua. Ada pemahaman berkembang bahwa tuntutan kemerdekaan Papua dengan sebuah ideologi terlarang menjadi dua kali lipat beresiko.

Tetapi jalan panjang perjuangan pembebasan mengharuskan “sosialisme” berjumpa Kembali dengan para pejuang Papua. Autobiografi Viktor Kaisepo MSn[6] misalnya, dalam perjalan diplomasinya pada kurun waktu 1980-2000-an terhubung dengan berbagai jaringan, organisasi, komonitas masyarakat pribumi, serikat-serikat buruh, mulai dari Eropa, Amerika, Afrika, Pasifik bahkan Asia. Berjumpa dengan berbagai  solidaritas, organisasi berhaluan kiri (sosialisme) dan  semuanya terbuka terhadap perjuangan pembebasan Papua.

Selain Viktor Kaisepo Msn, perjumpaan para pelajar dan aktivis yang menempuh studi di Luar Papua, terutama Jawa dan Bali sebelum tumbangnya Soeharto 1998 juga sering dituturkan.  Baik melalui penyebaran buku-buku bertemakan Sosialisme, perjumpaan dengan berbagai organisasi ideologis seperti Persatuan rakyat Demokratik (PRD), dengan mendorong solidaritas diskusi, demonstrasi, pendidikan politik (dikpol) masih dapat dilihat hingga awal tahun 2000 an. Hingga akumulasi dari dinamika internal PRD menimbulkan perpecahan yang kemudian cukup mempengaruhi terhadap beberapa aktivis muda Papua kala itu.

Memasuki tahun 2017 sebuah media (website) sengaja diluncurkan dengan nama sosialispapua.com oleh beberapa aktivis muda Papua, kehebohan pun terjadi karena keberanian media tersebut dalam menulis dan menyebarkan Sosialisme. Respon kritis nan pedas berdatangan dari berbagai kalangan, baik aktivis gerakan, hingga petinggi gereja di Papua yang disampaikan secara terbuka melalui akun media sosial mereka. Poinnya adalah mereduksi samangat dan ide-ide yang ditawarkan dari sosialispapua.com. Namun tidak sedikit juga yang menyambut hangat ide-ide dan semangat media tersebut sebagai langkah maju dan tepat dalam merespon berbagai polemik kebangsaan di Papua.

Di waktu hampir bersamaan organisasi-organisasi Sosialis di Indonesia mendeklarasikan diri dengan nama Front Rakyat Indonesia Untuk West Papua (FRI-WP). FRI WP secara terbuka mendukung penentuan nasib sendiri bagi Papua sebagai amanat dari Sosialisme yang anti kolonialis dan Kapitalis. Pergerakan FRI WP dilakukan secara terbuka diberbagai kota diseluruh Indonesia (kecuali Papua). Sekalipun belum semua gerakan Sosialis di Indonesia mendukung Langkah FRI-WP, tetapi sikap FRI-WP jelas telah membuka mata banyak kalangan tentang kolonialisme Indonesia di Papua. Dari dunia internasional pun mengalir dukungan politik; ada Partai Sosialisme Malaysia dan International League of Peoples Struggles  (ILPS) yang terdiri dari ratusan organisasi Sosialis di seluruh dunia yang telah mengambil sikap untuk mendukung penentuan nasib sendiri Papua pada Konferensi Sosialis di Hongkong, 2019 lalu.

Langkah politik kaum Sosialis di seluruh dunia sejatihnya adalah komitmen ideologi menantang kapitalisme dan imperialisme, dengan membangun solidaritas luas seluruh dunia antara kaum tertindas. Namun,  kemajuan Sosialisme dan berbagai bentuk dukungan terhadap Papua serasa tidak berguna tanpa kesadaran rakyat akan Sosialisme itu sendiri. Sosialisme harus mulai dilakukan dengan kerja-kerja penyadaran dan progpaganda-propaganda politik. Semua upaya ini harus dikerjakan dengan berbagai cara; baik melalui media-media propaganda, maupun organisasi-organisasi revolusioner dengan haluan Sosialisme yang notabene sebagai pelopor-pelopor ideologis di Papua. Ini amatlah penting untuk membangun kesadaran (Raising Awareness) rakyat  akan antara kelas social, penindas dan yang tertindas, terutama buruh, tani, masyarakat adat, kaum miskin kota, perempuan, hingga pegawai-pegawai rendah dikalangan administrasi Indonesia yang selama ini diterlantarkan secara sosial maupun politik, baik oleh kolonial maupun agenda pembebasan nasional Papua itu sendiri.

Kegagalan sosialisme mengakibatkan rakyat Papua dikendalikan oleh kolonial serta dijaga/dipelihara serta dimanfaatkan oleh borjuis-borjuis Papua yang diberikan fasilitas termasuk akses oleh kolonial, baik materi dalam hal finansial dan ataupun asset lainnya. Termasuk juga penciptaan organisasi-organisasi borjuis dan pro kapitalis seperti partai electoral, organisasi kepemudaan dan mahasiswa borjuis sebagai kelompok counter revolusioner bagi perjuangan pembebasan. Kerangka-kerangka kolonial dan kapitalis melalui borjuasi inilah yang mengikat dan menciptakan ketergantungan rakyat Papua pada sistem kolonial, dan pada kebijakan-kebijakan pembangunannya (Otsus misalnya). Sehingga, memutus mata rantai dan ketergantungan Rakyat Papua terhadap kolonial dan borjuis Papua adalah tugas ideologis dari sosialisme Papua yang berlandaskan marxisme bukan utopis.

Selamat Memperingati Hari buruh Internasional!

Selamat Memperingati Hari Aneksasi!

Referensi:

[1] ILO adalah badan yang unik di antara badan-badan PBB lainnya, karena tidak hanya terdiri dari perwakilan pemerintah. ILO memiliki tiga mitra: pemerintah, pengusaha dan pekerja

[2] Mantan tahanan politik Indonesia yang dibuang di Boven Digeol, Papua.

[3] Nasionalisme Ganda Orang Papua, Hal 180

[4] Membangun Tambang Di Ujung Dunia : Sejarah Pengembangan Pertambangan PT.Freeport Indonesia di Provinisi Papua Jilid 1, hal 58-89

[5] Robin Osborne, Kibaran Sampari; Halaman 50

[6] Viktor Kaisepo adalah anak dari Markus Kaisepo, tokoh New Guinea Raad yang menetap di belanda higga akhir hayat. Viktor Menuangkan seluruh kisap hidup dirinya dan ayahnya tersebut kedalam buku Viktor Kaisepo Msn Satu Perspektif Untuk Papua (Cerita Kehidupan dan perjuanganku)

Pustaka: 

  1. Fukuyama Francis, (The and of Histori and The Last Man Kemenangan Kapitalisme dan Demokrasi Liberal); Penerbit Qalam:2004
  2. M Susesno. (Pemikiran Karl Marx; dari Sosialisme Utopis ke Perselesian Revisionisme); Gramedia Pustaka Utama: 2019.
  3. Kisepo Viktor, (Satu Perpekstif Untuk Papua, Cerita Kehidupan dan Perjuanganku); Kanisius Ypgyakarta: 2012
  4. Materay Bernarda, (Nasionalisme Ganda Orang Papua); PT. Kompas Media Nusantara: 2021.
  5. AlexaenderLeonard Griapon, Dkk ( Gubernur Papua 1949-2011); Arika:2012.
  6. Martha harnecker (Sosialisme Abad keduapuluh Satu: Pengalaman Amerika Latin); Indoprofress: 2012
  7. R. Soehoed (Membangun Tambang Di Ujung Dunia : Sejarah Pengembangan Pertambangan PT.Freeport Indonesia di Provinisi Papua Jilid 1); Aksara Karunia: 2005.

Sumber Internet: 

  1. https://tirto.id/sejarah-hari-buruh-internasional-2021-may-day-yang-dirayakan-1-mei-gd94
  2. https://sosialispapua.org/
  3. https://nasional.kontan.co.id/news/sby-tetapkan-may-day-jadi-hari-libur-nasional
  4. https://historia.id/politik/articles/sikap-pki-atas-papua-DWqwR
  5. https://www.republika.co.id/berita/owxh5n282/pki-dan-agresi-militer-papua

Yason Ngelia
Penulis adalah aktivis Gerakan Perjuangan Rakyat Papua (GPRP) dan Pengasuh Rubrik Analisa Harian.

1 KOMENTAR

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Kirim Donasi

Terbaru

Rosa Moiwend dan Kesalahan Teori Patriarki

Rosa Moiwend, salah satu kamerad kita di Papua menulis...

Ekofeminisme dan Hubungan Antara Perempuan dengan Hutan Sagu

Sebuah pandangan mengenai hubungan antara perempuan dengan hutan sagu di Kampung Yoboi, Sentani dan bagaimana mengujinya dengan perspektif ekofeminisme. Sagu...

Ancaman Pembangunan Terhadap Lahan Berkebun Mama Mee di Kota Jayapura

"Ini kodo tai koo teakeitipeko iniyaka yokaido nota tenaipigai, tekoda maiya beu, nota tinimaipigai kodokoyoka, tai kodo to nekeitai...

Memahami Perempuan (Papua) dari Tiga Buku Nawal El Saadawi

Sebuah ringkasan secara umum Pengantar Isu feminisme di Papua pada umumnya masih banyak menuai pro dan kontra. Itu bisa kita temukan...

Apabila Prabowo jadi Presiden

Selalu ada jejak yang ditinggalkan saat diskusi walau diskusinya bebas, pasti ada dialektikanya. Walau seminggu lebih sudah berlalu, namun ada...

Rubrikasi

Konten TerkaitRELATED
Rekomendasi Bacaan