Analisa Harian Membaca Ulang Konsensus New York Agreement Tahun 1962

Membaca Ulang Konsensus New York Agreement Tahun 1962

-

Tampaknya hal paling sulit bagi bangsa sebesar Indonesia ini adalah kejujuran. Ya, jujur untuk mengakui kesalahan dan kesediaan untuk berdialog dengan orang Papua. Tapi, alih-alih membangun dialog, pemerintah malah tampak tetap mengedepankan pendekatan keamanan (security approach) dalam menyelesaikan masalah Papua.

Kejahatan kemanusiaan di tanah Papua oleh militer Indonesia telah mempertebal rasa kebencian orang Papua terhadap pemerintah sehingga menyebabkan sejumlah agenda pembangunan terbengkalai begitu saja. Bahkan, program Otonomi Khusus (Otsus) sejak 2001 yang di gadang-gadang mampu mengentaskan kemiskinan itu pun belum mampu menjawab sejumlah tantangan mendasar di Papua. Sebab itu, meski kini Otsus tersebut hendak diperpanjang, tetap saja di tolak oleh orang Papua.

Sementara itu, di tingkat internasional, kita baru-baru ini mendengar Negara Republik Vanuatu yang mempertanyakan komitmen Indonesia dalam upaya penyelesaian kasus-kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Papua.

Lantas siapa yang harus disalahkan? Apakah Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat/Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM) atau kah militer Indonesia? Tentu saja keduanya hanya memainkan perannya di lapangan dan yang mestinya di tagih adalah political will state yang kuat dalam rangka melihat akar konflik berkepanjangan di Papua.

Perjalanan konsensus politik kebangsaan di Indonesia mempunyai andil besar dalam menyoal tarik ulur posisi politik Papua hingga hari ini. Oleh karena itu, ia mempengaruhi hubungan keamanan, politik, dan ekonomi Indonesia dengan negara-negara lainnya, terutama negara-negara Melanesia di Pasifik Selatan baik secara bilateral maupun multilateral.

Mengapa peninjauan terhadap Konsensus New York Egreement 15 Agustus 1962 menjadi penting? Jawabannya, tentu saja agar kita tidak ‘menutup mata’ sembari menebak-nebak problem Papua secara parsial. Konsensus New York Egreement tahun 1962 adalah ‘benang merah’ konflik berkepanjangan di Papua. Konsensus tersebut telah menjadi peristiwa monumental bersejarah dan membentuk ingatan kolektif orang Papua atas satu proses kesepakatan yang tidak adil dan tak bermartabat. Di samping itu, tentu Konsensus New York Egreement ini juga bisa dibaca sebagai peristiwa internasional yang seolah memberikan ‘karpet merah’ bagi Indonesia dan Amerika dalam melanggengkan praktik kolonialisme di tanah Papua hingga hari ini.

Sejarah Papua adalah jalan panjang dengan segala persoalan pelik yang melatarinya, mulai dari proses meng-integrasi-kan Papua ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) hingga proses pembentukan sejumlah konsensus politik seperti halnya Konsensus New York Egreement 1962 yang hingga kini hanya menjadi ‘bara dalam sekam.’

Perjuangan untuk menentukan nasib sendiri (self-determination) oleh orang Papua tidak dapat di pandang sekadar ekspresi kultural yang direpresentasikan oleh sebagian orang Papua sehingga penanganan (treatment) permasalahan terhadap orang Papua selalu mengedepankan pendekatan keamanan (security approach). Sebaliknya, negara mestinya mengevaluasi setiap jengkal kebijakan termasuk sejarah konsensus yang melatari proses integrasi West New Gunea (sekarang Papua) dengan Indonesia sebagai suatu akar persoalan yang ada dan belum terselesaikan.

Konsensus New York  Egreement tahun 1962 kerap mendapat sorotan dari berbagai kalangan aktivis dan akademisi bahwa konsensus tersebut adalah sejarah konsensus dengan ‘obsesi’ Amerika Serikat dan Indonesia untuk mengkolonisasi tanah dan orang Papua. Maka tak heran, banyak orang Papua mengidentikan dua negara ini seperti ‘pencuri’. Sebab dalam proses pembentukan konsensus orang Papua tak pernah dilibatkan, bahkan untuk membicarakan masa depan mereka sendiri. Sebaliknya, orang Papua justru dianggap masih primitif.

Bahkan, Konferensi Meja Bundar (KMB) yang berlangsung alot dan menguras energi Indonesia semasa tiga generasi politik di Indonesia: demokrasi parlementer, demokrasi terpimpin, dan demokrasi Pancasila itu tidak pernah melibatkan orang Papua untuk membicarakan status politik dan masa depannya sendiri. Padahal, poin-poin dari isi KMB tersebut menyangkut nasib orang Papua yang kemudian diatur selanjutnya melalui Konsensus New York Egreement itu sebagai suatu landasan hukum formal-internasional yang kemudian bermuara pada Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) pada tahun 1969.

Konsensus New York Egreement pertama kali ditandatangani oleh Indonesia yang diwakili oleh Dr. Subandrio dan Belanda yang diwakili oleh Mr. J. H. Van Roijen dan Mr. C. Schurmann. Dokumen Perjanjian New York Egreement ini, selanjutnya berisi antara lain dan terutama mengenai prosedur dan mekanisme pengalihan kekuasaan administratif pemerintahan atas tanah Papua dari Pemerintah Kerajaan Belanda kepada Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) yang diwakili oleh United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA). Dimana proses pengalihan kekuasaan dari UNTEA kepada Republik Indonesia yang ditandai dengan pengibaran bendera merah putih di tanah Papua pada tanggal 1 Mei 1963, menandai periode dimulainya pemerintahan Indonesia di tanah Papua, yang bagi orang Papua adalah awal kolonialisme Indonesia dimulai di tanah Papua.

Padahal, mengacu pada salah seorang tokoh kritis dan juga filsuf Jerman, Jurgen Habermas, konsensus berkaitan dengan interaksi antar manusia, karenanya berkaitan dengan persoalan komunikasi. Bagi Habermas, suasana ruang publik (public sphere) tempat konsensus itu lahir hendaklah berada dalam suasana bebas dari penguasaan borjuis atau elitis yang hanya akan mengonsepsikan partisipasi sebagai hak progresif kelas atas, yang berpendidikan, berkelimpahan, dan laki-laki (Wiranu, 2010). Faktanya, ruang publik dimana Konsensus New York Egreement itu lahir terbukti  tidak demoktratis dan bukan melalui proses demokrasi yang betul-betul deliberatif.

Dalam konteks modern, ruang publik ditandai adanya mediasi antara dua pihak yang dibedakan secara analitis sebagai negara (state) dan warga negara atau masyarakat (society). Namun dengan menguatnya negara modern, ia tidak hanya berkepentingan menjaga aturan main dalam ruang publik kenegaraan, tapi negara terkadang juga ikut mengintervensi semua sektor kehidupan (Wiranu, 2010). Dalam kaitannya dengan konsensus politik Papua, mestinya diskursus ruang publik itu menjadi netral tanpa dilandasi atas kepentingan apapun sehingga saluran-saluran komunikasi menuju terbentukya Konsensus New York Egreement benar-benar menjadi ruang yang bebas dari hegemoni dan kepentingan pihak-pihak dominan baik Indonesia, Amerika, maupun Belanda.

Sejarah menunjukkan KMB tidak bisa menjadi rujukan yang baik bagi penyelesaian soal Irian Barat (sekarang Papua). Hal ini asumsinya disebabkan dokumen KMB tidak mengatur secara rinci status politik Irian Barat. Landasan yuridis penundaan penyerahan Papua oleh Belanda kepada Indonesia tertuang pada pasal 2, dokumen KMB. Dokumen ini menyatakan karena belum ada kesepakatan, keterbatasan waktu, dan demi hubungan baik, maka Papua ditetapkan dalam keadaan status quo selama satu tahun. Ini artinya Belanda tetap berkuasa di Irian Barat setidaknya selama setahun sejak KMB, sedangkan Indonesia harus bersabar menunggu saat perundingan sesuai dengan kesepakatan KMB.

Terlepas dari kondisi sosial-ekonomi orang Papua di masa itu, mestinya keterlibatan orang Papua menjadi penting sehingga proses komunikasi yang dihasilkan betul-betul mencerminkan kondisi demokrasi yang partisipatif dan deliberatif bagi orang Papua. Masyarakat—termasuk masyarakat kompleks dewasa ini—hanya dapat terintegrasi melalui tindakan komunikatif (Habermas dalam Hardiman 2004). Namun faktanya, dalam kasus konsensus politik di Papua, tidak demikian halnya yang terjadi. Dalam konteks demokrasi pra integrasi bahkan modern sekalipun, ruang konsensus itu justru cendrung diambil alih oleh ‘pihak dominan.’ Sehingga saluran-saluran akses menuju diskursus tersebut terdistorsi oleh hegemoni kolonial.

Untuk itu, dialog sebagai arena atau ruang diskursus sudah semestinya diketengahkan secara serius oleh pemerintah agar kekerasan-kekerasan demi kekerasan tidak terjadi lagi di Papua. Selain itu, harapan agar orang Papua bisa menjadi subjek dalam sejarahnya sendiri—sebagaimana dikatakan David Webster—bisa benar-benar terwujud.

Ferdinando Septy Yokit
Penulis adalah pegiat literasi di Papua.

2 KOMENTAR

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Kirim Donasi

Terbaru

Rekonstruksi Identitas Orang Papua Melalui Perubahan Nama Tempat

Irian berubah menjadi Irian. Masyarakat Papua atau orang-orang yang...

Rosa Moiwend dan Kesalahan Teori Patriarki

Rosa Moiwend, salah satu kamerad kita di Papua menulis di media Lao-Lao Papua pada 9 Juni 2023, bahwa gerakan...

Ekofeminisme dan Hubungan Antara Perempuan dengan Hutan Sagu

Sebuah pandangan mengenai hubungan antara perempuan dengan hutan sagu di Kampung Yoboi, Sentani dan bagaimana mengujinya dengan perspektif ekofeminisme. Sagu...

Ancaman Pembangunan Terhadap Lahan Berkebun Mama Mee di Kota Jayapura

"Ini kodo tai koo teakeitipeko iniyaka yokaido nota tenaipigai, tekoda maiya beu, nota tinimaipigai kodokoyoka, tai kodo to nekeitai...

Memahami Perempuan (Papua) dari Tiga Buku Nawal El Saadawi

Sebuah ringkasan secara umum Pengantar Isu feminisme di Papua pada umumnya masih banyak menuai pro dan kontra. Itu bisa kita temukan...

Rubrikasi

Konten TerkaitRELATED
Rekomendasi Bacaan