Analisa Harian Menggugat Ketimpangan, Merawat Papua: Membaca Logika Politik Gerakan Budaya...

Menggugat Ketimpangan, Merawat Papua: Membaca Logika Politik Gerakan Budaya Papuan Voices

-

Pengantar

Papua menjadi sebuah istilah yang peyorasi sejak kolonialisme hingga pasca reformasi. Pada era Soekarno, Papua adalah enclave penting yang terintegrasi dalam desain politik kebangsaan NKRI melalui idiom “dari Sabang sampai Merauke”. Demikian pula pada era Soeharto, dimana Papua diringkus semata-mata demi menunjang projek developmentalism. Selanjutnya, pasca reformasi, karakter buruk ini dilanjutkan dengan watak yang berbeda-beda, dari isu separatism hingga ketertinggalan pembangunan, dari isu infrastruktur hingga kekerasan etnis, dari isu pembangkangan sipil hingga sumber daya alam yang kaya, dari rezim Megawati hingga rezim Joko Widodo.

Melalui pembacaan yang kritis, ditemukan bahwa isu-isu seperti itu justru dikonstruksikan, didistribusikan, dan dilanggengkan—mengutip Michael Foucault—melalui mekanisme kepengaturan (governmentality) yang dilakukan baik melalui apparatus rezim (governmentality by others) maupun melalui warga Papua sendiri (governmentality of the self). Akibatnya, Papua hari ini adalah narasi yang didominasi dengan cerita tentang keindahan dan kekayaanalam, PT. Freeport Indonesia, Organisasi Papua Merdeka (OPM), perang suku, separatis, atau salah satu wilayah di bagian timur Indonesia yang ‘belum maju’ dan mutlak perlu untuk dibangun dan diberdayakan demi tercapainya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Apalagi, mempertimbangkan bahwa aksesibilitas merupakan hambatan serius dalam penyebarluasan informasi dan gagasana lternatif, perspektif di atas menjadi begitu dominan persis ketika persepsi publik Indonesia tentang Papua dibentuk oleh media-media massa arus utama, seperti media cetak maupun elektronik. Dari media-media tersebut orang pada akhirnya memperoleh pengetahuan lalu membangun opininya secara sepihak tentang Papua.

Bertolak dari absennya narasi-narasi alternative ini, muncul panggilan untuk menarasikan Papua secara berbeda yang dilakukan oleh pelbagai pihak baik perorangan maupun kelompok. Dengan memanfaatkan sumber daya yang dimilikinya, mereka menyajikan berbagai model narasi tentang alam dan manusia Papua yang dikemas dalam bentuk berita, artikel, opini, puisi, cerpen, novel, lagu, fotografi, videografi, dan berbagai bentuk kerja senilainnya, termasuk berunjuk rasa di muka umum. Bagi mereka, Papua bersama kompleksitas persoalan yang melilitnya adalah tabir gelap yang harus dibongkar agar public memperoleh informasi dan pengetahuan yang utuh dan otentik. Selain itu, aktivis mese macam itu dapat membantu masyarakat adat Papua untuk memahami persoalan-persoalan yang dihadapi serta bagaimana membentengi diri sambil mencari solusia lternatifnya. Dalam kerangka kerja inilah, Papuan Voices lahir untuk mengisi apa yang hilang dari ingatan publik tentang Papua sertabagaimana merawatnya. Papuan Voices adalah representasi diri orang Papua dalam upaya mewujudkan demokrasi kerakyatan (popular democracy) melalui kerja-kerja politik gerakan social baru yang berorientasi pada kedaulatan rakyat.

Apa itu Papuan Voices?

Papuan Voices (selanjutnya disebut PV) merupakan sebuah organisasi sipil berbentuk perkumpulan para aktivis media yang bergerak di bidang audio-visual, secara khusus film documenter pendek dan video jurnalis. Tujuan utama berdirinya PV di Papua adalah melakukan advokasi dan kampanye tentang isu-isu alam dan manusia Papua bagi semua kalangan masyarakat, serta menjadi wadah pengembangan kapasitas sumber daya generasi muda Papua. Sejak berdiri pada 2011, PV melalui para aktivisnya terus melaksanakan sejumlah agenda kegiatan, seperti lokakarya produksi film dokumenter, Festival Film Papua (FPP), road show, serta sejumlah strategi distribusi film ke berbagai kalangan masyarakat di tingkat lokal, nasional, maupun internasional.

Kehadiran PV dan rupa-rupa aktivis adalah suatu bentuk protest sekaligus distrust terhadap berbagai bentuk ketimpangan yang berhubungan dengan cara pandang publik yang cacat tentang Papua, termasuk kebijakan-kebijakan pembangunan yang abai terhadap kelestarian alam dan pemenuhan hak-hak hidup masyarakatadat Papua. Otto Wanma, seorang sineas PV wilayah Tambraw, menuturkan bahwa selama ini sudah ada banyak berita tentang Papua, tetapi belum memberi dampak perubahan apa pun terhadap masyarakat adat Papua. Menurut Wanma, PV adalah wadah bagi orang Papua menceritakan realitas Papua yang sebenarnya untuk menunjukkan bahwa di Papua belum ada perdamaian dan keadilan.

Menegaskan pernyataan tersebut, Max Binur selaku pendamping PV wilayah Sorong, menyatakan bahwa narasi tentang Papua yang diceritakan oleh orang-orang Papua sendiri masih sangat minim, sehingga generasi muda Papua tergerak untuk menciptakan lebih banyak cerita tentang Papua yang dikemas dalam bentuk film dokumenter. Terkait dengan hal itu, semua film hasil karya generasi muda Papua bertujuan untuk menyampaikan pesan kepada seluruh lapisan masyarakat di Papua maupun di luar Papua agar semakin banyak orang dapat melihat Papua secara lebih dekat sambil ikut bersolidaritas menyelamatkan masa depan alam dan manusia Papua tanpa harus melakukan aksi-aksi yang bersifat destruktif. Selain itu, film-film PV juga mengajak masyarakat adat Papua untuk tetap menjaga dan mempertahankan kearifan lokal, nilai budaya, dan adat-istiadat beserta kekayaan alamnya yang terus mengalami ancaman. PV adalah harapan baru yang menghadirkan perspektif baru, di mana orang Papua ditempatkan sebagai subjek utama dalam melihat dan menentukan masa depannya sendiri.

Papua di Mata Aktivis Papuan Voices

Merujuk pada pengalaman ketidakadilan yang dielaborasi dengan pengetahuan yang diperoleh dari berbagai kajian tentang Papua dalam fakta, para aktivis PV melihat Papua secara berbeda dari perspektif ‘orang Papua bicara’. Bagi mereka, wajah Papua hari ini adalah hasil konstruksi dan konspirasi para elit politik di tingkat global maupun pusat dan daerah. Papua telah digenggam dan dikendalikan oleh mereka yang disebut sebagai pemilik kuasa dan modal. Sedangkan rakyat beserta segala aspirasinya yang dipandang ‘terbelakang’ dan separatis hanya menjadi objek pelengkap yang turut melegitimasi eksistensi dan praktik menguasai dengan dalih: Papua butuh pemberadaban dan penertiban.

Di sisi yang lain, Papua hari ini di lihat sebagai pusat gravitasi baru, tempat para elit menanam serta menuai modal dan kekuasaan. Papua punya daya tarik tersendiri dan menjadi ‘lubang hitam’, tempat kolonialisme model baru tumbuh dan merebak luas. Terlepas dari dikotomi pemahaman publik tentang kolonialisme maupun neokolonialisme, para aktivis media yang tergabung dalam PV melihat Papua sebagai wilayah yang masih ditempatkan sebagai koloni bagi para penjajah berwajah baru yang memboyong semangat korporatisme. Dengan kekuatan hukum dan berbagai model peraturan perundang-undangan, manusia, dan alam Papua dibuat tunduk dan turut mengamini berbagai model hegemoni kaum elit. Bagi mereka yang patuh dan tunduk pada model penjajahan ini akan selamat walaupun hidup sebagai orang-orang terjajah. Sedangkan bagi mereka yang menolaknya atau menghambat dan melawan balik akan mendekap di balik jeruji besi, bahkan harus kehilangan nyawa tanpa melalui proses hukum yang adil dan beradab.

Bagi mereka, di masa penjajahan baru ini, Papua menjadi wilayah perluasan koloni dan para penghuninya terus ditindas dalam kesengsaraan dan penderitaan yang tiada berujung. Meskipun gaya menjajahnya tampak samar-samar karena berlangsung secara lembut dan persuasif, unsur pemaksaan sistem, pandangan, dan tawaran produk yang tampak baik-baik saja telah berhasil menggiring orang Papua menuju ambang kehancuran. Kekayaan alam dijarah, manusianya diperalat dan dibungkan lalu menjadi orang asing di atas negerinya sendiri. Sebagai misal, tawaran Otonomi Khusus (Otsus), Unit Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat (UP4B), pemekaran wilayah, dan berbagai program pembangunan lainnya di Papua adalah praktik-praktik hegemoni penjajah baru bernama Indonesia. Tak pelak lagi, model-model interpelasi tersebut bertujuan untuk menguasai sekaligus meredam protes dan isu separatisme yang senantiasa memekikkan “Freedom for West Papua”.

Untuk mengelabui adanya pelanggaran terhadap hak-hak hidup masyarakat adat Papua di tengah proyek pembangunan, para pemilik hak ulayat yang tanahnya dicaplok menjadi wilayah perusahaan tambang maupun perkebunan kelapa sawit dan jalan trans Papua diberi perhatian khusus. Misalnya, mereka diberi dana bantuan untuk membangun rumah yang bertembok semen dan beratap seng atau beasiswa pendidikan bagi anak-anak Papua. Selain itu, pembangunan berbagai jenis infrastruktur pun direalisasikan, seperi jalan raya beraspal, bandara udara berskala internasional, pelabuhan laut, gedung gereja dan sekolah yang megah, tokoh dan supermarket, serta berbagai symbol modernitas lainnya. Pola-pola seperti ini selalu dipakai untuk merebut simpati publik, sekaligus sebagai bukti bahwa Indonesia punya komitmen yang berfaedah bagi masa depan Papua.

Sebagai perpanjangan tangan kekuasaan, elit-elit lokal Papua diperalat menjadi pengelolahnya. Iming-iming jabatan bersama gaji dan ‘uang pelicin’ yang menggiurkan naluri kenikmatan menjadi kunci hegemoni pada tataran lain di tingkat dasar. Meminjam istilah ‘deep colonialism’ milik Lorenzo Veranici (Lihat Young: 2016), apa yang telah dan sedang dilakukan oleh pemerintah Indonesia yang berafiliasi dengan para elit lokal Papua turut menegakkan penindasan dan marginalisasi terhadap orang Papua. Dengan bahasa lain, praktik politik terselubung yang dibangun atas dasar korporatisme selama ini turut memberangus masa depan alam dan manusia Papua serta terus menambah ekskalasi konflik dan palanggaran HAM di Papua.

Celakanya, berbagai bukti kejanggalan maupun kejahatan yang terjadi di Papua selama ini justru di ekspos media massa arus utama (media cetak maupun elektronik, termasuk film layar lebar) sebagai bentuk perhatian dan keberhasilan pemerintah Indonesia membangun Papua maupun menjaga keutuhan NKRI. Rekaman fakta lapangan, di mana terjadi eksploitasi alam atau penindasan dan pembunuhan terhadap manusia Papua luput dari perhatian media-media tersebut. Alasan jarak dan medan peliputan yang sulit di Papua, juga larangan bagi jurnalis asing untuk meliput di Papua menjadi peluang lain bagi para elit dan elemen-elemen pendukungnya untuk bermain isu di dalam berita maupun opini yang berbicara tentang Papua. Narasi tentang Papua yang disuguhkan ke publik tidak lebih dari hasil manipulasi data. Setiap kali ada kelompok masyarakat yang melawan penindasan dan menuntuk hak-hak hidupnya, mereka justru dijadikan pelaku antagonis yang dianggap menghambat pembangunan serta mengganggu keutuhan NKRI.

Singkatnya, framing media massa selama ini bersifat timpang karena mengabaikan kondisi sosial-historis orang Papua, di mana ada duka dan kecemasan, air mata, pergolakan, resistensi, dan harapan akan masa depan yang lebih berkeadilan. Dengan melenyapkan kompleksitas persoalan yang ada di Papua, media massa justru menciptakan informasi dan pengetahuan publik tentang Papua yang diskriminatif, kolonialistik, dan tidak manusiawi. Seperti kata Suryawan (2011), Indonesia menempatkan orang Papua sebagai bangsa yang tidak mempunyai kebudayaan, atau kalau pun punya, derajatnya lebih rendah daripada kebudayaan Indonesia. Resistensi orang Papua yang memperjuangkan hak-hak hidupnya adalah perjuangan tanpa rekognisi. Malahan aktivitas semacam itu dianggap berpotensi menimbulkan konflik yang memecah-belah NKRI. Tidak banyak kebenaran yang dinarasikan oleh media-media nasional, terutama media yang hidup di dalam genggaman kaum elit. Narasi-narasinya hanya berkutat pada keutamaan dalam hal pencitraan yang menggambarkan berbagai keberhasilan pemerintah membangun Papua. Ini adalah fakta yang tak dapat dipungkiri bahwa media massa turut memberi andil dalam membentuk penyesatan opini publik tentang Papua.

Media Massa sebagai Perangkat Hegemoni Budaya

Jika kita menyimak secara jeli dan kritis atas suatu konten berita maupun opini yang disuguhkan media massa tentang Papua, sering dengan mudah ditemukan adanya unsur pelintiran isu maupun gagasan di dalamnya. Ada semacam kesengajaan menciptakan opini publik yang tidak sehat terhadap suatu peristiwa yang diekspos. Tidak ada kandungan kebenaran yang utuh atas sebuah peristiwa dan cenderung bias kepentingan. Atau dengan kata lain, konten yang disuguhkan adalah bagian dari upaya memelintir dan mengkonstruksi realitas Papua seturut rezim kekuasaan. Hal ini dapat kita temui melalui cara membandingkan konten tersebut dengan hasil survei, pengalaman hidup masyarakat yang mengalami peristiwa tersebut maupun tanggapan dan komentar publik atas cara penyajian informasi  yang tidak relevan dengan fakta lapangan. Tak hanya itu saja, media film pun punya cara tersendiri dalam memanipulasi isu-isu tentang Papua. Melalui film, penonton digiring kepada beragam persepsi dan pengakuan terhadap sejumlah kejanggalan yang terepresentasi secara filmis sebagai bagian dari kebenaran.

Dengan melihat cara framing media massa dalam membentuk opini publik secara timpang tentang Papua, dapat dikatakan bahwa media massa adalah perangkat ideologis yang dipakai negara untuk melegitimasi sekaligus melanggengkan kekuasaan. Publik digiring secara halus untuk mendapatkan pengetahuan dan konsensus bahwa apa yang dinarasikan adalah bagian dari kebenaran yang patut diakui. Meskipun tidak secara gamblang menunjukkan represi di dalamnya, sesungguhnya media massa telah menjadi sarana yang ampuh dalam mengkonstruksi wilayah kesadaran manusia untuk turut membenarkan apa yang diindoktinasi sebagai fakta. Di dalamnya ada organisasi konsensus yang menggunakan pendekatan persuasif untuk membangun sebuah hubungan persetujuan.

Menurut Gramsci, konsensus atau hubungan persetujuan yang diterima masyarakat tersebut bersifat pasif karena informasi dan pengetahuan yang diperoleh bukan sebagai keinginan mereka sendiri, melainkan karena dibentuk seturut keinginan kelompok penguasa. Melalui perangkat-perangkat kekuasaannya, negara secara sadar menciptakan pembodohan massal di tengah ketidakadilan struktural yang sedang menimpahnya. Hal ini disebabkan oleh ketiadaan basis konseptual yang kritis dalam benak masyarakat sehingga mereka tidak mampu memahami realitas sosial secara efektif (bdk. Patria dan Arief, 1999: 126-127).

Inilah cara kerja hegemoni budaya yang bertujuan untuk menggiring publik melihat alam dan manusia Papua dalam sebuah kacamata yang telah ditetapkan bagi semua orang agar ia hanya bisa dinalar secara tunggal. Dalam hal ini, kuasa mobilisasi kesadaran publik untuk menarik simpatisan lalu mengakui adanya kebenaran di balik politik pencitraan menjadi sesuatu yang penting bagi keberlangsungan praktik-praktik kekuasaan. Melalui cara demikian, negara mampu meredam perlawanan dari bawah, dan dengan mudah membentuk wajah etis masyarakat seturut cita-cita kaum penguasa. Akan tetapi, sangat disayangkan bahwa citra yang dibentuk di dalam media massa mengandung sejumlah stigma buruk yang merendahkan martabat orang Papua. Persis dalam kondisi ini, ada bentuk penindasan model baru (symbolic violence) dari negara terhadap rakyatnya.

Meskipun demikian, menurut Gramsci masih ada celah untuk melakukan perlawanan karena baginya tidak ada kekuasan yang absolut. Sudah sepatutnya masyarakat sipil menggalang sense of popular nation dan membangun sebuah solidaritas kerakyatan yang didasarkan pada pandangan hidup yang sudah dimiliki oleh masyarakat (common sense) sebagai budaya kerakyatan. Dalam hal ini, sangat dibutuhkan sosok intelektual organik untuk melakukan intervensi di tengah masyarakat agar mampu menggerakkan common sense menjadi good sense sebagai kekuatan perlawanan. Sudah sepatutnya masyarakat membentuk sebuah wadah baru untuk merangkul kekuatan-kekuatan sosial yang ada, melawan berbagai rupa symbolic violence, dan merebut pengakuan dari luar, karena sesungguhnya masyarakat adalah wajah etis dari suatu negara, bukan sebaliknya.

Hadirnya PV adalah representasi perlawanan masyarakat sipil terhadap berbagai ketimpangan yang terjadi. Melalui rupa-rupa aktivisme yang dihidupinya, PV berupaya mengungkap sisi gelap tentang Papua yang jarang dikonsumsi publik sebagai sisi lain dari kebenaran tentang Papua. Untuk menjamin adanya autentisitas narasinya, PV melalui produk-produk film dokumenter maupun video jurnalis, mengangkat kisah-kisah yang didasarkan pada perspektif orang Papua dengan menguak berbagai ketimpangan sosial yang luput dari liputan media-media arus utama di Indonesia. Dengan kata lain, hubungan dialektis antara pengalaman hidup orang Papua dengan banyaknya ragam narasi yang dibangun oleh media massa menjadi tonggak berdirinya PV sebagai sebuah blok sejarah dengan segala aktivitas gerakan budaya yang dihidupinya. PV menjadimenjadirepresntasidiri orang Papua bersamakisah-kisahperjuangankebudayaanmencarikebenaran dan menuntutkeadilan yang berpihak pada masa depanmanusia dan alam Papua.

Film Dokumenter sebagai Basis Gerakan Budaya

Jatuhnya pilihan PV pada film dokumenter sebagai sumber daya pendukung aktivisme PV adalah sebuah pilihan strategis karena ia memiliki kekuatan konstruksi pada ranah makna maupun kesadaran kritis. Berkaitan dengan itu, Patricia Aufderheide dalam Documentary Film: A Very Short Introduction (2007: 5), mengungkapkan bahwa film dokumenter adalah bagian dari media yang membantu kita untuk memahami tidak hanya tentang dunia kita, tetapi juga peran kita sebagai public actors dalam membentuk dunia tersebut. Sebagai bagian dari public actors–seperti yang diungkapkan oleh John Dewey (dalam Aufderheide, 2007:5)–para filmmaker memiliki berbagai pilihan cara untuk mengkomunikasikan representasi realitas kepada orang lain tentang problem sosial yang dihadapi oleh masyarakat agar diketahui oleh umum. Melalui berbagai model representasi di dalam film dokumenter, para filmmaker senantiasa menjunjung tinggi nilai kebenaran fakta dalam dua elemen penting dokumenter: representasi dan kenyataan yang disajikan secara filmis. Atau dengan kata lain, melalui film yang merepresentasikan realitas (betapa pun tak lengkap dan terbatas), mereka menciptakan keberimbangan antara representasi dan kenyataan di setiap narasi tentang kehidupan riil yang mengandung klaim kebenaran. Film dokumenter adalah cara lain untuk membentuk realitas baru berupa penggambaran berbagai fenomena sosial beserta persoalan-persoalan yang menuntut penyelesaian.

Menurut Irene Fatagur, anggota PV wilayah Keerom ,film dokumenter adalah media paling efektif untuk menumbuhkan pengetahuan sekaligus membangkitkan kesadaran kritis masyarakat, terutama bagi mereka yang tidak akrab dengan dunia baca-tulis. Dengan menonton dokumenter, seseorang atau sekelompok orang dapat mengetahui persoalan-persoalan yang sedang melanda alam dan sesama manusia Papua, lalu tumbuh rasa solider untuk membangun kekuatan akar rumput agar persoalan yang sama tidak terulang lagi di masa mendatang. Monaliza Upuya juga menambahkan tentang pentingnya dokumenter sebagai bagian dari seni perlawanan tanpa kekerasan untuk menepis beberapa penalaran yang timpang tentang orang Papua, seperti separatis, terbelakang, pemberontak, dan berbagai jenis stigma lainnya, termasuk kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak berpihak pada kelestarian alam dan hak-hakhidup orang Papua. Lebih jauh, Upuya menegaskan bahwa manusia dan alam Papua punya martabat yang sama tingginya di mata semua orang sehingga perlu dirawat dan dihormati oleh siapa pun.

Merujuk pada klaim-klaim kebenaran tentang arti dan manfaat film dokumenter tersebut, dapat saya katakan bahwa: pertama, dokumenter menjadi instrumen penting dalam mengartikulasikan berbagai persoalan lokal yang luput dari perhatian media-media massa arus utama maupun para pengambil kebijakan di Papua. Kehadiran PV turut melengkapi pemberitaan media lokal serta mempengaruhi agenda politik pemerintah. Kedua, dokumenter punya kemampuan untuk mengaktifkan dimensi afeksi para penonton pada hal-hal yang tidak tampak dan tidak terdengar oleh publik, sekaligus memunculkan tanggung jawab moral para penonton ketika menyaksikan individu yang diperlakukan tidak setara atau kehilangan hak-hak sipil dan politiknya. Ketiga, dokumenter jugamenciptakan agensi para korban yang mengalami pembisuan akibat represi struktural serta mampu membangkitkan kepercayaan diri masyarakat untuk menyuarakan pengalaman ketidak-adilan yang dialami. Keempat, dokumenter membuka ruang diskusi bagi masyarakat ketika realitas atau persoalan sosial dan politik dihadirkan kembali dalam bentuk audio-visual sehingga memudahkan proses pemahaman atas persoalan yang kompleks serta bagaimana menyikapinya. Kelima, dokumenter memiliki kapasitas sebagai katalis bagi perubahan sosial. Ia menjadi bagian dari advokasi atau pemberdayaan masyarakat serta menjadi cinemaof responsibility yang menuntut tanggung jawab pemegang otoritas kebijakan agar akuntabel dalam menjamin pemenuhan hak-hak hidup warga masyarakat.

Keberadaan PV dan aktivismenya adalah bagian dari aksi kultural berupa perjuangan ideologis yang berupaya memproduksi makna tentang Papua sesuai perspektif orang Papua. Berangkat dari pengalaman hidup sehari-hari orang Papua, PV memproduksi sejumlah teks kultural berupa film-film dokumenter maupun video jurnalis untuk selanjutnya dijadikan sebagai bahan advokasi dan kampanye tentang alam dan manusia Papua di tingkat lokal maupun global. Produk-produk kebudayaan tersebut menjadi ide, makna dan praktik ideologis yang dijadikan sebagai peta pemaknaan dalam mengorganisasi berbagai elemen sosial untuk turut ambil bagian di dalam gerakan: melawan ketimpangan, merawat Papua. Di sini, pengalaman hidup sehari-hari dan produk film dokumenter berperan sebagai perekat sosial dalam menggalang solidaritas gerakan masyarakat sipil. PV adalah organisasi kultural yang menjadi medan pembentukan setiap individu menjadi agen sosial (subjek politik) dalam praktik signifikasi: Papua bercerita.

Meminjam pendapat Della Porta dan Diani (2006: 93), gerakan semacam ini dapat terjadi ketika para aktor penggerak mampu mengembangkan kemampuannya untuk mendefinisikan diri mereka sendiri di hadapan aktor sosial lain, serta mampu menopang hubungan timbal balik (mutual relationship) di antara mereka. Selain itu, sebagai medan pembentukan subjek-subjek politik dan penggalangan solidaritas di dalam identitas kolektif yang hegemonik, dokumenter juga berfungsi membangun komitmen bersama untuk melakukan transformasi sosial menuju perubahan yang menyelamatkan alam dan manusia Papua. Caranya adalah mengkonsolidasi dan memobilisasi setiap kepentingan, nilai, perasaan dan tujuan masing-masing penonton agar menjadi milik bersama di dalam gerakan menggugatketimpangan, merawat Papua. Dalam hal ini, PV memilih film dokumenter sebagai media artikulasi berbagai kerja politik di tingkat lokal maupun global. Produksi film dokumenter tidak lagi menjadi kerja seni semata, tetapi juga kerja politik untuk mewujudkan demokrasi kerakyatan di akar rumput.

Papuan Voices sebagai Blok Historis dan Identitas Kolektif

Dalam perspektif Gramscian, lahirnya sebuah organisasi masyarakat sipil sebagai blok historis bertujuan untuk melakukan penguatan terhadap masyarakat sipil yang dibedakannya dari masyarakat politik (negara dan aparatusnya). Ia tidak lagi menjadi tempat berkumpulnya orang-orang kalah, tetapi tempat para intlektual organik tumbuh menjadi kuat dan terus mendukung upaya perlawanan terhadap hegemoni negara (Sukmana, 2016: 212). Berkaitan dengan itu, kehadiran PV di Papua adalah bagian dari strategi gerakan sosial, yakni mewadahi setiap keluhan dan tuntutan orang Papua sambil terus berjuang menanamkan kesadaran kritis bagi mereka untuk dapat memahami persoalan yang dialami serta bagaimana menghadapinya. Perlu ditegaskan bahwa PV dan aktivismenya tidak dimaksudkan untuk memenangkan kontrol atau merebut kekuasaan negara, tetapi hanya sebatas mempengaruhi kebijakan, reformasi kelembagaan dan akuntabilitas negara agar berpihak pada kepentingan hidup orang banyak. PV juga bukan merupakan kelompok fundamentalis agama atau chauvanisme etnis. Ia sesungguhnya adalah salah satu dari sekian banyak kekuatan sosial yang tumbuh dan berkembangdalamkonteksperjalananhidup orang Papua yang tanpa henti berjuang mencari keadilan, perdamaian, dan kelestarian bagi alam dan manusia Papua.

Dalam konteks PV sebagai sebuah blok historis dan identitas kolektif, setiap individu maupun kelompok yang terlibat secara intern pertama-tama merupakan gabungan orang-orang terpanggil yang memiliki tanggung jawab moral etis untuk menyuarakan pesan-pesan dari Papua kepada publik. Mereka datang dari berbagai komunitas maupun organisasi masyarakat sipil yang berkedudukan di Papua, seperti: Gerakan Mahasiswa Pemuda dan Rakyat Papua (Gempar-P), Papua Pecandu Damai (Papeda), Jaringan Kerja Rakyat Papua (Jerat), Bengkel Pembelajaran Antar Rakyat Papua (Belantara), Sekretariat Keadilan Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan (SKPKC), Papuans photo, West Papua Updates (WPU), jurnalis, aktivis perempuan, aktivis lingkungan, maupun para pemuda dan masyarakat adat yang memiliki cinta yang besar untuk Papua. Tentu saja mereka datang dengan membawa beragam keluhan dan tuntuan seperti apa yang selalu menjadi pergulatannya di masing-masing basis. Lantas, bagaimana PV mengakomodasikan perbedaan-perbedaan yang ada agar memiliki satu tujuan tunggal yang dapat merangkum semuanya menjadi sebuah identitas kolektif.

Satu hal yang menjadi ciri khas gerakan PV adalah transformasi kesadaran kritis dengan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Setiap anggota PV dituntut untuk mewujud-nyatakan ciri tersebut dalam pikiran dan tindakan melalui cara-cara yang menghargai kesetaraan, keberagaman, serta anti terhadap berbagai bentuk kekerasan, eksploitasi dan ketidakadilan, terutama kepada kaum perempuan dan kelompok marjinal lainnya. Itulah alasan mendasar bagi PV untuk secara terbuka bekerjasama dengan individu maupun organisasi yang mengutamakan penghormatan terhadap hak asasi manusia, serta melakukan pemberdayaan masyarakat tanpa membedakan suku, agama, ras, dan jenis kelamin maupun orientasi seksual. Untuk itu, PV sebagai organisasi independen tidak mau mengikatkan atau bersandar pada partai politik tertentu atau pun kepentingan-kepentingan lain yang berseberangan dengan prinsip-prinsip demokratis (Bdk. Nilai-Nilai dan Prinsip PV dalam Statuta hlm. 2).

Setiap perbedaan pandangan maupun pendapat selalu diberikan ruang untuk hidup melalui cara-cara yang mampu mengikat setiap anggota tanpa kecuali. Artinya, setiap keluhan dan tuntutan yang diusung masing-masing orang adalah bagian dari kesepakatan menyuarakan pengalaman hidup yang berkaitan langsung dengan alam dan manusia Papua, dan disampaikan secara benar dan berimbang dengan mempertimbangkan nilai-nilai kemanusiaan yang inheren secara intelektual maupun moral etis. Berangkat dari kesadaran bersama atas pengalaman ketidakadilan yang harus disuarakan, dan banyaknya narasi arus utama yang tidak sesuai atau bahkan abai terhadap fakta empiris, setiap anggota PV menghadirkan narasi tandingan yang mengatasnamakan suara-suara orang Papua. Menurut Koordinator Umum PV, Bernard Koten, inilah alasan kenapa PV selalu mengklaim bahwa semua narasi yang difilmkan adalah narasi milik orang Papua, dan suara orang Papua yang difilmkan adalah milik PV. Di sana ada kesatuan yang tak terpisahkan antara PV sebagai corong artikulasi, dan orang Papua sebagai subjek di dalam setiap film yang diproduksi. Suara PV adalah suara orang Papua. Suara orang Papua adalah suara PV.

Untuk sampai pada soliditas kehendak dan tuntutan, PV terus menyupayakan transformasi kesadaran kritis (intelektual dan moral) melalui pelatihan dan pengembangan kapasitas di bidang audio-visual (film dokumenter dan video jurnalis) yang meliputi: strategy planning, metode riset dan investigasi, workshop tentang tema-tema yang relevan dengan konteks kehidupan orang Papua, nonton dan diskusi film, serta mengadakan Festival Film Papua (FFP) tahunan di setiap wilayah secara bergantian. Selain itu, semua anggota PV diberikan kesempatan untuk mengikuti dan meliput berbagai kegiatan seperti seminar, workshop, diskusi, aksi demonstrasi maupun festival film di tingkat lokal, nasional dan internasional, yang bertemakan HAM, lingkungan, perempuan, politik, ekonomi, dan isu-isu lain yang berkaitan dengan konteks Papua. Selain menambah wawasan berpikir dan kemampuan membuat pemetaan masalah serta bagaimana menyuarakannya secara berimbang di dalam film dokumneter maupun video jurnalis, kegiatan-kegiatan semacam ini oleh para aktivis PV diharapkan mampu membangkitkan kesadaran kritis untuk terus berjuang memenuhi kehendak maupun tuntutan di dalam setiap narasi tentang cerita ‘dari’ Papua untuk publik.

Untuk sampai kepada gerakan budaya yang hegemoni, pertama-tama para aktivis PV juga memiliki tanggung jawab intelektual dan moral-etis dalam memobilisasi dan mengorganisir partikularitas kekuatan sosial yang ada menjadi kehendak dan tuntutan kolektif yang bersifat universal. Maksudnya adalah partikularitas pengalaman yang terfragmentasi dan bertebaran di mana-mana–entah dalam bentuk pengalaman langsung para penonton di dalam kehidupan sehari-harinya maupun gambaran kondisi sosial yang diangkat dalam bentuk narasi film dokumenter–ditelaah dan dieksplorasi lebih jauh dalam konteks yang lebih luas, misalnya situasi politik, ekonomi, sosial dan budaya yang turut melahirkan kesenjangan di Papua. Jadi, dalam hal ini proses pemaknaan baru tentang Papua terjadi ketika ada interaksi antara teks (film dan pengalaman hidup) dengan pembacanya (penonton), di mana momen konsumsi (menonton dan berdiskusi) menjadi momen produksi makna (bdk. Barker, 2004: 12). Melalui cara-cara demikian, PV mampu membangkitkan kesadaran kritis dan memenangkan konsensus para penonton, serta memperoleh dukungan dari masyarakat sipil untuk sebuah gerakan budaya yang memperjuangkan transformasi sosial di Papua.

Politik Kepemimpinan dan Perjuangan Demokrasi Kerakyatan: Sebuah Model Gerakan Sosial Baru

Untuk memahami logika politik gerakan sosial atau yang saya sebut dalam tesis ini sebagai gerakan budaya, kedudukan dan peran para aktor penggerak adalah kunci utama yang perlu ditelusuri dalam kaitanya dengan keberlangsungan sebuah aktivisme. Mereka adalah elemen penting yang menjadi penentu berhasil atau tidaknya sebuah gerakan, hegemonik atau tidaknya bangunan identitas kolektif yang dibangun, serta tercapai atau tidaknya universalitas kehendak maupun tuntutan yang diusung.

Dalam konteks PV, politik kepemimpinan yang dijalankan melalui popular education adalah bentuk lain proses pembentukan subjek politik. Dengan memanfaatkan kemampuan mempengaruhi perilaku massa, terutama pada ranah kesadaran setiap individu, para aktor PV berupaya menunjukkan secara faktual posisi orang Papua di bawah bayang-bayang subordinasi, marginalisasi dan penindasan model baru. Sebagai bahan refleksi bersama masyarakat, film dokumenter ditayangkan dan didiskusikan lalu dikorelasikan dengan pengalaman hidup sehari-hari mereka untuk menemukan persoalan-persoalan yang dianggap mengancam masa depan manusia dan alam Papua. Persis dalam momen ini, setiap penonton diajak untuk menemukan posisi mereka sebagai subject of lack di hadapan berbagai model konstruksi yang dengan sengaja membentuk mereka untuk tunduk pada kekuatan utama (negara dan korporatisme). Dalam pengertian lain, para penonton diantar untuk menyadari dirinya sebagai subjek yang tidak pernah menemukan kepenuhan karena semua hal yang dihasrati sedang direpresi bahkan ditenggelamkan secara sistemik maupun normatif. Situasi semacam inilah yang menyebabkan orang Papua hidup di bawah bayang-bayang pembodohan massal tanpa punya kesadaran yang kritis untuk memahami realitas hidupnya lalu bangkit dan melawan berbagai model ketidak-adilan sosial yang terus berlanjut. Sudah saatnya orang Papua menyadari fakta yang sesungguhnya terjadi agar dapat mengambil posisi tertentu sesuai kehendak dan tuntutan yang ingin diperjuangkan.

Perlu dicatat bahwa kehendak dan tuntutan yang lahir bersamaan dengan kesadaran kritis untuk melawan bukan bersifat terberi (given), melainkan diciptakan dan dikonstruksi oleh aktor penggeraknya. Artinya, para aktivis PV punya peran yang besar dalam hal penerapan gaya politik kepemimpinan untuk menyuburkan perjuangan demokrasi kerakyatan di Papua. Mereka mampu menerjemahkan berbagai peristiwa hidup yang bersifat menindas dan eksploitatif ke dalam bahasa yang umum dan mudah dipahami sambil melakukan konsolidasi kekuatan baru untuk sedapat mungkin menyelesaikan persoalan-persoalan yang dihadapi orang Papua, entah pada skala lokal maupun nasional. Mereka juga memberi ruang seluas-luasnya bagi orang Papua untuk memperjuangkan perubahan sosial seperti pemenuhan hak-hak hidup dan kelestarian alam melalui sejumlah agenda reformasi yang dijalankan. Melalui cara demikian, upaya merebut kepercayaan, konsensus dan dukungan di dalam masyrakat dapat terwujud. Dan tentu saja pola regenerasi model ini memberi sumbangan berarti bagi bertumbuh suburnya kaum intelektual organik atau yang disebut Laclau-Mouffe sebagai agen sosial baru dalam mengatasi krisis organik serta menumbuhkan gerakan budaya secara masif dan hegemoni di Papua.

Perihal kedudukan dan fungsi intelektual manusia di dalam kehidupan bermasyarakat, Gramsci memberi kritik yang sangat tajam dan mendasar bagi sebuah upaya transformasi moral intelektual. Baginya, semua manusia adalah kaum intelektual, namun tidak semua manusia menjalankan fungsi intelektualnya di dalam masyarakat (Gramsci, 1976:9). Dalam artian yang ketat, kaum intelektual adalah adalah sebuah kelompok sosial yang secara khusus menjalankan fungsi-fungsi organisasi di ranah kebudayaan, sosial-politik dan produksi (Pozzolini, 2006: 145-146). Mereka memiliki karakteristik yang berbeda dari kelompok lain yang cenderung mengkalim diri sebagai kaum intelektual publik yang dikategorikan Gramsci sebagai intlektual tradisional. Oleh karena itu, dalam kerja politiknya, mereka tak lagi mendasarkan diri pada retorika dan kefasihan yang mampu menggerakkan perasaan dan hasrat orang secara eksternal dan bersifat momental, tetapi menjadi aktor pembangun, organisator, inspirator, dan penggerak yang turut berpartisipasi secara aktif dalam kehidupan praksis sehari-hari masyarakat (Gramsci, 2017: 137). Berkaitan dengan itu, patut saya katakan bahwa peran dan kedudukan para aktivis gerakan budaya di pusaran PV adalah wujud nyata kaum intelektual organik masa kini. Mereka layak disebut sebagai kelompok intelektual organik, karena mampu menghubungkan aktivisme yang diperjuangkan dengan situasi konkret masyarakat tempat mereka tumbuh dan bergerak. Mereka juga menjadi pejuang militan yang tidak hanya memahami, tetapi juga turut mengalami persoalan yang dihadapi orang Papua serta terus berupaya menghidupkan perjuangan politik dan budaya melawan berbagai bentuk ketimpangan sosial yang mengancam kehidupan alam dan manusia Papua. Selain itu, kehadiran dan aktivitas politik yang dijalankannya juga menjadi bentuk kritik terhadap hilangnya rasa kemanusiaan pada kelompok intelektual lain yang biasa memakai jargon ‘anak asli Papua’ untuk melegitimasi kedudukan dan perannya sebagai elit politik, akademisi, atau tokoh agama maupun aktivis yang begitu getol berangan-angan tentang masa depan Papua, tetapi tak punya taring dalam memperjuangkan pemenuhan hak-hak hidup orang Papua.

Membenarkan pernyataan tersebut, Bernard Koten selaku Koordinator Umum PV periode 2018-2021 dalam sebuah kesempatan wawancara pada 16 Maret 2020, menuturkan bahwa Papua hari ini menjadi medan penjajahan model baru yang dikenal dengan nama neokolonialisme. Orang-orang yang diharapkan mampu memperjuangkan aspirasi orang Papua begitu mudah digiring untuk menjadi bungkam terhadap ketidakadilan dan turut mengamini penindasan. Atribut seperti ‘anak asli Papua’ hanya menjadi pelicin dalam usaha merebut jabatan dan kekuasaan yang pada gilirannya menjadi peluang meraup keuntungan pribadi maupun kelompoknya yang memiliki kepentingan yang sama. Mereka tidak memiliki sikap politik yang konsisten karena menempatkan kepentingan pribadi di atas kepentingan orang Papua. Segala aktivitas polititknya tidak berkiblat pada aspirasi masyarakat, tetapi kepentingan ekonomi politik para antek kapitalis maupun neolib yang bermain peran di balik slogan ‘NKRI harga mati’. Oleh karena itu, kehadiran PV dan aktivitas gerakan budayanya menjadi sesuatu yang penting demi merangkul orang-orang yang sungguh memiliki kepedulian yang tinggi serta gigih dalam memperjuangkan keadilan sosial dan kelestarian alam.

Dalam pengamatan saya, melalui media film dokumenter, para aktivis PV tengah berjuang menerapkan pendidikan politik di tingkat akar rumput dalam rangka mendukung tumbuh-kembangnya gerakan demokrasi kerakyatan yang tentu saja berbeda haluan ideologi dengan demokrasi versi negara yang lebih pro-aktif terhadap kepentingan kapitalisme dan neoliberalisme. Sebagai aktor penggerak, mereka memiliki beragam strategi yang mampu menginspirasi dan mengorganisir massa untuk turut ambil bagian di dalam gerakan orang Papua bercerita melalui media film dokumenter. Berdasarkan laporan tahunan sejak 2017-2019, para aktivis PV memiliki program pelatihan audio visual (film dokumenter dan video jurnalis) bagi setiap anggota baru di setiap wilayah kerjanya masing-masing, termasuk kelompok-kelompok masyarakat seperti perempuan, pemuda, mahasiswa maupun individu yang memiliki keinginan yang kuat untuk bergelut di dunia dokumenter.

Prinsipnya adalah melahirkan semakin banyak filmmaker Papua yang mumpuni dalam mengartikulasikan berbagai bentuk pergumulan hidup orang Papua bersama alamnya. Jadi, tidak ada semacam ikatan yang didasarkan pada perjanjian tertentu antara seorang individu atau sekelompok orang dengan pihak PV demi menjaga kuantitas atau kualitas keanggotaan PV. Masing-masing individu diberi kebebasan menentukan pilihan politiknya untuk bergabung dengan PV secara institusional atau terpisah tanpa ada ikatan apa pun, karena hal utama yang mau dicapai dari aktivisme semacam ini adalah regenerasi kaum intelektual organik di Papua yang mampu menciptakan sejarahnya sendiri. Melalui cara demikian, setiap generasi diharapkan mampu menjadi aktor penggerak massa di tingkat akar rumput untuk membangun kontra hegemoni terhadap setiap diskursus dominan seperti globalisasi, developmentalisme yang tidak demokratis dan tidak berkeadilan sosial. Di tangan mereka, popular education akan terus berlanjut dalam rangka membangkitkan kesadaran kritis setiap warga massa yang menjadi dasar bagi demokratisasi (baca: demokrasi kerakyatan) di Papua dari masa ke masa.

Penutup

Berdasarkan berbagai ulasan di atas, dapat dikatakan bahwa media-media massa arus utama, seperti media online, televisi, dan film layar lebar, menjadi perangkat kerja hegemoni kaum penguasa dalam membentuk opini publik yang tidak sehat tetang alam dan manusia Papua. Melalui media-media tersebut, ideologi penguasa ditanamkan dan disebarluaskan untuk mendapatkan persetujuan sekaligus konsensus publik yang berhubungan dengan dua hal. Pertama, Papua membutuhkan penertiban, pemberadaban dan pembangunan, di mana aparatus negara menjadi subjek utamanya. Di dalamnya ada politik pencitraan tentang peran negara dan aparatusnya yang dinilai berhasil membangun Papua, sekaligus melegitimasi sejumlah kebijakan dan praktik pembangunan, meskipun berbanding ternbalik dengan kondisi sosial-historis di Papua. Kedua, hegemoni melalui media massa bertujuan untuk meredam perlawanan secara massif, karena berhasil mengaburkan kepentingan dan orientasi politik pembangunan yang sarat akan praktik eksploitasi, diskriminasi, dan subordinasi di Papua.

Berdirinya PV sebagai sebuah blok historis yang dalam kerja-kerja politiknya terus berupaya menggalang intelektual organik tidak terlepas dari kedua hal tersebut. Menariknya, partikularitas kehendak dan tuntutan yang datang dari berbagai elemen masyarakat dapat dipadukan ke dalam sebuah identitas kolektif yang mengatasnamakan suara-suara orang Papua. Tidak ada kategori tunggal dalam hal isu yang diperjuangkan maupun partisipan gerakan, karena di dalamnya sudah mencakup universalitas kehendak dan tuntutan yang mengusung nilai-nilai kemanusiaan dan kelestarian alam Papua. Jadi, PV tidak memperjuangkan satu isu tunggal, seperti anti kapitalisme atau rasisme saja. Basis partisipannya pun tidak lagi didasarkan pada etnis, agama atau kelas sosial tertentu, tetapi berdasarkan ideologi yang mengikat setiap individu di dalam identitas kolektif. Ideologi yang saya maksud di sini bukan merupakan suatu gagasan abstrak yang jauh dari realitas empiris, melainkan punya sifat materialistik, karena didasarkan pada pemahaman dan kedekatan para aktor penggerak dengan pengalaman hidup sehari-hari orang Papua.

Sebagai gerakan budaya, aktivisme yang dilakukan PV adalah salah satu bentuk hegemoni tandingan terhadap hegemoni budaya kaum penguasa. Dengan memanfaatkan film-film dokumenter yang diproduksinya sebagai media kampanye dan advokasi di tengah masyarakat, para aktivis PV terus berupaya menciptakan makna baru tentang alam dan manusia Papua berdasarkan perspektif orang Papua. Proses penciptaan makna baru tersebut melibatkan popular education yang bertujuan untuk membangkitkan kesadaran kritis massa untuk sedapat mungkin memahami situasi dan kondisi hidup orang Papua beserta alamnya sambil mencari solusi alternatif untuk mengatasi persoalan yang didihadapi. Melalui cara demikian, PV sesungguhnya sedang berjuang mendapatkan kepercayaan dan konsensus publik sambil terus melakukan regenerasi agen-agen perubahan demi keberlangsungan aktivismenya secara hegemonik. Dalam hal ini, film dokumneter bukan semata-mata sebagai kerja seni, melainkan menjadi bagian dari kerja politik kepemimpinan untuk mewujudkan demokrasi kerakyatan dengan memberi ruang seluas-luasnya bagi orang Papua untuk memperjuangkan perubahan dan transformasi sosial. Dengan demikian, selain menjadi media artikulasi pengalaman hidup sehari-hari orang Papua, film dokumenter juga menjadi medan kontestasi makna sambil mengeritik model kerja demokrasi liberal yang tidak berpihak pada kedaulatan rakyat.

PV hadir untuk mewadahi suara-suara yang terabaikan agar kebenaran dapat terungkap dan pengalaman penderitaan orang Papua dapat diketahui banyak orang. Kenyataan ini mau menunjukkan bahwa kehadiran PV adalah bentuk kontra hegemoni yang bertujuan untuk: 1) menolak segala bentuk pemelintiran isu tentang Papua yang tidak berdasarkan fakta, 2) mengisi ruang kosong informasi dan pengetahuan tentang Papua, yang jarang atau tidak pernah diliput maupun diekspos media-media nasional arus utama, 3) menyuguhkan sudut pandang baru dalam menarasikan Papua, di mana orang Papua menjadi subjek dalam bernarasi, dan 4) membangkitkan kesadaran kritis bagi publik demi memperjuangkan kebenaran dan melawan ketidakadilan di Papua. Singkatnya, aktivisme PV adalah bagian dari pendidikan politik yang berorientasi pada terwujudnya demokrasi yang berpihak pada kedaulatan rakyat.

 

Daftar Pustaka

Aufderheide, P. 2007. Documentary Film, A Very Short Introduction. New York: Oxford University Press.

Barker, C. 2004. The SAGE Dictionary of Cultural Studies. London: SAGE Publications.

Barker, C. 2004. Cultural Studies: Teori & Praktik. Tr. Nurhadi. Yogyakarta: Kreasi Wacana.

Butler, Judith, Ernesto Laclau dan Slavoj Zizek. 2000. Contingency, Hegemony, Universality: Contemporary Dialogues on the Left. London: Verso.

Della Porta, Donatella & Diani Mario. 2006. Social Movement: An Introduction. Malden: Blackwell Publishing.

Gramsci, Antonio. 1971. Selection From the Prison Notebook. Translated by Quintin Hoare and Geoffrey Nowel Smith. London: Lawrence & Wishart.

Gramsci, Antonio. 2017. Sejarah dan Budaya. Tr. Ira Puspitonni, dkk. Yogyakarta: Narasi.

Laclau, E. & Chantal Mouffe. 1985. Hegemony & Socialist Strategy: Toward A Radical Democratic Politics. London-N.Y.: Verso.

Laclau, E. & Chantal Mouffe. 2008. Hegemoni dan Strategi Sosialis: Postmarxisme dan Gerakan Sosial Baru. Tr. Eko Prasetyo. Yogyakarta: Resist Book.

Patria, Nezar & Andi Arief. 1999. Antonio Gramsci: Negara & Hegemoni. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Sukmana, Oman. 2016. Konsep dan Teori Gerakan Sosial. Malang: Intrans Publishing.

Fakih, Mansour. 2002. “Social Movement Sebagai Alternatif Terhadap Civil Society”. Dalam Menuju Gerakan Sosial Baru. Wacana Edisi 11. Tahun III. Yogyakarta: Insist Press.

Suryawan, I Ngurah. 2011. “Antropologi Gerakan Sosial: Membaca Transformasi Identitas Budaya di Kota Manokwari, Papua Barat”. Humaniora, Vol. 23, No. 3 Oktober 2011.

Hardy Basabelolon
Penulis adalah mahasiswa Magister Kajian Budaya, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta dan pemerhati isu-isu Papua.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Kirim Donasi

Terbaru

Rekonstruksi Identitas Orang Papua Melalui Perubahan Nama Tempat

Irian berubah menjadi Irian. Masyarakat Papua atau orang-orang yang...

Rosa Moiwend dan Kesalahan Teori Patriarki

Rosa Moiwend, salah satu kamerad kita di Papua menulis di media Lao-Lao Papua pada 9 Juni 2023, bahwa gerakan...

Ekofeminisme dan Hubungan Antara Perempuan dengan Hutan Sagu

Sebuah pandangan mengenai hubungan antara perempuan dengan hutan sagu di Kampung Yoboi, Sentani dan bagaimana mengujinya dengan perspektif ekofeminisme. Sagu...

Ancaman Pembangunan Terhadap Lahan Berkebun Mama Mee di Kota Jayapura

"Ini kodo tai koo teakeitipeko iniyaka yokaido nota tenaipigai, tekoda maiya beu, nota tinimaipigai kodokoyoka, tai kodo to nekeitai...

Memahami Perempuan (Papua) dari Tiga Buku Nawal El Saadawi

Sebuah ringkasan secara umum Pengantar Isu feminisme di Papua pada umumnya masih banyak menuai pro dan kontra. Itu bisa kita temukan...

Rubrikasi

Konten TerkaitRELATED
Rekomendasi Bacaan