Siapa di Papua yang tidak tahu Victor Yeimo atau sapaan singkat VY. Mayoritas pribumi Papua dan juga masyarakat non Papua yang jumlahnya telah dua kali lipat banyaknya yang tinggal dan hidup di Bumi Cendrawasih tahu siapa itu Victor Yeimo. Walau pun kedua entitas masyarakat yang memiliki perbedaan mencolok ini memiliki penilaian yang tidak sepaham tentang Juru Bicara Internasional Komite Nasional Papua Barat (KNPB), namun seyogyanya mereka tahu siapa itu VY.
Bagi mayoritas pribumi Papua, Victor Yeimo adalah pejuang kemerdekaan bangsa Papua yang sangat kritis dan berani dalam menentang kolonialisme Indonesia di Papua. Sebaliknya, kebanyakan orang non Papua di Bumi Cendrawasih yang belakangam ini mulai menunjukan eksistensi mereka di Papua dengan membetuk organisasi-organisasi sipil mereka untuk menentang gerakan perjuangan Papua merdeka. Terutama menentang gerakan yang digawangi Victor Frederik Yeimo dan para camradenya di KNPB, dan mereka minilai VY sebagai musuh Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Saya sendiri mau pun pembaca yang budiman, sudah tentu dan pasti menilai VY yang juga adalah Juru Jicara Internasional Petisi Rakyat Papua (PRP) Tolak Otsus Jilid II sebagai seorang pejuang kemerdekaan rakyat Bangsa Papua dari kolonialisme Indonesia. Atau VY itu diibaratkan sama seperti Soekarno, Hatta, Tan Malaka, dan para pejuang Indonesia lainnya yang berjuang untuk memerdekakan bangsa Indonesia yang dijajah Belanda disaat itu. Artinya Victor Yeimo adalah pejuang bukan seperti yang dituduhkan Kapolda Papua.
Sebagai seorang pejuang yang memperjuangkan kemerdekaan bangsa dan tanah airnya dengan cara tanpa kekerasan, Victor Yeimo ditangkap oleh Satuan Tugas (Satgas) Nemangkawi, salah satu unit pasukan gabungan TNI-Polri bentukan negara kolonial (penjajah) Indonesia untuk memburuh para pejuang kemerdekaan Papua yang berjuang dengan menggunakan senjata atau yang menggunakan cara kekerasan fisik (kontak senjata). Victor ditangkap Satgas Nemangkawi pada, Minggu (9/5/2021) atau tiga bulan yang lalu dan hingga tulisan ini dibuat, Ia masih ditahan di Rutan Mako Brimob Kota Raja dengan akses yang sangat terbatas.
Kombes Pol M Iqbal Alqudusy yang adalah Kepala Satgas Operasi Nemangkawi mengatakan bahwa Victor yang ditangkap langsung dijadikan sebagai tersangka sebab dia merupakan buronan yang masuk Daftar Pencarian Orang (DPO) Polisi sejak 2019. Dijadikan DPO Polisi karena keterlibatan Victor dalam aksi rasisme di Jayapura yang berujung rusuh dan terjadi pembakaran kantor Grapari-Telkom Jayapura.
“Victor Yeimo aktor kasus kejahatan keamanan negara, yaitu kerusahan Papua tahun 2019,” kata Iqbal kepada Kompas, Minggu, 9 Mei 2021.
Sehari setalah Victor Yeimo yang adalah pejuang kemerdekaan bagi bangsa Papua ditangkap oleh Satgas Nemangkawi di Distrik Abepura, Kota Jayapura pada hari Minggu sekitar pukul 19.05 WP, Kapolda Papua, Irjen Mathius D Fakhiri pada hari Senin (10/5/2021) dengan penuh percaya diri berkoar dimedia bahwa Victor akan dibiarkan sampai tua di penjara karena beberapa kasus yang telah dilaporkan.
“Kami sedang menggali semua laporan polisi yang ada, nanti proses tetap berjalan sesuai masing-masing LP, biar saja dia sampai tua di penjara,” Kata Kapolda Papua kepada Kompas, Senin (10/5/2021).
Selain dinyatakan sebagai DPO Polisi atas aksi rasisme ke II di Jayapura yang berujung rusuh, VY juga dituduh melakukan tindakan pidana makar ketika aksi melawan tindakan rasisme pada 19 Agustus 2019 di Jayapura karena dia menyiarkan berita atau mengeluarkan pemberitahuan yang dapat menimbulkan keonaran di masyarakat. Oleh sebab itu ia dikenakan pidana makar sebagaimana diatur dalam Pasal 106 jo Pasal 87 KUHP atau pasal 110 KUHP.
Berbedah dengan Kapolda Papua, Irjen Mathius D Fakhiri dan Kombes Pol M Iqbal Alqudusy, Kepala Satgas Operasi Nemangkawi, melalui siaran pers yang diterbitkan Amnesty Internasioal pada 19 Mei 2021. 30 organisasi sipil yang bergerak di isu Hak Asasi Manusia (HAM) mendesak agar Victor Yeimo segera dibebaskan tanpa syarat. Menurut 30 organisasi sipil tersebut bahwa penangkapan dan penahanan terhadap Victor Yeimo dengan tudahan pasal makar karena menyiarkan berita atau mengeluarkan pemberitahuan yang dapat menimbulkan keonaran di masyarakat, merupakan penyangkalan terhadap UU No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum sebuah undang-undang yang lahir dari perjuangan berdarah-darah dari rakyat semesta Indonesia ketika menurunkan rezim Seoharto pada Mei 1998.
Lebih lanjut 30 organisasi sipil berpendapat bahwa sebagai bagian dari negara yang turut meratifikasi Kovenan International tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR), maka seharusnya negara dapat membedakan ancaman kekerasan dari kelompok pro-kemerdekaan bersenjata dan kelompok sipil pro-kemerdekaan yang berjuang dengan cara tanpa kekerasan seperti KNPB. Artinya bahwa penangkapan Victor Yeimo yang dilakukan oleh Satgas Nemangkawi dianggap tidak sesuai prosudural Kepolisian.
Jika penangkapan dan pemidanaan Victor Yeimo, Juru Bicara Internasional KNPB adalah pelanggaran terhadap UU No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, menurut 30 organisasi sipil di Papua. Juga pengabaian terhadap kewajiban negara dalam menghormati, melindungi, dan memenuhi hak asasi manusia berdasarkan Konvenan Internasional Tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR). Maka kita perlu bertanya, mengapa negara menangkap dan menahan Victor Yeimo dengan dalil dia adalah DPO aksi rasisme di tahun 2019 yang berujung ricuh dan diduga melakukan makar disaat aksi rasis tersebut?
Pembaca yang budiman perlu mengetahui bahwa kehadiran VY di aksi rasisme jilid I di Jayapura, pada 19 Agustus 2019 atas permintaan massa rakyat, bukan keinginan dirinya sendiri sebagaimana yang disampaikan VY ketika ditemui Jhon NR Gobay, Ketua Fraksi Otonomi Khsusu DPRP dan Pdt. Nicolaus Degei, anggota Majelis Rakyat Papua di Rutan Brimob pada, Selasa (18/5/2021).
“Orasi yang saya sampaikan saat aski anti rasisme di Jayapura pada tanggal 19 Agustus 2019 sejatinya atas permintaan rakyat Papua yang tidak terima dengan ujuran rasis dari ormas reaksioner bersama penegak hukum di Kota Pahlawan, Surabaya” kata Victor Yeimo kepada Suara Papua 23 Mei 2021.
Juga aksi yang di hadiri VY itu berjalan aman dan damai hingga selesai itu tak lepas dari peran VY dalam mengendalikan psikologis puluhan ribua massa rakyat yang marah dan tak terima atas ujuran rasisme kepada mahasiswa Papua yang kuliah di Surabaya. Oleh itu, dirinya merasa bahwa semua pihak terutama aparat keamanan harusnya berterima kasih kepadanya, bukan mengkambing hitamkan dirinya atas aksi 29 Agustus 2019 yang dia sama sekali tidak terlibat.
“Seharusnya semua pihak bersyukur karena saya saat itu berhasil mengendalikan puluhan ribu orang yang memprotes rasisme di Kota Jayapura pada tanggal 19 Agustus 2019. Selain aksi itu, ada keduanya lagi, tetapi saya tidak mengikuti aksi tanggal 29 Agustus 2019,” kata Victor Yeimo saat ditemui John NR Gobay dan Nicolaus Degei kepada Suara Papua 29 Mei 5021.
Menurut saya kehadirannya VY baik diminta atau pun tidak adalah bagian dari hak asasinya untuk berekspresi menyampaikan apa yang ingin disampaikan kepada publik terkait rasis dan protes masyarakat. Dan haknya itu dilindungi oleh undang-undang yang berlaku di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Selain itu, aksi rasisme di Jayapura yang berujung ricuh terjadi di tanggal 29 Agustus dimana Victor sama sekali tidak terlibat.
Juga, aksi melawan ketidakadilan atas tindakan rasisme di Surabaya yang meluas hingga protes puluhan ribuan orang di sentero tanah Papua yang berujung ricuh di beberapa kota telah dibayar lunas oleh 7 tapol rasisme yakni Agus Kosay, Ketua Umum KNPB, Steven Itlay aktivis KNPB, Buctar Tabuni, Aleksander Gobay, Ferry Gombo, Hengky Hilapok, dan Irwanus Uropmabin.
Menarik benang yang kusut dari penangkapan dan pemidanaan Victor Yeimo, menurut banyak pihak dan juga penulis, bahwa ada motif dibalik penangkapan dan penahan Victor. Motif tersebut perlu diketahui publik untuk mengajukan mossi tidak percaya. Untuk mengungkap motif dibalik penangkapan dan pemindaan Victor Yeimo ada pertanyaan yang musti dijawab untuk menemukan motifnya.
Pertanyaannya adalah mengapa Victor Yeimo yang tercatat sebagai daftar pencarian orang oleh Polda Papua dengan Nomor: DPO/22/IX/RES.1.24/209/Ditreskrimum tertanggal 9 September, setelah ditangkap dan sehari setelah ditangkap ditetapkan sebagai tersangka oleh Polda Papua, berkasnya tidak langsung dilimpahkan kepada Jaksa Penuntut Umum (JPU) untuk disidangkan? Tetapi sebaliknya setelah 20 hari masa penahanan pertama, kemudian diperpanjang 40 hari lagi, kemudian penyidik memperpanjang lagi masa penahanan Victor 30 hari lagi dengan memperpanjang masa penahanan dengan nomor surat: B/68.0/VII/RES.1.24/2021/Direskrimum dengan perihal perpanjangan penahanan Victor Yeimo selama 30 hari terhitung 9 Juli-7 Agustus 2021. Ada apa?
Bagi saya, jika Victor telah ditetapkan Polda Papua sebagai DPO itu artinya bahwa bukti-bukti atas tuduhan yang dikenakan buatnya sudah lengkap sehingga ketika ditangkap dan ditahan tidak sampai P21 atau dua puluh satu hari setelah ditangkap, kasusnya sudah diterima JPU dan statusnya tidak lagi menjadi tahanan Polda Papua tetapi menjadi tahanan Jaksa, dan sudah dapat dijadwalkan untuk disidangkan karena berkasnya sudah lengkap. Bukan ditahan hingga melampaui batas penahanan sebab berkas perkaranya belum lengkap, plus pembatasan akses secara sengaja terhadap pemenuhan hak asasinya. Seperti hak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang layak dan berkualitas sesuai kehendaknya.
Penangkapan yang kontradiksi dan penahanan yang melampaui masa penahanan, menurut penulis adalah cara busuk Kapolda Papua sebagai motif untuk menyerang dan teror psikologis Victor Yeimo yang diketahui sangat kritis dan lantang melawan negara dengan cara tanpa kekerasan. Selain Victor, penangkapan dan penahanan Jubir KNPB tersebut dapat mempengaruhi camrad-camradnya di KNPB agar takut untuk melawan negara. Motif teror psikologis tersebut juga diharapkan dapat mengganggu nyali para aktivis gerakan yang tergabung didalam Petisi Rakyat Papua (PRP) Tolak Otsus Jilid II agar tidak melakukan perlawanan yang berarti ketika pengesahan revisi undang-undang Otsus dilakukan pada 15 Juli 2021, dan itu berhasil.
Apakah sampai disitu motif dibalik penangkapan dan penahanan Victor Yeimo? Tidak. Menurut saya, hari ini negara takut terhadap gerakan KNPB dan gerakan Petisi Rakyat Papua (PRP) Tolak Otsus Jilid II yang menyatakan akan melakukan mogok sipil berskala besar dan meluas apa bila Otsus dilanjutkan dan Otsus telah dilanjutkan. Sehingga untuk mengantisipasi ancaman mogok sipil yang akan dilakukan dibawah komando PRP yang didalamnya ada 112 organisasi termaksud KNPB, maka Victor Yeimo yang dilihat negara sebagai arsitek KNPB dan Juru Bicara Internasional PRP harus ditangkap dan ditahan untuk mencegah terjadinya mogok sipil nasional sebagaimana mereka berhasil menggagalkan aksi nasional PRP untuk menolak revisi Otsus Jilid II di bulan Mei kemarin.
Dari motif penahanan mantan Ketua Umum KNPB itu, saya mau bilang untuk organisasi-organisasi gerakan sipil pro-kemerdekaan terutama KNPB sendiri, bahwa negara telah mengakui apa yang ditakuti dari penahanan Victor Yeimo, bila dikerjakan serius oleh gerakan perjuangan, yaitu mogok sipil berskala besar di seluruh tanah Papua yang dilakukan dengan cara tanpa kekerasan. Jadi selain dari aksi dan kampanye pembebasan Victor Yeimo dilakukan sebagai tanggungjawab moril dari gerakan buat sang propagandis kita. Dan itu harus dilakukan dengan cara aksi masa. Namun gerakan juga harus tetap maju, jangan kendor untuk melakukan konsulidasi menuju mogok sipil nasional berskala besar dan meluas atau riilnya itu mogok sipil nasional. Mengingat kebebasan Victor Yeimo tak bisa ditukar dengan Otsus Jilid II, apa lagi pemekaran. Kebebasan Victor Yeimo setara referendum dan referendum hanya bisa terjadi bila mogok sipil berskala besar dan meluas itu terjadi.
***