Lawan Perampasan Lahan dan Wujudkan Kedaulatan Pangan
Hari Tani Nasional setiap tahunnya diperingati sesuai momentum dilahirkannya Undang-Undang Pokok Agraria (UU PA) No. 5 Tanggal 24 September Tahun 1960 sebagai salah satu capaian politik kaum tani dalam perjuangannya mewujudkan kedaulatan atas kepemilikan tanah, tatanan masyarakat yang adil, sejahtera dan berdaulat.
Rakyat Papua pada 1 Desember 1961 mendeklarasikan Manifeso Politik yang meliputi bendera, lambang negara, lagu kebangsaan dan kelengkapan lainya. Ini menandakan bahwa rakyat Papua memiliki hak berdaulat atas masa depanya, berdasarkan pada perkembangan pertanian, arsitektur, politik, ekonomi, dan bidang lainnya di Papua.
Indonesia mengkolonisasi Papua dimulai dengan adanya Tri Komando Rakyat (Trikora) pada 19 Desember 2019 bertujuan menggagalkan, mencaplok, menduduki, dan menjajah Papua.
Indonesia meluncurkan operasi militer (baca: Operasi Mandala ) dan diplomasi Internasional yang berhasil menekan Belanda sehingga menghasilkan Perjanjian New York Egreement pada 15 Agustus 1962 dan Roma Egreement pada 30 September 1962 antara Belanda, Indonesia, dan Amerika yang dilakukan tanpa keterlibatan satu pun wakil dari rakyat Papua.
Transfer administrasi dilakukan pada 1 Mei 1963, Indonesia yang mendapat tanggung jawab untuk mempersiapkan pelaksanaan penentuan nasib dan pembangunan di Papua tidak menjalankan sesuai kesepakatan dalam New York Egreement.
Indonesia malah melakukan pengkondisian wilayah melalui berbagai operasi militer dan penumpasan gerakan pro kemerdekaan rakyat Papua.
Lebih ironis, sebelum proses Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) pada 1969 dilakukan, tepat 7 April 1967 Freeport perusahaan pertambangan milik negara imperialis Amerika Serikat telah menandatangani kontrak pertamanya dengan pemerintah Indonesia dan merampas tanah adat suku Amungme dan mengungsi ke tanah miliki suku lain yang masih kosong di sekitaran pegunungan juga pesisir pantai di Timika.
Praktik perampasan tanah di Papua sudah dilakukan oleh Indonesia dengan kontrak pertama Freeport 2 tahun sebelum Pepera dilakukan. Hingga dari 809.337 orang Papua yang memiliki hak suara, hanya diwakili 1026 orang yang sebelumnya sudah dikarantina dan cuma 175 orang yang memberikan pendapat.
Musyawarah untuk Mufakat melegitimasi Indonesia untuk melaksanakan Pepera yang tidak demokratis, penuh teror, intimidasi dan manipulasi serta adanya pelanggaran HAM berat.
Pola penjajahan Indonesia yang militeristik ini mengakibatkan banyak rakyat Papua mengungsi ke kampung-kampung lain bahkan menyeberang ke Papua Nugini dan meninggalkan kampung asli.
Negra kolonial Indonesia paska operasi militer menjalankan program transmigrasi (1970an) ke Papua (baca: Kloniasasi kependudukan), Negara merampas tanah milik rakyat Papua, mendirikan perumahan dan menyediakan sebidang tanah untuk diberikan kepada rakyat para migran Indonesia yang tidak memiliki tanah yang berasal dari luar tanah Papua.
Seperti Kalimantan, Sumatera, Sulawesi terutama dari Jawa yang tidak tidak memiliki tanah untuk bisa membangun ekonomi keluarga mereka di Papua. Rakyat migran Indonesia yang tidak tahu menahu soal Papua dan kondisi perpolitikan ini dimanfaatkan di dalam program negara untuk mengkolonisasi Papua dengan pola kolonisasi pendudukan.
Rakyat Papua yang hidup dibawah teror dan intimidasi akibat operasi militer terasing, sementara masyarakat trasmigrasi mengembangan lahan pertanian, kota-kota mini di Papua dibawah pengawasan militer sehingga membuat rakyat Papua terus tertinggal di lapangan ekonomi. kelas-kelas sosial di dalam masyarakat Papua mulai terbentuk, rakyat Papua mulai diangkat sebagai tenaga administrasi, tenaga kerja lainnya, sehingga terintegrasi di dalam birokrasi kolonial di Papua, sementara mayoritas rakyat Papua terus dirampas tanahnya demi pembangunan, investasi, dan dimiskinkan..
Kolonial Indonesia semakin massif menguasai Papua, mendirikan kota-kota sebagai pusat birokrasi kolonial dan perputaran ekonomi dengan politik pemekaran yang tujuannya untuk membangun infrastrutur sebagai pendukung (prasyarat) masuknya investasi dan akumulasi modal imperialisme, perluasan basis militer kolonial Indonesia.
Negara menjalankan politik bantuan sosial berupa bantuan, kucuran dalam bentuk barang dan uang. Program Bantuan Desa (Bandes) digalakkan sejak 1969, Otonomi Khusus 2021 dan Program Beras untuk kaum miskin (Raskin) sejak tahun 2003 hingga Undangan-Undang Desa tahun 2014.
Paket kebijakan Indonesia di atas membuat perubahan pola konsumsi, profesi, budaya prioduktif menjadi konsumtif. Uang bansos yang mengalir tersebut digunakan rakyat untuk membeli beras dan meninggal budaya berkebun sehingga rakyat tidak menjadi produktif dan bertahan hidup dari hasil kebun dan dijerumuskan ke dalam aktivitas perjuadian. Sementara arus barang (kapital dagang) dari luar Papua terus dipasok di seluruh tanah Papua. dengan cara ini, Negara menciptakan kondisi ketergantungan, mengontrol harga barang (baca: ekonomi) dari luar Papua dan terus memonopoli pasar lokal di Papua. sementara rakyat terus terdampak operasi militer, stigmatisasi, tanah-tanah dirampas untuk investasi, pembangunan infrastruktur, pembangunan kota hak agraria rakyat Papua dirampas.
Dalam menjalankan program kolonialnya Indonesia terus menciptakan kebijakan-kebijakan pro kapitalis dan mengirim militer untuk menjalankan operasi militer guna menekan gerakan rakyat Papua dan mengamankan aktivitas investasi kapitalis di Papua.
Otonomi Khusus, 2001 adalah cara Indonesia memecah belah rakyat Papua dan membuka jalan bagi investasi skala besar di Papua. Secara Nasional Indonesia meluncurkan paket kebijakan Neo Liberal MP3EI 2014 dan Omnibus Law 2020. Kebijakan-kebijakan pro kapitalis ini mengancam hak kekuasan tanah oleh rakyat Indonesia dan Papua.
Rezim Jokowi-Maaruf terus menjalanakan operasi Militer di Nduga, Intan Jaya, Pegunungan Bintang, Puncak Jaya, Puncak, Maybrat dan seluruh tanah Papua. Negara terus menambah catatan panjang penderitaan rakyat Papua dan memperbanyak catatan pelanggaran HAM.
Data Media dan pernyataan resmi negara (secara terbuka) jumlah TNI-Polri yang di kirim ke Papua dalam 3 tahun terakhir yaitu 21.609, yakni tahun 2019, sebanyak 10.000 tahun 2020, dari tahun 2021 kurang lebih 5.000an. Jumlah TNI-Polri yang di kirim selama 3 tahun terakhir itu tidak termasuk data jumlah Kopassus, belum terhitung jumlah TNI-Polri organik dan non-organik yang ada di Provinsi Papua dan Papua Barat. Belum terhitung jumlah milisi sipil yang dipersenjatai negara di Papua. Demikian rasio penduduk dan personil TNI-Polri di Papua merupakan yang tertinggi di seluruh Indonesia. Militerisasi Papua bukan meningkatkan keamanan tapi meningkatkan kejahatan kemanusiaan.
Tahun 1965 orang Amungme dan Kamoro di hancurkan demi emas oleh Freeport, tahun 1966 penduduk Mapenduma dihancurkan demi Taman Nasional Lorents, tahun 2018 hingga saat ini Nduga, Intan Jaya, dan Puncak Papua dihancurkan demi emas senilai 8,1 juta ton di Blok Wabu, kini di Maybrat demi penguasaan hutan oleh perusahaan kayu PT. Bangun Kayu Irian dan PT Wananggala Utama.
Akibat dari operasi Militer di Nduga, Puncak Papua, Pegunungan Bintang, Intan Jaya, dan Maybrat ini membuat membuat masyarakat mengungsi ke kampung tetangga, ada juga yang bertahan di hutan dengan bahan makanan seadanya hingga saat ini. Anak-anak sekolah tidak bersekolah karena aktifitas belajar-mengajar mati total, perkebunan milik warga tidak terurus, rumah dan harta benda semuanya ditinggalkan. Ribuan pengungsi kehilangan hak asasi mereka yaitu hak atas rasa aman, hak untuk tidak disiksa, hak atas pendidikan, kesehatan, hak beribadah dan hak-hak lainnya.
TNI-Polri yang dikirim ke Papua maupun yang sudah ada di Papua ini tujuannya untuk membungkam gerakan dan perlawanan rakyat Papua agar investasi dan eksploitas Sumber Daya Alam (SDA) Papua. Selain itu untuk menyukseskan program kolonial Indonesia di Papua salah satunya Pekan Olahraga Nasional (PON) 2021 yang menjadi alat legitimasi kampanye di rakyat Indonesia dan dunia bahwa Papua baik-baik saja bersama Indonesia dan 21 tahun Otonomi khusus Papua berhasil membangun dan mensejahterakan orang Papua.
Kekuasan kolonial Indonesia didukung oleh korporat kapitalis yang menggurita sehingga dampaknya meluas baik di Papua, Indonesia, dan dunia. Para korporat dan mafia tanah tidak mengenal kemanusiaan mereka hanya terus-menerus mengejar berapa banyak petak tanah yang harus dikuasai untuk keuntungan ekonomi semata.
Maka, dalam rangka memperingat Hari Tani, kami Front Petani Papua Bergerak menyatakan sikap politik kepada Rezim Jokowi-Maaruf, Belanda, Amerika, dan PBB untuk segera:
Pertama: Segera hentikan perampasan tanah-tanah milik rakyat oleh Negara demi invetasi kapitalis.
Kedua: Mengecam tindakan Rektor Uncen, Panitia PON, dan TNI-Polri yang melakukan penggusuran paksa terhadap mahasiswa penghuni Asrama Rusunawa Universitas Cenderawasih (Uncen), Jayapura.
Ketiga: Tutup PT Freeport, BP LNG, Blok Wabu Intan Jaya, dan semua perusahaan multi nasional dan internasional yang beroperasi di seluruh tanah Papua.
Ketiga: Hentikan ilegal loging, ilegal mining, dan ilegal fishing di Papua.
Keempat: Buka ruang demokrasi seluas-luasnya bagi rakyat Papua.
Kelima: Hentikan penggusuran paksa mama pasar Papua di Jayapura dan di seluruh tanah Papua.
Keenam: Tolak Otonomi Khsusus (Otsus) Jilid II dan berikan hak menentukan nasib sendiri sebagai solusi demokratis bagi rakyat Papua.
Ketujuh: Tolak pelaksanaan PON XX Papua yang dilaksanakan di atas penderitaan Rakyat Papua.
Kedelapan: Hentikan pembangunan jalan Trans Melingkar Lukmen di Wamena dan Pembangunan PLTA di Kapiraya Deiyai.
Kesembilan: Buka akses jurnalis independen ke Papua.
Kesepuluh: Wujudkan kedaulatn pangan dan ekonomi lokal di Papua.
Kesebelas: Palang Merah Internasional segera turun ke Papua untuk membantu Rakyat Papua yang terdampak operasi militer Indonesia di Papua.
Kedua belas: Hentikan kekerasn seksual oleh Negara terhadap rakyat Papua.
Ketiga belas: Bebaskan Eko, mahasiswa pro demokrasi Papua yang ditahan paksa oleh Polisi di dalam kampus Uncen, Jayapura.
Keempat belas: Bebaskan Victor Yeimo dan semua Tahan Politik (Tapol) Papua tanpa syarat.
Demikian pernyataan sikap ini. Kami menyerukan kepada seluruh rakyat Indonesia dan West Papua untuk bersatu dan berjuang merebut cita-cita pembebasan sejati rakyat atas perhatian dan dukungan seluruh petani Indonesia dan West Papua, kami ucapkan terima kasih.
Hancurkan Kapitalisme! Hapuskan Klonialisme! Lawan Militerisme!
Hidup Petani! Hentikan Perampasan Lahan! Rakyat Berdaulat! Wujudkan Kedaulatan Pangan!
West Papua, 24 September 2021
Yang tergabung dalam Petani Papua Bergerak:
Forum Independen Mahasiswa West Papua (FIM-WP), Solidaritas Pelajar Nabire (SPN), Komunitas Green Papua (KGP), Belantara Sorong, Sinak Bersatu, Komunitas Mahasiswa Independen Somatua Intan Jaya, Kelompok Masyarakat Tani Lokal (Kematalok) Timika, Mama Pasar P3 Wena Jayapura, Sekolah Alternatif P3 Waena Jayapura, dan Individu-Individu.