Analisa Harian Uskup OAP: Antara Harapan dan Keinginan yang Dipaksakan

Uskup OAP: Antara Harapan dan Keinginan yang Dipaksakan

-

Sosok pemimpin di akhir-akhir ini sedang menjadi kerinduan orang Papua. Setelah Theys Eluay dibunuh, pengharapan akan kebebasan itu tumbuh di dalam semak-semak. Tidak seperti lalu-lalu, seperti pohon-pohon yang berdiri gagah dan siap ditebang kapan saja. Kehilangan beliau cukup menguras seluruh jiwa dan raga juang kita. Di tengah-tengah itu, hadir seorang pemuda yang gagah dengan mulutnya. Ia mampu membakar daya juang orang Papua. Juga, amarah lawan yang akhirnya ia ditembak membabi buta di pinggiran jalan. Tak lama kemudian, muncul sesosok pembuka jalan. Iya, ia hanya pembuka jalan. Tak seperti kedua tokoh sebelumnya yang mampu membakar seluruh isi bumi Papua. Ia adalah Pater Neles Tebay. Tokoh yang diabaikan, dicurigai, dan hanya meninggalkan kerinduan ‘andaikan’ di saat ini. Ketika mulutnya berbusa, kita biarkan hingga akhirnya nyawanya pun diambil begitu saja dalam senyap. Lalu kemudian, setelah kepergiannya rindu itu mulai mencekam dan kita setengah menyadari, menyesal, dan mengharapkan terulang lagi yang sebenarnya “kosong” saja.

Sia-sia harapan yang ia tinggalkan itulah yang sekarang berubah menjadi “mental minta-minta”. Tak hanya orang Katolik, hal yang sama juga diharapkan oleh umat beragama yang lain dengan harapan Uskup Orang Asli Papua (OAP) itu muncul. Hal itu dipengaruhi karena beberapa cerita-cerita seorang Uskup yang mampu membawa bangsanya ke jalan kebebasan dari ketertindasan. Kemudian, berubah menjadi harapan juga bagi orang Papua. Tidak salah memang.

Namun, satu hal yang kita lupakan adalah soal karakter manusia. Siapapun dia yang akan menjadi uskup, ia juga manusia yang memiliki kelemahan. Manusia bisa saja luput dari komitmen asal diberi tekanan. Kenyataan seperti ini yang kita abaikan. Kita seakan memberi harapan besar seakan yang namanya uskup adalah sosok pejuang rakyat tertindas. Nyatanya itu hal tersulit yang sering berusaha digapai semua manusia. Singkatnya, kita terlalu menaruh harapan besar pada kata ‘uskup’nya saja. Belum tentu juga uskup yang kita harapkan itu tergerak karena umatnya dibantai karena kepekaan terhadap kemanusiaannya ada. Jika seandainya uskup tersebut nanti orang Papua tersebut, apakah akan sama dengan mereka? Apakah ia akan berjuang untuk menyuarakan Papua? Itu pertanyaan yang sulit dijawab sebenarnya.

Pertama, kepekaan terhadap kemanusiaan itu muncul dari dalam. Itu adalah karakter yang telah dibentuk agar ia menjadi orang yang dapat berjuang demi orang lain. Mencari sosok seperti itu, sangat sulit. Artinya mereka membutuhkan suatu proses belajar dan pembentukan diri. Itu sama halnya dengan sosok bigman (sosok berwibawa) yang harus menunjukkan diri agar menjadi Kain, Tonawi, Bobot, Kayepak, Tesmaypits, dan sebagainya. Begitupun juga dengan berdasarkan warisan baik suku-suku besar maupun kekuasaan lain. Hal itu memiliki proses yang panjang. Baru kemudian muncul sistem pemilihan yang sebenarnya sedang mengacaukan kita karena siapa yang dipilih tak pernah sepenuhnya mau berjuang harapan yang berjangka panjang. Mereka memiliki sesuatu yang khas yakni kewibawaan mereka melebihi orang-orang disekitar karena perjuangan mereka lebih dari biasa-biasa saja.

Kedua, telah kita ketahui bersama bahwa pemimpin di era modern ini tidak sepenuhnya ada untuk rakyat dan tidak banyak peluang bahkan untuk hidup bagi yang menyuarakan jeritan rakyat. Tidak perlu jauh-jauh, saat ini kita sedang menghadapi suasana operasi militer yang berdampak langsung pada masyarakat Nduga, Intan Jaya, Timika, Maybrat, dan di seluruh tanah Papua. Ada beberapa pemimpin yang berusaha hadir untuk rakyat, mereka diserang dengan penyakit yang mirip korona, yaitu penyakit sakit dan mati tiba-tiba. Sedangkan yang lainnya berusaha membungkam diri seakan tak ada masalah sama sekali. Itulah kenyataan yang sedang kita hadapi.

Artinya apa? Ada beberapa hal yang membuat kita keliru untuk membangun ulang pencarian sosok pemimpin. Bahkan itu sebagai seorang Uskup yang nota bene OAP. Pertama, mengandaikan jika OAP yang jadi uskup akan berjuang untuk mengangkat penderitaan Papua. Kita beranggapan ia seperti sosok dokter bagi penyakit, orang-orang di PBB untuk kemanusiaan. Kita seakan mengabaikan prosedur formal yang dibangun dan itu belum tentu memenuhi harapan orang Papua. Kedua, kita menganggap seorang uskup itu selalu peka terhadap kemanusiaan. Tidak semua uskup itu baik. Apalagi dengan dalil orang Papua jadi pasti, itu keliru. Cukup banyak contoh uskup yang tidak peka dengan kemanusiaan. Misalnya Uskup Agung Merauke yang mengambil keuntungan dibalik perizinan investasi di wilayah Papua Selatan. Begitu juga dengan uskup lain di Papua yang masih terbungkam untuk berbicara mengenai minimal mengenai kemanusiaan. Hanya satu-satunya yang berani bersuara untuk tra jual tanah, ia pun diserang penyakit yang sama yaitu mati tiba-tiba.

Sepanjang tokoh-tokoh yang mau berjuang dan sebagian dari kita menganggap ia adalah sosok itu, kita tidak pernah mau berfikir untuk melindungi dia. Kita membiarkan mereka begitu saja untuk nyawanya diambil dalam ruang-ruang kosong yang sebenarnya kita juga harus selalu berada dengan mereka. Victor Yeimo yang sedang menderita dengan penyakitnya dan setelah itu akan menghadapi peradilan. Ia dijerat dengan pasal-pasal yang ‘dicari-cari setelah ditangkap’. Jelas itu tanpa surat penangkapan dan kita membiarkan begitu saja. Komitmen kita untuk melindungi sosok pemimpin kita inilah yang sedang diuji saat ini. Seberapa mampu kita telah berusaha melindungi Theys Eluay, Mako Tabuni, Neles Tebay, Jhon Philip Saklil, dan masih banyak pejuang lainnya yang bekerja dengan kapasitas mereka. Sekarang yang di depan mata kita ada Victor Yeimo, dan tapol-tapol lain. Tidak hanya mereka juga orang-orang sekitar kita yang sedang berjuang untuk kebebasan. Seberapa mampu kita bisa saling menjaga, saling mendukung, dan saling melindungi. Inilah yang seharusnya kita utamakan.

Akibat ketiadaan perlindungan kepada mereka yang sebenarnya sedang dan akan menggerogoti kita dan tuangkan itu dalam perjuangan yang sebenarnya itu upaya coba-coba saja. Lalu pertanyaan yang seharusnya, jika sosok itu ada, apakah kita akan mampu melindungi dia? Bagaimana caranya? Permenungan inilah yang seharusnya dipikirkan oleh kita semua. Mengenai siapa sosok pemimpin, itu dari belakang. Ia akan tumbuh dan hadir sebagai seorang Kain, Tonawi, Bobot, Kayepak, Tesmaypits, Ondoafi, dan lain sebagainya dalam bentuk dan rupa lain. Tidak hanya sebagai seorang uskup, bisa juga seorang sebagai seorang Victor Yeimo, Veronica Koman, Yubelian, Mazmur, Pastor, Gubernur, Bupati, Camat, pemuda, pemudi, mama pasar, anak terlantar, dan lain sebagainya. Asal ia memiliki kepekaan dan komitmen terhadap dirinya demi kemanusiaan dan tanah Papua. Iya, penantian sosok semacam itu panjang dan satu banding seribu. Penantian panjang itulah yang sebenarnya ingin kita singkat dengan berusaha berbagai cara yang instan. Berharap seperti sebuah handphone yang tinggal klik.

Perjuangan pembebasan itu tidak bisa dilakukan hanya dengan mental ‘minta-minta’ apalagi memilih dengan cara modern sekarang yang kita kenal yang cara yang demokratis. Iya, memang kita sedang hidup di masa modern. Tapi, sebenarnya proses menjadi sosok hebat yang mampu menggerakkan itu butuh pembentukan diri agar menjadi peka dengan keadaan. Orang-orang yang peka itu sebenarnya ada di depan mata kita. Mereka ada di dalam Gereja melalui pendeta, pastor, mereka ada di dalam aktivis, ULMWP, OPM, KNPB, AMP, Sonamappa, Gempar-P, Garda-P, APAP, Walhi, dan sebagainya, mereka ada di media Jubi, Suara Papua, Lao-Lao, dan sebagainya, mereka ada di dalam solidaritas, FRI- WP, Veronica Koman, Surya Anta, dan sebagainya, mereka ada di lembaga-lembaga, dan mereka ada di mana-mana asal mereka tergerak untuk kemanusiaan dan untuk pembebasan Papua. Bukan mereka yang angkat tangan kiri tetapi menikmati ampas-ampas Jakarta dengan menjual murah kemanusiaan. Bukan juga mereka yang “menjual diri” dengan menunjukkan “ketololan” mereka di media dan di hadapan penjajah dengan mengabaikan penderitaan Rakyat Papua.

Oleh karena itu, mari kembali merenungkan ulang lagi dengan harapan kita yang sudah mulai membesar. Untuk mencari pemimpin itu tidaklah mudah. Sosok Yesus hadir lagi itu tidaklah mudah. Sosok Mahatma Gandhi hadir lagi tidaklah muda. Sosok seperti Uskup Romero hadir lagi itu tidaklah mudah. Sosok seperti Theys Eluay hadir lagi itu tidaklah mudah. Juga sosok seperti Victor Yeimo, Veronica Koman, dan kita semua itu tidaklah mudah. Karena kehidupan ini kitalah yang menjalani: mulai dari tanah kita dirampas dengan berbalut hukum hingga dimaki-maki “monyet”. Tidak hanya itu, ditembak dan dibiarkan begitu saja, itu kita yang sedang hadapi. Bukan bangsa Yahudi, bukan orang Hindia, bukan orang El Salvador, dan bukan juga bangsa Indonesia. Tetapi kita bangsa yang bisa kita namakan Bangsa Papua. Hadir dalam suasana seperti ini hanya satu masa, yaitu saat ini dan di sini. Maka, harapan itu mari jadikan daya juang karena kitalah orangnya. Masing-masing dari kita inilah yang sebenarnya tanah ini berharap bergerak untuk memperjuangkan pembebasan. Tidak dengan cara berharap.
Jika kita berkomitmen untuk pembebasan untuk banyak orang, mari mulai dari diri sendiri untuk melakukan sesuatu yang lebih dan lebih. Membebaskan diri berjuang lebih dengan berkomitmen demi tanah yakni mama kita yang sedang berderai darah dan air mata. Menggerakkan diri, berjuang, dan bersatu sambil mengakui kelebihan dan meninggalkan ego sektoral. Paling tidak itu yang ada di depan mata dan yang bisa kita lakukan. Singkat kata, perjuangan itu sangat bergantung pada usaha-usaha kita. Bukan dengan membiarkan diri memperjuangkan keinginan-keinginan yang kemudian bisa saja dapat mengecewakan kita. Hanya menjadi harapan palsu yang kemudian akan menjadi kecewa panjang kita. Karena dengan cara itulah harapan kita akan terpenuhi. Bebas dari segala penindasan yang sedang dilangsungkan oleh bangsa Indonesia melalui oligarki-oligarki yang tidak pernah berkomitmen dengan kemanusiaan.

***

Aleks Hesegem
Aktivis kemanusiaan yang sedang berdomisili di Teluk Bintuni

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Kirim Donasi

Terbaru

Rekonstruksi Identitas Orang Papua Melalui Perubahan Nama Tempat

Irian berubah menjadi Irian. Masyarakat Papua atau orang-orang yang...

Rosa Moiwend dan Kesalahan Teori Patriarki

Rosa Moiwend, salah satu kamerad kita di Papua menulis di media Lao-Lao Papua pada 9 Juni 2023, bahwa gerakan...

Ekofeminisme dan Hubungan Antara Perempuan dengan Hutan Sagu

Sebuah pandangan mengenai hubungan antara perempuan dengan hutan sagu di Kampung Yoboi, Sentani dan bagaimana mengujinya dengan perspektif ekofeminisme. Sagu...

Ancaman Pembangunan Terhadap Lahan Berkebun Mama Mee di Kota Jayapura

"Ini kodo tai koo teakeitipeko iniyaka yokaido nota tenaipigai, tekoda maiya beu, nota tinimaipigai kodokoyoka, tai kodo to nekeitai...

Memahami Perempuan (Papua) dari Tiga Buku Nawal El Saadawi

Sebuah ringkasan secara umum Pengantar Isu feminisme di Papua pada umumnya masih banyak menuai pro dan kontra. Itu bisa kita temukan...

Rubrikasi

Konten TerkaitRELATED
Rekomendasi Bacaan