Analisa Harian Sebuah Harapan Sistem Pendidikan di Yahukimo

Sebuah Harapan Sistem Pendidikan di Yahukimo

-

Latar Belakang

Pada dasarnya pendidikan menjadi salah satu alat merubah tatanan kehidupan umat manusia. Melalui Pendidikan manusia dapat selamatkan diri dari kemiskinan, buta huruf, dan berbagai masalah dalam kehidupan bermasyarakat. Menurut Karl Marx pendidikan merupakan cara mengentaskan manusia dari keterbelakangan ekonomi dan pengetahuan. Pendidikan harus bisa menyadarkan manusia dan keluar dari kehidupan yang terjajah kepada kehidupan yang jauh lebih manusiawi dimana ada saling menghormati dan menghargai sebagai umat manusia yang mulia. Sedangkan menurut Paulo Freire pendidikan adalah pembebasan segala keterpurukan atau pendidikan untuk pembebasan. Freire menekan  pendidikan didasarkan pada pembebasan dan dialog serta sebuah pandangan kritis tentang situasi realitas penindasan dan pendidikan kontekstual berbasis kultural. Pandangan Freire dengan pendidikan hadap masalah, siswa dan guru sama-sama subjek yang mendiskusikan realitas penindasan melalui metode dialogis dan mengkritik Pendidikan “gaya bank” yang membuat siswa atau murid menjadi budaya bisu. Sedangkan paling terkenal dari pandangan Marx adalah pendidikan dan penyadaran bagi kelas buruh dan petani (proletariat) untuk sadar dan bangkit berjuang dari penindasan kelas penguasa (kelas kapitalis). Oleh karennya, salah satu cara yang dapat membebaskan kaum tertindas adalah melalui pendidikan.

Di Papua, sejarah perkembangan pendidikan tidak terlepas dari masuk injil pertama kali di Mansinam, Mnukwar oleh misionaris protestan, Ottow Gerhard Herdring dan Johann Gottlob Geissler pada 5 Februari 1855. Teluk Wondama kampung Miei merupakan tempat pendidikan pertama bagi orang Papua. Disinilah dikenal juga sebagai sekolah pendidikan guru pertama. Orang Papua mulai datang dari berbagai daerah, Papua bagian barat, utara, dan mulai disebar luaskan untuk  peradaban orang Papua. Dua tahun setelah kehadiran sekolah di Miea, para misionaris katolik juga membuka sekolah-sekolah misi di Merauke hingga disepanjang sungai Digoel. Demikianlah perkembangan pendidikan Papua sejak awal mulanya sampai saat ini.

Penulis membatasi artikel ini hanya pada salah satu kabupaten di Papua, Yakni Yahukimo. Kabupaten Yahukimo adalah salah satu kabupaten di Provinsi Papua yang berdiri dengan dasar hukum Undang-Undang (UU) Nomor 26 Tahun 2002, Ibu Kota Kabupaten Yahukimo terletak di Sumohai, namun karena keterbatasan sarana prasarana menyebabkan pusat pemerintahan sementara masih berada di Dekai. Latar belakang dan minimnya sarana persarana sejauh ini, mendorong perkembangan ekonomi, politik, sosial budaya, dan pendidikan jauh dari pada apa yang di harapkan. Oleh karena itu pemerintah memprogramkan banyak program yang bisa meningkatkan sumber daya manusia dalam aspek pendidikan justru belum berjalan baik, rentan, dan tidak menjawab persoalan utama. Terutama akses pendidikan di daerah-daerah pedalaman sangat jarang guru bertugas, sehingga menyabkan banyak anak-anak muda terlantar dan tidak bersekolah.

Ada beberapa fakta yang sangat miris sekali yaitu ketika tanpa proses belajar mengajar anak-anak muda diikutsertakan dalam ujian nasional sekolah dasar. Yang terjadi adalah ketika Dekai, Ibu Kota Yahukimo untuk melanjutkan Sekolah Menengah Pertama (SMP) tidak tidak bisa membaca dan menulis, sebagian bisa membaca tetapi tidak lancar, dan ini satu masalah serius bagaimana pendidikan tidak menjawab permasalahan utama ketika sekolah hanya sibuk pada aturan-aturan yang di tetapkan oleh Jakarta, seperti perubahan kurikulum setiap tahun oleh kementrian, materi pengajaran yang terpusat, ujian nasional terpusat, bahkan upah tenaga pengajar di pedalaman yang tidak ditangani baik juga menyebabkan macetnya pelayanan yang serba sentralistik ini.

Kondisi Sekolah-Sekolah di Yahukimo 

Pada umumnya masyarakat Yahukimo meyakini bahwa pendidikan merupakan salah satu alat yang dapat merubah kehidupan dan masa depan mereka. Oleh karena itu tidak sedikit orang tua yang mengharuskan anak-anak untuk sekolah, sebab paham masyarakat pada umumnya bahwa pendidikan menjanjikan kehidupan yang baik dan cerah.  Pendidikan di Yahukimo tidak jauh berbeda dengan pendidikan di tempat lain di Papua yang terpaku pada sistem nasional Jakarta yang tersistematis. Tidak dapat memberikan siswa untuk berekspresikan bakat-bakat atau potensi yang siswa-siswi memiliki, akan tetapi mewajibkan harus mengikuti sistem dan metode yang telah ditentukan oleh Jakarta melalui Kementrian Pendidikan dan diaplikasikan pada sistem pendidikan seluruh Indonesia. Sistem dan metode yang Jakarta terapkan itulah yang kemudian guru-guru di Papua melanjutkan tetapi tidak bisa diterjemahkan sesuai dengan konteks kehidupan orang Papua dan menjadi wilayah terjajah.

Paling sedikit dua belas tahun di habiskan di sekolah. Masa yang sangat lama dan membosankan itu hanya disibukan dengan aktivitas datang ke sekolah duduk mencatat dan menonton seorang guru menjelaskan materi-materi modul yang sudah tersistematis dari Jakarta. Tetapi ada juga menghabiskan lebih dari dua belas tahun dengan aktivitas yang sama. Seperti yang dikatakan Roem Topatimasang bahwa, “Sekolah memang bisa menciptakan pejabat tetapi juga penjahat.” Sistem dan kebiasaan pendidikan di Yahukimo sama persis dengan apa yang dikatakan Roem. Datang menghabiskan waktu, duduk, menonton guru menjelaskan pelajaran. Atau juga seperti yang dikatakan Paulo Freire sebagai pendidikan gaya bank. Seolah-olah guru tahu segalanya dan murid adalah bejana yang kosong dan harus diisi dan pulang kembali ke rumah yang sebatas runtinitas semata. Waktu saya sekolah, kami hanya menghabiskan waktu dengan datang, absen, duduk di kelas dengan mendengarkan guru mengajar ketika jam pulang kami pulang, tidak pernah berpikir dan punya bayangan untuk apa dan kenapa saya sekolah dan kami di jauhkan dari pengetahuan yang sudah ada dalam kehidupan komunitas setempat disitu. Secara keselurhan dari pengalaman dan pengamatan saya, dari dulu sampai sekarang tidak ada yang berubah, masih mempertahankan metode yang tidak relevan sama sekali.

Jika kita lihat, seluruh sistem pendidikan di Papua mengadopsi metode dari Jakarta melalui kurikulum tahun 2013 yang diterapkan di hampir setiap sistem kelolah pendidikan di Papua termasuk Yahukimo. Metode pendidikan yang tidak relevan dengan kehidupan masyarakat di Papua, yang mana pendidikan dan penjaran terlalu menekankan pada sistem dari Jakarta yang bertentangan dengan kehidupan sosial budaya dan tatanan kehidupan di Papua. Sistem Pendidikan di Papua juga menghindarkan siswa dari realitas kehidupan orang Papua, yaitu masyarakat adat yang masih bergantung kepada alam, dan masih hidup secara kolektif antara marga dan suku di sekitar. Metode pendidikan di Papua harus relevan dan kehidupan orang Papua sebagai wilayah yang terjajah. Metode Pendidikan yang selama ini di jalankan oleh Jakarta adalah untuk mempertahankan kepentingan Jakarta sebagaistatus quo.

Di wilayah yang terjajah selalu metode yang diterapkan adalah metode sesuai dengan keinginan penguasa. Termasuk di Papua, sistem dan metode pendidikan sesuai dengan kepentingan Jakarta untuk mempertahankan status wilayah jajahan maka sistem mendominasi sesuai dengan apa yang kekuasaan inginkan. Segala macam mata pelajaran, aturan disiplin yang diseragamkan. Ini suatu model pendidikan untuk mempertahankan dan mendominasi dari aspek pendidikan di tanah Papua, khususnya di Yahukimo. Bagaimana siswa-siswi ditekankan agar dapat mematuhi aturan dan modul yang sudah di atur, kadang-kadang tidak sesuai dengan talenta dan potensi siswa tetapi Jakarta terus memaksakan untuk diseragamakan, disinilah mengapa Otsus Papua juga gagal pada sektor pendidikan. Ilmu-ilmu atau pelajaran yang kontekstual dilarang di sekolah-sekolah untuk di ajarkan, apalagi sejarah tentang identitas jati diri sebagai orang Papua.

Pentingnya Pendidikan Kontekstual

Sudah saatnya sistem pendidikan dapat sesuaikan dengan realitas kehidupan di Papua. Sesuai dengan tujuan pendidikan bahwa pendidikan dapat mengenalkan dan menyadarkan manusia pada kehidupan dan dapat mengakui identitas mereka sebagai masyarakjat adat atau sebagai orang Papua, bangga dengan adat istiadat dan budaya, serta lainnya. Metode dan sistem pendidikan di Papua harus kontekstual dan dapat disesuaikan dengan kehidupan bermasyarakat. Pendidikan di Papua menghindarkan murid dari realitas kehidupan menekankan sistem dari pusat.

Di sekolah-sekolah sudah harus menerapkan bahasa daerah. Ini sangat penting untuk mempertahankan identitas diri sebagai orang Papua dan bangga terhadap dirinya sebagai orang Papua. Namun, aturan yang selama ini berlaku hampir di seluruh sekolah di Papua adalah semua siswa dilarang menggunakan bahasa daerah masing-masing. Padahal jika kita bandingkan dengan sekolah-sekolah bahkan kampus di Jawa hampir semua lingkungan dapat menggunakan bahasa daerah, tetapi di Papua tidak di wajibkan. Selain itu, Mambesak dijadikan pelajaran wajib di semua sekolah karena Gerakan Mambesak dapat membangkitkan semangat dan nasionalisme sebagai orang Papua yang kuat dan tangguh. Mambesak dapat mempengaruhi kehidupan dan nasionalisme orang Papua yang cinta akan tanah dan manusia. Pendidikan berbasis realitas sosial yang dikembangkan oleh Romo Mangun Wijaya di Indonesia dan Paolo Freire di Amerika Latin, kedua tokoh ini sama-sama menekankan bahwa pendidikan harus menjadi alat kontrol sosial atau pendidikan yang dapat mendiskusikan realitas sosial di ruang-ruang kelas melalui diskusi guru-murid dan murid-guru untuk mencari solusi persoalan sosial rakyat secara bersama-sama, dan dapat memerdekaan manusia dari realitas sosial masyarakat yang tertindas.

Pendidikan dan sistem metode di Papua mestinya harus kontekstual dan dapat menjawab persoalan atau siswa dapat di ajak agar memahami kondisi realitas. Guru dan siswa sama-sama memahami kondisi dan dapat merumuskan persoalan-persoalan yang menimpah pada kehidupan orang Papua, terutama realitas penindasan, penjajahan, dan kemiskinan struktural yang dapat memposisi Papua peringkat paling rendah dalam aspek pendidikan atau sekolah.  Menurut John Dewey motode yang tepat bagi pendidikan adalah dengan metode Learning By Doing belajar sambil bekerja atau menutut Freire pendidikan hadap masalah yang sudah di lakukan di wilayah-wilayah Amerika Latin.

Kesimpulan

Melalui pembahasan di atas, kita dapat memetakan bahwa penting sekali untuk pendidikan menjadi salah satu lembaga yang dapat merubah dan membawa perubahan total. Pendidikan tidak menjadi alat untuk menekankan anak murib sekolah dan dapat menjadi pegawai dan lain sebagainya, akan tetapi bagaimana sadarkan untuk mengenal realitas persoalan, realitas penjajahan di atas tanah Papua, realiatas pembodohan dan kemiskinan struktural yang dapat diciptakan oleh satu sistem yang mendominasi. Sistem harus dirubah agar siswa dan guru sama-sama menjadi subjek yang dapat berperan aktif dalam mengatasi realitas objektif yang penuh dengan banyak persoalan. Paulo Freire berpendapat bahwa dapat diaplikasikan, pendidikan harus dilakukan dengan metode dialogis, refleksi, dan aksi yang berdampak pada pembebasan dari realitas penindasan. Tujuan Pendidikan meliputi tiga hal yaitu, otonomi yang berfokus pada pada kemampuan diri dan kemampuan personal, keadilan yang menunjuk kepada kesempatan bagi setiap orang untuk ikut dalam kehidupan ekonomi, serta pewarisan budaya pada generasi selanjutnya. Pada prakteknya, pendidikan di Papua hanya dididik agar siswa hanya sekolah, sekolah, dan sekolah untuk menjadi apa yang sistem inginkan untuk mempertahankan status quo.

Maka dengan demikian melihat kenyataan sistem pendidikan dan sekolah-sekolah di atas, penting untuk kita semua menciptakan alternatif-alternatif lain untuk menciptakan dan sama-sama membangun kesadaran tentang kenyataan objektif situasi Papua, dan ini harus dikerjakan secara kolektif oleh kaum-kaum terpelajar yang sadar akan realitas pendidikan yang tidak berpihak pada kenyataan hidup.

Paradigma pendidikan untuk perkembangan dan pembangunan berkelanjutan yang merupakan terjemahan dari Education For Sustainable Development (EFSD) merupakan paradigma pendidikan baru yang diprakarsai oleh PBB melalui UNESCO dengan tujuan pendidikan menciptakan manusia yang memanusiakan manusia dan mampu menciptakan perubahan dan pembebasan rakyat tertindas dari penindasan dalam konteks Papua. Sistem pendidikan yang dapat mempertahankan status quo ini perlu kita semua counter balik dengan jalan-jalan alternatif demi membebaskan umat manusia dan tetap berada dalam keadaan yang sudah di dominasi oleh penjajah untuk mepertahankan kepentingan di tanah Papua.

***

Referensi:

  1. Freire. Paulo. 1985. Pendidikan Kaum Tertindas. PT. Temprint, Jakarta (LP3ES).
  2. Manurung, Butet dkk. 2019. Melawan Setan Bermata Runcing. Jakarta. Sokola Institute.
  3. Topatimasang, Roem. 2013. Sekolah itu Candu. INSISTPress. Yogyakarta.
  4. https://ibtimes.id/marxisme-tujuan-pendidikan-itu-membangun-karakter/ dikutip pada 30 Oktober 2021.
Louis Kabak
Penulis adalah pegiat literasi dan ketua di Komunitas Baca Dekaibooks yang juga sedang menyelesaikan studi akhir di salah satu kampus di Kota Semarang, Jawa Tengah.

1 KOMENTAR

  1. Ceritanya menarik, menarik karena ada dua hal entah Mama Penina yg salah atau Penulis yg tidak berfikir bagian ini? Keduanya Mama Penina dan Penulis tidak berfikir bahwa nasi adlh bukan makanan pokok si Nekiles dan kawan” mama kenapa tidak siapkan singkong dan makanan organik lainya? karena selain makanan pokok Nekiles dan kawan”. Makanan organik juga mengandung kalsium dan karbohidratnya tinggi dibandingkan dngn nasi yg melahirkan anak” asam urat dan perut bunting. Kedua penulis cerita dalam tulisan ini bagus karena realita berdasarkan hasil wawancaranya tapi narasinya anak harus makan nasi baru bisa ke sekolah kalau tidak makan nasi berarti tidak bisa belajar. Terima kasih sudah ade bagikan cerita ini.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Kirim Donasi

Terbaru

Kapitalisme di Era Digital: Manusia, Ruang, dan Alat

Ide menulis tulisan ini, dimulai ketika beberapa waktu lalu...

Belajar Gerakan Kedaulatan Diri Owadaa dari Meeuwodide (Bagian 2)

Pada bagian pertama catatan ini sebelumya, saya mencoba untuk belajar pandangan konseptual tentang Owadaa. Selain itu, sisi teologis yang...

Belajar pada Njoto, Menuju Jurnalisme yang Mendidik Massa

Dalam deretan tokoh-tokoh jurnalistik di Indonesia, nama Njoto jarang terdengar. Kerap ketika berbicara mengenai sejarah jurnalisme di Indonesia, nama...

Empat Babak Sekuritisasi di Papua

Sejak dimulainya Operasi Tri Komando Rakyat (Trikora) oleh Presiden Soekarno pada 19 Desember 1961 banyak terjadi pelanggaran hak asasi...

Mambesak dan Gerakan Kebudayaan Papua Pascakolonial

Mambesak tidak sekadar grup musik Papua biasa. Selain sebagai pioner dengan mempopulerkan lagu-lagu daerah Papua yang kaya dan beragam,...

Rubrikasi

Konten TerkaitRELATED
Rekomendasi Bacaan