Ketika saya menulis artikel Bintang Satu VS Bintang 14: Sebuah Kritik Terhadap Gerakan saya sudah sangat yakin bahwa tulisan tersebut akan dianggap bukan hanya akan memperkeruh dinamika perjuangan hari ini, tapi yang paling utama adalah akan ada komentar atas tulisan tersebut. Dan itu benar. Tulisan itu dikomentari oleh Musell Muller di akun facebook pribadinya. Terkait komentar kawan Muller saya beri apresiasi. Akhirnya apa yang sudah saya prediksi dengan penuh keyakinan, terjadi, bahkan tidak membutuhkan waktu lama setelah tulisan itu dipublis. Karena prediksi yang saya yakini sudah terjadi, maka tentu saya harus merespon. Respon ini bukan untuk membela diri secara pribadi, tapi untuk membela pendapat saya dalam tulisan yang dikomentari.
Namun sebelumnya, saya ingin bilang bahwa jatuh pada lubang yang sama tanpa disengajai adalah kecenderungan manusia dan itu biasa-biasa saja. Namun ketika hal itu disengajai maka ada yang perlu ditanya sebelum menyimpulkan. Dalam tulisan saya tersebut, saya sebagai aktivis dari barisan Melanesia Barat atau yang identik dengan bendera Bintang 14 mengkritisi sikap fanatisme dan romantisme massa rakyat yang menolak bendera Bintang 14 yang adalah anti tesis terhadap bendera Bintang Fajar.
Dalam tulisan itu juga, saya mencoba menarik garis antara bendara Bintang Fajar dan bendera Bintang 14. Garis yang saya ambil untuk memberi batas yang membedahkan keduanya adalah garis hak cipta untuk melihat secara natural atau keaslian dari dua bendera yang menjadi kontruksi nasionalisme kemerdekaan orang Papua. Dua konstruksi nasionalisme yang harus dipilih salah satu sebagai bendera dari nation dan state orang Papua yang terus berjuang untuk merdeka. Sebagaimana kita harus memilih model sistem ekonomi mana yang harus kita perjuangkan, kapitalisme atau sosialisme.
Seperti yang saya katakan bahwa untuk menarik garis antara bedera Bintang Fajar dan bendera Bintang 14, saya menarik garis hak cipta untuk melihat kemurnian tujuan dari lahirnya simbol tersebut. Dari garis cipta, saya mengatakan dengan tegas bahwa bendera Bintang 14 yang memiliki corak Hijau, Hitam, Putih, dan Merah yang menggambarkan karakter orang Papua dari sisi antropologi adalah karya asli intelektual pertama orang Papua. Sementara bendera Bintang Kejora adalah hasil karya seorang Belanda sebagaimana ungkapan George Aditjondro dalam bukunya Cahaya Bintang Kejora yang saya gunakan sebagai salah satu referensi dalam menulis tulisan Bintang Satu vs Bintang 14: Sebuah Kritik Terhadap Gerakan yang dikomentari Musell Muller. Musell Muller mengatakan bahwa saya yang mengkritisi sikap fanatisme dan romantisme rakyat Papua yang menolak Bintang 14, justru saya sendiri terjebak dalam romantisme dan fanantisme simbol karena menjelek-jelekan Bintang Satu.
Anehnya, Musell tidak menunjukan kalimat di mana saya menjelekan Bintang Satu. Sehingga saya merasa bahwa kawan Musell Muller sebagai salah satu orang yang mungkin menolak bendera Bintang 14 dan itu karena dirinya terjabak dalam romantisme dan fanatisme simbol. Saya mengatakan itu mungkin! karena Musell mengatakan saya menjelek-jelekan bendera Bintang Satu dengan mengatakan bahwa bendera Bintang Satu adalah peninggalan kolonial Belanda. Padahal itu bukan mejelekan, tapi mengatakan kebenaran.
Selama orang Papua dan Musell Muller tidak dapat membuktikan dengan data yang tak bisa terbantahkan bahwa bendera Bintang Satu adalah rancangan Nickolas Jouwe, maka selama itu, apa yang saya katakana bahwa bendera Bintang Satu adalah rancangan mertua dari Nickolas Jouwe benar. Sampai di sini saya merasa aneh karena mengatakan bendera Bintang Satu sebagai bendera peninggalan seorang Belanda dianggap terjerat dalam fanatisme dan romantisme karena menjelek-jelekan. Padahal yang saya katakan bisa dibuktikan bukan sekedar dengan argumentasi tapi juga data.
Perlu juga untuk diketahui oleh pembaca, bahwa dalam tulisan saya, saya merasa bahwa saya tidak menjelek-jelekan bendera Bintang Satu. Ini bisa saya buktikan dalam tulisan saya. Dalam tulisan tersebut saya dengan jelas mengatakan bahwa corak dari bendera Bintang Satu adalah rancangan seorang Belanda sehingga memiliki kesamaan warna yang sama dengan warna bendera negara kerajaan Belanda. Apa kah itu yang dimaksud menjelek-jelekan? Jika jawabannya ia, maka saya mohon maaf kepada rakyat Papua tapi tidak kepada Muller karena menyimpulkan sesuatu berdasarkan penapsiran kalimat, bukan bukti kalimat.
Saya dapat membuktikan bukan saja dari tulisan saya, bahwa saya tidak menjelekan bendera Bintang Satu. Tapi dapat membuktikan dari pengalaman aktivitas politik saya sebagai aktivis Papua merdeka yang baru seumur jagung ada di dalam dunia aktivisme Papua. Bahwa saya juga mendukung perjuangan dan menghargai Bintang Satu.
Perlu diketahui oleh Musell Muller, bahwa saya pernah ditangkap karena terlibat dalam aksi 1 Desember untuk memperingati peristiwa 1 Desember 1961, tahun dimana bendera Bintang Satu berkibar resmi di Bumi Cendrawasih unuk pertama kali. Ceritanya terjadi tahun 2018. Ketika itu saya ditangkap bersama delapan orang teman karena kami melakukan demonstrasi memperingati 1 Desember yang identik dengan bendera Bintang Fajar.
Sementara sebagai barisan dari 14 Desember yang selama ini menyembunyikan identitas di bendera Bintang Satu demi persatuan tidak pernah ditangkap atas nama 14 Desember. Tapi juga dalam kegiatan politik selalu mengedepankan warna Bintang Satu dan jadwal perayaannya. Jadi saya merasa tidak benar bila saya dianggap terjerat dalam romantisme dan fanatisme terhadap simbol Bintang 14 karena dianggap menjelek-jelekan bendera Bitang Satu hanya karena mengungkapkan yang sesuatu yang sejauh ini bisa dibuktikan.
Selain itu, saya merasa ada yang keliru dari kawan Muller yang menilai dari tafsiranya bahwa saya hanya memandang persoalan Papua hanya sebatas persoalan hukum, bukan pada konteks hak penentuan nasib sendiri sebagai sesuatu yang mau tidak mau adalah hak politik orang Papua. Karena mempersoalan bendera Bitang Satu sebagai pemberian Belanda, sementara Bintang 14 adalah sesuai perjanjian imprealisme. Padahal sudah saya jelaskan bahwa bendera Bintang Satu menurut pendapat saya adalah hasil rancangan seorang Belanda, bukan pemberian Belanda. Sebagai hasil rancangan seseorang dengan pemberian Belanda tentu berbeda. Jadi sangat keliru bila disamakan.
Juga saya tidak membatasi persoalan Papua hanya pada persoalan hukum semata. Tapi saya menyampaikan pandangan Dr. Thomas Wanggai sebagai konseptor Bintang 14 dalam melihat dasar hukum yang mengikat Papua di dalam NKRI sehingga dianggap sudah final sebagai bagian dari Indonesia. Bagi saya, Dr Thom menilai bahwa Perjanjian Roma yang dibuat pada 30 September 1962 adalah perjanjian terakhir dari segala macam perjanjian yang dibuat oleh negara-negara yang disebut Muller sebagai imperialis dalam menyelesaikan sengeketa antara Belanda dan Indonesia di Papua hingga berujung pada Pepera 1969 yang dianggap sebagai peristiwa sejarah berkekuatan hukum dan politik bagi Indonesia mengklaim Papua tidak bisa menentukan nasibnya lagi sebagai bangsa yang merdeka sendiri.
Dalam Perjanjian Roma poin ke dua terlepas dari perjanjian itu dibuat oleh imperialis atau pun itu proletariat, bagi saya itu adalah salah satu dasar integrasi Papua ke dalam NKRI karena menegaskan bahwa Indonesia memerintahkan Papua selama 25 tahun. Dan masa aktifnya secara normal mulai dihitung aktif pada Mei 1963 sebagaimana Perjanjian Roma. Sehingga jika terhitung sesuai perjanjian tersebut maka pada tahun 1988 itu wilayah Papua adalah wilayah bebas administrasi sesuai Perjanjian Roma. Sehingga saya berkesimpulan bahwa dasar Dr. Thomas memproklamasikan konsepnya yang telah dirancang 20 tahun itu pada tahun 1988 adalah Perjanjian Roma. Dan bagi saya hal itu memiliki dasar kekuatan hukum internasional yang kuat untuk mendesak Indonesia agar memberikan atau membiarkan orang Papua menentukan nasibnya sendiri. Bukan membatasi persoalan Papua.
Kemudian bagi saya bahwa untuk menyelesaikan konflik di Papua di dalam bingkai NKRI yang begitu beragam, solusi terbaiknya, sebagai resolusi konflik di Papua yang dapat meminimalisir korban jiwa adalah membawa persoalan Papua menjadi persoalan hukum dengan dasar Perjanjian Roma 30 September 1962. Apa itu pandangan yang keliru, dan mempersempit konteks perosalan hak penentuan nasib sendiri orang Papua pada persoalan hukum semata? Saya rasa tidak.
Jika tidak egois, saya hanya salah ketika menganggap Joseph Stalin otak dibalik pembunuhan Leon Ttrotsky sebagai Vladamir Ilyic Lenin dalam pengetikan, tapi ketika saya tidak salah dalam esensi dan maksud. Maka saya rasa sangat berlebihan bila dijadikan sebagai titik kritik atas tulisan saya dan dianggap tidak memahami peristiwa 1917 sebagai revolusi Rusia. Tapi toh jika demikian maka saya rasa tidak masalah bagi ssaya. Yang menjadi masalah bagi saya ketika tidak tahu tenteng sejarah perjuangan bangsa sendiri. Jadi sangat tidak berdasar bila hal itu kemudian dianggap sebagai kesalahan paling mendasar dari tulisan saya. Saya akan merasa sangat bersalah ketika menganggap Dr Thomas Wanggai sebagai Dortheis Hiyo Eluay.
Akhirnya saya mau bilang sekali lagi bahwa jatuh pada lubang yang sama tanpa disengajai adalah kecenderungan manusia dan itu biasa-biasa saja. Namun ketika hal itu disengajai maka ada yang perlu ditanya sebelum menyimpulkan. Maksudnya, kawan Musell Muller baiknya bertanya dalam berkomentarnya terlebih dahulu sebelum membuat kesimpulan. Tapi tidak apa-apa. Saya sangat berterima kasih atas kritik kawan Musell Muller. Semogga kritik tersebut hanya pada kritik pendapat, bukan pribadi. Karena saya merasa terhormat dengan kritik kawan dan tulisan ini hanya menegaskan maksud saya yang kawan kritisi.
Salam Erat
***
Kritik ,saran,dialog dan saling menghargai itu perlu.
Trimakasih buat penulis.
🙏🙏🙏