Gabungnya Papua kedalam NKRI pada 1 Mei 1963 adalah kemenangan bagi negara-negara Kapitalis dan Imperealis. Sebagaimana kita ketahui, bahwa berbagai perjanjian sepihak yang dilakukan oleh pemerintah Amerika, Belanda dan Indonesia seperti; Perjanjian New York 15 Agustus 1962, Perjanjian Roma 30 September 1962 tanpa melibatkan orang asli Papua itu bukti bahwa adanya kepentingan kapitalis untuk merampas dan menguras sumber daya alam di Papua. Bukti lain adanya kepentingan Imperialis di Papua sebelum pelaksanaan PEPERA 1969 yaitu ada kontrak Karya PT.Freeport Indonesia pada 7 April 1967.
Adapula pernyataan bernada rasis dan diskriminasi oleh Ali Murtopo pada tahun 1966, Indonesia tidak menginginkan orang Papua, Indonesia hanya menginginkan tanah dan sumber daya alam yang terdapat di dalam pulau Papua. Kalau orang Papua ingin merdeka, silahkan cari pulau lain di Pasifik untuk merdeka. Atau meminta orang Amerika untuk menyediakan tempat di bulan untuk orang-orang Papua menempati di sana,”.
Kapitalisme Dibalik Otsus Papua Jilid II
Otsus itu rantai Indonesia untuk mengikat Tanah Papua dan memberikan jalan kebebasan bagi Negara-negara kapitalis. Negara kapitalis tidak pusing dengan permasalahan yang terjadi di Papua entah itu pelangaran HAM, Pengusuran, Perambasan dll.
Undang-undang Otsus disahkan sepihak oleh elit Papua dan Jakarta sementara warga sipil di Papua dari 112 organisasi yang tergabung dalam PRP menolak keberlanjutan Otsus Papua. Sikap penolakan keras dari kalangan rakyat Papua sendiri, terutama dari kalangan gerakan-gerakan pro-kemerdekaan, mahasiswa, dan rakyat kelas bawah sebentara elit-elit politik Papua sebagai ‘keluarga besar dari kapitalisme’, saat ini terus melakukan tindakan se-wenang-wenang untuk mengevaluasi dan mengesahkannya.
Keberadaan otsus di Papua (jilid II) adalah kebebasan bagi kapitalis untuk merampas dan menguasai tanah Papua. Pemerintah mengkampanyekan Infrastruktur di papua, pembangunan di Papua, pendidikan beasiswa diluar negeri adalah politik yang dimainkan oleh penguasa agar diangkap orang Papua baik-baik saja bersama Indonesia. Pembangunan infrastruktur di Papua, Beasiswa luar negeri hanya kepentingan kapitalis agar mempermudah eksploitasi Sumber daya Alam.
Pemerintah Indonesia dalam mempertahankan Papua sebagai pasar dan dapur bagi Jakarta. Kekuatan militer telah membuka penanaman modal asing (PMA) yang begitu besar di Papua. FUNDWI, Freeport, BP-LNG Tanggung, dan proyek MIFFE, MEDCO, dan perusahaan-perusahaan asing lainya yang saat ini beroperasi merupakan jejak sejarah kapitalisme di Papua. Dengan adanya Otsus Jilid II, Papua kembali dibuka dengan berbagai agenda penanaman modal asing dan ekonomi dunia yang semakin bebas dan ketat. Papua menjadi destinasi ekonomi dan lahan perburuan sumberdaya alam melalui kebijakan pemerintah Indonesia memberikan otonomi khusus dan pemekaran daerah bagi Papua.
Kristofel Maikel Ajoi dalam penelitiannya; Pemekaran wilayah itu sangat berdampak pada perkembangan Papua hari ini. Pertama, pembukaan daerah baru adalah pembukaan lahan ekonomis baru bagi asing dan orang dari luar Papua. Kedua, pemekaran memunculkan ruang kompetisi baru (ruang kosong) yang diisi oleh konflik kepentingan dan mengancam orang Papua sendiri. Ketiga, pemekaran ikut memekarkan institusi keamanan di daerah-daerah baru tersebut. Pos-pos brimob, polisi, tentara menjadi marak dilihat disetiap kecamatan dan desa di pelosok-pelosok Papua. mereka ditugaskan dengan alasan situasi keamanan di daerah yang rawan konflik saudara akibat pemekaran, padahal mereka jugalah penjaga perusahaan-perusahaan di Papua.
Greenpeace International menerbitkan laporan terbaru berjudul Stop Baku Tipu: Sisi Gelap Perizinan di Tanah Papua. Laporan ini mengungkap dugaan pelanggaran sistematis perizinan perkebunan dan pelepasan kawasan hutan di Provinsi Papua dalam rentang 2011-2019. Hampir satu juta hektare hutan di Provinsi Papua telah dilepaskan dari kawasan hutan sejak tahun 2000 atau hampir dua kali luas pulau Bali. Sebagian besar pelepasan tersebut untuk kepentingan pengembangan perkebunan kelapa sawit. Hingga 2019, berdasarkan analisis CIFOR telah ada seluas 168.471 hektar hutan alam di Provinsi Papua yang dikonversi menjadi perkebunan sawit. Jumlah ini akan terus bertambah seiring bertambahnya pelepasan kawasan hutan dan izin perkebunan.
Sementara itu, Masyarakat Adat sebagai salah satu kelompok rentan dan paling terancam akibat ekspansi perkebunan sawit tidak kunjung mendapat pengakuan hak dan akses kelola. Justru sebaliknya, akhir tahun lalu pemerintah dan DPR memilih mengesahkan Undang-Undang Cipta Kerja yang dirancang untuk kepentingan oligarki. Perlindungan lingkungan hidup dan keberadaan masyarakat adat semakin terancam di bawah rezim undang-undang ini.
Menurut Arie, terdapat 25 perusahaan dari 32 perusahaan yang memperoleh pelepasan kawasan hutan antara 2011-2019, proses pelepasan tersebut diduga melanggar peraturan menteri mengenai pelepasan kawasan hutan. Pelepasan tersebut terjadi pada saat Zulkifli Hasan menjabat sebagai Menteri Kehutanan (2009-2014) dan juga di era Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya.
Hasil investigasi Greenpeace menemukan dugaan keterlibatan sejumlah elit politik pada perusahaan yang memperoleh izin perkebunan dan pelepasan kawasan hutan sejak dari awal proses penerbitan izin . Di antaranya masih ada yang menjabat anggota DPR RI, mantan kapolri atau jenderal polisi, mantan menteri, dan pengurus atau anggota partai politik. Posisi mereka di perusahaan-perusahaan tersebut beragam ada sebagai pemegang saham maupun pengurus perusahaan,”.
Keberadaan elit politik ini berpotensi menimbulkan konflik kepentingan. Mereka disinyalir bisa mempengaruhi pembentukan produk perundang-undangan ataupun kebijakan di sektor perkebunan dan kehutanan, yang berkaitan langsung dengan usaha yang mereka geluti. Salah satu contoh produk legislasi yang sarat kepentingan oligarki maupun elit politik tertentu adalah Undang-Undang Cipta Kerja. Undang-undang ini melemahkan perlindungan lingkungan hidup, buruh, dan masyarakat adat.
Auriga melihat Papua, provinsi dengan luas hutan alam masih terluas di Indonesia. Hingga 2018, luas hutan Papua 33.847.928 hektare atau 74,31% dari total luas Tanah Papua (gabungan Provinsi Papua dan Papua Barat). Dengan luas hutan itu, Papua memiliki flora terkaya di dunia dan tiga kali lipat dari keragaman tumbuhan Pulau Jawa. Dalam dua dekade terakhir hutan Papua menyusut 663.443 hektare. Sebanyak 29% terjadi pada 2001-2010 dan 71% pada 2011-2019. Dengan luas kehilangan hutan tertinggi pada 2015 seluas 89.881 hektare, rata-rata deforestasi Papua 34.918 hektare per tahun.
Deforestasi itu terutama untuk lahan pertanian dan perkebunan. Sejak 1992 hingga 2019 ada 72 surat keputusan pelepasan kawasan hutan yang dibuat Menteri Kehutanan dengan total luas 1.549.205 hektare, 84% untuk tujuan pertanian lalu perkebunan. Menurut analisis Auriga, tabrakan antara UU Otonomi Khusus dan UU Pemerintah Daerah membuat laju pemekaran kabupaten di Papua meningkat. Papua kini terbagi dua provinsi dan 55 kabupaten kota. Pelepasan kawasan hutan bermula dari izin prinsip yang diterbitkan oleh bupati dan disetujui oleh Menteri Kehutanan.
Kesimpulan penulis adalah Otsus Produk Kolonial dan Kapitalis (imperealis). Dengan adanya Otsus Jilid II, Papua kembali dibuka dengan berbagai agenda penanaman modal asing dan ekonomi dunia yang semakin bebas dan ketat (Operasi Militer). Papua menjadi destinasi ekonomi dan lahan perburuan sumberdaya alam melalui kebijakan pemerintah Indonesia memberikan otonomi khusus dan pemekaran daerah bagi Papua.
Referensi:
Deforestasi Terencana mengancam Tanah Adat ;greenpeace.org/siaran-pers/
Ajoi, K, (2016) Kedudukan Pribumi-Pendatang (ekonomi Politik di Papua)
Saya mau baca baca
Di karam kejora
Luar biasa temanku atas Karya
dan luangkan waktu,tenaga, pikiran Untuk menulis Kasus Luka busuk diatas Negeri
Orang Asli kulit hitam Rambut kriting
Dari sekian tahun 1961 hingga 2022
Dunia diabaikan dengan Kepentingan Ekonomi
Ditanah tercinta
Hormat 🔥