Pada dasarnya kolonialisme menjajah dan mengakar kuat di daerah-daerah bekas jajahan yang mengakibatkan terjadinya berbagai marjinalisasi pada kehidupan di berbagai wilayah-wiayah yang dikuasainya. Bahkan hal tersebut sudah lebih dulu terjadi di kehidupan Negara-negara seperti: Amerika Latin maupun Amerika Utara yang mengalami penjajahan dari kolonial Spanyol, Portugis, Inggris, dan Prancis hingga menguasai benua Amerika pada abad ke 14-18 untuk mengeksploitasi sumber daya alam, manusia, serta menerapkan kerja-kerja perbudakan pada lahan-lahan yang dimiliki oleh tuan-tuan tanah untuk menghasilkan bahan mentah yang memiliki nilai ekonomis, seperti kapas, jagung, kopi, kakao, dan lainya. Dengan tujuan untuk pengakumulasian modal atau pondi-pondi keuntungan yang besar bagi para tuan tanah.
Masa penjajahan yang cukup panjang melahirkan penderitaan dan tidak ada penghargaan akan kehidupan suatu ras manusia di mana praktek perbudakan itu ada. Tak hanya itu, doktrin Alkitab yang mensabotase ungkapan kebenaran isi Alkitab akibat dari buta huruf yang di derita oleh para budak dan rakyat pada wilayah-wilayah jajahan juga hingga menerima saja kebenaran yang di sampaikan oleh para tuan-tuan tanah ketika memimpin ibadah-ibadah, serta khotbah-khotbah di hadapan para budak.
Ungkapan seperti Yesus itu berkulit putih bahkan para budak harus tunduk dan patuh kepada tuannya. Pesan yang disampaikan oleh tuan tanah kepada para budaknya seakan melegitimasi status akan penguasaanya kepada para budak.
Dengan bangkitnya para pejuang bangsa-bangsa di Amerika Latin dan Amerika Utara melawan para penjajah untuk memperjuangkan kemerdekaannya dari kolonialisme dan militerisme telah mereka memperoleh kemerdekaan.
Namun perjuangan dan penderitaan rakyatnya belum berakhir paska kemerdekaan karena untuk membangun bangsa baru, Negara baru, membutuhkan banyak sumber ekonomi serta keamanan.
Pada konteks inilah maka persoalan baru itu muncul kembali. Dimana lahirnya tirani yang represif karena kekuasaan melalui sistem yang tidak demokratis, kudeta kekuasaan oleh unsur militer yang diboncengi oleh kepentingan pemodal untuk menguasai sumber daya alam, serta menciptakan tergantungan rakyat secara masif, terstruktur, serta terpola dengan jaminan keamanan yang disiapkan oleh Negara. Sehingga rakyat Amerika Latin dan Amerika Utara mengalami suatu kondisi yang sangat memperihatinkan, banyak kantong-kantong kemiskinan, penganguran yang merajelela, upah yang sangat minim, angka buta huruf yang cukup tinggi, serta angka kematian secara umum, angka kematian ibu, angka kematian bayi dan balita, dan sistem pemerintahan yang korup, sehingga melahirkan keterpurukan terhadap nasib umat Allah disana.
Lahirnya Teologi Pembebasan di Amerika Latin dan Amerika Utara
Mengapa Teologi Pembebasan mampu berkembang di Gereja Amerika Latin pada awal tahun 1960an? Ada dua aspek: yakni terjadi perubahan internal maupun eksternal.
Perubahan internal: perubahan yang mempengaruhi Gereja Katolik secara keseluruhan, hingga lahirnya aliran-aliran Ideologi baru sejak Perang Dunia II khususnya di Jerman ada Bult-mann, Moltmann, Metz, dan Rahner. Juga Prancis ada Calvez, Congar, Lubac, Chenu, dan Duquoc. Selain itu juga perkembangan bentuk-bentuk baru ajaran sosial Kristen di mana para kaum buruh dengan ilmu ekonomi humanisnya Romo Lebret. Hal ini tumbuh dan terbukanya sikap untuk mengkaji filsafat dan ilmu-ilmu modern. Serta fatwa-fatwa dari Paus Johannes XXIII (1958-1963) dan terutama Konsili Vatikan II (1962-1965) mengabsahkan dan mensistematisasikan pandangan-pandangannya dalam meletakan landasan baru bagi suatu babakan baru dalam sejarah Gereja Katolik.
Perubahan eksternal: pada saat yang sama terjadi perubahan sosial dan politik yang sedang berlangsung di Amerika Latin. Misal, pertama: sejak tahun 1950an, industrialisasi di seluruh wilayah itu di bawah arahan kaum pemodal multinasional yang melahirkan keterbelakangan atau menurut Ander-Gunder Frank yaitu semakin memperbesar ketergantungan, memperdalam pertentangan-pertentangan sosial, mendorong laju perpindahan orang-orang desa, memacu pertumbuhan kota-kota besar, menciptakan suatu pemusatan kelas pekerja baru dan yang terpenting adalah membengkakan jumlah kaum terlunta-luta di daerah perkotaan. Kedua: meletusnya revolusi Kuba tahun 1959 yang dipimpin Fidel Casro dan Che Guevara sebagai suatu babak sejarah baru di Amerika Latin yang ditandai oleh semakin meningkatnya perjuangan sosial, munculnya gerakan-gerakan gerilya, pergantian pemerintahan melalui kudeta dan krisis keabsahan sistem politik.
Perpaduan perubahan internal dan eksternal yang menciptakan keadan yang memungkinkan munculnya Gereja orang miskin yang baru asal muasalnya.
Gustavo Gutierrez
Dengan terbitnya buku karya Gutierrez pada tahun 1971 sebagai kerangka acuan dari lahirnya Teologi Pembebasan yang berjudul Liberation Theology-Perspectives mengajukan berbagai gagasan anti kemapanan yang kemudian membawa pengaruh kuat, orang tak perlu menunggu datangnya penyelamat dari atas. Kitab Keluaran memperlihatkan kepada kita bahwa manusia membangun dirinya sendiri dengan kekuatannya sendiri melalui perjuangan politik yang bersejarah karena penyelamatan bukanlah upaya yang bersifat pribadi dan perseorangan, tapi upaya komunal dan publik artinya bukanlah penyelamatan jiwa orang perorang tetapi penebusan dan pembebasan keseluruhan rakyat yang diperbudak. Orang-orang miskin tidak boleh terus-terusan menjadi sasaran belas-kasihan dan kedermaan, tetapi sebagian budak-budak Ibrani harus menjadi pelaku yang memperjuangkan kebebasan diri mereka. Jadi, Gereja harus berhenti menjadi gerigi roda penggerak dari sistem yang berkuasa akan tetapi harus mengikuti tradisi agung para Nabi Injil, misal Yesus sendiri yang harus menentang keserbakuasaan dan mengutuk ketidakadilan sosial dalam masyarakat.
Menurut Gutierrez, bahwasanya rakyat miskin di seluruh benua Amerika Latin adalah orang-orang yang terbuang di tanah mereka sendiri tetapi saat yang bersamaan berada dalam pawai Kitab Keluaran ke arah penebusan mereka dan menolak ideologi pembangunan yang tidak efektif hanya melahirkan ketergantungan yang kian parah.
Hal tersebut diperkuat dengan keluarnya dokumen perintis yang terbit pada tahun 1960an oleh beberapa pemimpin Aliran Kiri Pemuda Pelajar Katolik (JUC) yang secara terang-terangan mengutuk setan-setan kapitalisme. Jadi, kita harus mengatakan tanpa ragu dan rasa sungkang bahwa kapitalisme yang terbukti dalam sejarahnya memang patuh memperoleh kutukan dari alam kesadaran Kristen, situasi nyata dari kapitalisme adalah pemerosotan tenaga kerja manusia menjadi barang dagangan semata-mata, kediktatoran pemilikan pribadi, yang tidak ditujukan kepada pemenuhan barang-barang kebutuhan pokok bersama, penyalahgunaan kekuasaan dan segala macam praktek monopoli pada sisi lainnya dan dorongan kehendak utama adalah semangat cari untung belaka.
Yang melahirkan ketidakadialan sosial pada kehidupan umat Allah dan marjinalisasi kehidupan rakyat di Amerika Latin pada saat itu yang semakin tidak manusiawi, serta sistem politik yang korup, kekerasan militer yang memperkuat dan menjaga kepentingan pemodal.
Sekelumit persoalan di atas terus-menerus direfleksikan oleh para pastor, biara, aktivis buruh, mahasiswa, serta rakyat tertindas dengan mencoba untuk mendekatkan bahasa Alkitab dengan situasi rill yang mereka hadapi dalam setiap ibadah, perkumpulan-perkumpulan, serta ada yang terlibat langsung dalam perjuangan di lapangan.
Selama tahun 1970an, muncul suatu kekuatan budaya dan keagamaan baru teologi pembebasan di Brazilia. Mengingat Gereja Katolik Brazilia adalah yang terbesar di dunia populasi penganutnya sehingga tidak diragukan bahwa semangat perjuangan untuk membebaskan umat Allah dari penindasan ala zaman firaun. Tokoh utamanya adalah Hugo Assman yang mencoba mengkaitkan dorongan-dorongan iman Kristen dengan filsafat praksisnya kaum Marxis.
Karya tulis Assman pada 1970-1971 merupakan dokumen-dokumen yang paling radikal dan tajam yang pernah dihasilkan soal Teologi Pembebasan. Akibatnya Assman diasingkan oleh penguasa, namun perjuangan tetap berlanjut dengan kehadiran dua bersaudara yang paling terkenal yaitu Leonardo dan Clodovis Boff. Masing-masing penganut Tarekat Fransiskan dan Sarikat para penebus dari Gereja Katolik di Brazili. Karya tulis mereka menjadi panduan kerohanian dan politik bagi Gereja rakyat dan mendidik seluruh generasi petugas lembaga kepastoran, para pemimpin kelompok di basis masyarakat, para mahasiswa seminari, dan para cendekiawan Katolik sangat lantang dan fasih menggunakan konsep pemikiran mereka yang Marxis. Leonardo dan Clodovis juga didukung kuat oleh beberapa uskup Brazilia yang bersimpati terhadap gagasan sosialis pada saat itu.
Dengan tujuan, yaitu: membangun suatu masyarakat umat Allah yang adil, bebas dari kemiskinan, pengembalian harkat dan martabat sebagai manusia yang harus ditempatkan pada kedudukan yang sama, serta kehadiran Gereja adalah bagian dari perintah Yesus yang hadir untuk membebaskan bangsa Israel dari perbudakan Firaun dan Mesir yang merubah wujud dalam bentuk modern yang hingga ini beruba wujud menjadi individualisme, monopoli, ketergantungan, kemiskinan, kekerasan, dan lainya. Yang harus dilawan dengan jalan revolusioner karena kebenaran keberpihakan lebih penting dari pada kemunafikan dalam pembiaran Umat Allah yang tertindas.
Bagaimana Dengan Papua?
Teori selalu disesuaikan dengan konteks Negara, daerah, kultur, kebiasaan, dan hubungan penindasan yang akan melahirkan suatu teori baru sebagai antitesa dari kondisi dan situasi yang sudah direfleksikan secara idealis (ide-ide) maupun materialistisme (kondisi objektif) dalam aktivitas perjuangannya. Memang diakui bahwa teologi pembebasan ala Amerika Latin tidak bisa ditelan secara mentah-mentah untuk dijadikan sebagai suatu pedoman teori dalam perjuangan membebaskan umat Allah dari ketidakadialan, penindasan, kemiskinan, marjinalisasi, ketergantungan hidup, dan uang yang melanda seluruh Umat Allah di Bumi Cenderawasih sejak dianeksasi oleh pemerintah Indonesia pada 01 Mei 1963.
Selama 60 tahun Papua menjadi bagian dari NKRI mengalami suatu kondisi yang kalau digambarkan tidak beda jauh dengan umat Allah di Amerika Latin dalam fase perjuanganya. Papua adalah korban politik perang dingin antara Amerika dengan Uni Soviet pada tahun 1960an. Sehingga dengan muda nasib rakyat Melanesia ini diserahkan kepada Indonesia dengan proses Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) pada 1969. Proses ini dijalankan sesuai perjanjian New York Egremment dan mekanisme Internasional tentang one man one vote (satu orang satu suara) serta atas kepentingan Negara-negara NATO yang dikomandani oleh Amerika dan sekutunya. Sedangkan Uni Soviet pada prinsipnya mendukung Papua harus di rebut oleh Indonesia atas dasar ketidaksukaan mereka akan kolonialisme, liberalisme, dan kapitalisme Amerika dan sekutunya. Bagian ini menjadi sebuah perdebatan yang belum berakhir antara kepentingan Soekarno pada saat itu untuk mengusir Belanda dan didukung oleh Uni Soviet sebagai negara blok timur pada saat itu. Tetapi pada prinsipnya dari beberapa sumber bacaan yang didapat soal kepentingan Soekarno pada saat itu menjadi momen penting soal mengusir penjajah dari bumi Nusantara, terutama Papua. Dan ini perkara nasib manusia dan nasib umat Allah yang dipermainkan oleh Negara-negara adikuasi pada masa lalu.
Mengingat permainan bangsa-bangsa adikuasi pada masa lalu, akhirnya melahirkan sejuta perkara kemanusian seperti kemiskinan, ketergantungan, marjinalisasi, pelanggaran HAM, rendahnya IPM, praktek korupsi yang merajalela, kesehatan yang buruk, pendidikan yang buruk, dan yang lebih memperihatinkan adalah persoalan masa depan rakyat Papua di tanah mereka sendiri? Dan beberapa data menunjukan bahwa statistika jumlah orang asli Papua sudah habis di tanahnya sendiri.
Relevansi Teologi Pembebasan untuk Persoalan Papua
Seperti dijelaskan di atas bahwa sebuah teori tidak bisa diterapkan di sebuah wilayah secara mentah-mentah. Konteks kultur masyarakat setempat, hubungan penindasan yang terjadi, serta realitas yang melahirkan suatu teori yakni Teologi Pembebasan pun harus disesuaikan dengan konteks lokal. Seperti teori Marxisisme dan Leninisme yang berkembang dan tumbuh di Uni Soviet pada saat itu. Sedangkan pada tempat lainya ia hanya sebagai sebuah teori yang digunakan dengan dengan proses uji dan penyesuaian-penyesuaian pada konteks seperti Cina pada masa Mao Zedong dan Kuba pada masa Fidel Castro dan Che Guevara dengan memakai jalur Gerilya dengan pendekatan Marxisime untuk menuju sebuah revolusi baru.
Orang yang melihat Papua secara kritis dapat menyatakan bahwa telah terjadi suatu proses dehumanisasi atas kehidupan suatu bangsa lain, serta dapat menyatakan bahwa telah terjadi pelanggaran yang besar atas kehidupan bangsa Papua pada era modern ini. Dimana masalah-masalah sosial, politik, ekonomi, serta kemanusian dirasahkan dan dilihat dalam kehidupan manusia Papua sehari-hari.
Terus sampai kapan hal ini terjadi terus-menerus? Sebagian masyarakat Papua terutama pembawa-pembawa agama akan menjawab, hanya Tuhan yang tahu. Dan ini lazim dikeluarkan oleh sebagian pawa-pembawa agama di Papua. Dan kelompok-kelompok ini hanya peduli pada individualitasnya sendiri.
Dengan melihat realitas keterpecah-belahnya Gereja di Papua dalam melihat persoalan yang ada, maka Teori Teologi Pembebasan sangatlah penting dalam teorinya maupun praktek politiknya. Dan tidak bisa tidak, Teologi Pembebasan harus dikolaborasikan antara teks-teks Alkitab dan pemikiran Marxis yang revolusioner.
Disamping itu juga harus dikaji, dibedah, didiskusikan dari konteks persoalan Papua, teks-teks Alkitab, dan pemikiran Marxis revolusioner. Dan ini akan menjadi sebuah refleksi bersama dengan melihat penindasan dan penghisapan yang terjadi di Bumi Papua. Seperti perkataan Gutierrez bahwa, “Orang tak perlu menunggu datangnya penyelamat dari atas.”
Banyak hal telah dilakukan oleh para aktivis, pastor, biarawan, pendeta, orang awam Katolik, orang awan protestan, haji, serta yang memiliki kepedulian yang besar dan memiliki keprihatinan yang dalam akan realitas persoalan Papua selama ini.
Namun perjuangan ini harus lebih diperkuat dengan membangun dialog-dialog dengan umat, dengan rakyat secara terus menerus untuk membangun kesadaran politik rakyat akan nasib umat Allah yang sedang ditindas. Juga membangun konektifitas yang kuat antara unsur-unsur perjuangan agar tidak ada ego sentris yang akan menghambat perjuangan serta sedapat mungkin harus menemukan alat perlawanan yang efektif karena kapitalisme dengan krooni-kroninya sangat licik dalam melumpuhkan perjuangan. Kapitalisme memiliki alat-alat kekuasaan yaitu modal, militer, media, serta NGO yang akan menghancurkan perjuangan rakyat.
Hal-hal ini harus menjadi refleksi kita bersama, terutama rakyat Papua dan pembawa-pembawa agama di Papua. Kiranya Allah orang miskin masih peduli pada nasib kita yang sedang ditindas ini serta memberkati seluruh orang-orang yang memiliki jiwa, hati, serta kepedulian untuk memperjuangkan masa depan umat Allah yang lebih manusiawi dan adil di bumi maupun di akhirat.
***
Daftar Pustaka
Lowy. Michael. Teologi Pembebasan. 2003. Pustakan Pelajar: Yogyakarta.
Saya ingin bergabung untuk
Membaca
Ya. Saya ingin baca
Tulisan yang luar biasa untuk pulau yang mayoritas Kristen tradisional seperti Papua ini