Pilihan Redaksi AMP dan FRI-WP: Mengecam Tindakan Rasis di Lombok dan...

AMP dan FRI-WP: Mengecam Tindakan Rasis di Lombok dan Jember

-

Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) dan Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (FRI-WP) se-Indonesia

Mengecam Tindakan Rasis Terhadap Pelajar ADEM di Jember dan Hentikan Kriminalisasi Terhadap Kawan Nyamuk Karunggu, Seluruh Mahasiswa Papua, dan Rakyat Indonesia

Aparatus keamanan Negara dalam hal ini Kapolda Nusa Tenggara Barat (NTB) melalui bawahannya telah melakukan penangkapan secara sewenang-wenang terhadap kawan Nyamuk Karunggu, ketua Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) Komite Kota Lombok pada Selasa, 1 Februari 2022 di Asrama Universitas Mataram (Unram) pada pukul 17:50 WITA.

Berdasarkan kronologi yang kami terima, kawan Nyamuk didatangi dua orang Satpam Kampus di pintu kamarnya lalu mengajaknya ke Rektorat kampus untuk melakukan audiensi dengan rektor terkait dengan pengibaran bendera Bintang Kejora dan bendera organisasi AMP, serta orasi politiknya yang mengkritik rezim dalam aksi mimbar bebas tersebut di halaman depan Gedung Rektorat Unram yang berlangsung pada 1 Februari 2022 pagi hari. Aksi tersebut dilakukan dalam rangka perayaan 1 tahun berdirinya organisasi AMP di Lombok.

Saat mau ke rektorat, ada 2 motor milik Polisi dan satu buah mobil avanza putih sudah ada di halaman asrama tempat tinggalnya.

Polisi langsung datangi Nyamuk dan melakukan pemukulan, bahkan ia dimaki dengan ungkapan rasis. Barang-barangnya juga disita, termasuk handphone miliknya saat sebelum dibawa ke rektorat.

Kawan Nyamuk langsung di paksa masuk ke dalam mobil dan dibawa ke gedung rektorat yang jaraknya sangat dekat dari asrama. Polisi berjumlah 30an orang, 10 orang Satpam kampus, pejabat universitas, juga rektor Unram sudah menunggu kawan Nyamuk di sana. Sesudah sampai rektorat, kawan Nyamuk dilarang turun dari mobil. Pihak Polisi melakukan diskusi dengan pihak pejabat kampus selama beberapa menit. Hingga audiensi dengan rektor tidak jadi dan kawan Nyamuk dibawa ke Makapolda NTB.

Sesampai di sana kawan Nyamuk langsung di interogasi oleh polisi. Kawan Nyamuk di tanya dengan beberapa pertanyaan yang sangat diskriminatif dan rasis seperti:

“Kakak sudah minum mabuk atau belum?”

“Ayo kita minum mabuk kakak, mau cewek nggak?”

“Kakak bisa bahasa indonesia gak?”

“Kakak rambutnya itu kenapa?” (kawan Nyamuk rambutnya gimbal)

Namun Nyamuk tak mau menjawab beberapa pertanyaan di atas. Kawan Nyamuk bahkan menyadari bahwa Ia di tangkap oleh Polisi tanpa surat tugas dan bahkan mereka tak menunjukan surat penangkapannya. Lantas ada pelanggaran atas tidak dihargai dan tidak dijunjung tinggi hak kawan Nyamuk untuk melihat, membaca, lalu memutuskan untuk menerima atau menolak surat penangkapan tersebut.

Bahkan TNI dan Polri masuk lingkungan kampus dan ruang rektor tak memberikan pernyataan bahwa konstitusi melarang TNI/Polri berada di ruang otonomi kampus atau rana akademik.

Rektor dan pejabat kampus Unram membiarkan begitu saja kawan Nyamuk ditangkap secara sewenang-wenang. Terkesan bahwa rektor mengizikan kawan Nyamuk ditangkap dari halaman kampusnya.

Tentu kami menyadari bahwa universitas tak bisa membiarkan TNI dan Polri menangkap mahasiswanya dengan alasan yang bersifat politis. Ini menunjukan Unram sedang mendorong dunia pendidikan yang anti kritis. Tak ada lagi pemikiran kritis ketika kampus menjadi basis praktek militeristik, otoriter, dan anti terhadap demokrasi.

Diskriminasi rasial terus dipelihara dalam wajah negara yang bernama kolonialisme Indonesia. Hal ini bisa dilihat dari tindakan penangkapan secara sewenang-wenang, hingga interogasi kawan Nyamuk dengan dasar pikiran yang rasis. Bahkan pertanyaan bernada diskriminatif pun terjadi saat diinterogasi. Ini menunjukan rasisme masih terus tumbuh dan berkembang biak hingga saat ini, tahun 2022.

Sebelum di Lombok, kejadian rasisme terjadi di SMA Pakusari Kabupaten Jember, Jawa Timur pada 26 Januari 2022 di dalam kelas oleh seorang pengajar. Korbannya adalah pelajar asal Papua yang sedang megikuti program Afirmasi Pendidikan Menengah (ADEM).

Tahun 2016 dan 2019 aparat dan kelompok premanisme mengepung asrama mahasiswa Papua di Yogyakarta dan Surabaya. Mahasiswa Papua yang tinggal didalamnya diteriaki “Monyet” dan makian merendahkan lainnya oleh aparat dan berbagai ormas reaksioner karena difitnah menjatuhkan bendera Indonesia ke dalam parit serta penahanan kawan Obby Kogoya di Yogyakarta.

Praktek rasisme terhadap orang asli Papua juga terus naik beberapa tahun terakhir hingga saat ini. Sejak kolonialisme Indonesia aneksasi West Papua secara paksa ke Indonesia, kekayaan alam Papua tidak hanya dikeruk habis-habisan, namun masyarakatnya juga menjadi sasaran rasisme. Rakyat Papua yang belajar diberbagai daerah luar papua sering mengalami diskriminasi. Mereka disamakan dengan binatang.

Kami menyadari bahwa rasisme dan atau apa pun bentuk tindakan diskriminatif secara rasial, merupakan anak kandung dari kolonialisme. Sebab kenyataannya West Papua merupakan wilayah yang dikoloni oleh Indonesia di abad ke-21 ini. Lagi-lagi sejarah rakyat West Papua menjelaskan bahwa kolonialisme Indonesia merupakan jalan terbaik untuk akses kapital nasional dan Internasional. Oleh karena itulah rasisme selalu subur di setiap negeri dan bangsa yang dikoloni.

Maka dengan itu, solidaritas dan persatuan ini perlu diperluas di antara rakyat tertindas di Papua dan Indonesia. Kita tidak bisa melawan rasisme dengan berharap kepada penguasa, karena sepanjang sejarah mereka yang justru memelihara dan memproduksi prasangka rasialis ini untuk memecah-belah Rakyat tertindas. Mobilisasi massa untuk mempertahankan diskusi, seminar, penyerangan terhadap tempat-tempat ibadah, dan melawan diskriminasi terhadap kaum minoritas lainnya perlu dilancarkan. Sebab hanya dari tangan rakyat tertindas sendirilah, kehidupan yang lebih baik dapat diwujudkan.

Dengan melihat tindakan diskriminasi rasial yang terus terjadi serta penangkapan brutal yang dilakukan oleh pihak Polisi, maka kami Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) dan Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (FRI-WP) menyatakan sikap:

Pertama: Negara, dalam hal ini Kapolri, Kapolda NTB, segera menangkap dan adili beberapa oknum yang menangkap kawan Nyamuk tanpa prosedur hukum.

Kedua: Tarik TNI dan Polri dari ruang otonomi kampus Universitas Mataram (Unram).

Ketiga: Berikan dan lindungi hak bebas beraktivitas sebagaimana manusia yang memiliki hak kodrat untuk bebas, termasuk kebebasan memperoleh ilmu di kampus, berorganisasi dan hak menyampaikan pendapat di muka umum.

Keempat: Segara tangkap dan adili pelaku rasial yang mengungkapkan kata diskriminasi saat kawan Nyamuk sedang diinterogasi di Makapolda NTB.

Kelima: Mengutuk keras Rektor Universitas Mataram (Unrar) yang mendukung penangkapan ketua AMP Komite Kota Lombok.

Keenam: Mengutuk keras birokrasi kampus Universitas Mataram (Unrar) atas diberikannya izin militer untuk masuk dalam kampus.

Ketujuh: Kembalikan barang-barang yang diambil oleh Polda NTB di asrama kawan Nyamuk tanpa syarat berupa: bendera bintang kejora 1, bendera organisasi AMP 1, noken Papua 1, beberapa buku-buku, baliho, 2 buah poster, (yang satu bertulis TPNPB-OPM bukan teroris, yang satunya lagi soal segera bebaskan Victor Yeimo karna dia korban rasisme bukan pelaku) dan kunci asrama.

Kedelapan: Segera adili dan pecat pelaku rasis guru SMA Pakusari Kabupaten Jember, Jawa Timur sekarang juga.

Kesembilan: Stop rasis dan diskriminasi terhadap pelajar dan mahasiswa Papua.

Kesepuluh: Berikan hak kebebasan untuk menentukan nasibnya sendiri melalui mekanisme yang sangat demokratis, yakni referendum bagi rakyat Papua.

Demikian pernyataan sikap dan seruan solidaritas ini kami buat, salam persatuan tanpa batas, perjuangan sampai memang.

Medan Juang, 07 Februari 2022

Hormat kami

Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) dan Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (FRI-WP) se-Indonesia

Redaksi Lao-Lao
Teori pilihan dan editorial redaksi Lao-Lao

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Kirim Donasi

Terbaru

Kapitalisme di Era Digital: Manusia, Ruang, dan Alat

Ide menulis tulisan ini, dimulai ketika beberapa waktu lalu...

Belajar Gerakan Kedaulatan Diri Owadaa dari Meeuwodide (Bagian 2)

Pada bagian pertama catatan ini sebelumya, saya mencoba untuk belajar pandangan konseptual tentang Owadaa. Selain itu, sisi teologis yang...

Belajar pada Njoto, Menuju Jurnalisme yang Mendidik Massa

Dalam deretan tokoh-tokoh jurnalistik di Indonesia, nama Njoto jarang terdengar. Kerap ketika berbicara mengenai sejarah jurnalisme di Indonesia, nama...

Empat Babak Sekuritisasi di Papua

Sejak dimulainya Operasi Tri Komando Rakyat (Trikora) oleh Presiden Soekarno pada 19 Desember 1961 banyak terjadi pelanggaran hak asasi...

Mambesak dan Gerakan Kebudayaan Papua Pascakolonial

Mambesak tidak sekadar grup musik Papua biasa. Selain sebagai pioner dengan mempopulerkan lagu-lagu daerah Papua yang kaya dan beragam,...

Rubrikasi

Konten TerkaitRELATED
Rekomendasi Bacaan