Perjuangan dan nasionalisme Papua di awali sekitar tahun 50-an dan mencapai puncaknya pada tahun 60-an. Artinya, para intelek pertama sudah pernah memikirkan bagaimana Papua menjadi sebuah bangsa yang berdaulat. Tapi kita semua tahu bahwa, hasil pemikiran mereka melahirkan proklamasi pada tahun tahun 1961 dan tidak melakulan deklarasi dengan alasan SDM belum memadai. Pemikiran itu menuntun mereka untuk meminta Belanda memberi kesempatan yang lebih lama.
Sementara Belanda yang sudah mengetahui perkembangan politik lokal, nasional, dan Internasional meminta mereka untuk sekaligus deklarasi. Tapi dengan alasan SDM, deklarasi baru berlangsung pada tahun 1971 yang mana waktu itu Indonesia sudah berhasil memenangkan Pepera tahun 1969 dengan caranya sendiri. Arti deklarasi berlangsung pada saat Belanda tidak lagi berwenang atas Papua.
Kasus ini berbeda dengan wilayah Malaya (sekarang Malaysia). Pemerintah Inggris yang terlebih dulu mencium rencana Soekarno segera memberi kebebasan dan mendaftarkan Malaya sebagai anggota PBB dan selanjutnya mengubah nama Malaya menjadi Malaysia. Proses ini yang membuat Indonesia sempat hengkang dari PBB.
Sampai saat ini masih ada intelektual Papua yang berpikir SDM Papua belum cukup. Apakah tepat? Kalau tepat, sampai kapan?
Sementara kita tahu aturan mainnya dalam hal bagaimana mengatur dan mendidik sebuah negara yang baru berdiri.
Setelah Pepera 1969, orang Papua kini terus menuntut hak-hak mereka yang di rampas. Proses perjuangan terus berlanjut. Ada yang menggunakan metode griliya dengan hasil akhir “pengakuan” bahwa Papua sudah merdeka dan berdaulat. Ada lagi yg megunakan cara damai melalui ruang-ruang demokrasi dengan tujuan akhir “referendum ulang”.
Dari dua proses di atas ini, di dalam Papua sendiri terkesan biasa saja. Artinya, masyarakat Papua disibukkan dengan sistem yang sudah diciptakan Jakarta. Soal isu Papua merdeka terkesan menjadi isu musiman. Kondisi ini bukan berarti, orang Papua tidak mau merdeka.
Catatan penting di sini adalah mereka hanya menunggu organisasi-organisasi perjuangan menciptakan kondisi yang mampu menyatukan semua. Poin inilah yang menjadi tugas berat organisasi perjuangan saat ini. Artinya, pertanyaannya bukan lagi apakah orang Papua mau merdeka atau tidak? Tetapi ruang seperti apa yang mampu menyatuhkan semua? Inilah yang menjadi soal terbesar hari ini.
Poin penyatuan ini pekerjaan yang sangat rumit. Penyatuan ini bukan lagi soal “Papua Gunung dan Pantai, tetapi juga soal bagaimana orang luar Papua yang lama di Papua merasa bahwa mereka itu Papua”.
Di masa globalisasi ini, memperjuangkan Papua dengan membawa embel-embel rambut keriting, kulit hitam sudah sangat tidak relevan. Kalau metode ini masih kita gunakan, kita sudah rasis, agamais, sukuis yang tentunya kita mengikuti cara Indonesia memperlakukan orang Papua.
Hal- hal ini mungkin saat ini terlihat sederhana tetapi bahayanya setelah ada kebebasan penuh. Kita bisa belajar dari konflik suku, ras, dan agama yang telah terjadi di luar sana.
Di luar sana jangankan soal ras, agama, batas-batas Negara saja sudah mulai longgar. Manusia di erah teknologi sedang bergeser ke kebebasan keterbukaan dan juga kualitas.
Kita di masa semua serba online, elektrik, dan robotik. Evolusi pengetahuan manusia yang bisa dibilang seumur jangung tetapi mampu mengantarkan manusia ke zaman teknologi. Tidak tahu setelah zaman teknologi ini kita akan masuk ke zaman seperti apa lagi?
Jadi bukan lagi soal ko dari mana tetapi apa yang ko bisa buat untuk bangsa dan negara West Papua yang sedang kita perjuangkan.
Menurut saya, perkembangan sepeti inilah yang sudah lebih dulu diketahui Indonesia sehingga memasuki tahun 2000-an. Indonesia mengubah pendekatan represif menjadi persuasif.
Lalu apa itu perndekatan persuasif?Sederhananya, pendekatan yang mampu membuat orang Papua yang berambut keriting, kulit hitam dengan tegas dan tidak malu mengakui bahwa dia adalah “Indonesia”.
Tekniknya adalah kesejahteraan seperti otonomi, program bintara noken, beasiswa, dan lain-lain yang di dalamnya terdapat kekhususan untuk Papua.Pendekatan militer hanya di terapkan di daerah yang dianggap rawan.
Pendekatan inilah yang lambat kita pahami bahwa kita masih berkutat di seputar orang Papua yang ingin merdeka adalah berambut keriting dan berkulit hitam.
Kita lambat mempapuakan kawan-kawan non Papua atau menyadarkan mereka tentang pentingnya West Papua menjadi bangsa dan negara yang harus merdeka. Memasuki tahun 2012, barulah Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) memahami ini dan mulai membuka ruang. Akhirnya, banyak organisasi non Papua menyatakan sikap untuk mendukung Papua merdeka. Kawan-kawan non Papua mulai berada di garis depan dalam hal bicara soal Papua Merdeka. Itu kalau luar Papua. Di dalam Papua sendiri, menurut saya kita masih di metode perjuangan “kuno”.
Kita di Papua memandang orang Papua itu harus kulit hitam dan rambut keriting. Kita masih bicara soal gunung dan pantai. Belum ke tahap bagaimana membuat kawan-kawan non Papua merasa bahwa mereka itu adalah Papua dan merdeka dari kolonial Indonesia sangat penting. Kita kalah telak.
Kita tidak bisa menyamaratakan semua orang Papua berjiwa Papua merdeka atau sebaliknya. Karena itu cacat logika. Idealnya, apa yang bisa ko buat untuk kebebasan tanah dan manusia Papua.
Dari proses panjang itu, saya salah satu orang yang percaya bahwa Papua akan merdeka suatu saat. Mengapa tidak cepat? Sejauh ini salah satu negara yang pemerintahnya dengan tegas mengambil sikap mendukung kemerdekaan adalah hanya Vanuatu. Dukungan ini tentu juga berangkat dari sejarah mereka yang mengharus mereka untuk harus mendukung sesama Melanesia. Saya percaya negera-negera Melanesia dan Micronesia akan segera bergabung.
Selain Vanuatu, tidak ada negara yang pemerintahnya dengan tegas menyatakan dukungan. Hampir semua dukungan hanya bersifat personal dan datang dari organisasi-organisasi masyarakat. Negara-negara lain, pemerintahnya hanya mengeluarkan pernyataan seputar desakan, keprihatinan soal HAM dan kekerasan.
Kondisi ini mungkin akan mengarah pada dukungan penuh dari negara-negara yang prihatin dengan kondisi Papua. Pada akhirnya, mengagendakan pembahasan kebebasan atau referendum Papua dalam PBB. Tugas kita adalah memperjuangkan syarat-syarat yang harus dipenuhi. Hal itu tidaklah mudah. Salah satunya adalah penyatuan Papua dari gunung, pantai, dan non Papua. Papua itu adalah Kita.
Tahun 61 itu Proklamasi atau deklarasi?