Selepas abad pertengahan, dunia memasuki masa romantisme. Zaman itu turut mendorong revolusi pengetahuan manusia dan memasuki masa industri yang beranjak ke perang dingin. Dari sanalah cikal bakal dunia ini terbagi dalam dua kekuatan besar yang saling bertarung merebut panggung kekuasaan dunia. Blok Barat dan Blok Timur. Selain dua kekutan besar ini, ada lagi kubu Non Blok yang dibentuk Soekarno. Papua saat ini masih terpenjara di Blok ketiga ini.
Ketika Uni Soviet runtuh, orang-orang cenderung beranggapan bahwa Blok Timur dengan mitranya tidak bertarung lagi karena sejarah di tulis oleh pihak yang menang atau berkuasa. Lalu kita lupa dialektika dalam proses besar ini. Blok ini sejak lama membenah diri. Perlahan mengendalikan arah pergerakan masa depan dunia.
Di Asia, sebut saja Cina, dengan penguasaan ekonomi dan teknologi yang berlangsung beberapa dekade lalu.Terlalu cepat negara ini dari plagiator menjadi inovator dalam segala bidang.Terutama, soal kepemilikan Nuklir. Korea Utara (Korut), Negara tertutup dengan program nuklirnya yang penuh misteri. Vietnam dengan metode perangnya yang pernah membuat Amerika bertekuk lutut.
Di Amerika Latin ada Kuba dengan kapasitas medis yang siap bekerja tanpa pamrih. Ada Venezuela dengan kepemilikan cadangan minyak yang melampaui Arab Saudi. Sebagai ibu dari semuanya, Vlamidir Putin dengan keras kepalanya.
Saat ini Rusia adalah Negara besar yang memiliki kapasitas untuk merebut dan menyatukan kembali bagian-bagian yang hancur itu dengan metode diplomasi ataupun unjuk gigi. Bagaimanapun juga besar kemungkinan blok ini dengan mitranya akan mampu bangkit dengan jargon Komunis-Sosialis.
Kalau soal Blok Barat tidak perlu dibahas. Kita tahu bagaimana kelompok yang dipimpin Amerika ini bermain peran di penggung Internasional dengan jargon liberalisme, kapitalisme, dan demokrasi.
Pada akhirnya mengantarkan kedua kubu ini masing-masing membentuk aliansi. Di Barat ada The North Atlantic Treaty Organization yang dikenal (NATO). Di timur Collective Security Treaty Organization atau yang disingkat (CSTO).
Dengan begitu, saat ini bukan tahapannya siapa awasi siapa, tetapi memasuki tahap saling mengawasi. Persoalan sederhana, dapat saja berakhir menjadi persoalan keselamatan utama manusia di bumi.
Invasi Rusia ke Ukraina Menjadi Pembuka?
Persoalan utama Rusia invasi Ukraina adalah Rusia tidak menghendaki Ukraina menjadi bagian dari NATO. Jika hal itu terjadi, maka pengaruh barat akan semakin menggila di kawasan kuasa Rusia dan jelas menjadi ancaman bagi Moskow. Di masa depan, Rusia akan semakin terpuruk.
Kondisi ideal pangkal dari perang ini, bukan soal “invasi Rusia ke Ukraina” tetapi diplomasi Rusia yang gagal di indahkan Ukraina dan Barat. Invasi hanya konsekuensi logis dan diplomasi yang tidak di Indahkan. Rusia menginginkan Ukraina dan terutama Barat harus menyetujui beberapa poin yang menjadi kepentingan Rusia.
Apa lagi menurut sejarah Ukraina dan Rusia merupakan satu bagian baik secara politik maupun sosial, budaya, dan bahkan bahasa. Kondisi ini bisa kita lihat meskipun telah berdaulat, dalam tubuh Ukraina sendiri terdapat dua wilayah pro Rusia, yaitu Donetsk dan Luhansk. Pemerintahan Ukraina sendiri menganggap kedua wilayah ini sebagai sarang pemberontak. Lalu membuka diri ke Barat.
Tapi toh, Moskow dan beberapa Negara sahabat mengakui kemerdekaan kedua wilayah tersebut.
Invasi ini hanya bertujuan untuk menyadarkan Ukraina bahwa yang benar mereka adalah bagian dari masa lalu yang pernah ditentang Barat. Dari kondisi seperti ini konteks idealnya permasalahan ini adalah “masalah keluarga”.
Tapi lain cerita jika Amerika dan aliansinya terlibat aduh fisik dengan Rusia. Jika hal itu terjadi, perang ini bukan lagi menjadi masalah keluarga tetapi akan menjadi masalah keselamatan manusia di Bumi.
Mengapa? Karena konflik ini akan beranjak ke perang Nuklir. Tapi, sejauh ini aman karena negara-negara Barat menyadari itu maka hanya memberi sangsi ekonomi untuk Rusia.
Kasus hampir serupa di Asia yang mungkin terjadi adalah Tiongkok atas Taiwan. Negeri Tirai Bambu itu sejak lama berjuang untuk mengintegrasikan wilayah Taiwan. Taiwan bersembunyi di balik kekuatan Barat. Wilayah ini sejak lama menjadi target Tiongkok. Belum lagi soal laut Cina Selatan yang tentunya akan melibatkan beberapa Negara Non Blok di Asia seperti Indonesia.
Jika pihak Barat menentang invasi Rusia ke Ukraina secara fisik, Tiongkok sebagai mitra tidak akan diam. Negeri Tirai bambu ini bisa saja berada di belakang Rusia atau mengikuti jejak sahabat karibnya itu, invasi Taiwan akan mengganggu konsentrasi Barat.
Belum lagi soal Korut dan Korea Selatan (Korsel) yang sampai saat ini bertahan hanya atas perjanjian gencatan senjata, bukan janji damai. Apa lagi sejak beberapa dekade terakhir, kita mengetahui bahwa hubungan Korut, Cina dan Rusia semakin mesra.
Sakin mesranya China dan Rusia baru-baru ini memblokir upaya Amerika Serikat untuk menjatuhkan sanksi terhadap Korea Utara di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) akibat ulahnya menguji peluncuran rudal Nuklir. Kemesraan seperti ini menjadi signal bahwa Amerika dengan sekutunya benar-benar akan di buat kewalahan.
Cepat atau lambat, hal-hal ini sedang membawa manusia ke Perang Dunia ke III. Jauh sebelum hal-hal ini terjadi, ilmuan sekaliber Albert Einstein memperingatkan kita bahwa, “Saya tidak tahu dengan apa senjata Perang Dunia ke III akan diperjuangkan, tetapi Perang Dunia ke IV akan diperjuangkan dengan kayu dan batu. Artinya, perang nuklir ini kemungkinan akan membuat peradaban ini runtuh dan bumi mengawali kehidupan dari titik nol.”
Konflik yang melibatkan negara besar adalah persoalan keselamatan umat manusia. Terlepas dari kemungkinan nasib masa depan umat manusia ini, setidaknya manusia Papua harus mampu melihat peluang untuk mesti dimanfaatkan. Lalu, apa yang bisa dimanfaatkan orang Papua menuju pembebasan nasional Papua atau Papua merdeka?
Bagaimana Langkah Perjuangan Pergerakan Papua Merdeka?
Dalam konteks perjuangan Papua merdeka terdapat beberapa kubu dengan ideologinya masing-masing. Akibat dari ideologi itu sendiri terjadi perpecahan dalam tubuh organisasi. Ideologi itu sendiri sesuatu yang sangat abstrak maka dalam memahami dan merumuskan definisi yang ideal universal cukup sulit. Sebab ideologi, terkadang hanyalah doktrin yang didesain untuk memaksa.
Artinya, tidak ada universalitas di dalamnya. Orang Papua harus mampu merumuskan asas hidup bangsanya benar-benar dari dalam. Asas tersebut harus mampu memayungi semua tanpa memandang ko dari gunung, pantai, ataupun pendatang. Apalagi mewakili agama dan ras tertentu, sudah pasti dogmatis.
Sejauh ini yang saya amati, gerakan sipil kota menggunakan ideologi kiri. Sosialis komunis. Tapi, masalahnya adalah tingkat diplomasi di dunia internasional (ULMWP misalnya) lebih berat ke Barat.
Seakan kita tidak memahami perang-perang besar yang sudah berlangsung sejak dulu. Lapangan menggunakan Blok Timur, diplomasi internasional ke Blok Barat. Masyarakat Papua jatuh di tengah.
Kita bisa belajar dari konflik Timur Tengah yang mayoritas terjadi akibat kepentingan Barat. Papua apa lagi. Di surga kecil ini, sudah pasti ada kepentingan Barat melalui Indonesia sebagai kaki tangannya. Sebut saja PT. Freeport di Timika, perusahan minyak BP Tangguh di Bintuni. Belum perusahan perusahan kecil seperti kelapa sawit dan bahkan mungkin masih ada rancangan kepentingan lainnya yang siap diterapkan.
Dari kondisi Internasional di atas ini ada dua hal yang perlu dimanfaatkan dan kita pahami bersama dalam perjuangan Papua merdeka.
Pertama: saat ini Rusia invasi Ukraina. Jika negara-negara Barat terlibat ikut campur, maka kemungkinan besar pintu lain akan terbuka, misalkan Tiongkok-Taiwan. Seperti penjelasan di atas.
Jalur diplomasi Papua merdeka tingkat Internasional harus diperkuat ke Blok Timur dengan aliansinya. Sejauh ini sangat lemah. Saat ini adalah momennya.
Saat aliansi Timur mencoba mengganggu konsentrasi Barat, perjuangan Papua dapat difokuskan untuk mengganggu aset-aset Barat di Papua. Proses ini juga akan turut mengganggu konsentrasi Barat dan sekutunya.
Output-nya, poin ini bisa menjadi daya tawar untuk Timur menyuplai apa pun yang dibutuhkan dalam proses perjuangan Papua merdeka. Kalau poin ini yang ditempuh maka sudah pasti serupa dengan apa yang ditempuh Indonesia dalam meminta dukungan Timur saat invasi di Papua waktu itu.
Kedua: selama ini diplomasi Internasional yang kita lakukan selalu ke Barat. Sesuai dengan mental kita yang ingin merdeka dengan cara damai dan bermartabat. Tapi kita lupa, tidak ada yang gratis dalam perjuangan untuk revolusi.
Di Barat kita akan mendapat kasih sayang, pembelaan, dan perhatian tetapi bukan kebebasan. Sedangkan prioritas kita adalah kebebasan.
Amerika dengan jargon kebebasan. Francis dengan jargon kesetaraan sudah lama mereka gaungkan. Lalu, poin apa yang senasib dengan kita? Apakah tepat kita meminta kebebasan ke mereka? Mereka ini sudah mencapai kebebasan dan setara karena berani mengambil langkah untuk melalui masa-masa kelam dalam perjalanan sejarah mereka.
Lalu kita terus mengadu kesana meminta kebebasan. Sementara mereka sudah di tahap bebas menjajah siapa saja. Papua harus bisa mengambil langkah kebebasan yang hakiki dalam dinamika politik Internasional saat ini.
***
Analisa yang sangat luar biasa dan saya baru pertama bertemu dalam tulisan dari seorang guru SMA. Semoga anak-anak pelajar di sekolah yang kawan dia (Tekhom) mengajar.
Salam!
Karya yg luar biasa.
” Tidak ada revolusi yang gratis” 👏👍
Gampang dipahami. Makasih Pa Tek atas ulasannya.
Sangat luar biasa, kawan2 seperjuangan hari ini harus buka mata dan pahami baik2 cacatan dari seorang Guru yg hebat dengan berani membagikan ilmu pengetahuan seperti ini.Salut