Hari Perempuan internasional atau International Women’s Day lahir dari tragedi kekerasan saat buruh perempuan melakukan unjuk rasa memprotes segala bentuk diskriminasi dan ketidakadilan. Salah satu peristiwanya adalah ‘Segitiga Api’ kejadian tragis di New York, Amerika Serikat yang merenggut lebih dari 140 perempuan pekerja, kebanyakan dari mereka adalah imigran Italia dan Yahudi pada 25 Maret. Kampanye penolakan terhadap Perang Dunia I di Rusia pada 1913-1914, hingga diskusi yang melahirkan kesepakatan bahwa 8 Maret ditetapkan sebagai International Women’s Day (IWD). Sehingga sejarah mengingatnya dan memperingatinya sekali dalam setiap tahun secara luas.
Tetapi kesepakatan yang melahirkan peringatan IWD bukanlah suatu kemenangan. Sekalipun kemunculan keberanian dan gerakan perempuan yang makin terorganisir, militan, dan revolusioner, namun belum menjadi kemenangan seutuhnya bagi perempuan untuk terbebas dari penindasan. Bahkan sampai hari ini eksploitasi, diskriminasi, tindak kekerasan, dan semua bentuk penindasan lain masih terus terjadi, terlebih pada perempuan miskin, dan kelompok minoritas lainnya, karena perlawanan saat itu, hanya sebatas isu-isu sektor tanpa melawan langsung akar persoalan, yang menjadi akar dari penindasan perempuan, meskipun pada masa tahun 1910an hingga saat ini, perempuan telah memenangkan berbagai capaian, tetapi selama kapitalisme masih ada, maka penindasan perempuan akan tetap berlanjut. Kapitalisme sendiri adalah masyarakat minoritas yang dinamis dan terus berubah dan mampu menyesuaikan diri dalam berbagai macam perlawanan, banyak tuntutan-tuntutan gerakan Pembebasan Perempuan dapat dengan mudah disesuaikan dengan kebutuhan negara-negara maju.
Peringatan Hari Perempuan Internasional setiap tahun di belahan dunia manapun, juga menjadi ruang bagi perempuan dan kelompok minoritas manapun untuk menyampaikan perasaan ketertindasan dan marjinalisasi oleh sistem kepada pemerintah dan publik lalu mengajak untuk bersama-sama memperjuangkan kedaulatan perempuan juga kelompok minoritas. Oleh karena itu setiap peringatan IWD sekali dalam setiap tahun, momentum ini tidak hanya dimaknai sebagai aksi momentuman dengan “isu perempuan”. Jauh dari itu adalah bagaimana memaknai proses perjuangan pembebasan perempuan dari tirani penderitaan imperialisme yang mengkoloni, lantas menemukan jati diri dan emansipasi perempuan dalam barisan perlawanan di hari-hari perjuangan dengan berorganisasi, diskusi, aksi, dan bahkan salah satunya adalah menunjukan/merefleksikan kualitas konsolidasi dan mobilisasi gerakan perempuan di setiap momentum.
Pada konteks Papua, perempuan Papua juga mengalami kekerasaan yang bersumber dari pelaku yang sama, yakni kekuasaan yang menjajah. Sebut saja akibat dari kepentingan Imperialisme di Indonesia dengan mengerahkan militer sebagai aktor represif dan lembaga negara mempertahankan kekuasaan (basis suprastruktur) untuk mempertahankan akses modalnya. Sehingga dampaknya adalah kehidupan perempuan Papua tidak terhindar dari berbagai bentuk kekerasan fisik juga verbal, diskriminasi, eksploitasi, intimidasi, dan pemerkosaan, bahkan pembunuhan. Bentuk-bentuk ketertindasan ini lebih masif sejak aneksasi. Kekerasan secara struktural dilakukan Militer melalui berbagai operasi Militer yang dilakukan dari 1963 hingga saat ini. Perempuan Papua mengalami penindasan dan kekerasan berkali lipat, dari keluarga, lingkungan, budaya, Militer, dan masih banyak lagi bahkan dalam berbagai bidang kehidupan.
Dalam laporan KOMNAS Perempuan berjudul “Stop Sudah!”, tercatat kesaksian perempuan Papua korban kekerasan dan korban pelanggaran HAM sejak 1963-2009 sebanyak 261 kasus, dengan berbagai tipologi kekerasan. Menurut hasil penelitian Asia Justice Rights (AJAR) dan Papua Women’s Working Group, 64 dari 170 pernah mengalami kekerasan akibat kebijakan negara atau kekerasan yang dilakukan aparat negara, di beberapa kota di Papua, bentuk kekerasan meliputi penahanan sewenang-wenang, penyiksaan, upaya penembakan, kekerasan seksual, suami atau keluarga yang hilang, dibunuh, perusakan harta benda. Operasi-operasi militer yang masih masif terjadi dari 2018 sampai saat ini di Nduga, Intan Jaya, Maybrat, Pegunungan Bintang, dan Puncak Papua. Operasi-operasi militer di Papua juga mengakibatkan pengungsi di wilayah operasi militer, dimana para pengungsi yang mayoritasnya adalah perempuan dan anak-anak mengalami kesusahan untuk mendapatkan fasilitas kesehatan dan pendidikan, bahkan baru-baru ini pada tangga 22 Februari 2022, terjadi lagi penganiayaan, penyiksaan, dan penghilangan paksa terhadap 7 siswa SD dan satu diantaranya telah meninggal dunia.
Pemerintah seharusnya menyelesaikan semua konflik yang dialami masyarakat terutama perempuan dan kelompok minoritas bertahun lamanya di Papua, namun tidak ada keseriusan dari Pemerintah dan Negara, ketika Pemerintah dan Negara sendiri menjadi aktor yang melanggengkan penindasan terhadap perempuan dan kelompok minoritas di Tanah Papua. Apalagi setelah UU Cipta Kerja dan Otsus Jilid II ditetapkan juga DOB (Daerah Otonomi Baru) itu menjadi awal juga bagi kehancuran perempuan Papua, dengan meningkatnya penggusuran paksa, perebutan tanah adat, eksploitasi sumberdaya alam yang masif, dan lain-lain.
Pengiriman militer yang semakin masif ke Papua untuk pengamanan wilayah-wilayah yang menjadi titik utama dari kepentingan Imperialis dalam mengeksploitasi sumber daya alam seperti emas, minyak bumi, kelapa sawit, perak, dan masih banyak lagi eksploitasi-eksploitasi sumber daya alam oleh perusahan-perusahan Imperialisme yang masih beroperasi dan menggunakan militer sebagai tameng untuk tetap melakukan eksploitasi di Papua. Contoh salah satu dari sekian banyak perusahan di Tanah Papua yang masih beroperasi dan menggunakan kekuatan militer menjaga dan mempertahankan produksi pertambangan di Tanah Papua adalah, PT Freeport Indonesia, bahkan dari awal penandatanganan kontrak karya pertama PT Freeport dilakukan tanpa ada keterlibatan dari rakyat Papua apalagi perempuan, pada 7 April 1967. Bahkan sebelum Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) tahun 1969 dilakukan, hal ini juga sebenarnya menunjukan keberadaan awal PT Freeport adalah ilegal dan menjadi salah satu penyebab banyaknya pelanggaran HAM dan penindasan terhadap perempuan terjadi di Tanah Papua.
Dari semua paparan di atas, kita dapat melihat siapa saja yang mendapatkan keuntungan dari segala bentuk ketertindasan perempuan di dunia. Apalagi ketertindasan perempuan memainkan peran vital untuk menjaga sistem dan kekuasaan untuk yang berkuasa. ketertindasan perempuan sendiri tidak terlepas dari ketertindasan laki-laki juga, dan oleh sistem yang sama pula. Mencari tahu tentang musuh sebenarnya, siapa yang diuntungkan, adalah tugas wajib bagi perempuan, agar perempuan dapat mengetahui lebih jeli lagi tentang musuh sebenarnya perempuan.
Perjuangan lalu-lalu harus menjadi pelajaran bagi kita saat ini, bahwa perjuangan tidak hanya sebatas pada beberapa sektor kehidupan, perjuangan bukan hanya melawan satu atau dua negara, perjuangan pembebasan perempuan harus melawan sistem dunia yang kokoh dengan segala produk penindasannya. Begitu juga dengan berbagai bentuk ketertindasan Perempuan Papua, yang tidak dapat terlepas dari kepentingan Ekonomi Imperialisme dan persoalan Politik dari Bangsa West Papua maka, Perempuan Papua harus juga memiliki peran bersama dengan laki-laki dalam perjuangan Pembebasan Bangsa West Papua, karena tidak ada kemerdekaan tanpa ada pembebasan bagi perempuan begitu juga sebaliknya. Mari memulai langkah kecil, dengan mengerti tentang hak-hak kita sebagai perempuan dan berani menyuarakan hak-hak Perempuan dan hak dari semua orang tertindas.
***
Luar biasa, ulasan yang perlu dibaca dan dipahami oleh perempuan Papua sebagai bahan perlawanan.