Kita semua pasti sudah tahu akhir-akhir ini kasus pelanggaran HAM di Indonesia semakin semakin meningkat, terutama daerah-daerah konflik seperti di Papua. Komnas HAM mencatat bahwa di tahun 2021 sebanyak 3.578 pengaduan kasus terkait pelanggaran HAM. Berkas itu terkumpul mulai dari bulan Januari sampai September 2021. Lebih lanjut Ketua Komnas HAM, Ahmad Taufan Demanik mengungkapkan data bahwa aduan kasus kekerasan pelanggaran HAM di Indonesia justru lebih banyak dilakukan oleh aparat keamanan Negara, yaitu TNI dan Polri. Dengan banyaknya kasus pelanggaran HAM yang kian meningkat di Indonesia, ini membuat slogan NKRI Harga Mati perlu dipertanyakan.
Kita coba keluar lebih jauh untuk membuat pertanyaan seputar NKRI Harga Mati. Misal, apakah keharmonisan antara sesama warga negara terjalin dengan baik? Apakah tidak ada kasus rasisme dan diskriminasi? apakah ada keadilan di NKRI?
Saya memahami bahwa selama ini hubungan keharmonisan antara sesama warga negara tidak berjalan baik. Faktanya kasus diskriminasi dan rasisme masih bertumbuh subur di Indonesia. Kasus diskriminasi dan rasisme tidak hanya terjadi pada eksistensi manusia berdasarkan ras, akan tetapi merambat juga ke perbedaan budaya dan agama. Persoalan ini terjadi juga secara masif di lembaga-lembaga formal seperti sekolah, kampus, dunia kerja, dan lain sebagainya.
Lalu bagaimana dengan keadilan? Saya memahami bahwa keadilan di negeri ini hanya milik golongan elit-elit dan ras tertentu. Sedangkan keadilan dalam sila ke-5 Pancasila yang berbunyi “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia” masih menjadi mitos. Lebih jauh keadilan di negara ini hanya dinikmati oleh segelintir manusia, sedangkan kita yang lain hanya sebagai objek penghisapan.
Dengan pernyataan di atas, maka kita perlu menelusuri tujuan dari NKRI Harga Mati yang diciptakan sebagai slogan nasionalisme Indonesia. Apakah slogan NKRI Harga Mati benar-benar nasionalisme Indonesia atau justru hanya retorika belaka?
Berdasarkan sejarahnya slogan NKRI Harga Mati dicetus oleh seorang Kyai bernama KH Moeslim Rifa’i Imampuro alias Mbah Liem.
Slogan ini tercipta kemudian menyebar luas ke masyarakat publik. Dalam pemaknaan kalimat ini cukup beragam, namun titik penekanan paling fokus adalah membangkitkan semangat nasionalisme untuk mencegah perpecahan kekuasan negara kolonial Indonesia atas daerah-daerah lain.
Dengan slogan NKRI Harga Mati kemudian sebuah kalimat klaim dikeluarkan bahwa kekuasan negara Indonesia ini sudah final di semua sektor, tidak bisa diganggu gugat oleh pihak manapun. Klaim-klaim ini kemudian dianggap paling baik dan benar oleh seluruh lapisan masyarakat. Untuk meyakinkan publik bahwa slogan ini paling baik dan benar maka upaya-upaya lain ditempuh oleh pemangku kebijakan. Jalur yang ditempuh untuk menyebar doktrin ini tidak lain melalui lembaga-lembaga formal. Lembaga formal yang ditempuh meliputi: lembaga sekolah, kampus, gereja, masjid, dan lain-lain. Disitulah penyebaran doktrin NKRI Harga Mati bertumbuh.
Sedangkan kita tinjau dari aktor-aktor yang terlibat dalam penyebaran doktrin ini tidak lain adalah tokoh-tokoh agama, PNS atau sekarang ASN, TNI, Polri, elit-elit borjuis kapitalis, kolega, keluarga dekat, dan lain sebagainya. Mereka bekerja sama menyebarluaskan doktrin dan pemahaman NKRI Harga Mati supaya melahirkan basis yang banyak, disaat itu pula agenda-agenda kepentingan bisa berjalan di seluruh wilayah kekuasaan NKRI.
Tujuan dari penyebaran slogan NKRI Harga Mati untuk mempertahankan wilayah kekuasan negara Indonesia terhadap daerah-daerah lain. Dengan adanya kekuasaan negara terhadap daerah lain maka semua agenda kepentingan bisa dijalankan oleh pemangku kebijakan. Kebijakan yang dijalankan adalah mode eksploitatif pada sumber daya manusia dan sumber daya alam.
Jika dipahami, diksi tentang NKRI Harga Mati seakan-akan meninggikan keselamatan negara daripada keselamatan umat manusia, padahal penempatan semacam ini sangat keliru. Justru keselamatan umat manusia (HAM) itu yang harus ditinggikan, bukan NKRI Harga Mati. Dari kekeliruan semacam inilah yang mengakibatkan lahirnya pelanggaran HAM berat di seluruh Indonesia, terutama di Papua.
Saya memahami bahwa slogan NKRI Harga Mati dan Bhineka Tunggal Ika adalah kalimat bernuansa politik yang di dalamnya terdapat kepentingan objektif dari segelintir manusia. Kepentingan segelintir manusia itulah yang nantinya ditempuh dengan kalimat-kalimat pemersatu atas nama Bhineka Tunggal Ika dan NKRI Harga Mati, padahal realisasinya nol besar.
Negara dengan kekuatan militer kapan saja dan dimana saja akan membasmi rakyat jikalau mereka melawan negara. Dari sini kita bisa lihat dengan jelas bahwa kedudukan negara dan pemerintah merupakan panggung politik atas dasar kepentingan, yang dimana dikendalikan oleh oligarki negara dan elit-elit borjuis.
Upaya doktrinisasi NKRI Harga Mati akan mengarah pada penaklukan manusia lain. Ketika penaklukan manusia selesai ditempuh dengan segala cara maka semua sumber daya yang ada di dalamnya akan dieksploitasi habis-habisan. Di saat yang sama, kita tidak hanya kehilangan sumber daya, tetapi kita juga akan kehilangan jati diri sebagai mahluk manusia yang otentik. Semua aset yang melekat pada diri kita akan terkikis lama-kelamaan dan hancur.
Kalau kita lihat slogan NKRI Harga Mati dari sudut pandang humanis, maka kebanyakan kasus pelanggaran HAM justru tercipta karena slogan ini. Kenapa bisa demikian? Coba kita lihat kasus-kasus pelanggaran HAM: Pertama: kontak tembak antara TNI-Polri dengan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) di Papua yang berlangsung selama bertahun-tahun sudah menelan banyak korban nyawa, namun negara belum menyelesaikan pelanggaran HAM di Papua. Negara melakukan operasi militer dengan alasan menjaga keutuhan NKRI, padahal di bulan Agustus tahun 2021 kemarin ada 10 lembaga resmi di Indonesia antara lain: #BersihkanIndonesia, YLBHI, WALHI, Eksekutif Nasional, Pusaka Bentara Rakyat, WALHI Papua, LBH Papua, KontraS JATAM, Greenpeace Indonesia, Trend Asia melakukan penelitian di Papua, tepatnya di Blok Wabu, Intan Jaya.
Penelitian berjudul Ekonomi-Politik Penempatan Militer di Papua ini mengungkapkan bahwa konflik bersenjata yang terjadi di Papua di picu oleh kepentingan kelas-kelas tertentu, yang dimana pihak negara dan perusahan melakukan perlawanan kepada rakyat sipil untuk menjalankan investasi dan eksploitasi sumber saya alam di Blok wabu, Intan Jaya, Papua. Tidak lain perusahan yang bersemayam di dalamnya adalah milik Luhut Binsar Panjaitan. Dari data ini bisa kita pahami bahwa operasi militer di Papua bukan lagi untuk nasionalisme NKRI, melainkan untuk kepentingan elit-elit dan kelas kapitalis.
Kedua: Negara dan pemerintah Indonesia melakukan kriminalisasi, penangkapan, dan pembunuhan sewenang-wenang di luar jalur hukum pada kawan-kawan aktivis di beberapa kota studi. Motif-motif pelanggaran HAM sangat keji, disini kita melihat bahwa negara ini bukan lagi negara demokrasi tapi negara fasis yang menolak kebebasan berpendapat. Pada kenyataan kawan-kawan menyuarakan kebenaran sesuai hati nurani rakyat namun mereka dibungkam oleh kekuatan negara dengan pasal-pasal karet di dalamnya.
Kasus semacam ini tidak hanya dihadapi oleh kawan-kawan mahasiswa yang pro demokrasi, akan tetapi kasus ini menimpa kedua tokoh besar aktivis HAM Haris Azhar dan Fatia. Mereka dijerat pasal-pasal dari UU ITE dengan alasan penyebaran nama baik Luhut Binsar Panjaitan, padahal mereka bicara berdasarkan fakta dan data terkait pelanggaran HAM di Papua.
Artinya negara ini terlalu sensitif dengan hal-hal berbau kebenaran, jikalau ada rakyat yang menyuarakan kebenaran maka mereka dianggap orang yang paling berbahaya sehingga harus ditangkap, diadili dan dikenakan pasal-pasal karet lalu dibunuh secara gelap.
Dari ulasan singkat di atas dapat kita pahami bahwa slogan NKRI Harga Mati telah merambat ke semua sektor publik. Secara tidak langsung slogan itu mengorbankan banyak nyawa manusia, terutama orang Papua. Kebebasan rakyat manusia dalam berdemokrasi dikebiri, demokrasi tidak lagi berjalan normal. Dengan begitu tidak ada tanda-tanda kehidupan dan keharmonisan di dalamnya, justru tanda-tanda kematian. Terkait hal ini Rocky Gerung juga pernah bilang bahwa konsep tentang NKRI Harga Mati itu buang jauh-jauh, bikin dulu NKRI yang menghidupkan rakyat. Dengan kalimat Rocky Gerung maka dialektika kehidupan dunia menjadi masuk akal.
Apalagi dalam hukum dialektika kita kenal bahwa hidup ini akan terus berubah-ubah, tidak ada yang menetap, maka semua ini belum final. Akan tetapi sistem pemerintahan di Indonesia semua dibuat final oleh rezim-rezim serakah, maka sistem ini bertentangan dengan hukum alam, bertentangan juga dengan HAM.
Pertentangan ini jikalau diteruskan maka watak kolonialisme abad modern muncul dengan sendirinya. Yang ada justru fasisme, diskriminasi, rasisme, dan eksploitatif terhadap manusia dan sumber daya alam. Rakyat Indonesia memang saat ini berada dalam sistem kolonialisme abad modern, cuma sistem kolonialisme saat ini bertopeng.
Jadi tugas kita bersama adalah melawan sistem yang menindas sesama manusia di dunia, Indonesia, dan Papua.
***